AJ Susmana
http://cetak.kompas.com/
Sejarah seringkali dikonstruksi dalam bingkai ”sejarah negara”. Kadang, perjuangan yang dihidupi dengan jiwa dan raga tak membawa hasil seperti yang diharapkan. Kekecewaan dan rasa sesal pun melanda di hati. Akan tetapi, itu tampaknya tidak berlaku bagi wanita-wanita mantan prajurit gerilya yang telah menghabiskan sebagian hidupnya dalam perjuangan gerilya nan panjang di hutan tropik Semenanjung Melayu.
Itulah sepenggal kisah beberapa perempuan yang angkat senjata berjuang menentang kolonialisme, yang dikisahkan di dalam buku Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai: Wanita dalam Perjuangan Anti-Kolonial Malaya, Sejarah Lisan suntingan Agnes Khoo. Cita-cita perjuangan mereka memang tidak berhasil dan kini hidup dalam perlindungan Kerajaan Thailand, tetapi mereka tak menyesali atas jalan yang pernah ditempuh. Kisah seperti ini, dalam beberapa hal, tentu saja bukan kisah yang baru dalam perjuangan antikolonialisme di Indonesia.
Membaca buku ini, tak pelak lagi, Anda akan diingatkan pada novel Pramoedya Ananta Toer, Keluarga Gerilya, yang diterbitkan setelah kecamuk perang revolusi kemerdekaan Indonesia berangsur surut. Dalam Keluarga Gerilya diceritakan bagaimana anak tega membunuh bapaknya karena bapaknya bekerja sebagai tentara penjajah kolonial; adik menyerahkan keperawanan kepada musuh demi pembebasan kakaknya dari tawanan, walau toh akhirnya ia dikhianati dan kakaknya tetap tak dibebaskan tetapi malahan dijatuhi hukuman mati. Dan sang ibu menjadi gila lantaran menyaksikan anak-anak dan keluarganya tercerai-berai. Inilah gambaran kehidupan sebuah keluarga gerilya yang anak-anaknya tanpa pamrih berjuang demi kemerdekaan Tanah Air dan rakyatnya dari penjajahan kolonialisme.
Buku ini memiliki keistimewaan sendiri, seperti diungkapkan oleh Chong Ton Sin dalam pengantar buku ini, yakni menonjolkan peranan wanita dengan penulisan berperspektif feminis. Isinya mampu mencerminkan peranan wanita di Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam keluarga, masyarakat, dan pergerakan politik antara tahun 1930-an hingga 1980-an akhir, termasuk dalam politik bersenjata dan perang gerilya yang berlangsung lama di hutan belantara. Lebih jauh, para mantan prajurit wanita ini kebanyakan berasal dari lapisan bawah masyarakat yang miskin yang seringkali terlupakan peranannya dalam penulisan sejarah yang lebih mengedepankan para tokoh dan pucuk pimpinan.
Hidup disadari dan dimaknai sebagai perjuangan tanpa henti untuk memperbaiki dan memajukan harkat kemanusiaan; mengalir dari detik ke detik kehidupan dalam suka dan duka bagaikan aliran sungai. Inilah pesan yang menonjol dari penulisan buku ini. Bukankah perjuangan sendiri kadang tak berbuah manis seperti yang diharapkan, tetapi justru pahit dan menjadi cemoohan atau ejekan karena tiadanya sukses sebuah perjuangan bahkan dari segi materi sekalipun? Dalam situasi yang gamang ini, hanya keyakinan perjuanganlah yang menjadi sandaran dalam menempuh hidup di sepanjang aliran sungai sejarah ini. Sejarah pun tiba-tiba menjadi penting dan bernilai untuk meletakkan diri dalam berbagai aliran sungai sejarah dan tujuan hidup selanjutnya.
Hidup terus mengalir dan dunia pun kini mengalami perubahan. Perang dingin pasca-Perang Dunia II yang mencekam telah berakhir. Berbagai bangsa dan negara, termasuk Indonesia, Singapura, dan Malaysia, memasuki ruang hidup dan tata cara pergaulan yang baru. Begitulah juga Agnes Khoo, penulis buku ini, dan mungkin juga generasi seangkatannya yang hidup tanpa cengkeraman dan penindasan nyata kolonialisme, tetapi sangat ingin tahu sosok orang-orang yang diberi label komunis dan digambarkan sebagai ”teroris bertanduk dua” oleh penguasa negeri Singapura.
Dalam usaha ini, Agnes Khoo akhirnya sampai di sempadan Malaysia-Thailand dan menemukan kampung suaka politik bagi anggota Partai Komunis Malaya (PKM). Perkampungan itu disediakan Pemerintah Kerajaan Thailand sebagai hasil penandatanganan Persetujuan Perdamaian Tiga Pihak, yakni Pemerintah Malaysia, PKM, dan Kerajaan Thailand di Haadyai, bagian selatan Thailand, pada 2 Desember 1989. Persetujuan ini mengakhiri perang gerilya PKM yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun dan PKM memutuskan untuk memusnahkan sendiri semua senjata mereka, meninggalkan hutan tropik di sempadan Thailand-Malaysia, dan mulai membangun hidup baru di perkampungan yang berada di bawah naungan Puteri Chulaporn Thailand. Kampung- kampung ini kemudian dinamakan Kampung Perdamaian PKM. Sebagian sempalan PKM pun mendirikan Kampung Persahabatan.
Sejarah lisan
Buku ini merupakan sejarah lisan yang disusun Agnes Khoo berdasarkan wawancara terhadap 16 wanita mantan prajurit gerilya PKM yang tinggal di Kampung Perdamaian tersebut, kecuali seorang bernama Xiao Hua yang kini menetap di Hong- kong. Karena keterbatasan dana dan waktu, Agnes Khoo hanya mewawancarai mantan gerilyawati PKM yang tinggal di tiga Kampung Perdamaian, yakni Betong, Banlang, dan Sukirin. Walau begitu, buku ini sudah cukup berhasil menggambarkan kisah hidup wanita-wanita pemberani dari Thailand, Malaya, dan Singapura ini, termasuk usaha yang berani dari Agnes Khoo sendiri.
Agnes Khoo pun akhirnya memahami dan menemukan kisah lain dari sejarah perjuangan bangsanya melalui tuturan 16 wanita ini. Ia mengungkapkan, ”Setelah mengenali wanita-wanita ini, mendengar kisah hidup mereka, harapan dan pilihan hidup mereka, saya merasa telah menjadi lebih matang sedikit. Saya tidak lagi naif seperti dahulu ketika saya seorang rakyat Singapura yang tidak berminat terhadap sejarah tanah air. Melalui penulisan buku ini, saya telah lebih yakin diri. Saya mulai tahu siapakah diri saya, makna sebagai rakyat Singapura, bagaimana kami menjadi rakyat Singapura dan apakah yang membuat saya menjadi seorang Singapura” (hlm 372).
Untuk menyelesaikan buku ini, Agnes Khoo menghabiskan waktu lima tahun. Ia telah mengarungi perjalanan yang paling kesepian dalam hidupnya, dengan meninggalkan kehidupan mewah dan modern, baik di Singapura maupun di Hongkong. Penulisan sejarah lisan ini, bagi Agnes Khoo, adalah perjalanan penyembuhan diri dari rasa ngeri akibat kampanye sejarah yang gencar versi pemerintah tentang kekejaman teroris komunis, sementara ia sendiri tak pernah bertemu dengan wujud nyata sang ”teroris” itu. Inilah yang membawa Agnes Khoo mencari kebenaran sejarah dari sudut yang berlainan. Sebagaimana Indonesia di bawah Orde Baru, orang takut membela orang-orang komunis yang teraniaya bahkan dari sudut kemanusiaan, begitulah juga rakyat Singapura dan Malaysia. Mereka terpaksa mengelak memperbincangkan kaum komunis dan membisu demi melindungi diri karena takut akan disekap ke dalam penjara di bawah Internal Security Act (ISA).
Oleh karena itu, buku ini tentu saja bukan sekadar kisah dan profil 16 mantan gerilyawati, tetapi adalah juga salah satu catatan perjuangan anti-kolonialisme di dunia dan peran wanita dalam perjuangan itu, terutama dalam perang gerilya yang panjang. Tak hanya menjadi pelengkap atau barisan belakang (baca: memasak, menjahit baju pasukan, dan mengobati yang terluka) dari pasukan gerilya. Sebagian dari 16 wanita dalam buku ini merupakan prajurit gerilya yang juga mengangkat senjata dan bertempur di garis depan. Bagaimana sulitnya menjadi gerilyawati di hutan belantara Semenanjung Melayu dengan seluk-beluk kewanitaan seperti haid, melahirkan, hubungan cinta, dan benci pada keluarga, sesama, dan perkawinan diungkapkan oleh mereka.
Buku ini pun menjadi semakin penting bila diletakkan dalam konteks sejarah perjuangan rakyat dan bangsa-bangsa terjajah dari penindasan kolonialisme terutama di Asia Tenggara. Bagi kita di Indonesia, buku ini juga penting untuk dibaca dan diketahui agar kita pun sanggup menghubungkan dan memaknai perjuangan semesta melawan penjajahan kolonialisme yang dalam jangka waktu tertentu nyata menancapkan kuku-kuku kolonialnya di bumi Nusantara. Buku ini pun setidaknya telah memberikan gambaran yang berbeda dari sejarah resmi kemerdekaan Singapura dan Malaysia yang selama ini dinyatakan sebagai hasil diplomatik tanpa perjuangan bersenjata. Bagaimanapun kemerdekaan Singapura dan Malaysia itu telah dilandasi perjuangan bersenjata anti-kolonialisme Inggris dan anti-pendudukan fasisme Jepang.
*) Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar