Minggu, 18 Januari 2009

Perempuan Penanti Jibril

Syarif Hidayatullah
http://www.lampungpost.com/

Kaukah itu yang datang di malam hari atau itu hanya angin belaka? Entahlah, yang jelas perempuan itu selalu menanti Jibril lantaran tahajud terus mengalir di tubuhnya dan malam selalu membisikinya tentang arti kehidupan.

Sejenak ia renungi angin gurun, mencoba menaksir apakah ada kehidupan yang lebih indah tanpa ada cobaan? Siluet api bergerak, membenturkannya kembali untuk mengingat Jibril, adakah kau yang datang malam hari?

Belum sempat air matanya menitik menjelma bongkahan kesedihan. Perempuan itu tergerak seketika setelah mendengar geliat anaknya di atas kasur. Dilihatnya anak itu seperti malaikat yang terbaring. Akankah kau menjadi malaikat, anakku? Ia mengecup kening anaknya. Anaknya kembali terdiam.

Di kamar yang kecil itu, kembali ia rebahkan tubuhnya. Kerut kening di wajahnya semakin membias. Wajahnya menampakan luka yang semakin mendalam. Ia raba punggungnya perih. Bekas luka terkena air panas itu masih belum kering juga. Jam berdetak semakin cepat. Tengah malam sudah ia lewatkan. Pagi benar ia harus segera bangun atau luka di tubuhnya akan bertambah lagi. Ia berusaha memejamkan matanya. Namun semakin keras ia paksakan dirinya untuk tidur, matanya semakin kehilangan rasa kantuk. Ia semakin khawatir. Ia tidak mau kejadian itu menimpanya lagi. Kejadian yang membuatnya dimarahi habis-habisan oleh Hazayeb yang tidak lain adalah mertuanya sendiri.

Hazayeb terperanjak kaget ketika melihatnya pingsan. Bukan karena ia merasa kasihan, bukan pula karena iba, melainkan ia begitu dongkol. Tamunya yang datang malah bersimbah air teh yang seharusnya dijamukan.

"Fatimah, apa yang kau lakukan?!" hardiknya kasar. Fatimah yang terjatuh karena kelelahan hanya memandangnya samar. Mikail melihatnya di kejauhan. Sejenak ia terhenti untuk memainkan kafayeh yang diberikan Fatimah. Anaknya itu menghampiri ibunya. Menatap Hazayeb dengan tatapan penuh amarah.

"Apa yang Kakek lakukan. Kenapa Kakek selalu memperlakukan ibu dengan kasar?!" Anak berumur 12 tahun itu menatap kakeknya dengan wajah yang garang.

"Jangan sebut aku Kakek! Ingat, kau dan ibumu hanya pembantu!" Jawabnya dengan nada angkuh.

"Tapi ayah adalah anakmu?!" kembali Mikail menentang.

"Dasar anak kurang ajar."

Satu pukulan keras menghantam pipi Mikail. Mikail jatuh linglung di samping ibunya. Ibunya mendekapnya penuh kasih sayang, sambil kemudian bangun dan pergi dengan tertatih-tatih.

Perempuan itu memeluk erat tubuh Mikail, malaikat kecilnya. Sejenak malam menjadi hening, kemudian perasaan itu kembali datang. Kaukah itu yang datang di malam hari atau itu hanya angin belaka?

"Fatimah, ambilkan aku segelas kopi!" Belum selesai ia menghangatkan air panas, Hazayeb kembali memanggilnya dengan teriakan yang terdengar mirip seperti auman serigala.

Sambil membawa segelas kopi hangat, Fatimah menghampiri Hazayeb yang berada di ruang tamu. Di atas meja ada selembar surat, Hazayeb segera mengambil surat itu setelah menyadari Fatimah sedang berusaha membaca surat itu.

"Apa yang kau lihat?" tanya Hazayeb kasar.

Fatimah segera meninggalkan Hazayeb sendirian. Namun sebelum jauh ia meninggalkan, terdengar jerit marah-marah dari kamar mandi. Ternyata itu istrinya Hazayeb, Shafra. Dengan tubuhnya yang tambun ia memaki-maki Fatimah.

"Ada apa istriku?" tanya Hazayeb.

"Biasa, Fatimah," ujarnya ketus. Fatimah menunduk.

"Sudah kubilang! Setiap aku mandi kau harus menyiapkan air hangat untukku!"

Kembali hal sepele dipermasalahkan. Dulu hanya karena perempuan itu pergi tanpa izin, perempuan itu dimarahi habis-habisan. Padahal, perempuan itu keluar semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang telah menipis. Namun, penjelasannya itu tak diterima mereka sama sekali. Mereka malah terus mencaci makinya tanpa ampun dan tidak jarang ocehan mereka itu diikuti oleh pukulan-pukulan yang cukup keras.

Fatimah tidak bisa berontak, ia hanya bisa menunduk dan bersabar. Karena itulah yang selama ini diperintahkan Jibril. Ya Allah, sampai kapan kau menakdirkanku untuk hidup bersama dua orang tua ini. Kapan Jibril kau kirim untukku? Kapan ia akan datang untuk membawaku terbang? Terbang hingga menuju arsy-Mu! Gelisah hati Fatimah kembali membahana di relung jiwanya.

Namun, hanya omelan dua orang suami-istri yang didengarnya. Di luar angin semakin gaduh meramalkan cuaca. Tapi tak sebegitu gaduh hatinya.

Malam kembali melajang, bintang berkedip sesaat sebelum akhirnya kembali terang. Suara radio terdengar serak-serak basah mengilhami malam. Radio bercerita tentang meledaknya perang antara tentara intifada di Al-Quds terjajah dan Negehev, diikuti dengan kabar mundurnya pasukan Israel. Hatinya membahana. Akankah kau mengetuk pintu malam ini, lalu mencium keningku?

Malam kembali tak berbicara. Tidak pula memberinya kepastian esok matahari akan terbit sempurna. Kini tahajud kembali menenggelamkan dirinya dalam ayat-ayat Tuhan. Sederet tangis menjelma gerimis.

***

Dari ruang dapur, perempuan itu sudah bisa menebak bahwa ada tamu di depan. Namun, kenapa Hazayeb tidak pula memanggilnya? Perempuan itu menjadi begitu penasaran. Air panas yang sedang bergemuruh segera ia tuangkan ke dalam bak kamar mandi. Kali ini, Shafra tidak akan mengomel lagi padaku, ujarnya dalam hati.

Perempuan itu bergegas menuju ruang tamu. Beberapa orang berbaju tentara sedang berdiri di depan pintu. Wajah mereka ditutupi oleh kafayeh. Ya Allah! Kejutan apa yang kau kirim kepadaku? Pasti kau mengirim Jibril kepadaku! Pasti! Fatimah membatin.

Namun tak pula ia menemukan mata khas Jibril, mata yang selalu menggodanya ketika ia pulang dari masjid. Mata yang membuatnya memutuskan untuk menjadi bidadari di sisinya. Mata yang selalu memberikan dirinya secercah cahaya.

Masih teringat di otaknya ketika ia dan suaminya membangun rumah bersama. Ketika itu Mikail tersenyum bahagia walaupun umurnya masih menginjak 8 tahun. Mikail berteriak begitu senang, semua tersenyum memandangnya. Perempuan itu tersenyum sedikit mengenang hal tersebut.

Namun senyumnya tiba-tiba pudar, ketika ia mengingat pada suatu malam suaminya datang dengan membawa ayah dan ibunya, entah apa yang membuat mereka mau berkunjung pada keluarganya yang selama ini tidak pernah mereka restui.

Semula perempuan itu begitu senang menyambut mereka, karena itu berarti pernikahan mereka telah direstui. Suaminya menjelaskan bahwa rumah yang selama ini dijadikan tempat tinggal oleh mereka di Al-Quds terjajah telah digusur secara paksa oleh tentara Israel. Hal itu semata-mata dilakukan oleh tentara Israel demi menjalankan program Cleaning Etnic. Padahal, itulah satu-satunya kekayaan mereka. Hal inilah yang membuatnya bertambah yakin. Mertuanya pasti akan benar-benar menerimanya sebagai menantu.

Sebetulnya ia tidak pernah mengira hal ini benar-benar terjadi pada dirinya. Setelah suaminya memutuskan untuk bergabung dengan tentara intifadah di daerah tempat rumah mereka selama ini tinggal. Ini pasti bujukan kedua orang tuanya, mereka masih tidak rela harta mereka dirampas. Salah satu alasan yang membuatnya yakin adalah karena selama ini suaminya tidak pernah mengikuti perang.

Beberapa hari setelah kepergian suaminya, keadaan sedikit demi sedikit berubah. Kedua orang tuanya memperlakukannya seperti pembantu. Bahkan, ketika ia sakit karena kelelahan mereka masih memaksa dirinya untuk bekerja. Beberapa kali ia melihat Mikail dipukul lantaran membela dirinya. Ternyata, anggapan yang selama ini diyakininya salah. Hazayeb dan Shafra tidak pernah menerima dirinya sebagai menantu walaupun diri mereka kini tidak mempunyai apa-apa, kecuali harta anaknya.

Perempuan itu tersadar dari alam khayalnya ketika anaknya Mikail datang lalu memeluknya. Ia kembali mencari mata Jibril dari balik kafayeh yang menutupi tentara khas Palestina.

"Jibril tidak pernah berbohong," kata seorang yang kafayeh-nya mulai dibuka.

"Ya, kau seperti bidadari. Tidak salah lagi, kau seperti bidadari," ujar yang lain yang juga mulai membuka kafayeh-nya.

Ketiga orang tamu itu masih berdiri di sana, wajah mereka tampak begitu lelah. Pasti bermil-mil telah mereka lewati. Perempuan itu tersipu sedikit lantaran pujian yang selama ini tidak pernah ia terima.

"Kau juga Nak, kau mirip seperti Jibril," kini seorang telah memegang dagu Mikail. Mikail tersenyum.

"Apakah ayah seperti saya?" tanya Mikail pada perempuan yang terus mencari bayangan mata suaminya. Hazayeb tampak diam membisu di depan pintu.

"Ya tentu," jawab salah seorang dari mereka. "Kau akan menjadi malaikat sepertinya!"

"Di mana ayah sekarang?" tiba-tiba Mikail bertanya. Pertanyaan yang sebetulnya membenak sedari tadi di dada perempuan itu.

Tiga orang itu tiba-tiba memasang muka sedih. Perempuan itu dapat membaca, pasti ada yang tidak beres dengan suaminya.

"Kenapa? Ada apa dengan suamiku?"

Mereka bisu. Mikail bertanya-tanya dengan matanya yang berkilau.

"Di mana suamiku?" tanya perempuan itu dengan suara yang terdengar sangat panik.

Mereka masih bisu. Tak ada kata yang harus diucapkan, kecuali wajah yang menunduk untuk ikut membelasungkawa.

"Maaf, kami hanya bisa memberikan ini," suara seseorang memecahkan keadaan.

Sebuah surat yang sama persis dengan surat yang sering ia lihat disembunyikan oleh Hazayeb ketika ia ingin mengetahuinya. Perempuan itu meraba surat itu. Sebelum pergi, ketiga orang itu berbicara bahwasanya mungkin ini surat terakhir darinya. Jibril selalu membuat surat seperti itu untuk istrinya. Sejenak perempuan itu memandang Hazayeb, Hazayeb tampak diam membisu seakan ingin terus menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Perempuan itu kembali masuk ke dalam kamarnya yang kecil. Mikail berjalan di sampingnya.

"Apakah itu dari ayah?"

Perempuan itu tidak menjawab. Hanya kesunyian yang dapat memahami jawabnya.

Ia buka surat itu. Sebuah foto kumal berisi dirinya, Mikail serta Jibril yang berdiri di depan rumah yang baru saja dibangun. Ia menitikan air mata. Kembali ia mengambil secarik kertas dari dalam surat itu. Beberapa baris puisi menggaris di atasnya. Tulisan khas Jibril, yang tak pernah ia lupakan.

Kelak surga akan mempertemukan kita/Seperti ziarah lautan menuju benua

Tapi tidak sekarang, tidak pula esok/Karena sekarang dan esok hanyalah kekekalan yang fana.

Air matanya makin menderas. Mikail memeluknya hangat, air matanya pun berlinang. Terdengar teriakan Shafra menggelegar di kamar mandi, diikuti teriakan kemarahan Hazayeb yang melihat istrinya melepuh. Tapi tak ia hiraukan. Sebab tiada hal yang lebih perih selain penantian, penantian menunggu Jibril.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir