Suara Merdeka, 6 Maret 2005, Riau Pos, 19 November 2006
Marhalim Zaini
Kampung-kampung di sini tak pernah memiliki cerita yang lain. Kerentaan dan kehampaan, selain itu waktu yang berjalan sangat lambat. Kepulanganku, seperti juga kepulanganku yang lain, hanya kembali menyaksikan jalan berlubang, berdebu ketika kemarau, banjir dan bencah saat hujan. Ini Desember, hujan membuat tubuh kampung-kampung di sini menggigil. Hujan, berarti juga angin dan tak jarang adalah badai. Hati-hatilah kalau menyebut Selat Melaka, saat musim sedang begini. Atau jangan sesekali bernyanyi lagu Lancang Kuning, kalau tak ingin atap rumbia rumah penduduk terbang seperti kapas, dan pohon-pohon kelapa bertahlil, tak jarang menimpuk jalan, kedai, rumah, bahkan manusia. Entahlah, begitu keramatnya nama-nama itu. Tak seorang pun mengerti, sejak kapan sebutan itu dapat mengundang badai. Yang pasti, kalau mau aman dan selamat, tolonglah jangan sebut nama-nama itu. Dan tengoklah, mulai naik dari pelabuhan kecil tadi, kita seperti berjalan di atas anak sungai. Genangan air hujan bercampur dengan air sungai asin yang naik pasang, meluap. Aku tak heran, dan berusaha meyakinkan pada istriku untuk turut tidak heran. Aku bilang, ini ciri yang paling istimewa untuk kampung-kampung di pulau ini. Kau selalu menontonnya di televisi, bukan?
“Dari kecil, aku penggemar air. Jadi sebaiknya jangan membenci air.”
Istriku tersenyum pahit. Sebab ia sempat memergoki aku belajar berenang di sebuah kolam renang sewaktu di Jogja dulu. Sejak itu aku merajuk, dan tak pernah lagi belajar berenang. Aku memang aneh. Anak pelaut, yang tak bisa berenang. Aku kadang malu. Malu untuk identitas yang tak jelas itu. Seringkali aku menolak ajakan istriku untuk ke Umbangtirta, sebuah tempat pemandian di Kridosono Jogja. Aku beralasan, aku lebih suka mandi di parit, atau di sungai di kampung. “Kau pasti merasa lebih puas kalau mandi di parit atau di sungai,” kataku, “sebab kau bisa menyaksikan air berkejaran mengalir menuju dadamu, sentuhannya yang alami, ah….” Tapi dalam kondisi banjir seperti ini, kalau keadaan mendesak, aku kira, aku bisa berenang.
Oplet berjalan dalam hujan, seperti seorang renta yang memaksakan diri untuk berlari (benar, kampung ini memang tak memiliki cerita yang lain; kerentaan). Dan sejak di Pekanbaru hujan memang sudah turun. Tapi kami memutuskan untuk tetap berangkat, pulang ke Bengkalis. Menunggu hari tidak hujan, sepertinya tak mungkin. Desember acapkali tak meninggalkan hari tanpa hujan, bukan? Sementara hari pesta perkawinan adikku sudah dekat, dan tiket sped boat sudah dipesan jauh-jauh hari. Inilah kali pertama, pulang bersama istri, setelah satu tahun perkawinan kami. Pulang dalam hujan.
Sudah kubayangkan, oplet ini pasti sesak. Jarak kabupaten yang jauh, dan tak gampang ditempuh, tak menyurutkan keinginan orang-orang untuk berbelanja keseharian, meski dalam hujan. Dan biasanya, yang paling rajin berbelanja adalah mereka. Kami menyebut mereka Orang Asli. Mereka tinggal dalam rumah-rumah panggung yang menyerupai gubuk-gubuk di sebuah kampung, yang terletak di tepian sungai di sepanjang jalan menuju kampung kami. Bagi mereka, berbelanja adalah hobi. Tak puas rasanya kalau uang hasil dari kerja balak dan menjaring ikan tak dibelanjakan, terutama untuk membeli makanan. Biarlah uang habis untuk hari ini, besok bisa cari lagi. Kais pagi makan pagi, kais petang makan petang.
Kondisi inilah yang seringkali membuat aku malas untuk pulang. Malas bersesakan selama satu setengah jam dalam oplet, dalam uap tubuh-tubuh yang bau amis. Entah kenapa, tubuh-tubuh Orang Asli ini seperti akuarium, seperti menyimpan ikan-ikan mentah yang masih hidup. Mungkin karena asal usul mereka yang akrab dengan kehidupan laut, atau mungkin karena mereka memang gemar memakan ikan-ikan segar setengah matang. Atau, karena mereka mandi di parit-parit kecil di depan rumah mereka, tempat segala sesuatunya dibersihkan, termasuk anjing-anjing piaraan mereka. Jadi, tentu saja, mandi yang sangat sederhana dan ala kadarnya.
Senja yang mulai jatuh. Hujan yang terus menderas. Dari balik kaca jendela mobil yang buram, hutan-hutan bakau seperti bayangan-bayangan rambut yang kacau. Perutku, dan aku kira juga dalam perut istriku, sedang berenang ratusan ikan-ikan mentah. Goyangan oplet, goyangan tubuh-tubuh, tampak seperti bandul jam yang malas dan teler. Terus terang, kami, aku dan istriku, menahan mual. Kepalanya mulai rebah, seperti pohon kelapa yang tumbang di bahuku. Pening, katanya. Aku tentu harus pura-pura bertahan, menegakkan bahu, membuat posisi kepala istriku tampak nyaman. Mereka, orang-orang Asli itu, dua-tiga di antaranya belum berhenti berkicau sejak ia mulai naik dari pasar tadi. Sementara empat-lima yang lain, belum berhenti menikmati tembakau lintingnya. Bayangkanlah, betapa kami benar-benar sedang teler dalam ruang diskotik yang sedang berjalan dalam genangan air ini. Semoga saja kami tidak muntah. Dan mereka? Aku tak heran. Mereka memang selalu tampak bersahaja. Mereka sudah amat terbiasa dengan gelombang, dengan sampan kecil yang bergoyang. Hidup tampaknya belum berhasil memabukkan mereka.
Tapi jangan bayangkan bahwa mereka telanjang, seperti orang-orang suku pedalaman yang masih sangat primitif. Paling tidak, mereka telah mengerti mana anggota tubuh yang tidak pantas diperlihatkan orang banyak. Pakaian mereka tidak jauh berbeda dengan kita. Bahkan lebih rapi dan santun dari orang modern. Cuma, selera mereka terhadap warna, sama halnya selera mereka terhadap makanan. Apapun dan serupa apapun, asal enak dan nyaman, maka mereka telan dan kenakan. Sekilas, mereka memang tampak seperti boneka-boneka yang aneh. Kulitnya yang gelap, dan jenis rambut yang rata-rata keriting, ada yang bergigi warna emas dan perak, pergelangan tangan dan jari yang dipenuhi mastasi (mas yang di dalamnya besi), murah senyum dan sangat percaya diri. Tapi, tolonglah, tinggalkan ikan-ikan itu di rumah, kami sedang tidak suka ikan segar…
Senja benar-benar telah jatuh. Kenapa hujan tak juga berhenti? Udara dingin nyelinap dari lubang dan celah, mencuri ruang dari kesadaran kami yang belum penuh dan utuh. Oplet ini kian menghitam. Hanya cahaya dari lampu mobil di bagian depan, yang sesekali membias. Istriku melenguh. Merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Hujan dan dingin memang milik para pengantin. Meski sudah satu tahun kami kawin, kami merasa masih menjadi sepasang pengantin. Bukankah demikian sebaiknya? Masih pening, tanyaku. Penat, katanya. Aku hanya bisa mengatakan, tidak seberapa jauh lagi. Dan ia kembali merebahkan kepalanya ke bahuku, yang rasanya agak penyok. Tapi, sekali lagi aku harus berpura-pura bertahan. Lelaki selalu berpura-pura, bukan?
Satu persatu mereka turun. Yang tersisa hanya seorang lelaki dan seorang perempuan, hampir seusia, tengah baya. Menurutku, mereka sepasang suami istri. Dan aku kira, rumah mereka terletak di ujung kampung ini. Oplet kembali merangkak menembus malam. Ketahuilah, malam di pulau ini, tepatnya di kecamatan Bantan, bagiku selalu menyisakan keasingan. Ia menyerupai sebuah rumah kuno dan tua yang ditinggal penghuninya selama ratusan tahun. Dan seringkali, bagiku malam di kampung ini adalah seperti mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Listrik, baru berupa tiang-tiang sebesar dan setinggi pohon kelapa, tertancap di sepanjang jalan. Entah telah berapa tahun. Seingatku, sejak kami, aku dan abangku, masih rajin pergi mengaji di surau dulu, dengan alat penerangan colok yang terbuat dari belarak kelapa, tiang-tiang itu telah berdiri di sana. Berdiri seperti patung tua yang angkuh.
“Turun kak sikak, Bang!”
Benar, kataku, mereka suami istri. Mereka turun di ujung kampung ini. Itu, titik api dalam rimbunan gelap, pasti rumah mereka. Ah, lega rasanya. Tinggal kami berdua, tentu perjalanan akan lebih nyaman. Meski, rasanya ikan-ikan mentah itu masih tertinggal di sini…
Baru sekitar sepuluh meter oplet berjalan, tiba-tiba mesinnya mati. Sopir mencoba berulang kali menghidupkannya kembali, tapi tak berhasil. “Ah, berulah lagi!” Ia merutuk sendiri. Dan kami mencoba untuk tenang. Meski, terus terang, ada perasaan-perasaan yang tak sedap berselirat dalam diri kami. Sebuah malam dan mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Sesuatu yang tak terduga bisa saja berlaku. Tak ada penerang, kecuali sebuah senter kecil yang malap di tangan sopir yang sedang mengotak-atik mesin oplet. Kenapa hujan tak juga berhenti? Kami seperti sepasang manusia yang dikarantina dalam penjara bawah tanah yang bau bangkai ikan, bau badan sendiri yang sudah melebihi bau bangkai ikan, yang sedang berbisik-bisik tentang kerisauan. Risau tentang malam yang kian larut. Risau tentang mereka, keluarga di kampung, yang tentu saja juga sedang menunggu dan merisaukan kami. Risau, kalau-kalau sesuatu terjadi dan membuat kami celaka. Risau kalau-kalau ada Orang Asli yang mabuk arak, minta duit dengan paksa. Atau Orang Asli yang sengaja membuat kami (orang-orang Teluk) menjadi takut dengan tiba-tiba membakar oplet rongsokan ini. Maklumlah, dendam lama. Konon, dulu salah satu oplet milik orang Teluk pernah menabrak seekor anjing piaraan Orang Asli, dan berujung dengan dendam. Sebab sampai sekarang dendam itu belum terbalas. Ah, dalam situasi serupa ini, waktu terasa bergerak semakin lambat.
Sopir menghampiri kami. Dia mengatakan, bahwa mesinnya tak bisa hidup. Mungkin genangan air sepanjang perjalanan adalah penyebabnya. Kami tak menjawab sepatah pun, kata-kata seperti tersekat di tenggorokan. Malam memang benar-benar telah menjelma sebagai mimpi (yang sangat) buruk. Dan lalu? Solusinya kami harus tidur dalam oplet. Sebab ini adalah angkutan terakhir. Besok pagi, baru ada oplet lain yang lewat. Sesuatu yang tak sempat dan tak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Belum sempat kami terlelap, di balik kaca yang lembab, aku melihat cahaya yang mendekat. Seorang lelaki hitam dan keriting, di tangannya sebuah colok dari bambu. Seorang lelaki yang sepertinya tak begitu asing. Ya, lelaki paruh baya yang tadi sama-sama menumpang di oplet sialan ini. Aku sedikit terkejut. Apa maunya Orang Asli ini? Apa mereka tak berkenan kalau kami berhenti tepat di wilayah tanah mereka? Numpang tidur satu malam dalam bangkai oplet?
“Mikek, bisak tidok di rumah kami.”
Apa? Tidur di rumah kalian? Sungguh, sebuah malam dan mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Kenapa hujan tak juga berhenti? Ah, tiba-tiba aku mencium bau amis di sekujur tubuhku.***
Pekanbaru, 2005.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar