Jumat, 16 Januari 2009

Risiko Kritik(us)

Aminudin TH Siregar
http://kompas-cetak/

Tulisan Bre Redana dan Afrizal Malna yang dimuat dalam harian ini (Kompas, 6 Mei 2007) sama-sama mempermasalahkan peran dan fungsi kritik(us) seni atau boleh dibilang keduanya tengah mempertanyakan kemerosotan "aura" (pamor) kritik seni. Menurut Bre, dibalik agresivitas pasar mengonsumsi karya-karya seni rupa kontemporer, diam-diam posisi kritikus jadi dilematis. Bre curiga, pasar sesungguhnya tidak membutuhkan acuan dari seorang kritikus, sebab pasar sanggup berjalan dengan logikanya sendiri.

Sementara, kritikus cenderung merayakan pasarnya, yaitu "pasar wacana" yang berbeda kepentingan dengan "pasar" dalam arti sesungguhnya. Di lain pihak, Afrizal Malna berkeluh kesah tentang transformasi peran kritik seni sebagai promotor seni. Kritik seni, demikian Afrizal, menjadi lipstik untuk karya yang dipuji dan menjadi comberan untuk karya yang dianggap buruk.

Baik Afrizal maupun Bre kemudian mencium gelagat bahwa kondisi seni rupa kita sekarang belum bisa keluar dari kungkungan pasar. Yang berbahaya, dalam situasi demikian, kritikus mau tidak mau harus tunduk pada kepentingan pasar.

Oleh karena itulah, pertanyaan esensial yang diajukan oleh keduanya: apakah peran kritik(us) seni di zaman komersialisasi-komodifikasi seni dewasa ini? Alih-alih menjawab peran maupun fungsi kritik seni, saya lebih tertarik untuk mendiskusikan soal bagaimana seseorang menjalani hidup sebagai kritikus di tengah perubahan konstelasi maupun infrastruktur seni rupa sekarang ini.

Afrizal agak benar ketika menyebutkan bahwa kritik yang menjelma ke dalam "jurnalisme gaya hidup" condong bersikap kurang adil, sebab lebih mengutamakan seniman selebritas. Padahal, sejatinya kritik seni menyasar pula ke relung medan seni rupa di lapis bawah. Namun, inilah kiranya, hemat saya, risiko yang dihadapi oleh kritikus kontemporer yang berhadapan dengan perubahan dalam paradigma seni yang begitu cepat.

Menjalani hidup sebagai kritikus saat ini tidak lagi berhadapan dengan medan sosial seni yang sederhana, sebagaimana yang dihadapi oleh, misalnya, generasi S Sudjojono maupun Trisno Sumardjo. Meskipun demikian, bobot permasalahannya boleh jadi sama-sama rumit. Satu hal yang kentara jelas, di masa S Sudjojono cakupan mediasi seni jauh lebih variatif dan hubungan-hubungan antarjenis kesenian masih bisa disatukan dalam satu majalah. "Tradisi" kritik kita mulanya dibangun melalui komunikasi interdisiplin.

Kita pun tahu sejumlah terbitan majalah seni budaya pada masa itu siap menampung tulisan-tulisan kritik, begitu pula surat kabar umum yang sesekali disisipi tulisan tentang seni rupa. Kita kenang majalah Zenith, Indonesia, Budaja, Siasat, Seni, Seniman atau Mimbar Indonesia, dan banyak lagi. Berbeda dengan peluang kritikus untuk menulis di segelintir media massa yang kita miliki sekarang di mana kritikus pun harus rela antre agar tulisannya bisa dimuat di sebuah koran nasional, sebab setiap koran atau majalah sudah memiliki penulis yang otomatis mengambil peran kritikus. Kalaupun kelak tulisan kritik tersebut dimuat, kritikus pun geleng-geleng kepala menghitung kecilnya jumlah bayaran yang diterima.

Kondisi yang payah ini tak ayal membuat kritikus beralih ke profesi lain yang kini makin terkenal, yaitu kurator. Tentu saja, dari segi ekonomis, menjalani hidup sebagai kurator jauh lebih layak.

Pendek kata, merosotnya jumlah kritikus di Indonesia antara lain disebabkan kecilnya ruang mediasi yang kita miliki sekarang dan minimnya pendapatan ekonomis. Belum pernah ada dalam sejarah di Republik ini yang mengabarkan kelayakan hidup seorang kritikus seni dibandingkan seniman. Sejarah lebih sering mengabarkan keperihan hidup seorang kritikus.

Kita tentu ingat almarhum kritikus Trisno Sumardjo. Sampai-sampai pelukis Nashar, Rusli, dan Zaini pada tahun 1970-an berinisiatif menggelar pameran yang hasil penjualannya kelak dimanfaatkan untuk memperbaiki makamnya. "Kalau tidak mau TBC", kata S Sudjojono dulu, "jangan jadi seniman!" Kredo ini bisa berlaku untuk kritikus sekarang. "Kalau tidak mau TBC, jangan jadi kritikus!"

Krisis kritisisme semacam ini sempat melanda seni rupa Amerika beberapa tahun silam. Kritisisme di Amerika mengalami kemerosotan pasca-Clement Greenberg. Setiap surat kabar maupun majalah sudah memiliki penulis internal. Lalu, jurnal-jurnal seni rupa seolah diperuntukkan khusus untuk kritikus terkenal. Bayaran yang diterima kritikus pun relatif kecil untuk menyambung hidup selama sebulan. Persis dengan situasi di Indonesia, tidak heran kalau berbondong-bondong kritikus menjelmakan dirinya sebagai kurator.

Belum lagi, "kritikus-kritikus sejati" kini berhadapan dengan "kritikus medioker" yang hanya numpang sesaat menulis di surat kabar nasional atau majalah. Bisa dikatakan, meneruskan nalar Afrizal, setiap orang hari ini bisa tiba-tiba menjadi kritikus sebagaimana tiba-tiba seseorang menjadi seniman dan dibaptis oleh media massa, dirayakan oleh kilau gaya hidup.

Saya paham bahwa alasan di balik fenomena kritikus medioker adalah premis-premis yang menginginkan terciptanya egaliterisme dalam dunia seni rupa. Premis ini bertolak dari pemikiran bahwa dunia seni rupa adalah dunia elitis, menara gading. Salah satu biang keroknya yang sering disasar tak lain adalah akademi-akademi seni rupa. Namun, implikasinya, terciptanya situasi egaliter sekarang membuat kita akan selalu bertemu dengan tulisan-tulisan kritik yang medioker tersebut.

Situasi sekarang membuat kita tidak tahu lagi, mana kritik yang baik, mana kritik yang sifatnya review, mana kritik yang tidak berbekal pemahaman seni rupa. Nah, sebenarnya pada titik ini terasa ganjil kalau Afrizal Malna menilai lemahnya peran akademi dan penelitian menghadapi fenomena perkembangan seni rupa. Dari perspektif akademi, bagaimanapun juga perkara demikian lagi-lagi akan menciptakan sikap dilematis alias serba salah. Bukan, tidak mustahil, kembali dominannya para kaum akademis dalam medan sosial seni akan memunculkan kecemburuan dan kecaman dari publik seni. Tetapi, mau tidak mau demikianlah situasinya.

Sudah sepantasnya publik seni rupa tidak harus menuntut peran dan fungsi kritik(us). Keberanian untuk menjalani hidup sebagai seorang kritikus di zaman sekarang saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.

*) Kurator Galeri Soemardja.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir