Gde Artawan
http://www.balipost.com/
Tiga bulan terakhir ini aku merasakan kondisi yang sangat tidak mengenakkan. Aku merasa mual. Sungguh. Tidak lantaran kondisiku yang agak terkuras setelah menjadi pengantin baru, bukan pula lantaran Leny — wanita kampung biasa-biasa saja yang kini jadi istriku — hamil, tidak. Rasa mual ini menghantamku secara membabibuta tanpa aku diberi penjelasan yang komprehensif, paling tidak secara nalar dapat dirunut sebab musababnya.
TERKADANG aku pasrah dengan kondisi yang kau derita tanpa mencoba mencari latar belakang penyebabnya. Terkadang aku percaya bahwa kodrat bisa seenaknya menari-nari di tengah kebingunganku membaca gelagatnya. Tapi dalam rentang waktu yang tidak jauh berselang, aku berontak terhadap kondisi yang menerpaku: mual. Aku berontak dengan mencoba kemampuan inteligenku mencari tahu penyebab aku mual dan mencoba mencari penawar agar rasa mual itu bisa hilang.
Aku tak gampang menyerah. Untuk persoalan mual ini, kecuali sikap menyerahku pada Leny yang akhirnya mampu menutup perjalanan malang melintang petualanganku sebagai bajingan perempuan. Aku tantang setiap oknum yang mengalirkan rasa mual itu ke tubuhku. Oknum itu mungkin alam, mungkin manusia, atau kekuatan supranatural sekalipun. Aku tantang jika ternyata ada latar belakang atau kepentingan apapun yang mendasari dihujamkannya rasa mual itu ke tubuhku.
Jika ada konfigurasi terstruktur hingga rasa mual itu dengan sukses masuk ke tubuhku, aku tantang agar konfigurasi itu skalanya dimaksimalkan dan ditingkatkan lagi kadar mual yang menderaku. Hasilnya tetap nihil. Aku berada pada jalur yang dilematis. Saat aku pasrah, rasa mual itu makin menjadi-jadi menggelayuti perutku; ketika aku berontak, rasa mual itu tetap saja dengan keperkasaannya menunjukkan sikap arogan bahwa dia tak tergoyahkan apalagi terkalahkan. Aku mual.
Mula-mula aku merasa mual dengan lingkungan rumahku. Setiap aku melihat pepohonan perutku terasa mual ingin muntah. Aku tak tahu penyebabnya mengapa setiap kali aku melihat pepohonan perutku muat. Semula aku berpikir barangkali letak pepohonan yang menimbulkan kesan monoton perlu dilakukan penataan ulang, atau semacam reaksi represif dari pepohonan itu dalam wujud protes agar dilakukan reorganisasi menyeluruh. Aku mencoba menata ulang pepohonan di halaman rumah, semacam mutasi lokal. Aku atur letaknya, sebagian aku tata, aku kurangi, aku lakukan pergantian wadah: tanaman yang semula ada dalam pot aku pindahkan ke tanah pekarangan, sebaliknya pepohonan yang bisa aku pindahkan ke dalam pot aku tempatkan dalam pot.
Hasilnya tetap nihil, aku tetap mual. Selanjutnya aku babat habis pepohonan di halaman rumah. Kepada istriku yang terbengong-bengong melihat tindakanku membabat pepohonan, kujelaskan bahwa untuk terbebas dari rasa mual yang menyerangku aku harus membabat habis pepohonan di halaman rumah. Istriku cukup bijaksana memaklumi sikapku. Paling tidak dia tidak mengajukan keberatan atas tanaman yang sangat dicintainya berserakan menjadi patahan dahan, ranting, dan daun-daunnya. Aku sempat teringat penyair Umbu Landu Paranggi yang menyitir perkataan almarhum Reneng, ”mencintai pepohonan berarti kita sehat”. Sekarang aku sakit, bang Umbu. Melihat pepohonan aku mual, makanya aku babat habis pepohonan di halaman rumah agar aku bisa merdeka dari rasa mual. Tapi tetap saja rasa mual itu menderaku.
Rasa mualku kian menjadi-jadi. Makin hari makin menjalar pada objek dan sasaran yang lain. Jika semula aku hanya mual pada pepohonan, episode selanjutnya aku mual pada aktivitias yang lain, membaca koran misalnya. Setiap kali aku membaca koran, aku merasa mual. Aku merasa mual membaca berita tentang negeri Indonesia yang menunjukkan prestasi sangat lumayan di peringkat negara terkorup. Hampir-hampir di depan umum aku muntah ketika baca koran yang memberitakan hasil temuan BPK tentang APBN 2002 yang mengalami kebocoran sampai 62,9 trilyun rupiah. Aku juga merasa mual membaca situasi politik yang carut-marut, kondisi ekonomi, kondisi sosio-kultural, sampai-sampai kehidupan religiusnya yang mengalami degradasi. Aku juga mual mendengar berita melalui media elektronik. Aku merasa mual memirsa adegan di televisi saat mahasiswa digebuki aparat kepolisian ketika melakukan demo, padahal tahun 2003 dicanangkan sebagai tahun tanpa kekerasan.
Aku lari, lari menghindar dari sajian informasi media cetak dan elektronik. Aku takut kalau rasa mual itu pada akhirnya membuat aku menjadi sakit dan tak berdaya. Aku datangi kawan-kawan lama, kawan-kawan seniman yang sering aku ajak bicara soal keindahan, bicara tentang kenikmatan kata yang merasuk ke hati memberi kesegaran luar biasa. Aku dahaga siraman kreatif air kesenian yang menyebabkan aku segar, bebas dari rasa mual dan menjadi manusia sehat, manusia penuh ketenangan tanpa diperbudak dan dijajah rasa mual berkepanjangan. Aku harap dengan menjumpai mereka muncul inspirasi baru agar aku bisa kembali kreatif mencipta, paling tidak terbebas dari rasa mual.
Malam itu kebetulan ada undangan salah seorang rekan seniman baca cerpen. Aku ingin memberi suasana baru bagi perjalanan berkesenianku. Aku ajak istri untuk datang menyaksikan acara baca cerpen itu — selama ini aku tak pernah melakukannya. Aku bayangkan dahaga akan cipratan air kesenian dan bertemu rekan-rekan lama akan membuatku menjadi segara bebas dari rasa mual.
”Setelah kita kehilangan pepohonan, kita masih punya kesenian, Leny,” kataku pada istriku ketika ia bertanya ke mana tujuan kami malam itu.
Aku terhenyak di depan pagar halaman tempat acara baca cerpen dilaksanakan. Istriku dengan segera memaklumi kondisiku.
”Mual, Pa?”
Bukannya cipratan air segar kesenian yang menyiramku, tapi semacam air limbah yang tak jelas unsur-unsurnya dan membuat aku terhempas ke dalam rasa mual seperti sediakala. Ah, aku tak menyerah, barangkali itu semacam hembusan angin jahat yang mencoba menggoyahkan spirit apresiasiku pada peristiwa kesenian. Rasa mual aku anggap menjadi semacam provokator yang ingin memisahkan aku dari dunia yang sempat menafasiku. Aku menyeret langkah memasuki aula disertai istriku. Aku mengambil posisi duduk yang strategis dimana aku bisa menonton peristiwa kesenian malam itu.
Acara belum dimulai, tetapi rasa mual itu makin menjadi-jadi. Aku merasa mual melihat rekan-rekan yang bergaya sibuk mempersiapkan acara. Aku merasa seakan-akan berada dalam sebuah pasar dimana ada transaksi jual beli, paling tidak jual beli pengakuan untuk tetap disebut sebagai seniman, walaupun sudah tak berkarya lagi. Hampir satu jam aku bertahan dengan rasa mual — hampir-hampir berubah menjadi muntah, acara kesenin yang kutunggu-tunggu belum dimulai. Jika pun muncul dialog yang mengawali acara malam itu, bagiku tak lebih hanya klangenan semata, penuh basa-basi ekspose masa lalu dalam lingkaran pertemanan: tak ada substansi yang menyangkut peristiwa kesenian yang memberikan sinergi untuk membuat aku bisa bertahan di aula itu.
Kecenderungan untuk ngomong lebih dominan daripada keinginan untuk mendengar. Substansi dari acara malam itu sesungguhnya adalah mendengar rekan baca cerpen, tidak saling silang berbicara menggelindingkan teori sepotong-sepotong tentang sastra yang sebenarnya telah diberi ruang sangat terhormat di luar ruang kesenian malam itu. Kesempatan emasku untuk bisa mendengar telah dirampas rekan-rekan malam itu. Kesempatan untuk bisa merasuk ke dalam ”dunia” rekaan yang terakumulasi dalam cerpen yang akan dibaca seorang rekan telah terang-terangan dirampok oleh orang-orang yang petantang petenteng bergaya pegiat kesenian. Ini menambah kualitas rasa mualku. Sebelum rasa mual berevolusi menjadi muntahan isi perutku, aku seret istriku untuk pulang, sekalipun hujan turun cukup deras. ”Pulang?” istriku hanya sekadar meminta ketegaran sikapku. ”Kita tidak lagi memiliki kesenian, Leny! Mereka telah membabat habis areal kesenian kita,” jawabku tegas.
Tanpa penjelasan apapun istriku cukup bijaksana untuk mengikuti kemauanku.
Aku pulang didera hujan dan rasa mual yang menjadi-jadi. Di rumah aku tak kuasa menahan rasa mual yang sangat tidak mengenakkan. Aku berusaha muntah agar sedikit terbebas dari rasa mual, hasilnya tetap nihil. Esoknya aku pergi ke dokter. Aku terkejut ketika dokter mengatakan aku tak apa-apa. Dengan tenang dokter mengatakan kalau aku sehat walafiat. Bah, aku mulai curiga ternyata rasa mual yang menderaku telah memiliki jaringan yang cukup luas. Ia bisa mengakses relasi dengan dokter, sehingga dengan tanpa beban sedikitpun dokter mengatakan kalau aku sehat walafiat. Dokter telah mengkhianati kemanusiaanku, paling tidak mengkhianati keberadaan yang sesungguhnya. Diagnosa yang mengarah pada simpulan aku sehat memberi kontribusi yang sangat signifikan bagi kualitas rasa mualku.
Ya, Tuhan aku mual sementara orang mulai tak mempercayaiku. Aku mulai curiga pada setiap orang yang kujumpai. Jangan-jangan telah terjadi konfigurasi tingkat tinggi yang menjerembabkan aku ke jurang rasa mual yang lebih dalam. Aku hampir saja melaporkan hal ini ke polisi. Kemanusiaanku terancam. Rasa mual telah menyebarkan perasaan tak enak, hingga secara pidana dapat dituntut di muka hukum. Ini membuat aku menjadi semacam barang rongsokan yang tak memiliki daya untuk melakukan apa saja. Aku menjadi manusia yang tak produktif.
Aku tambah terkejut ketika istriku merespon agak keras keinginanku untuk lapor polisi. Dan kami sempat bersitegang, istriku menganggap niatku lapor polisi sebagai tindakan konyol. Bah, ternyata rasa mual itu telah mempengaruhi istriku dan bersama-sama dokter istriku telah berkolaborasi untuk menampik kondisi realku tentang rasa mual. Harga diriku terhempas, keberanian istriku untuk menentangku kuanggap sebagai isyarat mulai kehilangan kesetiaan, kehilangan komitmen untuk menjadi teman hidup terbaik suka dan duka. Jika aku lapor polisi, akupun sangsi jangan-jangan polisi pun berkolaborasi dengan dokter dan istriku untuk sama-sama menyatakan aku sehat-sehat saja. Aku mulai merasa mual pada dokter, polisi dan istriku.
Aku berharap datang pada tokoh spiritual atau ke paranormal sekalipun. Dalam teropong mata batin, dalam teropong secara niskala tentu akan diperoleh jawaban yang menyejukkan tentang si mual tersebut. Tapi, aku mulai didera sikap krisis kepercayaan kepada siapa saja. Keinginan itu aku bunuh diam-diam.
Malam tilem kaulu — saat bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus, yang dikenal dengan bulan gelap penuh — aku merasakan hatiku gelap gulita bercampur dengan rasa mual yang luar biasa. Di kamar aku sendiri tertelungkup lalu rebah dan berguling-guling. Istriku sudah tujuh hari pulang ke Sudaji karena aku agak keras memarahinya saat kami bersitegang. Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing, tubuhku gemetaran dan tulang-tulangku serasa rontok. Aku sempat berpikir jika ternyata rasa mual itu tidak saja berkolaborasi dengan dokter, istriku, polisi, tetapi sudah berkolaborasi dengan penyakit penyakit yang lain.
Aku mengerang memanggil-manggil istriku, kenapa ia tidak ada di sampingku ketika aku butuh seseorang yang bisa mendengar eranganku. Aku berguling-guling menahan rasa mual dan rasa sakit yang lain. Kolaborasi rasa mual dan rasa sakit yang lain membuat aku merasa telah kehilangan kesejatian tubuh. Aku melihat samar-samar sesosok tubuh lelaki hampir separuh baya berperawakan gemuk, agak pendek, berguling-guling mengerang kesakitan. Dalam erangannya muncul suara seakan-akan ia memanggil-manggil sesuatu. Dari berguling-guling kulihat ia mangambil posisi duduk bersila, sama-sama pula kedua tangannya mengambil posisi mudra, lalu tercakup jadi satu di atas ubun-ubun.
Lama-kelamaan aku seperti mengenali sosok tubuh yang duduk bersila sambil mengerang itu. Aku dan sosok yang kukenali itu mengerang secara bersama-sama, duduk dalam posisi yang sana. Cakupan tangan menembus langit-langir kamar, langit jagat raya semesta. Erangan yang muncul secara bersama-sama dengan irama, tempo, nada, diction yang sama seakan musik hening yang menembus kepekatan tilem kaulu. Di tengah kepekatan malam itu, aku secara samar-samar bisa mengenali wajah sosok lelaki separuh baya itu.
”Beli Gede?” sosok tubuh di depanku seakan bertanya ragu.
Di tengah campuran rasa mual dan rasa sakit yang menjadi-jadi, aku mengangguk, dan tiba-tiba kami bisa tersenyum. Lalu begitu senyuman telah menggumpal banyak, meledaklah jadi tawa lantang. Ya, kami sama-sama tertawa di tengah di tengah kepekatan malam tilem kaulu, di tengah kebersamaan didera rasa mual dan sakit yang tak jelas kapan berkesudahan. Kami terus tertawa, tertawa, menertawakan diri masing-masing.
Maret 2003
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 07 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar