Abdul Wachid BS
http://www.kr.co.id/
MEMBACA buku cerpen Mahar karya Evi Idawati, ada hal yang menjadi perhatian saya. Dari gaya penceritaan, ekspresi bahasa secara umum, cerpen Evi tidak menunjukkan kebaruan. Tidak serevolusioner cerpen Joni Ariadinata yang mendobrak struktur kalimat menjadi frase-frase demi merebut ekspresi dan aksentuasi pikiran dan peristiwa agar selaras dengan emosi peristiwa yang dibangun. Memang, kelebihan cerpen Joni membangun miniatur “dunia” dengan cara memilih peristiwa paling penting saja. Hal itu, tak ubahnya penyair melakukan pemadatan kata-kata, sedangkan cerpenis melakukan pemadatan peristiwa. Dalam cerpen Evi, saya tidak mendapatkan hal itu. Cerpen Evi tak berpretensi melakukan pembaruan ekspresi kebahasaan, ia “hanya” pencerita yang komunikatif dan “sederhana”
Namun, syarat sebagai prosa yang baik sudah meng-ada dalam cerpennya, selaras ungkapan Satyagraha Hoerip, yang terpenting dalam prosa adalah berkisah atau ceritanya, yang lain nomor dua. Cerpen Evi memang demikian, mengalir perahu pikirannya, membawa pembaca ke seberang, mungkin daerah baru, barangkali desa imajinasi, barangkali sesuatu terindah dalam hidup manusia kita.
Mengapa Evi tak menggunakan kemampuan kepenyairannya secara penuh untuk seluruh cerpennya? Dalam prosa umumnya, hal yang disebut “puisi” memang perlu ada. “Puisi” itu ekspresi seni yang menyisakan ruang-kosong bagi penikmatnya agar dapat memberi makna, karenanya tiap pemaknaan mengalami perkembangan sesuai kejiwaan si Pembaca. Memaknai puisi “Doa” Chairil Anwar di saat SD, tentu berbeda dengan di saat menjadi mahasiswa Fakultas Sastra, akan sejajar dengan bertambahnya wawasan pembacaan. “Puisi” dalam prosa itu mewujud melalui ekspresi kebahasaan seperti halnya Saman karya Ayu Utami, atau Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy. Namun hal itu bisa juga meruang-mewaktu di dalam peristiwa, mendekonstruksi pikiran-pikiran umum seperti halnya Khutbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo.
Dalam hal ini, kekecewaan saya agak terobati. Pada cerpen Evi, yang “puisi” itu dari bangunan peristiwa dan pikiran yang dekonstruktif seperti cerpen “Pernikahan Malikha” (pernah di Kedaulatan Rakyat). Dalam cerpen itu, Evi mampu mengemas dramatisnya peristiwa, keadaan batin Malikha sebagai tokoh utama, gadis berusia 12 tahun sebab ketaatan kepada orangtua dan tradisi harus menerima pernikahan dini. Percakapan batin Malikha, percakapan Malikha dengan Kakak, ekspresi Malikha menghadapi nasib di hadapan orangtuanya, kebingungan Malikha mencari kawan “curhat”, akhirnya membawa pada dunia kanak-kanaknya, berperahu ke sunyi pantai, bersembunyi di rumah bakau. Di situ, Evi mampu menciptakan suasana, peristiwa, konflik batin, penyelesaian cerita, semua itu dikemas bagai “puisi” yang mengharubiru, dan unik. Dalam “Pernikahan Malikha”, Evi tak sekadar menguapkan asap tanpa api, tapi api itu ada dan mengirim gelombang panasnya airmata kepada pembaca.
Pada hemat saya, jika menjawab tanya, di mana letak “api” dari cerpen Evi dalam Mahar ini? Jawabnya, di cover Mahar. Seorang wanita rambutnya panjang terurai, di hadapannya api menyala-nyala, di atas api ada tulisan menjadi judul “Mahar”, juga nama “Evi Idawati” dengan huruf-huruf merah metalik, inilah “api” pertama yang nyala dari dalam buku Mahar.
“Api” selanjutnya, wanita di depan api itu apakah semacam Siti Fatimah RA putri Nabi Muhammad SAW, yang menjawab tanya, bagaimana jika Sayidina Ali RA (suaminya) menikah lagi? Dijawabnya, kalau saja telor ditaruh di atas tungku hatiku, maka akan matang... Barangkali cover Mahar terinspirasi riwayat itu sehingga wanita di situ dihadapkan pada “api”? Namun ternyata, membaca cerpen “Mahar” dan “Titik Balik”, dua cerpen yang paling problematis di buku ini, pembaca justru tidak memperoleh gambaran panasnya api poligami yang membakar perempuan. Sebaliknya, api itu, perempuan sendirilah yang memantinya, bukan untuk membakar diri, melainkan lambang kehidupan yang tercerahkan (Bukankah unsur yang mengharmonikan kehidupan adalah air, tanah, udara, dan api?)
***
CERPEN “Titik Balik” lebih syariat, tokoh Ibu tidak melakoni kehidupan asketik (zuhud), kehidupannya biasa saja sebagai umumnya wanita mencintai lelaki yang dicintainya. Namun, dalam pikiran anaknya, mengapa Ibu bisa menerima diperlakukan Ayah sebagai istri kedua tanpa tuntutan neko-neko? Di cerpen itu Evi tidak sedang berdakwah, ia membangun peristiwa kesadaran tokoh Ibu; bukankah logis sebagai orang yang datang nomor dua tidak begitu banyak tuntutan? Apalagi tokoh Ibu berposisi dilematis, di satu sisi ia sadar telah “merebut” kebahagiaan wanita lain, di segi lain ia tak kuasa oleh kuasa cinta yang mengharubiru, yang ditumbuhkan Tuhan di taman hatinya. Cinta, memang, tak perlu didramatisir, namun cinta kerap menjadi misteri sekalipun tiap cinta-sejati selalu hakikatnya jiwa-yang-tenang (nafs al-muthmainnah), selalu dalam hubungannya dengan Tuhan, bahkan dalam percintaan profan sekalipun. Jika cinta-sejati diteruskan perawatannya hingga benar-benar sampai pada Cinta-Sejati, karenanya tak sebatas soal kelon. Yang semula hanya arti (meaning) sebab pukau megahnya tubuh, dari situ cinta-sejati akan meningkat pada makna (significance) megahnya tubuh.
Tokoh Ibu dalam “Titik Balik” tidak mengalami married by accident (MBA), tidak pula selingkuh (“hubungan-gelap” yang didahului zina), melainkan “hubungan-gelap-yang-terang”. Ini takdir yang tak kuasa ditolaknya, tokoh Ibu menyikapi dengan sumarah dan transendental. Justru, tokoh “Aku” (anak) tak mau mengerti selama 29 tahun, sampai akhirnya ia sendiri merasakan cinta yang sama, mencintai lelaki yang sudah beristri.
APAKAH cinta-sejati ada dalam poligami? Cinta-sejati dalam poligami hanya bisa dirasakan dan diterima oleh orang yang memiliki pengalaman sama, yang lain menganggapnya nonsens, syukur-syukur tak mengatainya, “Aaah, ngrebut suami orang!” Atau, “Perempuan matre!”. Bahkan, “Sundal!” Di situlah simalakama, di satu sisi cinta itu meng-ada melalui kuasa upaya, di segi lain cinta meng-ada melalui karunia langsung dari “Yang di Atas Sana” (Transenden). Dua fenomena itu selalu hadir di tengah jutaan hubungan lelaki-perempuan, dengan begitu, definisi, ukuran, dan cara pencapaiannya juga tidak sama. Mengapalah diharuskan sama? Katanya mengagungkan Hak Asasi Manusia?
Dari situ, ada pembenaran tersirat, poligami bukan suatu anjuran (oleh Islam), namun menyediakan ruang bagi keadaan darurat dari realitas kehidupan manusia semacam Unit Gawat Darurat (UGD) sehingga tatkala orang dihadapkan pada kondisi tersebut (pilihan-sadar atau malu-malu), maka hubungan lelaki-perempuan tidak perlu melanggar hati nurani dan nilai-nilai yang disepakati sesama manusia.
Cinta (mahabbah) dipahami dalam prespektif “Jalan”-nya (tarekat), ada yang melalui upaya-upaya konkret manusia (maqamat), dan ada yang bahkan tanpa upaya campur tangan manusia berupa keadaan mental yang mencenderungi cinta (hal). Barangkali ada yang menanyakan, bukankah perspektif demikian hanya berlaku dalam kehidupan sufisme? Boleh balik bertanya, bukankah “upaya” dan “anugerah” juga terjadi pada siapapun? Dalam perspektif ini, cerpen “Titik Balik”, merepresentasikan cinta sebagai upaya-upaya (maqamat) perjuangan dan pengetahuan sekaligus keadaan mental (hal) yang dikaruniai Allah; dan, hal tidak memandang siapa orang yang akan ketiban ndaru cinta, dan alamat cinta pun tidak pandang apa orang yang dicintai sudah memiliki istri atau belum (kita tidak bicara hal sebaliknya, seorang istri memiliki lima suami Pandawa, yang mendapat legalisasi adat sebagaimana di Tibet!). Hanya “orang yang cinta” saja yang dapat merasakan cinta dan Cinta, karenanya di saat supralogis cinta itu niban ndaru kepada tokoh “Aku” (anak), barulah ia dapat menghayati, dan mengetahui makna cinta, selanjutnya memperjuangkan cinta.
***
DALAM cerpen “Mahar”, Maya mempersepsi dan memposisikan cinta lebih pada perspektif mahabbah, yang datangnya secara hal, yang sebab kuasa Tuhan sehingga memiliki kekuatan mengubah seseorang secara tiba-tiba. Wanita yang melakoni hidup pernikahannya 13 tahun ketiban ndaru mahabbah. Tokoh istri, Maya, di satu sisi telah merasakan nikmatnya limpahan cinta suami, ia ingin berbalas budi dengan memberinya kebahagiaan biologis. Namun, saat mengevaluasi hidupnya dengan mendekatkan pada Allah, ia mengalami nikmat cinta dari Yang Mahakekasih. Hal ini menimbulkan kesadaran baru, bagaimanapun secara syariat ia seorang istri, yang mengharuskan antar-keduanya saling memberi nafkah lahir-batin. Dilema ini dijawab dengan kesadaran syariat Maya, agama memberi alternatif dengan poligami. Kesadaran poligami ini didasarkan pada adanya kesepakatan antar-pelaku yang akan melakoninya, jika tidak, maka bukan poligami, melainkan selingkuh. Dari itu sepertinya Evi mengetahui (semoga juga menghayati) perjalanan maqamat cinta: tatkala mabuk-mabuknya cinta kepada Allah, seseorang melupakan semuanya kecuali Allah (fase “kemabukan”); setelah tersingkap hijab-Nya, seseorang itu akan kembali pada pelaksanaan seluruh syariat tanpa terkecuali (fase “ketakmabukan dalam kemabukan”); kemudian ia meng-Esa-kan tauhid, tiada suatu realitas pun jika tidak dimaknakan kaitannya dengan Allah (laailaha illallaah), maka fana.
Di sinilah “api” cerpen “Mahar”, ia memposisikan nilai hubungan lelaki-perempuan didasarkan pada realitas manusia, dan maqamat kemanusiaannya. Tak perlu apriori terhadap poligami, tak perlu emosional mengklaim sebagai hal yang tak beradab dan dampak buruk dari budaya patriarkhal, tapi juga tak perlu mengadakan “Poligami Award”. Nilai hubungan lelaki-perempuan bukan pada kuantitasnya, melainkan kualitasnya; dan kebutuhan, kemampuan, cara masing-masing orang tentulah tidak sama dalam memaknai kebahagiaan.
Dengan demikian, dalam cerpen Mahar (juga lainnya), cinta lelaki-perempuan bukanlah “kepemilikan” mutlak wadag sebab cinta suatu proses yang “menjadi”, proses belajar-mengajar tiada habisnya. Pada proses “menjadi”-kan cinta inilah berlangsung sekaligus “kepemilikan” kreatif dari jati diri yang dicintai. Karenanya, cinta dimaknai dan ditempatkan di antara tingkatan (maqamat) dan keadaan mental dicerahi Cinta Allah (hal). Jadi bukannya “asap tanpa api” sebab nilai “api” orang per orang juga tidak sama tingkatannya. Kalau Evi bahagia dipoligami, “Lha mbok biarin aja”.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar