Minggu, 04 Juli 2010

PUISI DESKRIPTIF MARDI LUHUNG*

Beni Setia
http://www.sastra-indonesia.com/

SUDAH sejak lama orang berpikiran, kalau membuat puisi itu hanya bermain kata-kata, membuat penggalan-penggalan kalimat dengan rentetan (keberadaan) kata-katanya itu sengaja dihadirkan dan diikat oleh semacam hukum permainan bunyi yang diulang-ulang, persanjakan. Acuan sederhana kreasi yang melahirkan banjir produksi, dan melahir sinisme tentang ujud kepenyairan yang terkesan melulu menginpetarisasi orang nyinyir yang suka mrepet kelewat cinta persanjakan–persamaan bunyi vokal di antara sederet konsonan yang tak berharga–, yang obsesif mengutamakan keberadaan tenun-berkait persanjakan tanpa ambekan menghadirkan hal yang riil dan bermakna, yang misterium dan menggetarkan–seperti yang dengan gagah digagas oleh seorang Sutardji Calzoum Bachri pada dekade 1970-an, dan dianggap terobosan estetik luar biasa. Tapi obsesi akan makna, dan terutama mantra itu, dalam ujud puisi yang ingin menghadirkan yang mesterium dan menggetarkan itu, dan yang kemudian dikurung dalam bangunan serangkai kata-kata bersanjak itu, telah lama terlupakan. Bukan sia-sia, tapi ternyata di dunia ini tak terlalu banyak hal atau eksistensi yang misterium dan menggetarkan yang selalu tersedia, bersedia dan bisa dijaring dengan perangkat kata-kata bersanjak.

Di luar itu banyak orang yang cuma nyinyir berceloteh setengah mabuk dalam riang berkumpul bersama kawan di masa SMP atau SMA dahulu, atau dalam reuni dengan kawan lama sambil menenggak bir dan makan kacang, sambil mengenangkan aneka peristiwa yang hanya dikenal sebagai rahasia di antara mereka, lantas mengigau tentang rutin kini dalam kalimat bersanjak: tiap hari lari pagi sambil cari nasi kari dari panci plastik lilak, sambil minta air sari sapi–nanti nadi jadi api bagi air mandi. (Versi yang lebih nakal, dingin-dingin nyi ii pipis di pipir di sisi tritis diintip kiciwis bikin miris wiiss wiiss wiiss nyi ii ngibrit, yang penuh vocal i ini, misalnya). Sebuah persanjakan sempurna, sebuah pengulangan bunyi vocal ai ai ia ai minimalis yang sempurna. Dan yang datang dari pergulatan improvisasi bunyi itu di benak kita hanya semacam pengalaman samar–yang amat sangat tidak penting karena yang diutamakan dan diburu cuma monotoni ritmis persanjakan ai ai ia ai atau i i i. Dan menyebabkan puisi itu tiba-tiba jadi teramat menjemukan–hanya sederetan kata-kata artifisial yang selesai sebagai bunyi meski menyarankan adanya satu kejadian samar. Dan karenanya
orang lari kepada simbol, pada konstelasi: yang ditampilkan dan mengemuka itu lebih mengisyaratkan keberadaannya sesuatu yang dengan sengaja disembunyikan dan jadi rujukan dari yang tampak atau diperkatakan–karenanya harus dicari dalam apresiasi, dengan apresiator terlatih yang banyak membaca puisi.

Orang membawa bunga bagi pacar untuk menyatakan cinta karena yang dibawa itu bukan bunga ansich tapi sesuatu yang ada di balik laku kikuk dan debaran jantung yang membuat yang membawa bunga tersipu.Tidak heran kalau di khazanah sastra klasik, bahkan sastra mistik sufistik, ada wacana tentang si anak muda yang gandrung dan mencari mawar merah di musim dingin, usaha yang tak sia-sia karena ada rumpun mawar mengusahakan sekuntum bunga mekar, yang baru bisa menjadi merah ketika seekor burung bulbul menekankan dadanya ke onak mawar dan memuncratkan merah darah pada mawar pucat yang mekar di lain wayah itu. Sebuah upaya meneguhkan simbol yang menuntut serangkaian pengkhianatan sunatullah–mawar mekar di luar ketentuan alam–dan pengingkaran garis sunatullah–bunuh diri bulbul agar darahnya memerahkan mawar cinta membara–, ikhtiar yang percuma karena hasilnya ternyata mengecewakan–kita tahu, di akhir cerita itu: si gadis lebih memilih pergi dengan si pria kaya yang datang naik kereta kuda dan sengaja mencampakkan mawar merah artifisial yang mengada mengingkari sunatullah.

DAN kita pantas mencatat: alangkah rumit dan amat artifisialnya upaya mencari simbol yang tepat. Dan di luar konteks alam dongengan romantis tentang gairah untuk mengungkapkan rindu yang bisa menyebabkan alam tergerak ikut menyempurnakan cinta–meski tetap saja kita harus mencari cinta sejati yang tidak bersipat duniawi–itu, terhampar hukum kreativitas yang berbunyi: betapa rumit-sulitnya upaya si penyair untuk memastikan yang ingin diungkapkan, dengan serentetan diskursus agar benar-benar pasti dengan apa yang ingin diungkapkan, dan (sekaligus) betapa lebih sulit lagi upayanya mencari kata, ungkapan, idiom, diksi atau imaji yang dengan sangat tepat merepresentasikan apa-apa yang ingin disampaikan–dalam sebuah simbol yang pas-orsinil. Sementara kaum pemuja simbol itu terkadang menuntut agar setiap puisi dan penyair tidak lagi memakai simbol yang klise, yang arkhaik. Jangan lagi memadukan keberadaan cinta dengan bunga, keberadaan yang suci dengan putih, keberadaan api semangat dengan merah, dan seterusnya dan sebagainya. Sekaligus juga menuntut agar kaitan antara teks yang berkomunikasi dengan tanda dan yang dikomunikasaikan –sebagai yang ditandai di latar belakang itu–tidak terlalu bias atau sama sekali tidak bersinggungan. Hindari yang gelap tak ada rambu petunjuk ke yang dirujuknya–kata TS Elliot, harus dicarikan keseimbangan referensial dalam bentuk menyaran objective correlation. Tapi kini, selain jenuh dengan idiom yang klise dan arkhaik, orang juga bisa teramat muak dengan puisi yang gelap membungkam–dengan puisi subyektif.

Karena itu puisi mulai meloncat dari persanjakan, meloncat dari patokan baris dan bait, meloncat dari romantisme berbicara tersirat penuh intonasi demi penekanan simbolistik–dan malahan agresif meloncat dan melarikan diri dari seluruh kewajiban berpuisi yang baku membelenggu. Kini puisi bisa berada di wilayah prosa yang penuh teks deskriptif atau nalar argumentatif, kini puisi bebas bergulat dengan yang faktual berupa benda-benda riil keseharian dan kejadian-kejadian naif sebagaimana adanya, dan karena itu puisi hanya menyapa sebagai kilas aphorisma yang sugestif penuh rasa –dan mungkin malah sebagai teks sengkarut dari kegemparan senewen dibombardir benda keseharian dan peristiwa sebagaimana adanya. Dan bukan tidak mungkin puisi liar memasuki permainan logika dari kelincahan meloncat dari hal-hal riil terhampar ke yang instinktif dilentikkan alam bawah sadar si penyair, ke teks yang hadir terbaca sebagai pengalaman yang lain di buku dan pengalaman pribadi, ke teks yang cuma ada menyapa sebagai yang diperkatakan orang tanpa sempat diverifikasi, ke fantasi agresif yang dibebaskan penyair agar mengelana dan meluruhkan setiap liuk imajinasi yang mungkin ada, dan ke entah apa lagi. Sebuah teks yang dipenuhi jejak loncatan di segala hal yang mungkin dan tak mungkin, teks yang merangkum (baca: diedit secara imajinatif) sederetan pengalaman dari melakoni apa saja yang mungkin dibayangkan–yang keseluruhannya utuh terfokus sebagai satu petualangan mungkin.

Puisi Mardiluhung bermain di wilayah itu. Tak ada persanjakan, tak ada simbol, tak ada bait dan baris, serta bahasa puisi baku gaya lama. Yang ada hanyalah kalimat bersih yang benar secara tata bahasa, dan karenanya menghadirkan pengalaman yang merangkum bentuk-bentuk kejadian berbeda tapi berkonteks sama, atau berdimensi lain tapi asosiatif, atau cuma semacam pembayangan yang bablas menembus sederet peristiwa fantastik–,yang relatif akan disimpulkan sama di antara diri si penyair dan si bakal apresiator puisinya. Dan bersama dengan fantasi liar itu, yang terkendali dan memokus itu, kita–yang mengapresiasi puisi– ditarik, didorong dan dijerunukkannya ke serentetan pengalaman dan fantasi subyektif; dan malah diloncatkannya ke deretan pengalaman dan fantasi yang berlainan, yang berserakan, terpisah dan berbeda dalam ukuran ruang, dimensi waktu, urutan kejadian, dan potensi mungkinnya. Diterbangkan dan terhumbalang, tanpa peduli kalau bekal kejadian kesejarahan yang telah dialami kita (sebagai apresiator) teramat berbeda dengan bekal kejadian kesejarahan subyektif yang dialaminya, tanpa peduli kalau corak fantasi subyektif yang dikembangkan kita teramat berbeda dengan fantasi subyektif yang dikembangkannya–secara kodrati kita memang menghuni ruang semu kejadian kesejarahan dan fantasi berbeda. Tapi semua keterpisahan dan keterpenggalan itu, semua jarak dan handikap keberagaman yang jelas-jelas berbeda itu, jadi hilang oleh pukau menjajarkannya, oleh sihir meng-kolase kejadian kesejarahan siapa saja, yang terbaca atau cuma didengar. Kita dihipnotis oleh fantasi berpuisi, yang meloncatkan rasa penasaran dan instink berimajinasi kita hingga mandah mengikuti jurus berimajinasinya yang liar dan memikat–seperti tikus disihir seruling dunia dongeng itu–, dan melebur dalam gerak spiral yang melentikkan hal-hal baru yang mencengangkan, dan di akhir pembacaan puisi kita lega karena dalam teks itu memang ada sesuatu yang ingin diungkapkan dengan bantuan puzzle aneka pengalaman dan fantasi. Segala yang cuma mirip, berdekatan, tak sekonteks dan tak selevel yang telah disetel supaya memiliki riak asosiasif yang seirama dalam kesatuan teks–dibimbing oleh kepekaan buat menyatukannya dalam satu konteks pengalaman, dalam satu kejadian, sehingga semuanya membayang sebagai silhuet sugestif.

DAN itu, saya pikir, bermakna: ada yang ingin diungkapkan dan mencari bentuk ungkapan, karenanya puisi ditulis dengan kontrol disiplin ilmu komunikasi yang amat ketat. Dengan mengukur apa yang ingin diungkapkan, bagaimana mengungkapkannya, dan apa kesimpulan yang nanti diambil oleh yang membaca puisi akan identik dengan apa yang ingin disampaikan oleh penyair. Sebuah usaha rasional yang mengandaikan adanya bacaan, pengalaman dan fantasi yang harus diinpentaris dan ditumpuk dalam CPU ingatan sadar, atau yang mengendap di alam bawah sadar, yang akan jadi rambu petunjuk ketika semua itu dijajarkan karena valensinya sederajat, jadi yang ”identik” dan akan bisa mengarahkan ke yang di sana itu. Meski yang tampak nyata dilakukan itu cuma cermat mengumpulkan segala berita, pengalaman orang, mitos, dongengan, cerita oral angker dan aheng dan seterusnya dari bacaan atau pertukaran lisan, dan membiarkannya mengendap sebagai khazanah oral. Dan kecenderungan menerakan yang lisan pada Mardi Luhung teramat kuat, ambillah diksi zik-zak yang tidak baku dan bukannya zig-zag (puisi ”Perempuan Nila”), atau realitas arwah penasaran yang akan kembali jadi manusia bila kepalanya dipantek–meski lebih berlaku bagi kuntilanak,. dan bukan arwah lelaki anonim yang ingin dijadikan lelaki utuh oleh perempuan nila–, misalnya. Atau sederet teks dongeng oral dan cerita lisan lokal yang dikumpulkan dan tetap dibiarkan sebagai teks oral yang bertenun-berkait jadi satu, serangkai peristiwa yang merujuk pada pernah ada sesuatu yang terjadi di tempat itu dan dituturkan turun-temurun oleh sangat banyak orang di tempat itu–lihat puisi ”Pacinan”, ”Kastoba” dan ”Buwun”, misalnya.

Sebuah metoda pencatatan dan pengawetan folklor, legenda, mitos dan cerita lisan yang aneh. Di lain kali bercerita tentang pengalaman pribadi yang mengerikan ketika ia naik perahu dan tumbang mabuk laut karena tak terbiasa naik kapal kecil di laut sekitar Pulau Bawean yang sejak lama dikenal selalu menggejolak dalam puisi ”Pembuangan”–yang gamblang diceritakan dalam Kata Pengantar untuk kumpulan puisi Buwun ini, ”Buwun: Bawean yang ke Arahku (Pulau yang Bergandul Potongan Kuping)”. Sebuah teks yang dengan jujur menunjukkan proses kreatif (Mardi Luhung) menuliskan puisi-puisi yang terkumpul dalam Bawun ini, yakni dengan pasif berbiar mengalami apa saja, dengan peka tanpa prasangka serupa kuping di pohon atau di hiasan sepatu yang mendengar apa saja, dengan telaten fenomenologik mencatat apa pun, dan dengan membebaskan fantasi spontan tumbuh dan menerbangkan ke mana-mana–sampai semua reda, perlahan mengendap, dan jadi yang spontan minta ditulis-kongkritkan. Satu kesadaran yang mengatakan bukannya penyair yang mendatangi Pulau Bawean tapi justru Pulau Bawean dengan segala sejarah lisan, dongengan oral, dan liar fantasi naifnya — Grand Funk (Railroad) nama band rock Amerika jadi nama group dangdut, meski grand funk dalam khazanah lagu dangdut identik dengan pereks, misalnya–itu yang mendatangi penyair, mengharu biru dan menterornya. Dan puisi

”Kampung Kuning”, misalnya, mencatat serta menunjukkan metoda dan pola proses kreatif Mardiluhung dengan gamblang. Yang dimulai dengan momen ketika si penyair kehabisan bahan sehingga ia cuma bisa berhenti menulis, melupakan apa pun (semua) yang ingin ditulis, dengan pergi bermain dan mengeluyur ke mana saja dan bertemu dengan apa dan siapa saja, hingga kepala terbebas dari ambisi menuliskan ini dan itu. Dan saat ia tiba pada situasi dibebaskan secara fenomenologik dari beban ingin nulis puisi atau pola lakon subyektif ini-itu, maka (kini) diri tranced dipenuhi (lagi) dengan fantasi yang bermula dari pengalaman yang dilakoni orang lain dan hanya didengarlan ceritanya, bisa mulai menuliskan yang harus dikabarkan itu sebagai saksi tak langsung tapi merasa benar-benar menyaksikan–atau cuma si penutur yang berimprovisasi dan membuat distorsi cerita.

Terminologi sang penyaksi, yang ikut menyaksikan dari kejauhan, dari dimensi lain tanpa keinginan mengganggu garis cerita yang telah terjadi dan diguratkan takdir, seperti yang dinyatakannya dalam puisi ”Buwun” itu tampaknya merupakan hal yang amat penting bagi penyair. Sangat utama meski terkadang tuntutan itu hanya jadi yang tersirat seperti yang diperlihatkan dan terlihat dalam puisi ”Pulau”, ”Kubur Panjang” atau ”Pembuangan”–dan kita tidak tahu, apakah hal itu disebabkan fakta ia peranakan yang separuh Tiong-hoa dan separuh Jawa, karenanya tak bisa rasuk ke wilayah bapak serta tidak bebas memasuki wilayah ibu, dan dipersulit oleh kenyataan ia memilih jadi muallaf. Dan ada catatan penting yang dengan sadar ditambahkannya tentang segala sesuatu yang tak sesuai skenario dan bablas mengingkari garis wajar dan kepastian kodrat, ”[S]elalu saja letusan yang tak lumrah itu lahir belakangan”, katanya dalam puisi ”Kuduk-Kuduk”. Karena itu siapa saja yang menyembunyikan rahasia selingkuh, menyimpan kenangan cinta sesaat di pesisir, pulau lain atau pelabuhan itu harus diusir dari rumah (puisi ”Orang Gunung”), akan kehilangan segalanya sehingga hanya bisa datang ke rumah sebagai orang asing atau semacam arwah penasaran (puisi ”Takziah” atau ”Perempuan Nila”) yang tidak lagi merasakan nikmat surga rumah tangga berupa dirawat dan disegarkan kasih (puisi ”Ketam”). Kenapa begitu? Bila mengikuti logika konteks kumpulan puisi Buwun ini, yang merupakan sekumpulan puisi yang lahir dari pengalaman berbiar menyerap suasana sosial-budaya–dan cerita-cerita lisan–di Pulau Bawean, itu karena ia telah dirasuki sihir lokasi. Semacam kesadaran kalau tempat itu merupakan pulau kaum perempuan, dengan para lelaki yang selalu melaut berbulan, para lelaki yang selalu mengembara menjadi TKI di negeri asing, dan para lelaki yang pulang agar segera pergi lagi, sehingga semua lelaki itu selalu diikat oleh kutukan dan pengharapan para istri, supaya selalu bersetia dan teringat kepada yang ditinggalkan. Bila tidak? Ada gunting yang menanti mereka–gunting yang akan selalu memburu ke mana pergi. ”Gundulmu, ta putul manukmu!”, kalau mengikuti ungkapan Surabayaan.

DALAM beberapa segi Mardi Luhung, sebagai si penyair yang menulis puisi-puisi yang mendeskripsikan serentetan peristiwa, dongeng, kejadian. mitos, fantasi dan aneka teks subyektif telah berhasil mengajak dan bahkan menelikung kita untuk–suka atau tak suka–ikut-ikutan melambung dan dilambungkan ke dalam angan-angan. Untuk ikut tersenyum tercerahkan disentakkan oleh teks-teks yang mendeskripskani cerita, kejadian, dongeng, mitos, fantasi dan teks apa saja yang kemunculannya dalam mozaik puisi menyegarkan karena tak terbayangkan, dan saat mendadak tiba di ujung puisi kita serta merta menemukan tenunan yang mungkin bisa dianggap cerita pendek atau memang puisi seperti keyakinan penyair–menemukan sugesti akan keberadaan semacam kejadian yang samar terfokus. Ini sebuah panorama peristiwa dan fantasia yang dalam beberapa hal mirip sekumpulan kata-kata yang berderet dan bergabung karena mempunyai persamaan, kesederajatan atau kesamaan valensi di dalam bunyi yang melulu persanjakan ai ai ai ia ai atau i i i i seperti yang disinggung dalam puisi nyinyir di atas.***

*) Penutup BUWUN, kumpulan puisi Mardi Luhung, diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir