Anjrah Lelono Broto*
http://umum.kompasiana.com/
Sebuah Awalan
Proses globalisasi merupakan fenomena yang paling menyita perhatian dan menimbulkan efek yang besar dalam kurun waktu terakhir ini. Memasuki millenium ketiga, masyarakat di berbagai belahan dunia dihadapkan pada satu persoalan yang seragam yang memiliki keterkaitan besar dengan struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan. Proses perubahan yang mengerucut kepada globalisasi inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, pasca agrikultur (gelombang pertama) dan industrialialisasi (gelombang kedua). Perubahan ini mengakibatkan pergeseran fokus ekonomi dan kekuasaan yang pengaruhnya didominasi oleh tanah, kemudian bergeser kepada kapital, dan selanjutnya mengarah kepada penguasaan terhadap informasi dan komunikasi.
Kecemasan memandang performa proses globalisasi sebagai produk gelombang ketiga menciptakan ketakutan sehingga mempengaruhi pola pikir dan wacana publik secara holistik. Kecemasan dan ketakutan ini menjadi latar belakang langkah-langkah antisipatif yang dilakukan masyarakat dan decision maker, mereka cenderung bersifat defensif dengan membangun benteng-benteng pertahanan guna membendung arus proses globalisasi yang mengalir bagai air bah, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dank komunikasi.
Di masa pemerintahan Soeharto, negara ataupun kalangan intelektual lebih dulu menempatkan diri sebagai objek dan menjustifikasi globalisasi sebagai arus budaya asing yang menenggelamkan budaya dan tradisi Indonesia. Pemerintah menyibukkan diri dengan melancarkan seruan-seruan defensif seperti penempatan kebudayaan Indonesia sebagai filter masuknya kebudayaan asing, hingga upaya memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke luar negeri. Namun, sayang usaha yang terakhir tersebut lebih nampak sebagai promosi wisata daripada promosi keadiluhungan budaya. Hal ini berangkat dari pemahaman parsial terhadap budaya Indonesia, masyarakat maupun pemerintah terjebak dalam pemahaman kulit bukan pemahaman esensi budaya itu sendiri. Pemahaman seni tradisi berhenti pada tataran pertunjukkan (show), dan cenderung mengabaikan pesan dan simbol di balik idiomatikal yang melekat di dalamnya.
Taruhlah seni tari tradisional seperti Jaipong (Sunda), Kecak (Bali), atau Remo (Jawa Timur). Pemahamannya berhenti pada tataran pertunjukkan semata, sedangkan pesan moral, pendidikan, serta ke-khas-an etnikalnya cenderung diabaikan. Sehingga, ketika muncul trend seni pertunjukkan yang lebih menarik perhatian (termasuk yang berasal dari budaya luar), nafas kehidupan seni tari tradisional ini mengalami degradasi dari generasi ke generasi.
Lalu, apa yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia? Apakah yang terjadi dengan dirinya di tengah kederasan arus proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan masyarakat Indonesia sebagai pemilik?
Globalisasi; The Mithy
Mitos yang telanjur mewacana dalam masyarakat Indonesia selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan menyeragamkan dunia. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri kebangsaan, hingga kebudayaan lokal dan etnis. Proses globalisasi akan mengaburkan kesejarahan kolektif sehingga ikatan dalam sebuah bangsa akan mengalami perenggangan bahkan keterpecahan.
Benarkah?
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi serta informasi memang mampu menghilangkan sekat-sekat geografis maupun demografis. Jarak dan ruang budaya sebagai sekat pembatas telah hilang dan tidak bergaung. Kemajuan ini telah mengurangi hegemoni kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara pada ruang publik. Kepemilikan suatu ikatan kolektif seperti bangsa, etnik budaya, organisasi, hingga hubungan darah luntur diterjang kederasan gelombang globalisasi. Namun, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox justru memaparkan paradoks dari tema keseragaman globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Naisbitt juga memaparkan gagasan-gagasan yang paradoks sehubungan dengan permasalahan ini. “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal, bertindak global.” Bahasa Inggris hanya menempati posisi sebagai bahasa kedua, sedangkan bahasa ibunya adalah bahasa masing-masing kewilayahan dan kebangsaan.
Jikalau kita mengamini pemikiran dan gagasan Naisbitt di atas, maka proses globalisasi tetap menempatkan perspektif lokal ataupun perspektif etnik (tribe) sebagai perspektif dalam menyikapi semua fenomena problematika masyarakat ataupun negara. Dalam ‘Megatrends 2000?, Naisbitt juga mengatakan bahwa masa-masa yang akan datang adalah zaman perikles bagi kesenian dan pariwisata. Masyarakat akan menemukan keindahan dan rekreasi bathiniah dengan menikmati aktifitas berkesenian dan berkebudayaan yang bersifat lokal; sebagai bagian dari proses memanusiakan kembali humanitas masing-masing individu. Peristiwa-peristiwa kesenian dan kebudayaan akan menyita perhatian publik dan mengundang simpati dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga dan politik yang sebelumnya ‘sempat’ lebih mendominasi.
“Berpikir lokal, bertindak global”, seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, dengan sendirinya akan menempatkan bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang urgen di dalam proses globalisasi. Bahasa menjadi media untuk menyampaikan dan memahami sebuah gagasan hasil proses berpikir. Bahasa yang ‘dekat’ dengan masyarakat Indonesia, secara lokalitas, adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir yang kemudian dilanjutkan dengan proses kreatif (pengendapan), proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.
Bahasa dan Sastra Indonesia; Sebuah Perjalanan
Sejarah perjalanan bahasa Indonesia telah melewati masa-masa progresivitas yang cukup menarik. Bahasa Indonesia berangkat dari identitas bahasa Melayu-Riau dengan masyarakat pengguna yang relatif kecil. Namun, dewasa ini mampu berkembang menjadi bahasa Indonesia dengan masyarakat pengguna yang besar, tersebar Sabang hingga Merauke. Bahasa Indonesia telah menjelma menjadi bahasa nasional dan menjadi bahasa komunikasi formal dan nonformal lintas wilayah budaya. Bahasa Indonesia yang sebelumnya berakar pada tradisi budaya Melayu-Riau ini telah sukses melakukan ‘penggusuran’ sejumlah bahasa etnik-budaya lokal seperti Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bali, Bahasa Dayak, dan sebagainya.
Bahasa Indonesia telah menempati posisi sebagai identitas dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam perkembangannya, bahasa Indonesia juga tidak bisa melepaskan diri dari gejala-gejala transformasi bahasa seperti alih kode maupun campur kode. Tercatat, beragam idiomatika dan susunan gramatikal bahasa-bahasa daerah hingga bahasa Arab, bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan lain-lain mewarnai dan memperkaya perbendaharaan Bahasa Indonesia. Perkembangan ini menampakkan perwajahan bahwa bahasa Indonesia mampu mengikuti perkembangan budaya, informasi, dan teknologi komunikasi sehingga senantiasa dibutuh-gunakan oleh masyarakat Indonesia.
Berpijak pada melemahnya hegemoni Barat dan perkembangan membanggakan Bahasa Indonesia maka Indonesia diramalkan akan mengambil alih posisi subjek-objek dalam proses globalisasi. Ke depan, perkembangan Bahasa Indonesia akan makin banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan dan peranan yang strategis dari masyarakat maupun kawasan strategis Indonesia. Diramalkan bahwa masyarakat di wilayah regional Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaisya, Thailand, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh lagi bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Tenggara menjadi perkembangan tak terelakkan yang membanggakan. Peran besar masyarakat dan kawasan Asia Tenggara ini sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan atau bahasa Melayu) modern.
Bahasa dan sastra Indonesia telah lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnik budaya Nusantara. Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan konflik tema manusia baru (manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Diawali dengan kekuatan Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi, Nuruddin Ar-Raniri, Syamsudin Asy-Samatrani, Abdur Rauf Ibn Singkli, dan lain-lain, sastra Indonesia (Melayu) menancapkan akar perkembangannya di wilayah Asia Tenggara.
Mari kita cermati tema, konflik, maupun tokoh-tokoh dalam karya sastra Indonesia. Tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih. Ataupun tokoh-tokoh yang dihadirkan Pramoedya Ananta Toer dalam roman-romannya, yang sempat membawa pulang Ramon Magsaysay Award, tokoh-tokoh tersebut sedikit lebih gentle dalam membaca perubahan ke arah dunia baru. Belum lagi tokoh-tokoh dalam kontroversial dalam genre sastra biru yang juga kontroversial, Ayu Utami, Dee, Oka Rusmini, Djenar Mahesa Ayu, dan lain-lain menghadirkan konstruksi tokoh perempuan yang lebih ‘menepuk dada’ dalam menyikapi perubahan dan masuk ke dalam tatanan dunia baru, dunia globalisme.
Sejatinya, sastra Indonesia (dan Melayu) modern adalah sastra yang mampu mengambil tempat di dalam jalan tol globalisasi. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak menemukan permasalahan dengan arus proses globalisasi. Masalahnya adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra Indonesia tersebut memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya? Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia? Sehingga Indonesia mampu melepaskan diri dari status objeknya dalam proses globalisasi, dan justru mampu mengambil posisi sebagai subjek.
Jika kita cermati gagasan-gagasan Alvin Toffler atau John Naisbitt di atas, maka bahasa dan sastra Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi bahasa (dan sastra) yang mengglobal di dunia.
Mekanisme Politik Bahasa dan Sastra
Evolusi kebudayaan Indonesia yang dilatarbelakangi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan pergeseran paradigma (mindset) tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Di masa-masa yang akan datang, Bahasa Indonesia berpotensi melebarkan status; bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin seringkali akan dihadapi. Perubahan dan penyesuaian berkaitan erat dengan pola komunikasi yang kian mengglobal dengan menggunakan teknologi yang lebih kekinian seperti email, tele-conference, friendster, facebook, dan sebagainya.
Mekanisme pembinaan dan pengembangan bahasa tidak layak lagi menjadi monopoli suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, dll. Tetapi akan sangat ditentukan oleh mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa akan kehilangan peran vital dengan vonis “bahasa Indonesia yang baik dan benar”, digantikan pola komunikasi nir kebakuan yang cenderung berpijak pada “saling pemahaman”. Indonesia sudah selayaknya meninggalkan Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif.
Politik kehidupan sastra hendaknya dikelola dengan manajemen kebangsaan yang mengacu pada globalisasi Sastra Indonesia harus lebih memasyarakat dan membumi, tidak semata bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam kuantitas dan kualitas yang besar. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pesantren, maupun perguruan tinggi seyogyanya menjadi tempat indah untuk membaca dan memahami karya-karya sastra. Pengajaran sastra hendaknya berhenti sebagai materi hafalan melainkan penempatan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran, baik moral, etika, kebangsaan, humanisme, hingga religius. Fenomena penggusuran dan pengalihfungsian sanggar Teater Sansesus di SMAN 2 Jombang baru-baru ini merupakan sebuah langkah mundur dalam proses pendidikan dan pengajaran memasyarakatkan sastra Indonesia. Kehilangan investasi ini akan menjumpai tebusan yang mahal, yaitu fenomena lebih memasyarakatnya Shakespeare, Max Gogol, Anton Chekov, dll daripada Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Rendra, Suyatna Anirun, dsb.
Di dalam proses globalisasi, Bahasa Indonesia hendaknya mampu mengambil posisi sebagai subjek perubahan, bukan objek perubahan. Bahasa dan sastra Indonesia berpotensi menjadi bahasa dan sastra yang “berbicara” di dunia.
Jika masyarakat Indonesia mampu hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia, bahasa dan sastranya seyogyanya mampu seiring-sejalan dengan arah perkembangan itu. Bahasa Indonesia harus siap menerima posisi dan peran yang lebih. Bahasa dan Sastra Indonesia harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme politik bahasa dan sastra yang “openhartig” (meminjam kosakata Idrus dalam cerpen ‘Open’), bukan bersifat defensif.
Memperkuat akar kemasyarakatan Bahasa dan Sastra Indonesia sekarang atau tidak sama sekali, karena (mungkin) telah terbunuh oleh air bah globalisasi.
*) Hanya seseorang mencintai membaca dan menulis, di tengah deras lunturnya budaya literasi. Penulis lepas dan mengabdikan diri di lembaga pendidikan, seni, dan budaya (Lembaga Baca-Tulis Indonesia).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar