Jumat, 16 Januari 2009

Kartu Pos dalam Cerita Pendek

Alex R. Nainggolan
http://www.suarakarya-online.com/

Sebuah kartu pos memang merupakan sebuah benda yang "klasik" saat-saat ini. Beragam berita bisa saja tertulis di sana. Jika dulu kartu pos merupakan alat yang efisien untuk mengabarkan suatu peristiwa, sekarang orang-orang justru lebih memilih alat komunikasi lainnya. Lewat ponsel, misalnya-yang langsung berkabar saat itu juga. Dengan media SMS, dengan cepat menuju pada tempatnya. Murah, cepat dan efisien. Lantas mengapa seorang Agus Noor, penulis cerita pendek yang lumayan produktif kembali mengangkat masalah kartu pos? Jika dulu Chairil Anwar bercakap masalah puisinya dengan H. B. Jassin dengan kartu pos, memang terasa aura kehangatan di sana. Sapaan kata, dengan pelbagai kegalauan hatinya dapat dirasakan yang kesemuanya disimpan dengan rapi di PDS H.B. Jassin.

Barangkali karena klasik itu tadi. Segala hal yang kuno menjadi antik. Penggunaan kartu pos sebagai pengantar kabar kembali dikuak. Dengan demikian, segala hal yang penuh dengan aroma nostalgia tercuat lagi. Kesan yang tumbuh di sana, ialah sebuah pesan yang penuh dengan canda meski tetap serius. Tulisan-tulisan tangan dari seorang sahabat yang dirindukan dengan pelbagai tanggapannya terhadap cerpen-cerpennya. Semuanya itu dapat disimak dalam kumpulan cerita pendek terbarunya, diterbitkan oleh Kompas pada bulan September 2006.

Setelah menerbitkan kumpulan monolog Matinya Toekang Kritik, Agus menghimpun sejumlah cerpennya yang tergabung dalam Potongan Cerita di Kartu Pos. melalui prosanya Agus berkisah banyak peristiwa. Terkadang ia hanya menyentil sebagian misteri kehidupan. Sejumlah cerita yang ditulisnya mengingatkan kita pada gaya kisah realis, dengan pelopornya semacam Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya-meskipun imaji yang ditawarkan agus terasa lebih menyayat. Kebanyakan cerita yang ditulisnya lebih bersimbiosis pada kehidupan yang kejam, penuh dengan kekejian, dendam maupun petaka berbalut jadi satu.

Agus tidak serta mertya berkhotbah ihwal mana yang baik atau tidak. Ia dengan luwes memaparkan realita tersebut. Membalutnya dengan imaji yang terasa seperti puisi. Ia mengambil sikap untuk menjadi juru cerita saja, tida lebih. Membiarkan ceritanya untuk ditafsirkan secara luas. Dengan demikian, cerita-ceritanya dapat masuk ke dalam benak pembaca-katakanlah untuk mencerna kembali apa yang dimaksud pengarang.

Kumpulan ini terdiri dari sembilan cerita. Pun ada sebuah cerita yang terdiri dari tiga bagian. Lainnya juga terkadang merupa puzzle, acak-acakkan-sehingga jika ingin tahu keseluruhan cerita secara utuh pembaca harus membacanya dulu sampai habis. Kemudian menyusunnya kembali di kepala. Setelah itu baru terang, apa yang diumaksud pengarang. Alur cerita bisa dengan segera memadat, kemudian cair kembali. Ketegangan demi ketegangan bisa hadir berulangkali dalam cerpen-cerpennya. Agus dengan lihai menjungkirkan peristiwa, membuntingi realitas untuk kemudian menertawakannya.

Dalam Komposisi Sebuah Ilusi misalnya imajinasi tokoh dengan maneken. Maneken yang hadir bergantian dengan tokoh laki-laki sehingga lebih cocok sebagai dialog. Imajinasi yang liar-mungkin muncul dari bawah sadar kian menguatkan cerita ini. Setiap penuturan dibalas dengan paragraf lainnya. Kebinalan gairah untuk bersetubuh hadir bergantian. Dengan ketertarikan secara seksual. Meski pada akhirnya laki-laki dan boneka tersebut memang bercinta dan si lelaki mati. Mungkin oleh cinta? Agus mendeskripsikan aroma percintaan tersebut dengan diksi yang puitis: Kami saling pandang sama-sama terangsang. Kami segera bergegas ke sebalik rimbun pepohonan. Kami saling pagut saling regut. Peri dan mambang bermunculan dari dalam gelap, memandangi kami yang sama-sama menggelinjang telanjang. (halaman 12).

Keidentikan Agus ialah seringnya ia mengangkat masalah-masalah sosial dalam ceritanya. Kritik yang dilakukannya lebih diselimuti oleh aroma penindasan. Masalah gelandangan (kaum kere, meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma) hadir dalam cerpen Pagi bening Seekor Kupu-kupu dan Mata Mungil yang Menyimpan Dunia. Meskipun Agus lebih menyamarkan semua idiom tersebut dengan kupu-kupu, atau sebuah mata. Kupu-kupu yang identik dengan metamorfosanya bertemu dengan bocah. Masalah ketimpangan antara si miskin dan kaya diangkat Agus dengan menyodorkan bentuk yang lain. Proses perubahan bocah menjadi kupu-kupu yang asyik mengintip perilaku hidup bocah lainnya.

Kecemburuan dengan pelbagai perbandingan sehingga muncul keinginan untuk bertukar tempat antara bocah dan kupu-kupu. Pada bagian II dengan bahasa polos yang kebocahan Agus menulis begini: pasti seneng. Enggak perlu ngamen. Enggak perlu kepanasan. Enggak perlu kerja di pabrik kalau malem, ngepakin kardus. Enggak pernah digebukin bapak. Kalau ajah ibu enggak mati, dan bapak enggak terus-terusan mabuk. Pasti aku bisa sekolah. Pasti aku kayak bocah-bocah itu. Nyanyi. Kejar-kejaran. Enggak perlu takut ketabrak mobil kayak Joned. Hiii, kepalanya remuk, kelindes truk waktu lari rebutan ngamen di perempatan. (halaman 45).

Tawaran bahasa yang dikembangkan Agus, barangkali teramat biasa. Namun bagaimana ia meraciknya, sehingga menelingkupi relung-relung batin pembacanya, merupakan sebuah keajaiban. Yang mengingatkan saya pada tawaran sejumlah cerita yang pernah ditulis Chekov, sebuah realitas yang dijabarkan, tanpa bermaksud menggurui pembacanya. Maka kita serasa diajak tamasya ke sebuah tempat, di mana kita dilepas dalam pengembaraan sendiri-sendiri saja.

Penjengukan terhadap upacara kehidupan manusia diramu dengan rumus yang sama: sederhana. Narasi yang mengisyaratkan bila kita mampu memeras inti dari hidup ini dengan tidak tergesa-gesa. Dan kita tidak diajak untuk menenggelamkan keterlarutan kita terhadap sebuah kesedihan, misalnya, dengan berlarat-larat. Dengan sigap Agus menawarkan keterpesonaan lain. Sehingga ia dapat dengan utuh merangkum sebuah kisah.

Pun dalam Mata Mungil yang Menyimpan Dunia, ia menyadap peristiwa kekaguman seseorang terhadap sebuah mata. Anehnya mata tersebut milik gelandangan yang kerap bermain-main di kolong jembatan. Barangkali kita yang setiap hari bertemu dengan gelandangan macam itu, jarang memerhatikannya. Barangkali kita terlalu angkuh untuk menatapnya, sebab kita terlanjur merasa jijik untuk melihatnya.

Namun Agus dengan sekejap mengisyaratkan bentangan peristiwa lain. Ia menulis begini dalam cerpen tersebut: Memandang mata itu, Gustaf seperti menjenguk sebuah dunia yang menyegarkan. Dunia yang tenang bening terbentang dalam mata mungil bocah itu. Dunia yang seolah-olah terus berpendaran dan perlahan membesar, hingga segala di sekeliling bocah itu perlahan-lahan berubah. Tiang listrik dan lampu jalan menjelma menjadi barisan pepohonan rindang. Tak ada keruwetan, karena jalanan telah menjadi sungai dengan gemericik air di sela batuan hitam. (halaman 167). Barangkali memang benar adanya jika dikatakan bahwa mata adalah jendela jiwa. Melalui mata seluruh rasa terpancar, dengan warna-warni kehidupan di dalamnya.

Kritik yang dilontarkan Agus juga tak hanya berada di lingkar kehidupan horisontal. Ia pun mencoba untuk "menegur" penguasa lewat cerpennya. Cerpen Cerita buat Bapak Presiden..., misalnya Agus mengambil seorang tokoh yang ingin bertemu dengan Presiden yang diibaratkan dapat mendengar semua keluhan rakyatnya. Semula memang mendengarkan. Namun lama kelamaan dengan terbatasnya waktu, Presiden itu sendiri yang mengatakan untuk hanya mendengarkan perkataannya. Ah, betapa sulitkah untuk menjadi pendengar yang baik? Cerpen yang mengingatkan saya pula pada kisah Seno Gumira Ajidarma tentang nasib pendengar yang baik.

Demikianlah. Cerpen memang merupakan dunia tersendiri, setidaknya yang dirasakan oleh penulisnya sendiri. Dengan cepat setiap kali membaca sebuah cerita, terlepas apakah cerita tersebut realis atau imajiner-setiap orang bisa menertawakan sendiri ketololannya, ataupun penyesalan yang dilakukan diam-diam. Sebagai bahan permenungan cerita dapat segera larut di pikiran pembaca. Sebab, bagaimanapun pembaca merupakan raja terbesar. Tanpa adanya pembaca sebuah karya sehebat apapun tidak akan pernah "berbunyi". Memang seluruh cerpen dalam buku ini telah dipublikasikan di media massa. Bahkan beberapa cerpen pernah diikutkan dalam antologi lain. Meskipun demikian sebagai kumpulan, cerita yang terjalin tetap menarik untuk disimak. Upaya Agus untuk membongkar seluruh sisi kehidupan, baik itu yang gelap maupun tidak layak diapresiasi. Sebagai pengamat kehidupan. Jika hidup tak melulu putih. Sebagai juru kisah Agus telah tampil dengan kisahnya. Seperti dongeng seribu satu malam. Namun Agus menyuguhkan hal-hal yang dekat dengan keseharian kita. Hidup yang malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, meminjam ungkapannya dalam cerpen Pesan Seorang Pembunuh. Barangkali kita dapat untung dengan membaca sejumlah cerita dari Agus. ***

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir