Senin, 27 September 2010

Agar Sejarah Tak Kering

Philipus Parera
http://majalah.tempointeraktif.com/

“Sejak aku sadar akan hal itu, entah sejak kapan, tidak segera, dan secara samasekali tak disengaja, aku pun tak pernah lagi merayakan hari ulang tahunku. Di hari-hari seperti itu kuteringat ayah. Ingatkah, ayah, bahwa esok hari setelah ayah ditangkap, hari itu adalah kelahiran putri sulungmu?”

KUTIPAN di atas adalah bagian dari cerita Ibarruri Putri Alam, putri sulung Ketua CC Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit. Monolog itu ia tuangkan dalam manuskrip berjudul Anak Sulung DN Aidit. Autobiografi sepanjang 242 halaman kuarto itu kabarnya akan segera diterbitkan dalam bentuk buku oleh Hasta Mitra, Jakarta.

Iba, demikian ia disapa, lahir pada 23 November 1949 dari pasangan Aidit dan Sutanti. Sejak usia delapan tahun, Aidit mengirimnya ke Moskow, Rusia, untuk bersekolah. Beberapa tahun kemudian adiknya, Ilya, menyusul. Tetapi segalanya berubah setelah peristiwa G30S.

Untuk waktu yang lama, Iba tak tahu kabar ayah-ibunya. Berita di koran membingungkan, berbagai-bagai versi. Ada yang mengatakan Aidit lari dengan kapal selam ke Hong Kong. Ada yang mengabarkan Aidit sudah mati.

Hingga suatu hari, seorang utusan Partai Komunis Uni Soviet memastikan kepadanya: D.N. Aidit sudah dibunuh. Menurut koran-koran, itu terjadi pada 25 November 1965, tiga hari setelah Aidit tertangkap. Ibunya, Dokter Sutanti, masuk penjara. Ketidakpastian nasib akhirnya membawa Iba berkelana ke berbagai negeri, hingga akhirnya menetap di Paris, Prancis.

Kisah itu dituangkan Iba dalam manuskripnya dengan lancar dan memikat. Bentuk “aku” yang ia pakai membuat ceritanya menjadi akrab. Dalam naskahnya, Iba juga sempat menyelipkan kekagumannya pada Abdurrahman Wahid, yang semasa menjadi presiden pernah menemuinya di Paris.

Manuskrip ini tentu kian menambah panjang katalog kesaksian tertulis versi non-penguasa tentang peristiwa 30 September 1965. Sebetulnya, selama Soeharto berkuasa, analisis kritis tentang peristiwa kelam itu acap dilakukan, meski kebanyakan oleh orang luar.

Ben Anderson, misalnya, bersama teman-temannya di Universitas Cornell, Ithaca, New York, menulis makalah yang kemudian dikenal sebagai “Cornell Paper”, 1971. Menurut paper ini, tak ada bukti PKI terlibat langsung dalam tragedi berdarah itu. Ben justru meragukan “kebersihan” Soeharto.

Baru setelah Soeharto lengser pada 1998, upaya-upaya yang lebih “berani” di dalam negeri mulai dilakukan. Niat Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Komunisme/Marxisme/Leninisme kian menggelorakan semangat penulisan peristiwa itu. Maka, bertebaranlah cerita-cerita baru, fakta baru, dan berbagai spekulasi yang tak pernah ada sebelumnya.

Eep Saefulloh Fatah membenarkan, angin segar reformasi telah memupuk semangat merekonstruksi sejarah 1965. Umumnya itu dilakukan dengan tiga cara: membuat tulisan di media, kebanyakan oleh ahli sejarah; menerjemahkan berbagai versi penceritaan dari terbitan asing; dan penerbitan kisah-kisah para pelaku sejarah.

Modus terakhir, menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia itu, paling diminati. Alasannya, sejarah dilihat bukan hanya sebagai potret yang terpaku pada peran segelintir orang pada waktu itu, melainkan sebagai adegan dengan rentang waktu panjang dalam konteks sosial-politik yang luas.

“Buku-buku seperti itu menampilkan aspek-aspek kemanusiaan yang hilang dalam analisis sejarah yang kering,” ujar Eep pada peluncuran buku Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, Antologi Puisi, Cerpen, Esai, Curhat, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis pekan lalu.

Buku yang terbit pada era reformasi ini, antara lain, karya Ribka Tjiptaning Proletariyati, Soebandrio, dan Ilham Aidit. Buku-buku itu mendatangi pembaca, menawarkan sisi lain dari sebuah kisah yang sudah telanjur mendekam dalam ingatan masyarakat dengan corak suram.

* * *

RIBKA Tjiptaning boleh dikatakan cukup gencar menuliskan kesaksiannya. Dari tangannya telah lahir dua buku, Aku Bangga Jadi Anak PKI dan Anak PKI Masuk Parlemen. Manuskrip buku pertama sebenarnya sudah siap sejak 1997, namun tak ada penerbit yang berani mencetaknya.

Baru lima tahun kemudian, “Setelah muncul angin segar dari Presiden Abdurrahman Wahid, ada percetakan kecil yang mau menerbitkan,” ujarnya. Yang dimaksud Ribka adalah percetakan Cipta Lestari. Cetakan pertamanya, 5.000 eksemplar, habis terjual pada Oktober 2003. Kini sudah keluar cetakan keduanya, 5.000 eksemplar juga.

Aku Bangga Jadi Anak PKI boleh dibilang autobiografi Ribka. Dia anak Raden Mas Soeripto Tjondro Saputra, pengusaha kaya sekaligus aktivis PKI di Solo, Jawa Tengah. Pergolakan 1965 membikin ayahnya dikejar-kejar hingga akhirnya dijebloskan ke penjara. Nasib Ribka pun berubah.

Dari anak seorang hartawan dengan dua mobil mewah di garasi, dia menjadi “gelandangan” di Jakarta. Zaman bergerak, dan roda sejarah berputar. Kini Ribka anggota DPR RI. Adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang membawanya ke Senayan.

Ribka pun menulis buku berjudul Anak PKI Masuk Parlemen. Buku terbitan Percetakan Proletariat itu merekam sepak terjangnya sebagai anggota parlemen yang mewakili daerah pemilihan Sukabumi dan Cianjur. “Saya ingin bilang, kini ada lho anak anggota PKI di parlemen,” ujar Ketua Komisi IX DPR RI itu.

Penerbitan manuskrip yang terganjal juga dialami almarhum Soebandrio. Pernah ada sebuah penerbitan besar berniat mencetak tulisan mantan Wakil Perdana Menteri I era Soekarno itu. Manuskrip itu berjudul Kesaksianku tentang G-30-S. Rencana itu gagal akibat maraknya demonstrasi menolak buku-buku berbau komunis pada Mei 2001. Kabarnya, beberapa ribu eksemplar yang sudah dicetak pun akhirnya dibakar.

Soebandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Tinggi pada 1966. Namun, atas permintaan Ratu Elizabeth dari Inggris dan Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson, hukumannya diringankan menjadi penjara seumur hidup. Pada 1995 dia dibebaskan, dan meninggal tahun lalu pada usia 90 tahun.

Salah satu versi penting dari tulisan Soebandrio adalah bantahannya terhadap kisah sekitar penyakit yang diderita Soekarno. Menurut sejarah yang sudah baku, Soekarno saat itu sakit keras. Seorang dokter dari Cina memeriksanya dan mengambil kesimpulan: kalau tidak mati, Soekarno bakal lumpuh seumur hidup.

Situasi inilah, menurut sejarah mainstream itu, yang membuat PKI nekat melakukan coup d’etat agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan TNI Angkatan Darat. Menurut Soebandrio, yang memeriksa Presiden bukan dokter dari Cina, melainkan seorang dokter keturunan Tionghoa dari Kebayoran Baru yang dibawa Aidit. Dan Soekarno ketika itu cuma masuk angin. Soebandrio-yang juga dokter-berada di dekat Soekarno ketika dokter Tionghoa itu menjelaskan perihal masuk anginnya sang Presiden. Aidit juga tahu.

“Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin,” demikian ditulis Soebandrio dalam cuplikan manuskrip bukunya yang ditayangkan situs TokohIndonesia.com.

Buku yang paling gres adalah sebuah antologi: Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, terbitan Lembaga Sastra Pembebasan dan Penerbitan Malka. Antologi dengan editor Heri Latief dan kawan-kawan itu menghimpun berbagai tulisan karya keluarga anggota PKI maupun bukan. Tulisan Ilham Aidit (anak keempat Aidit), Iramani.id (nama samaran anak kelima Njoto), termasuk di dalamnya. Beberapa orang “di luar lingkaran” itu, antara lain, Eep Saefulloh Fatah dan sebagainya.

Ilham ingin buku itu menjadi sebuah kesaksian jujur dari keluarga PKI yang menjadi korban stigma buruk pemerintah Orde Baru. Putra keempat Aidit itu menulis saat-saat terakhirnya dengan sang ayah. “Selama ini yang selalu diingat cuma kejadian Lubang Buaya. Orang lupa bahwa peristiwa berdarah itu punya dampak yang sangat dahsyat kepada banyak orang hingga berpuluh-puluh tahun kemudian,” ujar Ilham.

Menggunakan nama samaran Iramani, anak kelima Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, menyumbang tulisan berjudul Kodim, 1966. Iramani-juga nama pena Njoto semasa hidupnya-mengenang masa ketika dia, ibunya, dan saudara-saudarinya ditahan di kodim. Setiap kali mereka bertanya soal ayah, ibu selalu menjawab: “Bapak sedang pergi jauh, jauuuh sekali! Ke luar negeri,” Dan mereka gembira, berharap ayah pulang membawa banyak cokelat.

Upaya menyuguhkan versi alternatif dari sejarah yang berderak pada 1965 itu adalah tulisan Murad Aidit. Paman Ilham Aidit itu menulis buku berjudul Aidit Sang Legenda. Bukunya diluncurkan di Teater Utan Kayu, Jakarta, Sabtu pekan lalu. “Orang terus-menerus menuduh dia sebagai dalang peristiwa 30 September. Saya tahu dia tak terlibat. Sebagai adik, saya punya kewajiban meluruskan ini,” ujar Murad tentang buku yang ditulisnya sejak dua tahun lalu itu.

Bagi Murad, Aidit adalah pahlawan. “Dan dia adalah legenda. Karena, kalau tidak, bagaimana dia bisa menjadi pimpinan sebuah partai besar dalam usia yang sangat muda, 24 tahun?” ujarnya.

* * *

JAUH di Paris, Ibarruri menjelaskan tujuannya menulis autobiografi. “Aku hanya ingin menumplekkan jeritan hatiku, darah dan tangisku, menyampaikan renungan-renungan serta senyumku padamu, pembaca. Aku ingin berbicara lirih, lirih sekali, membuka hatiku serta mengetuk hatimu untuk berbicara dari hati ke hati, sebagai manusia dengan manusia,” demikian ia menulis di akhir manuskrip.

Berbicara lirih. Ya, cuma itu yang ingin ia lakukan setelah menempuh setengah bumi dalam pelarian: dari Soviet ke Cina, Birma, lalu ke Makao, hingga berakhir di Orly, sebuah daerah di bagian selatan Paris. Bersama almarhum suaminya, Budiman Sudarsono (mantan Ketua Umum Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), yang juga “terusir” setelah peristiwa 30 September, dia menetap di Paris sejak 1981.

Pemerintah Prancis sejatinya membolehkan mereka mengajukan permohonan kewarganegaraan. Namun, Budiman menolak: mereka tak pernah merasa menjadi anak bangsa lain.

Majalah ini beberapa kali menghubungi nomor telepon Iba di Paris, namun cuma direspons mesin penjawab. Kabarnya, dia tengah berlibur ke Jerman. Menurut Ilham, kakaknya itu menulis autobiografi sejak empat tahun lalu. “Ada banyak permenungan dalam bukunya. Dia bertambah matang setelah mulai mendalami Buddha,” ujarnya.

Iba dan Budiman pernah mengajukan permohonan normalisasi melalui Kedutaan Besar Indonesia di Paris agar bisa mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Karena tak ada tanggapan, kerinduan untuk kembali ke pangkuan Pertiwi kini ia kubur dalam-dalam.

Mei lalu, Iba akhirnya “bisa” pulang, menginjakkan kakinya di Jakarta. Itulah kunjungan pertamanya setelah 40 tahun. Terakhir dia pulang saat liburan sekolah pada Mei 1965. Bedanya, kali ini janda tanpa anak itu cuma datang sebagai tamu: orang asing yang mengantongi paspor Prancis.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir