Sabtu, 28 Februari 2009

Kalau Evi Bahagia Dipoligami, ”Lha mbok Biarin Aja..”

Abdul Wachid BS
http://www.kr.co.id/

MEMBACA buku cerpen Mahar karya Evi Idawati, ada hal yang menjadi perhatian saya. Dari gaya penceritaan, ekspresi bahasa secara umum, cerpen Evi tidak menunjukkan kebaruan. Tidak serevolusioner cerpen Joni Ariadinata yang mendobrak struktur kalimat menjadi frase-frase demi merebut ekspresi dan aksentuasi pikiran dan peristiwa agar selaras dengan emosi peristiwa yang dibangun. Memang, kelebihan cerpen Joni membangun miniatur “dunia” dengan cara memilih peristiwa paling penting saja. Hal itu, tak ubahnya penyair melakukan pemadatan kata-kata, sedangkan cerpenis melakukan pemadatan peristiwa. Dalam cerpen Evi, saya tidak mendapatkan hal itu. Cerpen Evi tak berpretensi melakukan pembaruan ekspresi kebahasaan, ia “hanya” pencerita yang komunikatif dan “sederhana”

Namun, syarat sebagai prosa yang baik sudah meng-ada dalam cerpennya, selaras ungkapan Satyagraha Hoerip, yang terpenting dalam prosa adalah berkisah atau ceritanya, yang lain nomor dua. Cerpen Evi memang demikian, mengalir perahu pikirannya, membawa pembaca ke seberang, mungkin daerah baru, barangkali desa imajinasi, barangkali sesuatu terindah dalam hidup manusia kita.

Mengapa Evi tak menggunakan kemampuan kepenyairannya secara penuh untuk seluruh cerpennya? Dalam prosa umumnya, hal yang disebut “puisi” memang perlu ada. “Puisi” itu ekspresi seni yang menyisakan ruang-kosong bagi penikmatnya agar dapat memberi makna, karenanya tiap pemaknaan mengalami perkembangan sesuai kejiwaan si Pembaca. Memaknai puisi “Doa” Chairil Anwar di saat SD, tentu berbeda dengan di saat menjadi mahasiswa Fakultas Sastra, akan sejajar dengan bertambahnya wawasan pembacaan. “Puisi” dalam prosa itu mewujud melalui ekspresi kebahasaan seperti halnya Saman karya Ayu Utami, atau Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy. Namun hal itu bisa juga meruang-mewaktu di dalam peristiwa, mendekonstruksi pikiran-pikiran umum seperti halnya Khutbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo.

Dalam hal ini, kekecewaan saya agak terobati. Pada cerpen Evi, yang “puisi” itu dari bangunan peristiwa dan pikiran yang dekonstruktif seperti cerpen “Pernikahan Malikha” (pernah di Kedaulatan Rakyat). Dalam cerpen itu, Evi mampu mengemas dramatisnya peristiwa, keadaan batin Malikha sebagai tokoh utama, gadis berusia 12 tahun sebab ketaatan kepada orangtua dan tradisi harus menerima pernikahan dini. Percakapan batin Malikha, percakapan Malikha dengan Kakak, ekspresi Malikha menghadapi nasib di hadapan orangtuanya, kebingungan Malikha mencari kawan “curhat”, akhirnya membawa pada dunia kanak-kanaknya, berperahu ke sunyi pantai, bersembunyi di rumah bakau. Di situ, Evi mampu menciptakan suasana, peristiwa, konflik batin, penyelesaian cerita, semua itu dikemas bagai “puisi” yang mengharubiru, dan unik. Dalam “Pernikahan Malikha”, Evi tak sekadar menguapkan asap tanpa api, tapi api itu ada dan mengirim gelombang panasnya airmata kepada pembaca.

Pada hemat saya, jika menjawab tanya, di mana letak “api” dari cerpen Evi dalam Mahar ini? Jawabnya, di cover Mahar. Seorang wanita rambutnya panjang terurai, di hadapannya api menyala-nyala, di atas api ada tulisan menjadi judul “Mahar”, juga nama “Evi Idawati” dengan huruf-huruf merah metalik, inilah “api” pertama yang nyala dari dalam buku Mahar.

“Api” selanjutnya, wanita di depan api itu apakah semacam Siti Fatimah RA putri Nabi Muhammad SAW, yang menjawab tanya, bagaimana jika Sayidina Ali RA (suaminya) menikah lagi? Dijawabnya, kalau saja telor ditaruh di atas tungku hatiku, maka akan matang... Barangkali cover Mahar terinspirasi riwayat itu sehingga wanita di situ dihadapkan pada “api”? Namun ternyata, membaca cerpen “Mahar” dan “Titik Balik”, dua cerpen yang paling problematis di buku ini, pembaca justru tidak memperoleh gambaran panasnya api poligami yang membakar perempuan. Sebaliknya, api itu, perempuan sendirilah yang memantinya, bukan untuk membakar diri, melainkan lambang kehidupan yang tercerahkan (Bukankah unsur yang mengharmonikan kehidupan adalah air, tanah, udara, dan api?)
***

CERPEN “Titik Balik” lebih syariat, tokoh Ibu tidak melakoni kehidupan asketik (zuhud), kehidupannya biasa saja sebagai umumnya wanita mencintai lelaki yang dicintainya. Namun, dalam pikiran anaknya, mengapa Ibu bisa menerima diperlakukan Ayah sebagai istri kedua tanpa tuntutan neko-neko? Di cerpen itu Evi tidak sedang berdakwah, ia membangun peristiwa kesadaran tokoh Ibu; bukankah logis sebagai orang yang datang nomor dua tidak begitu banyak tuntutan? Apalagi tokoh Ibu berposisi dilematis, di satu sisi ia sadar telah “merebut” kebahagiaan wanita lain, di segi lain ia tak kuasa oleh kuasa cinta yang mengharubiru, yang ditumbuhkan Tuhan di taman hatinya. Cinta, memang, tak perlu didramatisir, namun cinta kerap menjadi misteri sekalipun tiap cinta-sejati selalu hakikatnya jiwa-yang-tenang (nafs al-muthmainnah), selalu dalam hubungannya dengan Tuhan, bahkan dalam percintaan profan sekalipun. Jika cinta-sejati diteruskan perawatannya hingga benar-benar sampai pada Cinta-Sejati, karenanya tak sebatas soal kelon. Yang semula hanya arti (meaning) sebab pukau megahnya tubuh, dari situ cinta-sejati akan meningkat pada makna (significance) megahnya tubuh.

Tokoh Ibu dalam “Titik Balik” tidak mengalami married by accident (MBA), tidak pula selingkuh (“hubungan-gelap” yang didahului zina), melainkan “hubungan-gelap-yang-terang”. Ini takdir yang tak kuasa ditolaknya, tokoh Ibu menyikapi dengan sumarah dan transendental. Justru, tokoh “Aku” (anak) tak mau mengerti selama 29 tahun, sampai akhirnya ia sendiri merasakan cinta yang sama, mencintai lelaki yang sudah beristri.

APAKAH cinta-sejati ada dalam poligami? Cinta-sejati dalam poligami hanya bisa dirasakan dan diterima oleh orang yang memiliki pengalaman sama, yang lain menganggapnya nonsens, syukur-syukur tak mengatainya, “Aaah, ngrebut suami orang!” Atau, “Perempuan matre!”. Bahkan, “Sundal!” Di situlah simalakama, di satu sisi cinta itu meng-ada melalui kuasa upaya, di segi lain cinta meng-ada melalui karunia langsung dari “Yang di Atas Sana” (Transenden). Dua fenomena itu selalu hadir di tengah jutaan hubungan lelaki-perempuan, dengan begitu, definisi, ukuran, dan cara pencapaiannya juga tidak sama. Mengapalah diharuskan sama? Katanya mengagungkan Hak Asasi Manusia?

Dari situ, ada pembenaran tersirat, poligami bukan suatu anjuran (oleh Islam), namun menyediakan ruang bagi keadaan darurat dari realitas kehidupan manusia semacam Unit Gawat Darurat (UGD) sehingga tatkala orang dihadapkan pada kondisi tersebut (pilihan-sadar atau malu-malu), maka hubungan lelaki-perempuan tidak perlu melanggar hati nurani dan nilai-nilai yang disepakati sesama manusia.

Cinta (mahabbah) dipahami dalam prespektif “Jalan”-nya (tarekat), ada yang melalui upaya-upaya konkret manusia (maqamat), dan ada yang bahkan tanpa upaya campur tangan manusia berupa keadaan mental yang mencenderungi cinta (hal). Barangkali ada yang menanyakan, bukankah perspektif demikian hanya berlaku dalam kehidupan sufisme? Boleh balik bertanya, bukankah “upaya” dan “anugerah” juga terjadi pada siapapun? Dalam perspektif ini, cerpen “Titik Balik”, merepresentasikan cinta sebagai upaya-upaya (maqamat) perjuangan dan pengetahuan sekaligus keadaan mental (hal) yang dikaruniai Allah; dan, hal tidak memandang siapa orang yang akan ketiban ndaru cinta, dan alamat cinta pun tidak pandang apa orang yang dicintai sudah memiliki istri atau belum (kita tidak bicara hal sebaliknya, seorang istri memiliki lima suami Pandawa, yang mendapat legalisasi adat sebagaimana di Tibet!). Hanya “orang yang cinta” saja yang dapat merasakan cinta dan Cinta, karenanya di saat supralogis cinta itu niban ndaru kepada tokoh “Aku” (anak), barulah ia dapat menghayati, dan mengetahui makna cinta, selanjutnya memperjuangkan cinta.
***

DALAM cerpen “Mahar”, Maya mempersepsi dan memposisikan cinta lebih pada perspektif mahabbah, yang datangnya secara hal, yang sebab kuasa Tuhan sehingga memiliki kekuatan mengubah seseorang secara tiba-tiba. Wanita yang melakoni hidup pernikahannya 13 tahun ketiban ndaru mahabbah. Tokoh istri, Maya, di satu sisi telah merasakan nikmatnya limpahan cinta suami, ia ingin berbalas budi dengan memberinya kebahagiaan biologis. Namun, saat mengevaluasi hidupnya dengan mendekatkan pada Allah, ia mengalami nikmat cinta dari Yang Mahakekasih. Hal ini menimbulkan kesadaran baru, bagaimanapun secara syariat ia seorang istri, yang mengharuskan antar-keduanya saling memberi nafkah lahir-batin. Dilema ini dijawab dengan kesadaran syariat Maya, agama memberi alternatif dengan poligami. Kesadaran poligami ini didasarkan pada adanya kesepakatan antar-pelaku yang akan melakoninya, jika tidak, maka bukan poligami, melainkan selingkuh. Dari itu sepertinya Evi mengetahui (semoga juga menghayati) perjalanan maqamat cinta: tatkala mabuk-mabuknya cinta kepada Allah, seseorang melupakan semuanya kecuali Allah (fase “kemabukan”); setelah tersingkap hijab-Nya, seseorang itu akan kembali pada pelaksanaan seluruh syariat tanpa terkecuali (fase “ketakmabukan dalam kemabukan”); kemudian ia meng-Esa-kan tauhid, tiada suatu realitas pun jika tidak dimaknakan kaitannya dengan Allah (laailaha illallaah), maka fana.

Di sinilah “api” cerpen “Mahar”, ia memposisikan nilai hubungan lelaki-perempuan didasarkan pada realitas manusia, dan maqamat kemanusiaannya. Tak perlu apriori terhadap poligami, tak perlu emosional mengklaim sebagai hal yang tak beradab dan dampak buruk dari budaya patriarkhal, tapi juga tak perlu mengadakan “Poligami Award”. Nilai hubungan lelaki-perempuan bukan pada kuantitasnya, melainkan kualitasnya; dan kebutuhan, kemampuan, cara masing-masing orang tentulah tidak sama dalam memaknai kebahagiaan.

Dengan demikian, dalam cerpen Mahar (juga lainnya), cinta lelaki-perempuan bukanlah “kepemilikan” mutlak wadag sebab cinta suatu proses yang “menjadi”, proses belajar-mengajar tiada habisnya. Pada proses “menjadi”-kan cinta inilah berlangsung sekaligus “kepemilikan” kreatif dari jati diri yang dicintai. Karenanya, cinta dimaknai dan ditempatkan di antara tingkatan (maqamat) dan keadaan mental dicerahi Cinta Allah (hal). Jadi bukannya “asap tanpa api” sebab nilai “api” orang per orang juga tidak sama tingkatannya. Kalau Evi bahagia dipoligami, “Lha mbok biarin aja”.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir