Beni Setia
http://www.sastra-indonesia.com/
SUDAH sejak lama orang berpikiran, kalau membuat puisi itu hanya bermain kata-kata, membuat penggalan-penggalan kalimat dengan rentetan (keberadaan) kata-katanya itu sengaja dihadirkan dan diikat oleh semacam hukum permainan bunyi yang diulang-ulang, persanjakan. Acuan sederhana kreasi yang melahirkan banjir produksi, dan melahir sinisme tentang ujud kepenyairan yang terkesan melulu menginpetarisasi orang nyinyir yang suka mrepet kelewat cinta persanjakan–persamaan bunyi vokal di antara sederet konsonan yang tak berharga–, yang obsesif mengutamakan keberadaan tenun-berkait persanjakan tanpa ambekan menghadirkan hal yang riil dan bermakna, yang misterium dan menggetarkan–seperti yang dengan gagah digagas oleh seorang Sutardji Calzoum Bachri pada dekade 1970-an, dan dianggap terobosan estetik luar biasa. Tapi obsesi akan makna, dan terutama mantra itu, dalam ujud puisi yang ingin menghadirkan yang mesterium dan menggetarkan itu, dan yang kemudian dikurung dalam bangunan serangkai kata-kata bersanjak itu, telah lama terlupakan. Bukan sia-sia, tapi ternyata di dunia ini tak terlalu banyak hal atau eksistensi yang misterium dan menggetarkan yang selalu tersedia, bersedia dan bisa dijaring dengan perangkat kata-kata bersanjak.
Di luar itu banyak orang yang cuma nyinyir berceloteh setengah mabuk dalam riang berkumpul bersama kawan di masa SMP atau SMA dahulu, atau dalam reuni dengan kawan lama sambil menenggak bir dan makan kacang, sambil mengenangkan aneka peristiwa yang hanya dikenal sebagai rahasia di antara mereka, lantas mengigau tentang rutin kini dalam kalimat bersanjak: tiap hari lari pagi sambil cari nasi kari dari panci plastik lilak, sambil minta air sari sapi–nanti nadi jadi api bagi air mandi. (Versi yang lebih nakal, dingin-dingin nyi ii pipis di pipir di sisi tritis diintip kiciwis bikin miris wiiss wiiss wiiss nyi ii ngibrit, yang penuh vocal i ini, misalnya). Sebuah persanjakan sempurna, sebuah pengulangan bunyi vocal ai ai ia ai minimalis yang sempurna. Dan yang datang dari pergulatan improvisasi bunyi itu di benak kita hanya semacam pengalaman samar–yang amat sangat tidak penting karena yang diutamakan dan diburu cuma monotoni ritmis persanjakan ai ai ia ai atau i i i. Dan menyebabkan puisi itu tiba-tiba jadi teramat menjemukan–hanya sederetan kata-kata artifisial yang selesai sebagai bunyi meski menyarankan adanya satu kejadian samar. Dan karenanya
orang lari kepada simbol, pada konstelasi: yang ditampilkan dan mengemuka itu lebih mengisyaratkan keberadaannya sesuatu yang dengan sengaja disembunyikan dan jadi rujukan dari yang tampak atau diperkatakan–karenanya harus dicari dalam apresiasi, dengan apresiator terlatih yang banyak membaca puisi.
Orang membawa bunga bagi pacar untuk menyatakan cinta karena yang dibawa itu bukan bunga ansich tapi sesuatu yang ada di balik laku kikuk dan debaran jantung yang membuat yang membawa bunga tersipu.Tidak heran kalau di khazanah sastra klasik, bahkan sastra mistik sufistik, ada wacana tentang si anak muda yang gandrung dan mencari mawar merah di musim dingin, usaha yang tak sia-sia karena ada rumpun mawar mengusahakan sekuntum bunga mekar, yang baru bisa menjadi merah ketika seekor burung bulbul menekankan dadanya ke onak mawar dan memuncratkan merah darah pada mawar pucat yang mekar di lain wayah itu. Sebuah upaya meneguhkan simbol yang menuntut serangkaian pengkhianatan sunatullah–mawar mekar di luar ketentuan alam–dan pengingkaran garis sunatullah–bunuh diri bulbul agar darahnya memerahkan mawar cinta membara–, ikhtiar yang percuma karena hasilnya ternyata mengecewakan–kita tahu, di akhir cerita itu: si gadis lebih memilih pergi dengan si pria kaya yang datang naik kereta kuda dan sengaja mencampakkan mawar merah artifisial yang mengada mengingkari sunatullah.
DAN kita pantas mencatat: alangkah rumit dan amat artifisialnya upaya mencari simbol yang tepat. Dan di luar konteks alam dongengan romantis tentang gairah untuk mengungkapkan rindu yang bisa menyebabkan alam tergerak ikut menyempurnakan cinta–meski tetap saja kita harus mencari cinta sejati yang tidak bersipat duniawi–itu, terhampar hukum kreativitas yang berbunyi: betapa rumit-sulitnya upaya si penyair untuk memastikan yang ingin diungkapkan, dengan serentetan diskursus agar benar-benar pasti dengan apa yang ingin diungkapkan, dan (sekaligus) betapa lebih sulit lagi upayanya mencari kata, ungkapan, idiom, diksi atau imaji yang dengan sangat tepat merepresentasikan apa-apa yang ingin disampaikan–dalam sebuah simbol yang pas-orsinil. Sementara kaum pemuja simbol itu terkadang menuntut agar setiap puisi dan penyair tidak lagi memakai simbol yang klise, yang arkhaik. Jangan lagi memadukan keberadaan cinta dengan bunga, keberadaan yang suci dengan putih, keberadaan api semangat dengan merah, dan seterusnya dan sebagainya. Sekaligus juga menuntut agar kaitan antara teks yang berkomunikasi dengan tanda dan yang dikomunikasaikan –sebagai yang ditandai di latar belakang itu–tidak terlalu bias atau sama sekali tidak bersinggungan. Hindari yang gelap tak ada rambu petunjuk ke yang dirujuknya–kata TS Elliot, harus dicarikan keseimbangan referensial dalam bentuk menyaran objective correlation. Tapi kini, selain jenuh dengan idiom yang klise dan arkhaik, orang juga bisa teramat muak dengan puisi yang gelap membungkam–dengan puisi subyektif.
Karena itu puisi mulai meloncat dari persanjakan, meloncat dari patokan baris dan bait, meloncat dari romantisme berbicara tersirat penuh intonasi demi penekanan simbolistik–dan malahan agresif meloncat dan melarikan diri dari seluruh kewajiban berpuisi yang baku membelenggu. Kini puisi bisa berada di wilayah prosa yang penuh teks deskriptif atau nalar argumentatif, kini puisi bebas bergulat dengan yang faktual berupa benda-benda riil keseharian dan kejadian-kejadian naif sebagaimana adanya, dan karena itu puisi hanya menyapa sebagai kilas aphorisma yang sugestif penuh rasa –dan mungkin malah sebagai teks sengkarut dari kegemparan senewen dibombardir benda keseharian dan peristiwa sebagaimana adanya. Dan bukan tidak mungkin puisi liar memasuki permainan logika dari kelincahan meloncat dari hal-hal riil terhampar ke yang instinktif dilentikkan alam bawah sadar si penyair, ke teks yang hadir terbaca sebagai pengalaman yang lain di buku dan pengalaman pribadi, ke teks yang cuma ada menyapa sebagai yang diperkatakan orang tanpa sempat diverifikasi, ke fantasi agresif yang dibebaskan penyair agar mengelana dan meluruhkan setiap liuk imajinasi yang mungkin ada, dan ke entah apa lagi. Sebuah teks yang dipenuhi jejak loncatan di segala hal yang mungkin dan tak mungkin, teks yang merangkum (baca: diedit secara imajinatif) sederetan pengalaman dari melakoni apa saja yang mungkin dibayangkan–yang keseluruhannya utuh terfokus sebagai satu petualangan mungkin.
Puisi Mardiluhung bermain di wilayah itu. Tak ada persanjakan, tak ada simbol, tak ada bait dan baris, serta bahasa puisi baku gaya lama. Yang ada hanyalah kalimat bersih yang benar secara tata bahasa, dan karenanya menghadirkan pengalaman yang merangkum bentuk-bentuk kejadian berbeda tapi berkonteks sama, atau berdimensi lain tapi asosiatif, atau cuma semacam pembayangan yang bablas menembus sederet peristiwa fantastik–,yang relatif akan disimpulkan sama di antara diri si penyair dan si bakal apresiator puisinya. Dan bersama dengan fantasi liar itu, yang terkendali dan memokus itu, kita–yang mengapresiasi puisi– ditarik, didorong dan dijerunukkannya ke serentetan pengalaman dan fantasi subyektif; dan malah diloncatkannya ke deretan pengalaman dan fantasi yang berlainan, yang berserakan, terpisah dan berbeda dalam ukuran ruang, dimensi waktu, urutan kejadian, dan potensi mungkinnya. Diterbangkan dan terhumbalang, tanpa peduli kalau bekal kejadian kesejarahan yang telah dialami kita (sebagai apresiator) teramat berbeda dengan bekal kejadian kesejarahan subyektif yang dialaminya, tanpa peduli kalau corak fantasi subyektif yang dikembangkan kita teramat berbeda dengan fantasi subyektif yang dikembangkannya–secara kodrati kita memang menghuni ruang semu kejadian kesejarahan dan fantasi berbeda. Tapi semua keterpisahan dan keterpenggalan itu, semua jarak dan handikap keberagaman yang jelas-jelas berbeda itu, jadi hilang oleh pukau menjajarkannya, oleh sihir meng-kolase kejadian kesejarahan siapa saja, yang terbaca atau cuma didengar. Kita dihipnotis oleh fantasi berpuisi, yang meloncatkan rasa penasaran dan instink berimajinasi kita hingga mandah mengikuti jurus berimajinasinya yang liar dan memikat–seperti tikus disihir seruling dunia dongeng itu–, dan melebur dalam gerak spiral yang melentikkan hal-hal baru yang mencengangkan, dan di akhir pembacaan puisi kita lega karena dalam teks itu memang ada sesuatu yang ingin diungkapkan dengan bantuan puzzle aneka pengalaman dan fantasi. Segala yang cuma mirip, berdekatan, tak sekonteks dan tak selevel yang telah disetel supaya memiliki riak asosiasif yang seirama dalam kesatuan teks–dibimbing oleh kepekaan buat menyatukannya dalam satu konteks pengalaman, dalam satu kejadian, sehingga semuanya membayang sebagai silhuet sugestif.
DAN itu, saya pikir, bermakna: ada yang ingin diungkapkan dan mencari bentuk ungkapan, karenanya puisi ditulis dengan kontrol disiplin ilmu komunikasi yang amat ketat. Dengan mengukur apa yang ingin diungkapkan, bagaimana mengungkapkannya, dan apa kesimpulan yang nanti diambil oleh yang membaca puisi akan identik dengan apa yang ingin disampaikan oleh penyair. Sebuah usaha rasional yang mengandaikan adanya bacaan, pengalaman dan fantasi yang harus diinpentaris dan ditumpuk dalam CPU ingatan sadar, atau yang mengendap di alam bawah sadar, yang akan jadi rambu petunjuk ketika semua itu dijajarkan karena valensinya sederajat, jadi yang ”identik” dan akan bisa mengarahkan ke yang di sana itu. Meski yang tampak nyata dilakukan itu cuma cermat mengumpulkan segala berita, pengalaman orang, mitos, dongengan, cerita oral angker dan aheng dan seterusnya dari bacaan atau pertukaran lisan, dan membiarkannya mengendap sebagai khazanah oral. Dan kecenderungan menerakan yang lisan pada Mardi Luhung teramat kuat, ambillah diksi zik-zak yang tidak baku dan bukannya zig-zag (puisi ”Perempuan Nila”), atau realitas arwah penasaran yang akan kembali jadi manusia bila kepalanya dipantek–meski lebih berlaku bagi kuntilanak,. dan bukan arwah lelaki anonim yang ingin dijadikan lelaki utuh oleh perempuan nila–, misalnya. Atau sederet teks dongeng oral dan cerita lisan lokal yang dikumpulkan dan tetap dibiarkan sebagai teks oral yang bertenun-berkait jadi satu, serangkai peristiwa yang merujuk pada pernah ada sesuatu yang terjadi di tempat itu dan dituturkan turun-temurun oleh sangat banyak orang di tempat itu–lihat puisi ”Pacinan”, ”Kastoba” dan ”Buwun”, misalnya.
Sebuah metoda pencatatan dan pengawetan folklor, legenda, mitos dan cerita lisan yang aneh. Di lain kali bercerita tentang pengalaman pribadi yang mengerikan ketika ia naik perahu dan tumbang mabuk laut karena tak terbiasa naik kapal kecil di laut sekitar Pulau Bawean yang sejak lama dikenal selalu menggejolak dalam puisi ”Pembuangan”–yang gamblang diceritakan dalam Kata Pengantar untuk kumpulan puisi Buwun ini, ”Buwun: Bawean yang ke Arahku (Pulau yang Bergandul Potongan Kuping)”. Sebuah teks yang dengan jujur menunjukkan proses kreatif (Mardi Luhung) menuliskan puisi-puisi yang terkumpul dalam Bawun ini, yakni dengan pasif berbiar mengalami apa saja, dengan peka tanpa prasangka serupa kuping di pohon atau di hiasan sepatu yang mendengar apa saja, dengan telaten fenomenologik mencatat apa pun, dan dengan membebaskan fantasi spontan tumbuh dan menerbangkan ke mana-mana–sampai semua reda, perlahan mengendap, dan jadi yang spontan minta ditulis-kongkritkan. Satu kesadaran yang mengatakan bukannya penyair yang mendatangi Pulau Bawean tapi justru Pulau Bawean dengan segala sejarah lisan, dongengan oral, dan liar fantasi naifnya — Grand Funk (Railroad) nama band rock Amerika jadi nama group dangdut, meski grand funk dalam khazanah lagu dangdut identik dengan pereks, misalnya–itu yang mendatangi penyair, mengharu biru dan menterornya. Dan puisi
”Kampung Kuning”, misalnya, mencatat serta menunjukkan metoda dan pola proses kreatif Mardiluhung dengan gamblang. Yang dimulai dengan momen ketika si penyair kehabisan bahan sehingga ia cuma bisa berhenti menulis, melupakan apa pun (semua) yang ingin ditulis, dengan pergi bermain dan mengeluyur ke mana saja dan bertemu dengan apa dan siapa saja, hingga kepala terbebas dari ambisi menuliskan ini dan itu. Dan saat ia tiba pada situasi dibebaskan secara fenomenologik dari beban ingin nulis puisi atau pola lakon subyektif ini-itu, maka (kini) diri tranced dipenuhi (lagi) dengan fantasi yang bermula dari pengalaman yang dilakoni orang lain dan hanya didengarlan ceritanya, bisa mulai menuliskan yang harus dikabarkan itu sebagai saksi tak langsung tapi merasa benar-benar menyaksikan–atau cuma si penutur yang berimprovisasi dan membuat distorsi cerita.
Terminologi sang penyaksi, yang ikut menyaksikan dari kejauhan, dari dimensi lain tanpa keinginan mengganggu garis cerita yang telah terjadi dan diguratkan takdir, seperti yang dinyatakannya dalam puisi ”Buwun” itu tampaknya merupakan hal yang amat penting bagi penyair. Sangat utama meski terkadang tuntutan itu hanya jadi yang tersirat seperti yang diperlihatkan dan terlihat dalam puisi ”Pulau”, ”Kubur Panjang” atau ”Pembuangan”–dan kita tidak tahu, apakah hal itu disebabkan fakta ia peranakan yang separuh Tiong-hoa dan separuh Jawa, karenanya tak bisa rasuk ke wilayah bapak serta tidak bebas memasuki wilayah ibu, dan dipersulit oleh kenyataan ia memilih jadi muallaf. Dan ada catatan penting yang dengan sadar ditambahkannya tentang segala sesuatu yang tak sesuai skenario dan bablas mengingkari garis wajar dan kepastian kodrat, ”[S]elalu saja letusan yang tak lumrah itu lahir belakangan”, katanya dalam puisi ”Kuduk-Kuduk”. Karena itu siapa saja yang menyembunyikan rahasia selingkuh, menyimpan kenangan cinta sesaat di pesisir, pulau lain atau pelabuhan itu harus diusir dari rumah (puisi ”Orang Gunung”), akan kehilangan segalanya sehingga hanya bisa datang ke rumah sebagai orang asing atau semacam arwah penasaran (puisi ”Takziah” atau ”Perempuan Nila”) yang tidak lagi merasakan nikmat surga rumah tangga berupa dirawat dan disegarkan kasih (puisi ”Ketam”). Kenapa begitu? Bila mengikuti logika konteks kumpulan puisi Buwun ini, yang merupakan sekumpulan puisi yang lahir dari pengalaman berbiar menyerap suasana sosial-budaya–dan cerita-cerita lisan–di Pulau Bawean, itu karena ia telah dirasuki sihir lokasi. Semacam kesadaran kalau tempat itu merupakan pulau kaum perempuan, dengan para lelaki yang selalu melaut berbulan, para lelaki yang selalu mengembara menjadi TKI di negeri asing, dan para lelaki yang pulang agar segera pergi lagi, sehingga semua lelaki itu selalu diikat oleh kutukan dan pengharapan para istri, supaya selalu bersetia dan teringat kepada yang ditinggalkan. Bila tidak? Ada gunting yang menanti mereka–gunting yang akan selalu memburu ke mana pergi. ”Gundulmu, ta putul manukmu!”, kalau mengikuti ungkapan Surabayaan.
DALAM beberapa segi Mardi Luhung, sebagai si penyair yang menulis puisi-puisi yang mendeskripsikan serentetan peristiwa, dongeng, kejadian. mitos, fantasi dan aneka teks subyektif telah berhasil mengajak dan bahkan menelikung kita untuk–suka atau tak suka–ikut-ikutan melambung dan dilambungkan ke dalam angan-angan. Untuk ikut tersenyum tercerahkan disentakkan oleh teks-teks yang mendeskripskani cerita, kejadian, dongeng, mitos, fantasi dan teks apa saja yang kemunculannya dalam mozaik puisi menyegarkan karena tak terbayangkan, dan saat mendadak tiba di ujung puisi kita serta merta menemukan tenunan yang mungkin bisa dianggap cerita pendek atau memang puisi seperti keyakinan penyair–menemukan sugesti akan keberadaan semacam kejadian yang samar terfokus. Ini sebuah panorama peristiwa dan fantasia yang dalam beberapa hal mirip sekumpulan kata-kata yang berderet dan bergabung karena mempunyai persamaan, kesederajatan atau kesamaan valensi di dalam bunyi yang melulu persanjakan ai ai ai ia ai atau i i i i seperti yang disinggung dalam puisi nyinyir di atas.***
*) Penutup BUWUN, kumpulan puisi Mardi Luhung, diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar