Jumat, 21 Mei 2010

Pulang dalam Hujan

Suara Merdeka, 6 Maret 2005, Riau Pos, 19 November 2006
Marhalim Zaini

Kampung-kampung di sini tak pernah memiliki cerita yang lain. Kerentaan dan kehampaan, selain itu waktu yang berjalan sangat lambat. Kepulanganku, seperti juga kepulanganku yang lain, hanya kembali menyaksikan jalan berlubang, berdebu ketika kemarau, banjir dan bencah saat hujan. Ini Desember, hujan membuat tubuh kampung-kampung di sini menggigil. Hujan, berarti juga angin dan tak jarang adalah badai. Hati-hatilah kalau menyebut Selat Melaka, saat musim sedang begini. Atau jangan sesekali bernyanyi lagu Lancang Kuning, kalau tak ingin atap rumbia rumah penduduk terbang seperti kapas, dan pohon-pohon kelapa bertahlil, tak jarang menimpuk jalan, kedai, rumah, bahkan manusia. Entahlah, begitu keramatnya nama-nama itu. Tak seorang pun mengerti, sejak kapan sebutan itu dapat mengundang badai. Yang pasti, kalau mau aman dan selamat, tolonglah jangan sebut nama-nama itu. Dan tengoklah, mulai naik dari pelabuhan kecil tadi, kita seperti berjalan di atas anak sungai. Genangan air hujan bercampur dengan air sungai asin yang naik pasang, meluap. Aku tak heran, dan berusaha meyakinkan pada istriku untuk turut tidak heran. Aku bilang, ini ciri yang paling istimewa untuk kampung-kampung di pulau ini. Kau selalu menontonnya di televisi, bukan?

“Dari kecil, aku penggemar air. Jadi sebaiknya jangan membenci air.”
Istriku tersenyum pahit. Sebab ia sempat memergoki aku belajar berenang di sebuah kolam renang sewaktu di Jogja dulu. Sejak itu aku merajuk, dan tak pernah lagi belajar berenang. Aku memang aneh. Anak pelaut, yang tak bisa berenang. Aku kadang malu. Malu untuk identitas yang tak jelas itu. Seringkali aku menolak ajakan istriku untuk ke Umbangtirta, sebuah tempat pemandian di Kridosono Jogja. Aku beralasan, aku lebih suka mandi di parit, atau di sungai di kampung. “Kau pasti merasa lebih puas kalau mandi di parit atau di sungai,” kataku, “sebab kau bisa menyaksikan air berkejaran mengalir menuju dadamu, sentuhannya yang alami, ah….” Tapi dalam kondisi banjir seperti ini, kalau keadaan mendesak, aku kira, aku bisa berenang.

Oplet berjalan dalam hujan, seperti seorang renta yang memaksakan diri untuk berlari (benar, kampung ini memang tak memiliki cerita yang lain; kerentaan). Dan sejak di Pekanbaru hujan memang sudah turun. Tapi kami memutuskan untuk tetap berangkat, pulang ke Bengkalis. Menunggu hari tidak hujan, sepertinya tak mungkin. Desember acapkali tak meninggalkan hari tanpa hujan, bukan? Sementara hari pesta perkawinan adikku sudah dekat, dan tiket sped boat sudah dipesan jauh-jauh hari. Inilah kali pertama, pulang bersama istri, setelah satu tahun perkawinan kami. Pulang dalam hujan.

Sudah kubayangkan, oplet ini pasti sesak. Jarak kabupaten yang jauh, dan tak gampang ditempuh, tak menyurutkan keinginan orang-orang untuk berbelanja keseharian, meski dalam hujan. Dan biasanya, yang paling rajin berbelanja adalah mereka. Kami menyebut mereka Orang Asli. Mereka tinggal dalam rumah-rumah panggung yang menyerupai gubuk-gubuk di sebuah kampung, yang terletak di tepian sungai di sepanjang jalan menuju kampung kami. Bagi mereka, berbelanja adalah hobi. Tak puas rasanya kalau uang hasil dari kerja balak dan menjaring ikan tak dibelanjakan, terutama untuk membeli makanan. Biarlah uang habis untuk hari ini, besok bisa cari lagi. Kais pagi makan pagi, kais petang makan petang.

Kondisi inilah yang seringkali membuat aku malas untuk pulang. Malas bersesakan selama satu setengah jam dalam oplet, dalam uap tubuh-tubuh yang bau amis. Entah kenapa, tubuh-tubuh Orang Asli ini seperti akuarium, seperti menyimpan ikan-ikan mentah yang masih hidup. Mungkin karena asal usul mereka yang akrab dengan kehidupan laut, atau mungkin karena mereka memang gemar memakan ikan-ikan segar setengah matang. Atau, karena mereka mandi di parit-parit kecil di depan rumah mereka, tempat segala sesuatunya dibersihkan, termasuk anjing-anjing piaraan mereka. Jadi, tentu saja, mandi yang sangat sederhana dan ala kadarnya.

Senja yang mulai jatuh. Hujan yang terus menderas. Dari balik kaca jendela mobil yang buram, hutan-hutan bakau seperti bayangan-bayangan rambut yang kacau. Perutku, dan aku kira juga dalam perut istriku, sedang berenang ratusan ikan-ikan mentah. Goyangan oplet, goyangan tubuh-tubuh, tampak seperti bandul jam yang malas dan teler. Terus terang, kami, aku dan istriku, menahan mual. Kepalanya mulai rebah, seperti pohon kelapa yang tumbang di bahuku. Pening, katanya. Aku tentu harus pura-pura bertahan, menegakkan bahu, membuat posisi kepala istriku tampak nyaman. Mereka, orang-orang Asli itu, dua-tiga di antaranya belum berhenti berkicau sejak ia mulai naik dari pasar tadi. Sementara empat-lima yang lain, belum berhenti menikmati tembakau lintingnya. Bayangkanlah, betapa kami benar-benar sedang teler dalam ruang diskotik yang sedang berjalan dalam genangan air ini. Semoga saja kami tidak muntah. Dan mereka? Aku tak heran. Mereka memang selalu tampak bersahaja. Mereka sudah amat terbiasa dengan gelombang, dengan sampan kecil yang bergoyang. Hidup tampaknya belum berhasil memabukkan mereka.

Tapi jangan bayangkan bahwa mereka telanjang, seperti orang-orang suku pedalaman yang masih sangat primitif. Paling tidak, mereka telah mengerti mana anggota tubuh yang tidak pantas diperlihatkan orang banyak. Pakaian mereka tidak jauh berbeda dengan kita. Bahkan lebih rapi dan santun dari orang modern. Cuma, selera mereka terhadap warna, sama halnya selera mereka terhadap makanan. Apapun dan serupa apapun, asal enak dan nyaman, maka mereka telan dan kenakan. Sekilas, mereka memang tampak seperti boneka-boneka yang aneh. Kulitnya yang gelap, dan jenis rambut yang rata-rata keriting, ada yang bergigi warna emas dan perak, pergelangan tangan dan jari yang dipenuhi mastasi (mas yang di dalamnya besi), murah senyum dan sangat percaya diri. Tapi, tolonglah, tinggalkan ikan-ikan itu di rumah, kami sedang tidak suka ikan segar…

Senja benar-benar telah jatuh. Kenapa hujan tak juga berhenti? Udara dingin nyelinap dari lubang dan celah, mencuri ruang dari kesadaran kami yang belum penuh dan utuh. Oplet ini kian menghitam. Hanya cahaya dari lampu mobil di bagian depan, yang sesekali membias. Istriku melenguh. Merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Hujan dan dingin memang milik para pengantin. Meski sudah satu tahun kami kawin, kami merasa masih menjadi sepasang pengantin. Bukankah demikian sebaiknya? Masih pening, tanyaku. Penat, katanya. Aku hanya bisa mengatakan, tidak seberapa jauh lagi. Dan ia kembali merebahkan kepalanya ke bahuku, yang rasanya agak penyok. Tapi, sekali lagi aku harus berpura-pura bertahan. Lelaki selalu berpura-pura, bukan?

Satu persatu mereka turun. Yang tersisa hanya seorang lelaki dan seorang perempuan, hampir seusia, tengah baya. Menurutku, mereka sepasang suami istri. Dan aku kira, rumah mereka terletak di ujung kampung ini. Oplet kembali merangkak menembus malam. Ketahuilah, malam di pulau ini, tepatnya di kecamatan Bantan, bagiku selalu menyisakan keasingan. Ia menyerupai sebuah rumah kuno dan tua yang ditinggal penghuninya selama ratusan tahun. Dan seringkali, bagiku malam di kampung ini adalah seperti mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Listrik, baru berupa tiang-tiang sebesar dan setinggi pohon kelapa, tertancap di sepanjang jalan. Entah telah berapa tahun. Seingatku, sejak kami, aku dan abangku, masih rajin pergi mengaji di surau dulu, dengan alat penerangan colok yang terbuat dari belarak kelapa, tiang-tiang itu telah berdiri di sana. Berdiri seperti patung tua yang angkuh.

“Turun kak sikak, Bang!”
Benar, kataku, mereka suami istri. Mereka turun di ujung kampung ini. Itu, titik api dalam rimbunan gelap, pasti rumah mereka. Ah, lega rasanya. Tinggal kami berdua, tentu perjalanan akan lebih nyaman. Meski, rasanya ikan-ikan mentah itu masih tertinggal di sini…

Baru sekitar sepuluh meter oplet berjalan, tiba-tiba mesinnya mati. Sopir mencoba berulang kali menghidupkannya kembali, tapi tak berhasil. “Ah, berulah lagi!” Ia merutuk sendiri. Dan kami mencoba untuk tenang. Meski, terus terang, ada perasaan-perasaan yang tak sedap berselirat dalam diri kami. Sebuah malam dan mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Sesuatu yang tak terduga bisa saja berlaku. Tak ada penerang, kecuali sebuah senter kecil yang malap di tangan sopir yang sedang mengotak-atik mesin oplet. Kenapa hujan tak juga berhenti? Kami seperti sepasang manusia yang dikarantina dalam penjara bawah tanah yang bau bangkai ikan, bau badan sendiri yang sudah melebihi bau bangkai ikan, yang sedang berbisik-bisik tentang kerisauan. Risau tentang malam yang kian larut. Risau tentang mereka, keluarga di kampung, yang tentu saja juga sedang menunggu dan merisaukan kami. Risau, kalau-kalau sesuatu terjadi dan membuat kami celaka. Risau kalau-kalau ada Orang Asli yang mabuk arak, minta duit dengan paksa. Atau Orang Asli yang sengaja membuat kami (orang-orang Teluk) menjadi takut dengan tiba-tiba membakar oplet rongsokan ini. Maklumlah, dendam lama. Konon, dulu salah satu oplet milik orang Teluk pernah menabrak seekor anjing piaraan Orang Asli, dan berujung dengan dendam. Sebab sampai sekarang dendam itu belum terbalas. Ah, dalam situasi serupa ini, waktu terasa bergerak semakin lambat.

Sopir menghampiri kami. Dia mengatakan, bahwa mesinnya tak bisa hidup. Mungkin genangan air sepanjang perjalanan adalah penyebabnya. Kami tak menjawab sepatah pun, kata-kata seperti tersekat di tenggorokan. Malam memang benar-benar telah menjelma sebagai mimpi (yang sangat) buruk. Dan lalu? Solusinya kami harus tidur dalam oplet. Sebab ini adalah angkutan terakhir. Besok pagi, baru ada oplet lain yang lewat. Sesuatu yang tak sempat dan tak pernah kami bayangkan sebelumnya.

Belum sempat kami terlelap, di balik kaca yang lembab, aku melihat cahaya yang mendekat. Seorang lelaki hitam dan keriting, di tangannya sebuah colok dari bambu. Seorang lelaki yang sepertinya tak begitu asing. Ya, lelaki paruh baya yang tadi sama-sama menumpang di oplet sialan ini. Aku sedikit terkejut. Apa maunya Orang Asli ini? Apa mereka tak berkenan kalau kami berhenti tepat di wilayah tanah mereka? Numpang tidur satu malam dalam bangkai oplet?

“Mikek, bisak tidok di rumah kami.”
Apa? Tidur di rumah kalian? Sungguh, sebuah malam dan mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Kenapa hujan tak juga berhenti? Ah, tiba-tiba aku mencium bau amis di sekujur tubuhku.***

Pekanbaru, 2005.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir