Philipus Parera
http://majalah.tempointeraktif.com/
“Sejak aku sadar akan hal itu, entah sejak kapan, tidak segera, dan secara samasekali tak disengaja, aku pun tak pernah lagi merayakan hari ulang tahunku. Di hari-hari seperti itu kuteringat ayah. Ingatkah, ayah, bahwa esok hari setelah ayah ditangkap, hari itu adalah kelahiran putri sulungmu?”
KUTIPAN di atas adalah bagian dari cerita Ibarruri Putri Alam, putri sulung Ketua CC Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit. Monolog itu ia tuangkan dalam manuskrip berjudul Anak Sulung DN Aidit. Autobiografi sepanjang 242 halaman kuarto itu kabarnya akan segera diterbitkan dalam bentuk buku oleh Hasta Mitra, Jakarta.
Iba, demikian ia disapa, lahir pada 23 November 1949 dari pasangan Aidit dan Sutanti. Sejak usia delapan tahun, Aidit mengirimnya ke Moskow, Rusia, untuk bersekolah. Beberapa tahun kemudian adiknya, Ilya, menyusul. Tetapi segalanya berubah setelah peristiwa G30S.
Untuk waktu yang lama, Iba tak tahu kabar ayah-ibunya. Berita di koran membingungkan, berbagai-bagai versi. Ada yang mengatakan Aidit lari dengan kapal selam ke Hong Kong. Ada yang mengabarkan Aidit sudah mati.
Hingga suatu hari, seorang utusan Partai Komunis Uni Soviet memastikan kepadanya: D.N. Aidit sudah dibunuh. Menurut koran-koran, itu terjadi pada 25 November 1965, tiga hari setelah Aidit tertangkap. Ibunya, Dokter Sutanti, masuk penjara. Ketidakpastian nasib akhirnya membawa Iba berkelana ke berbagai negeri, hingga akhirnya menetap di Paris, Prancis.
Kisah itu dituangkan Iba dalam manuskripnya dengan lancar dan memikat. Bentuk “aku” yang ia pakai membuat ceritanya menjadi akrab. Dalam naskahnya, Iba juga sempat menyelipkan kekagumannya pada Abdurrahman Wahid, yang semasa menjadi presiden pernah menemuinya di Paris.
Manuskrip ini tentu kian menambah panjang katalog kesaksian tertulis versi non-penguasa tentang peristiwa 30 September 1965. Sebetulnya, selama Soeharto berkuasa, analisis kritis tentang peristiwa kelam itu acap dilakukan, meski kebanyakan oleh orang luar.
Ben Anderson, misalnya, bersama teman-temannya di Universitas Cornell, Ithaca, New York, menulis makalah yang kemudian dikenal sebagai “Cornell Paper”, 1971. Menurut paper ini, tak ada bukti PKI terlibat langsung dalam tragedi berdarah itu. Ben justru meragukan “kebersihan” Soeharto.
Baru setelah Soeharto lengser pada 1998, upaya-upaya yang lebih “berani” di dalam negeri mulai dilakukan. Niat Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Komunisme/Marxisme/Leninisme kian menggelorakan semangat penulisan peristiwa itu. Maka, bertebaranlah cerita-cerita baru, fakta baru, dan berbagai spekulasi yang tak pernah ada sebelumnya.
Eep Saefulloh Fatah membenarkan, angin segar reformasi telah memupuk semangat merekonstruksi sejarah 1965. Umumnya itu dilakukan dengan tiga cara: membuat tulisan di media, kebanyakan oleh ahli sejarah; menerjemahkan berbagai versi penceritaan dari terbitan asing; dan penerbitan kisah-kisah para pelaku sejarah.
Modus terakhir, menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia itu, paling diminati. Alasannya, sejarah dilihat bukan hanya sebagai potret yang terpaku pada peran segelintir orang pada waktu itu, melainkan sebagai adegan dengan rentang waktu panjang dalam konteks sosial-politik yang luas.
“Buku-buku seperti itu menampilkan aspek-aspek kemanusiaan yang hilang dalam analisis sejarah yang kering,” ujar Eep pada peluncuran buku Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, Antologi Puisi, Cerpen, Esai, Curhat, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Buku yang terbit pada era reformasi ini, antara lain, karya Ribka Tjiptaning Proletariyati, Soebandrio, dan Ilham Aidit. Buku-buku itu mendatangi pembaca, menawarkan sisi lain dari sebuah kisah yang sudah telanjur mendekam dalam ingatan masyarakat dengan corak suram.
* * *
RIBKA Tjiptaning boleh dikatakan cukup gencar menuliskan kesaksiannya. Dari tangannya telah lahir dua buku, Aku Bangga Jadi Anak PKI dan Anak PKI Masuk Parlemen. Manuskrip buku pertama sebenarnya sudah siap sejak 1997, namun tak ada penerbit yang berani mencetaknya.
Baru lima tahun kemudian, “Setelah muncul angin segar dari Presiden Abdurrahman Wahid, ada percetakan kecil yang mau menerbitkan,” ujarnya. Yang dimaksud Ribka adalah percetakan Cipta Lestari. Cetakan pertamanya, 5.000 eksemplar, habis terjual pada Oktober 2003. Kini sudah keluar cetakan keduanya, 5.000 eksemplar juga.
Aku Bangga Jadi Anak PKI boleh dibilang autobiografi Ribka. Dia anak Raden Mas Soeripto Tjondro Saputra, pengusaha kaya sekaligus aktivis PKI di Solo, Jawa Tengah. Pergolakan 1965 membikin ayahnya dikejar-kejar hingga akhirnya dijebloskan ke penjara. Nasib Ribka pun berubah.
Dari anak seorang hartawan dengan dua mobil mewah di garasi, dia menjadi “gelandangan” di Jakarta. Zaman bergerak, dan roda sejarah berputar. Kini Ribka anggota DPR RI. Adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang membawanya ke Senayan.
Ribka pun menulis buku berjudul Anak PKI Masuk Parlemen. Buku terbitan Percetakan Proletariat itu merekam sepak terjangnya sebagai anggota parlemen yang mewakili daerah pemilihan Sukabumi dan Cianjur. “Saya ingin bilang, kini ada lho anak anggota PKI di parlemen,” ujar Ketua Komisi IX DPR RI itu.
Penerbitan manuskrip yang terganjal juga dialami almarhum Soebandrio. Pernah ada sebuah penerbitan besar berniat mencetak tulisan mantan Wakil Perdana Menteri I era Soekarno itu. Manuskrip itu berjudul Kesaksianku tentang G-30-S. Rencana itu gagal akibat maraknya demonstrasi menolak buku-buku berbau komunis pada Mei 2001. Kabarnya, beberapa ribu eksemplar yang sudah dicetak pun akhirnya dibakar.
Soebandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Tinggi pada 1966. Namun, atas permintaan Ratu Elizabeth dari Inggris dan Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson, hukumannya diringankan menjadi penjara seumur hidup. Pada 1995 dia dibebaskan, dan meninggal tahun lalu pada usia 90 tahun.
Salah satu versi penting dari tulisan Soebandrio adalah bantahannya terhadap kisah sekitar penyakit yang diderita Soekarno. Menurut sejarah yang sudah baku, Soekarno saat itu sakit keras. Seorang dokter dari Cina memeriksanya dan mengambil kesimpulan: kalau tidak mati, Soekarno bakal lumpuh seumur hidup.
Situasi inilah, menurut sejarah mainstream itu, yang membuat PKI nekat melakukan coup d’etat agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan TNI Angkatan Darat. Menurut Soebandrio, yang memeriksa Presiden bukan dokter dari Cina, melainkan seorang dokter keturunan Tionghoa dari Kebayoran Baru yang dibawa Aidit. Dan Soekarno ketika itu cuma masuk angin. Soebandrio-yang juga dokter-berada di dekat Soekarno ketika dokter Tionghoa itu menjelaskan perihal masuk anginnya sang Presiden. Aidit juga tahu.
“Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin,” demikian ditulis Soebandrio dalam cuplikan manuskrip bukunya yang ditayangkan situs TokohIndonesia.com.
Buku yang paling gres adalah sebuah antologi: Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, terbitan Lembaga Sastra Pembebasan dan Penerbitan Malka. Antologi dengan editor Heri Latief dan kawan-kawan itu menghimpun berbagai tulisan karya keluarga anggota PKI maupun bukan. Tulisan Ilham Aidit (anak keempat Aidit), Iramani.id (nama samaran anak kelima Njoto), termasuk di dalamnya. Beberapa orang “di luar lingkaran” itu, antara lain, Eep Saefulloh Fatah dan sebagainya.
Ilham ingin buku itu menjadi sebuah kesaksian jujur dari keluarga PKI yang menjadi korban stigma buruk pemerintah Orde Baru. Putra keempat Aidit itu menulis saat-saat terakhirnya dengan sang ayah. “Selama ini yang selalu diingat cuma kejadian Lubang Buaya. Orang lupa bahwa peristiwa berdarah itu punya dampak yang sangat dahsyat kepada banyak orang hingga berpuluh-puluh tahun kemudian,” ujar Ilham.
Menggunakan nama samaran Iramani, anak kelima Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, menyumbang tulisan berjudul Kodim, 1966. Iramani-juga nama pena Njoto semasa hidupnya-mengenang masa ketika dia, ibunya, dan saudara-saudarinya ditahan di kodim. Setiap kali mereka bertanya soal ayah, ibu selalu menjawab: “Bapak sedang pergi jauh, jauuuh sekali! Ke luar negeri,” Dan mereka gembira, berharap ayah pulang membawa banyak cokelat.
Upaya menyuguhkan versi alternatif dari sejarah yang berderak pada 1965 itu adalah tulisan Murad Aidit. Paman Ilham Aidit itu menulis buku berjudul Aidit Sang Legenda. Bukunya diluncurkan di Teater Utan Kayu, Jakarta, Sabtu pekan lalu. “Orang terus-menerus menuduh dia sebagai dalang peristiwa 30 September. Saya tahu dia tak terlibat. Sebagai adik, saya punya kewajiban meluruskan ini,” ujar Murad tentang buku yang ditulisnya sejak dua tahun lalu itu.
Bagi Murad, Aidit adalah pahlawan. “Dan dia adalah legenda. Karena, kalau tidak, bagaimana dia bisa menjadi pimpinan sebuah partai besar dalam usia yang sangat muda, 24 tahun?” ujarnya.
* * *
JAUH di Paris, Ibarruri menjelaskan tujuannya menulis autobiografi. “Aku hanya ingin menumplekkan jeritan hatiku, darah dan tangisku, menyampaikan renungan-renungan serta senyumku padamu, pembaca. Aku ingin berbicara lirih, lirih sekali, membuka hatiku serta mengetuk hatimu untuk berbicara dari hati ke hati, sebagai manusia dengan manusia,” demikian ia menulis di akhir manuskrip.
Berbicara lirih. Ya, cuma itu yang ingin ia lakukan setelah menempuh setengah bumi dalam pelarian: dari Soviet ke Cina, Birma, lalu ke Makao, hingga berakhir di Orly, sebuah daerah di bagian selatan Paris. Bersama almarhum suaminya, Budiman Sudarsono (mantan Ketua Umum Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), yang juga “terusir” setelah peristiwa 30 September, dia menetap di Paris sejak 1981.
Pemerintah Prancis sejatinya membolehkan mereka mengajukan permohonan kewarganegaraan. Namun, Budiman menolak: mereka tak pernah merasa menjadi anak bangsa lain.
Majalah ini beberapa kali menghubungi nomor telepon Iba di Paris, namun cuma direspons mesin penjawab. Kabarnya, dia tengah berlibur ke Jerman. Menurut Ilham, kakaknya itu menulis autobiografi sejak empat tahun lalu. “Ada banyak permenungan dalam bukunya. Dia bertambah matang setelah mulai mendalami Buddha,” ujarnya.
Iba dan Budiman pernah mengajukan permohonan normalisasi melalui Kedutaan Besar Indonesia di Paris agar bisa mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Karena tak ada tanggapan, kerinduan untuk kembali ke pangkuan Pertiwi kini ia kubur dalam-dalam.
Mei lalu, Iba akhirnya “bisa” pulang, menginjakkan kakinya di Jakarta. Itulah kunjungan pertamanya setelah 40 tahun. Terakhir dia pulang saat liburan sekolah pada Mei 1965. Bedanya, kali ini janda tanpa anak itu cuma datang sebagai tamu: orang asing yang mengantongi paspor Prancis.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar