Judul : Nafsu Terakhir
Penulis : Elizabeth D. Inandiak
Penerbit: Galang Press
Cetakan : Kedua, 2007
Tebal : 190 halaman
Peresensi: Muhamad Sulhanudin
http://suaramerdeka.com/
Ini adalah jilid ke sembilan dari kedua belas jilid Serat Centini yang sangat mashur itu. Hampir seluruh isinya bercerita tentang syahwat. Tapi ia terselamatkan oleh keluhuran tembang yang sarat muatan ajaran tauhid dan tasawuf. Ia mengajarkan nilai-nilai luhur kearifan jawa yang bijaksana. Meski kerap kali tak teralakkan dibawa ke kubangan nafsu syahwati yang liar, mewarnai pengembaraan Amongraga yang suci untuk mencapai kehadiranNya.
Nafsu Terakhir diadaptasi oleh Elizabeth D. Inandiak. Centini disusun atas perintah putra mahkota Kesultanan Surakarta Adiningrat untuk menyusun kembali sebuah cerita kuno dalam bentuk tembang yang menyarikan segala ngelmu Jawa. Tembang ini disusun dalam bahasa Jawa, dengan syair yang luar biasa indah. Syair yang mahadahsyat itu diberinama Suluk Tembangraras, tapi orang lebih mengenalnya dengan nama Serat Centini. Untuk melaksanakan misi ini, diutuslah tiga pujangga keraton: Sastranegara (Yasadipura II atau Ranggawarsita I), Ranggasutrasna dan Sastradipura.
Ranggasutrasna diberi tugas menjelajahi Jawa bagian Timur untuk mengecek keadaan dan menghimpun pengetahuan. Sastradipura mendapat tugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama islam. Sedang Sastranegara mendapat tugas menjelajahi Jawa Barat sekaligus menghimpun pengetahuan lahir bathin.
Ranggasutrasna yang pulang terlebih dulu, segara memulai pekerjaannya. Hasil karyanya menjadi 4 jilid, berisi 321 buah lagu, menceritakan sejarah Giri hingga keruntuhannya dan tiga orang putra Giri dalam satu jilid. Namun karya Ranggasutrasna ini belum memuaskan keinginan Sang Pangeran karena bagian seksualnya masih kurang menonjol. Begitupula setalah kedua rekannya, Sastradipura dan Satranegara merampungkan bagiannya. Sang Pangeran masih belum juga puas. Bagian senggamanya masih kurang greget. Maka dikerjakanlah sendiri oleh Sang Pangeran dari jilid 5-10, kemudian penulisannya diserahkan kepada ketiga pujangga keraton itu (Wayan Susetya, 2007:109-110).
Dalam buku ini dikisahkan Tembangraras meratapi kepergian suaminya, Amongraga. Berhari-hari ia mengurung diri di kamar. Ia tak mau berkomunikasi dengan siapapun, termasuk abdi setianya, Centini, yang memahami setiap bahasa isyarat Tuan Putrinya. Ayahanda dan ibunda Tembangraras cemas tak karuan. Dibujuklah sang putri agar melupakan kesedihan. Tapi tetap saja tak meruntuhkan nestapanya. Hingga akhirnya ayahanda mengutus adiknya Kalawirya untuk mencari sang menantu. Bersama kedua adik Tembangraras, Jayengwesti dan Jayengraga, Kalawirya dan Nuripin pagi buta berangkat mengembara menyusuri hutan meninggalkan padepokan Wannamarta.
Ditengah pengembaraannya, berulangkali mereka dihadapkan pada godaan-godaan yang menjerumuskan mereka menuntaskan nafsu syahwatnya. Adegan seks dilukiskan begitu vulgar. Mulai pertemuanya dengan seorang janda kaya yang menjamu mereka hingga mabuk kemudian mencicipi satu-persatu zakar Nuripin, Kalawirya, dan kedua keponakannya. Di perjalanan lain kadang mereka menuntaskan syahwatnya dengan memasukkan alat kelaminnya ke dubur teman prianya. Dipersinggahan lain, mereka tiba di kediaman seorang peladang bernama Ki Nurbayin. Katiga putrinya yang buruk rupa diam-diam sudah lama memendam keinginan untuk mencoba zakar seorang pria. Beberapa kali mereka melihat Ayah dan ibu tirinya berhubungan intim dari balik tirai kamarnya. Maka begitu dirumahnya kedatangan tamu para pria, mereka bergerombol mengikuti ke tempat tidur para tamunya.
"Apa menurut kalian Jayengraga mau ditunggangi jika kita dekati," tanya Banem, sisulung kepada kedua adiknya, Banikem dan Baniyah.
Sesuai kesepakatan, sisulung diberi kehormatan mencoba zakar Jayengraga untuk yang pertama. Dalam kegelapan Banem memeluk Jayengraga. Adik Tembangraras itu pura-pura terkejut. Padahal ia sudah mendengar percakapan ketiga bersaudara itu. Dalam hati ia sebenarnya tak ingin menyerahkan alat kelaminnya menjadi percobaan para perempuan buruk rupa itu. Tapi karena tak ingin melukai hatinya, Jayengraga membiarkan saja ketika Banem naik di atas pahanya. Jayengraga dibuat geli karena Banem tak tahu bagaimana memulai permainan. Maka dibimbinglah ia oleh Jayengraga untuk memasukkan zakar yang sudah mulai mengeras itu ke vaginanya yang masih perawan. Usai Banem, Banikem dan Baniyah menggilir Jayengraga bergantian, hingga akhirnya subuh tiba dan Jayengraga segera mengambil air wudhu dan mengerjakan sholat subuh.
Adegan seks itu kendati dilukisakan begitu vulgar, tapi juga jenaka. Karya sastra ini memang hendak menampilkan seks secara polos, jujur, sebagai nafsu lahiriah yang lumrah terjadi pada manusia. Para pria itu beberapa kali tak mampu mengelak dari nafsu syahwati, tapi usai itu mereka tetap tak lupa menunaikan kewajiban sholat lima waktunya!
****
"Sayangku, jika kamu berkenan, mari kita kembali ke dunia makhluk dan rajanya," tutur Amongraga kepada Tembangraras, istrinya.
Amongraga baru saja tersadar dari pengembaraannya yang panjang. Dia telah menelantarkan Tembangraras, si cantik jelita putri kiai pesantren Ki Panurta, yang baru dinikahinya. Istri yang baru disetubuhinya setelah melewati empat puluh hari lamanya memberikan wejangan tentang ajaran tasawuf Jawa. Itu pun cuma dua hari. Kemudian ia melanjutkan pengembaraan mencari kedua adik kandungnya. Tapi malah terhanyut dalam kenikmatan pertapaan untuk mendekatkan diri kepadaNya. Ia lupa ada hal lain yang harus dia kerjakan selain melakukan jihad besar itu.
"Oh pangeran Giri! kamu telah membimbing jihad besarmu sedemikian jauhnya sehingga kamu alpa menjalankan jihad kecilmu," ujar Endrasena, pengembara yang ditemuinya di tengah pengembaraannya.
Syekh Amongraga, sebelumnya bernama Jayengresmi. Ia putra mahkota Sunan Giri. Ia mengembara mencari dua adiknya, Jayengsari dan Rencangkapti. Kerajaan Giri baru saja diserang Sultan Agung, raja tanah Jawa karena penguasa Giri tak mau bersujud kepadanya. Kerajaan Giri hancur dalam kobaran api. Ayahanda, sang Khalifatullah ditangkap dan dibawa ke Mataram sebagai tahanan perang Sultan Agung.
Usai penyerangan itu, Jayengresmi mencari kedua adiknya yang hendak diajaknya lari dari kejaran pasukan Sultan Agung. Tapi ia tak menemukannya. Hatinya hancur. Ia pergi meninggalkan Giri tanpa seorang pun tahu, ia sendiri tak tahu ke mana hendak dituju dalam pengembaraannya. Ia mengikuti petunjuk Allah yang mengarahkannya berkelana masuk Suluk.
Dikisahkan Jayengsari dan Rencangkepti tak terpisah. Mereka juga mencari kakaknya di reruntuhan Giri. Tapi pencarian mereka sia-sia. Merekapun mengembara jauh, menghilang dari kejaran pasukan Mataram di bawah komando Pangeran Pekik.
Dalam pengembaraannya, Jayengresmi sudah berubah nama menjadi Amongraga. Ia tiba di pondok Wanamarta dan di sana ia menikahi Tembangraras, putri Ki Bayi Panurta, Kiai pesantren di sana.
Selama empat puluh hari lamanya kedua pasang penganten itu menunda hubungan badan di malam pertamanya. Amongraga menyampaikan ajaran tasawuf Jawa kepada sang istri. Ini dilakukan agar keduanya menjadi jinak dalam ketelenjangan tubuh mereka, dan menyingkap cadar rohnya dengan ketegangan syahwat serta batin. Abdi setia Tembangraras, Centini menyimak wejangan tuannya dari balik tirai ranjang. Baru pada malam empat puluh satunya yang hujan, keduanya bersenggama. Tapi, usai bersenggama Amongraga meningalkan Tembangraras untuk mengembara mencari kedua adiknya.
****
Keempat utusan ayahanda Tembangraras mendengar kabar jika Amongraga dihukum oleh ulama Mataram karena dituduh telah menyesatkan ribuan pengikutnya di Gunung Kidul tempat Amongraga bertapa Brata. Para pengikut itu diduga menjadi kehilangan akalnya karena terpengaruh guna-guna kedua murid Amongraga, Jamal dan Jamil. Amongraga dibuang ke tengah samudra. Kabar ini segara diwartakan oleh ke empat pengembara itu ke padepokan. Seisi padepokan tak bisa berkata-kata kecuali menitikan air mata. Namun kabar ini justru membuat Tembangraras yakin bahwa suaminya masih hidup. Bersama Centini, Tembangraras pagi-pagi buta meninggalkan padepokan mengembara mencari belahan jiwanya.
Dalam pengembarannya, kedua perempuan itu menyamar sebagai laki-laki. Mengenakan kumis dan berpakian menyerupai laiknya pria. Ditengah jalan mereka menjumpai ke perkampungan para gali kelas kakap. Tembangraras cemas. Ia tak habis pikir jika para pria bengis itu mengetahui jika tamunya yang mengaku santri pengembara ini adalah perempuan. Mereka pasti tak cuma merampok barang berhaganya, tapi juga kehormatannya. kekhawatiran Tembangraras benar-benar terjadi. Para perampok itu tahu ketika meraba-raba pakian Tembangraras untuk mengambil barang berhaga yang dibawanya, salah seorang menyentuh bagian tubuh kewanitaan putri jelita itu. Tapi Centini tak kehabisan akal. Dia menyodorkan bokongnya, seraya menantang para pria itu agar memasukkannya keduburnya. Ketika salah seorang hendak memasukkan ke dubur Centini, abdi setia Tembangraras itu menyemburkan kentut semarnya hingga terpentallah para pria di depannya dan dibuatnya kalang kabut.
Begitu lama Tembangraras dan Centini larut dalam pengembaraan. Sang Tuan Putri putus asa. Ia menggali kuburnya sendiri dengan tangannya yang sudah lemah. Ia membungkukkan tubuhnya dalam posisi duduk dengan kaki selonjor. Centini membujuk tuan junjunganya agar mengurungkan niatnya, tapi tak digubris. Tembangraras memasuki alam roh, mengutus abdi setianya Centini ke cakrawala. Di sana Tembangraras bertemu dengan Mangunarsa yang tak lain adalah Jayengsari dan Rencangkapti, kedua adik Amongraga yang telah mati.
Atas kekuasaan Allah, Amongraga tiba-tiba disadarkan jika semua saudaranya telah mati. Segera saja ia menghentikan pertapaannya dan menemui mereka. Beruntung jenazah-jenazah itu belum dimandikan. Di depan mayat itu Amongraga bersujud, dan ketiga mayat itu bisa hidup kembali karena sebenarnya mereka cuma pingsan. Tembangraras segera mengenali suaminya, sementara itu kedua adiknya yang terpisah sejak mereka masih kecil, sama sekali tak mengenali jika yang ada dihadapannya itu adalah kakaknya yang selama ini dicari. Tembangraras memperkenalkan Amongraga kepada kedua adiknya.
Begitulah kisah pengembaraan panjang Amongraga yang dikisahkan dalam jilid ke sembilan Centini di buku ini. Hingga akhirnya ia bertemu dengan pengembara asal Cina yang beragama islam. Dia adalah Endrasena. Amongraga sempat tegang menemui ratusan pasukan bersenjata di belakang pengembara tampan itu.
"Endrasena! Saudaraku! Apa yang kamu lakukan di situ?"
"San kamu? Hai pangeran Giri! Jadi begitu, kamu menjauhi semua makhluk untuk mendekatkan diri kepadaNya. kamu berupaya berada di kehadiranNya tapi kamu belum bisa lepas dari dirimu sendiri!"
Endrasena kemudian menantang Amongraga bermain petak umpet. Bagi yang memenangkan permainan ini akan mendapat kehadiranNya. Amongraga kalah. Di antara sinar kegelapan , Amongaraga bersujud. Dengan suara terpatah-patah, dia mengakui kekalahannya. Endrasena mengingatkan Amongraga bahwa dirinya terlalu berambisi kepada jihad besarnya, tapi ia lupa akan jihad kecil.
"Jihad yang mana?" tanya Amongraga.
"Apa kamu lupa bagaimana ayah kita Sunan Giri, telah dikalahkan Sultan Agung?Tak tahukah kamu bahwa beliau telah wafat merana di enjara Mataram," jawab Endrasena. Amongraga masih belum juga paham. Endrasena kini benar-benar menghilang dari pandangannya.
Amongraga dan Tembangraras pergi ke Mataram menemui Aji Nyakrakusuma, panggilan Sultan Agung. Mereka menyatakan keinginannya untuk mencari kedamaian. Keingiannya itu disambut dengan santun oleh Sang Aji. Dikatakan oleh raja Mataram itu bahwa raja adalah orang yang terlalubesar yang dilanda rasa takut hebat. Ayah Amongraga mati karena terlalu menginginkan mahakuasa Allah ketimbang melayaninya.
"Badai telah menduduki tahta para raja,
Sebab untuk membuat gurun, Tuhan, Gusti kita semua.
Memulai dari raja dan mengakhiri pada angin."
Maka atas perintah Sang Aji kedua pasang suami istri itu berubah menjadi ulat. Satu jantan dan satunya betina. Yang jantan cincinnya berwarna gelap dan berbulu, yang betina gelangnya merah dan gembur. Ulat yang jantan dimakan Sultan Agung yang akan menjadi putranya dan kelak akan menjadi raja. Ulat yang betina dimakan Pangeran Pekik, ipar sang raja, yang kelak akan menikahi sepupunya.
Tapi keturunan raja, yang diberi nama arab, Sayidin, yang kemudiangkat menjadi raja Amangkurat I itu melakukan pembantaian para ulama hingga membuatnya tak layak menerima gelar Sultan. Ia mensinyalir ada persekonkolan untuk menjatuhkannya. Ia memerintahkan prajuritnya membunuh siapa saja yang dicurigainya termasuk pamannya sendiri, Pangeran Pekik. Ia membunuh para pejabat Tua dan menggantikannya dengan yang lebih muda.
Persaingan perebutan kekuasaan pun terjadi antara anak dan bapak. Pangeran Anom yang mendapatkan dukungan dari pangeran dari pulau Madura melancarkan serangan ke Mataram. Sang raja melarikan diri hingga akhirnya menemukan ajalnya dalam pelariannya sebelum mencapai pesisir. Mayatnya dimakamkan di Tegalwangi. Di batu nisannya tertulis, yang entah oleh tangan siapa: "Hampir mati pada dirinya sendiri, hanya nafsu terakhirnya yang menjelma.?
****
Serat Centini, sama halnya dengan Serat Darmogandhul dan Suluk Gatholoco pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan umat muslim di nusantara. Selain dituduh mengumbar seksualitas secara vulgar, mereka juga dituduh menghina ajaran Islam. Pelecehan terhadap ajaran Islam itu dialamatkan terhadap Serat Darmogandhul dan Suluk Gatholoco. Kedua karya ini sempat dilarang beredar pada masa pemerintahan Orde Baru. Kedua karya ini melukiskan potret ?kaum abangan? yang awam terhadap Islam dan ?kaum santri? yang terlalu mendewakan syariat.
Kaum santri, dalam Suluk Gatholoco karya pujangga dan ulama besar jawa Ranggawarsita, digambarkan begitu mudah terpancing emosinya ketika menghadapi orang abangan macam Gatholoco (dalam bahasa jawa artinya asal ngomong, asal njeplak). Ini adalah gambaran kaum santri yang sebenarnya dalam penguasaan ilmu agama masih dangkal, sehingga mereka begitu mudah memberikan cap ?kafir? kepada orang lain. Berbeda dengan Sunan Kalijaga yang menyebarkan agama Islam dengan begitu lenturnya, bahkan bisa sambil bercanda, seperti ketika dirinya mengajak Prabu Brawijaya V masuk Islam. Sunan Kalijaga menjelaskan tentang islam, shalat dan makrifat layaknya pasangan yang sedang bersenggama.
Dalam konteks kekinian, karya-karya sastra besar Jawa itu bisa ditengok kembali untuk dijadikan sebagai refleksi perkembangan agama Islam di Indonesia dewasa ini. Bermunculannya gerakan-gerakan Islam yang cenderung radikal, yang menghalalkan segala cara belakangan ini sudah tercerabut dari ajaran-ajaran tasawuf Jawa yang arif dan bijaksana. Islam di Jawa dan nusantara pada umumnya, adalah agama yang secara historis berpijak dari akar budaya lokal yang sarat dengan laku dan budi pekerti luhur.
Mencermati perkembangan dunia kesusasteraan kontemporer di negeri ini, tampaknya mengalami kemunduran yang terlampau jauh. Terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Dunia sastra kita sampai dengan hari ini masih sibuk mengkotak-kotakkan diri ke dalam kubu-kubu: sastra seks, sastra islami atau sastra moralis dan amoral. Masyarakat pembaca dan juga sastrawan terjebak dalam penafsiran-penafsiran dangkal atas suatu teks. Mengukur nilai-nilai sebuah karya sastra dengan ukuran moralitas yang semu.
Pertanyaanya, jika memang moral masih mau dijadikan sebagai ukuran baik-buruknya sebuah karya sastra, apakah dengan mengumbar seksualitas maka karya-karya sastra Jawa yang sudah tersohor hingga ke belahan penjuru dunia itu, dapat dikatakan tidak ber"moral"? Tidakkah mereka mengajarkan nilai-nilai budipekerti yang luhur? Wallohu alam bisyhowab?.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar