Alex R. Nainggolan
http://www.suarakarya-online.com/
Sebuah kartu pos memang merupakan sebuah benda yang "klasik" saat-saat ini. Beragam berita bisa saja tertulis di sana. Jika dulu kartu pos merupakan alat yang efisien untuk mengabarkan suatu peristiwa, sekarang orang-orang justru lebih memilih alat komunikasi lainnya. Lewat ponsel, misalnya-yang langsung berkabar saat itu juga. Dengan media SMS, dengan cepat menuju pada tempatnya. Murah, cepat dan efisien. Lantas mengapa seorang Agus Noor, penulis cerita pendek yang lumayan produktif kembali mengangkat masalah kartu pos? Jika dulu Chairil Anwar bercakap masalah puisinya dengan H. B. Jassin dengan kartu pos, memang terasa aura kehangatan di sana. Sapaan kata, dengan pelbagai kegalauan hatinya dapat dirasakan yang kesemuanya disimpan dengan rapi di PDS H.B. Jassin.
Barangkali karena klasik itu tadi. Segala hal yang kuno menjadi antik. Penggunaan kartu pos sebagai pengantar kabar kembali dikuak. Dengan demikian, segala hal yang penuh dengan aroma nostalgia tercuat lagi. Kesan yang tumbuh di sana, ialah sebuah pesan yang penuh dengan canda meski tetap serius. Tulisan-tulisan tangan dari seorang sahabat yang dirindukan dengan pelbagai tanggapannya terhadap cerpen-cerpennya. Semuanya itu dapat disimak dalam kumpulan cerita pendek terbarunya, diterbitkan oleh Kompas pada bulan September 2006.
Setelah menerbitkan kumpulan monolog Matinya Toekang Kritik, Agus menghimpun sejumlah cerpennya yang tergabung dalam Potongan Cerita di Kartu Pos. melalui prosanya Agus berkisah banyak peristiwa. Terkadang ia hanya menyentil sebagian misteri kehidupan. Sejumlah cerita yang ditulisnya mengingatkan kita pada gaya kisah realis, dengan pelopornya semacam Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya-meskipun imaji yang ditawarkan agus terasa lebih menyayat. Kebanyakan cerita yang ditulisnya lebih bersimbiosis pada kehidupan yang kejam, penuh dengan kekejian, dendam maupun petaka berbalut jadi satu.
Agus tidak serta mertya berkhotbah ihwal mana yang baik atau tidak. Ia dengan luwes memaparkan realita tersebut. Membalutnya dengan imaji yang terasa seperti puisi. Ia mengambil sikap untuk menjadi juru cerita saja, tida lebih. Membiarkan ceritanya untuk ditafsirkan secara luas. Dengan demikian, cerita-ceritanya dapat masuk ke dalam benak pembaca-katakanlah untuk mencerna kembali apa yang dimaksud pengarang.
Kumpulan ini terdiri dari sembilan cerita. Pun ada sebuah cerita yang terdiri dari tiga bagian. Lainnya juga terkadang merupa puzzle, acak-acakkan-sehingga jika ingin tahu keseluruhan cerita secara utuh pembaca harus membacanya dulu sampai habis. Kemudian menyusunnya kembali di kepala. Setelah itu baru terang, apa yang diumaksud pengarang. Alur cerita bisa dengan segera memadat, kemudian cair kembali. Ketegangan demi ketegangan bisa hadir berulangkali dalam cerpen-cerpennya. Agus dengan lihai menjungkirkan peristiwa, membuntingi realitas untuk kemudian menertawakannya.
Dalam Komposisi Sebuah Ilusi misalnya imajinasi tokoh dengan maneken. Maneken yang hadir bergantian dengan tokoh laki-laki sehingga lebih cocok sebagai dialog. Imajinasi yang liar-mungkin muncul dari bawah sadar kian menguatkan cerita ini. Setiap penuturan dibalas dengan paragraf lainnya. Kebinalan gairah untuk bersetubuh hadir bergantian. Dengan ketertarikan secara seksual. Meski pada akhirnya laki-laki dan boneka tersebut memang bercinta dan si lelaki mati. Mungkin oleh cinta? Agus mendeskripsikan aroma percintaan tersebut dengan diksi yang puitis: Kami saling pandang sama-sama terangsang. Kami segera bergegas ke sebalik rimbun pepohonan. Kami saling pagut saling regut. Peri dan mambang bermunculan dari dalam gelap, memandangi kami yang sama-sama menggelinjang telanjang. (halaman 12).
Keidentikan Agus ialah seringnya ia mengangkat masalah-masalah sosial dalam ceritanya. Kritik yang dilakukannya lebih diselimuti oleh aroma penindasan. Masalah gelandangan (kaum kere, meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma) hadir dalam cerpen Pagi bening Seekor Kupu-kupu dan Mata Mungil yang Menyimpan Dunia. Meskipun Agus lebih menyamarkan semua idiom tersebut dengan kupu-kupu, atau sebuah mata. Kupu-kupu yang identik dengan metamorfosanya bertemu dengan bocah. Masalah ketimpangan antara si miskin dan kaya diangkat Agus dengan menyodorkan bentuk yang lain. Proses perubahan bocah menjadi kupu-kupu yang asyik mengintip perilaku hidup bocah lainnya.
Kecemburuan dengan pelbagai perbandingan sehingga muncul keinginan untuk bertukar tempat antara bocah dan kupu-kupu. Pada bagian II dengan bahasa polos yang kebocahan Agus menulis begini: pasti seneng. Enggak perlu ngamen. Enggak perlu kepanasan. Enggak perlu kerja di pabrik kalau malem, ngepakin kardus. Enggak pernah digebukin bapak. Kalau ajah ibu enggak mati, dan bapak enggak terus-terusan mabuk. Pasti aku bisa sekolah. Pasti aku kayak bocah-bocah itu. Nyanyi. Kejar-kejaran. Enggak perlu takut ketabrak mobil kayak Joned. Hiii, kepalanya remuk, kelindes truk waktu lari rebutan ngamen di perempatan. (halaman 45).
Tawaran bahasa yang dikembangkan Agus, barangkali teramat biasa. Namun bagaimana ia meraciknya, sehingga menelingkupi relung-relung batin pembacanya, merupakan sebuah keajaiban. Yang mengingatkan saya pada tawaran sejumlah cerita yang pernah ditulis Chekov, sebuah realitas yang dijabarkan, tanpa bermaksud menggurui pembacanya. Maka kita serasa diajak tamasya ke sebuah tempat, di mana kita dilepas dalam pengembaraan sendiri-sendiri saja.
Penjengukan terhadap upacara kehidupan manusia diramu dengan rumus yang sama: sederhana. Narasi yang mengisyaratkan bila kita mampu memeras inti dari hidup ini dengan tidak tergesa-gesa. Dan kita tidak diajak untuk menenggelamkan keterlarutan kita terhadap sebuah kesedihan, misalnya, dengan berlarat-larat. Dengan sigap Agus menawarkan keterpesonaan lain. Sehingga ia dapat dengan utuh merangkum sebuah kisah.
Pun dalam Mata Mungil yang Menyimpan Dunia, ia menyadap peristiwa kekaguman seseorang terhadap sebuah mata. Anehnya mata tersebut milik gelandangan yang kerap bermain-main di kolong jembatan. Barangkali kita yang setiap hari bertemu dengan gelandangan macam itu, jarang memerhatikannya. Barangkali kita terlalu angkuh untuk menatapnya, sebab kita terlanjur merasa jijik untuk melihatnya.
Namun Agus dengan sekejap mengisyaratkan bentangan peristiwa lain. Ia menulis begini dalam cerpen tersebut: Memandang mata itu, Gustaf seperti menjenguk sebuah dunia yang menyegarkan. Dunia yang tenang bening terbentang dalam mata mungil bocah itu. Dunia yang seolah-olah terus berpendaran dan perlahan membesar, hingga segala di sekeliling bocah itu perlahan-lahan berubah. Tiang listrik dan lampu jalan menjelma menjadi barisan pepohonan rindang. Tak ada keruwetan, karena jalanan telah menjadi sungai dengan gemericik air di sela batuan hitam. (halaman 167). Barangkali memang benar adanya jika dikatakan bahwa mata adalah jendela jiwa. Melalui mata seluruh rasa terpancar, dengan warna-warni kehidupan di dalamnya.
Kritik yang dilontarkan Agus juga tak hanya berada di lingkar kehidupan horisontal. Ia pun mencoba untuk "menegur" penguasa lewat cerpennya. Cerpen Cerita buat Bapak Presiden..., misalnya Agus mengambil seorang tokoh yang ingin bertemu dengan Presiden yang diibaratkan dapat mendengar semua keluhan rakyatnya. Semula memang mendengarkan. Namun lama kelamaan dengan terbatasnya waktu, Presiden itu sendiri yang mengatakan untuk hanya mendengarkan perkataannya. Ah, betapa sulitkah untuk menjadi pendengar yang baik? Cerpen yang mengingatkan saya pula pada kisah Seno Gumira Ajidarma tentang nasib pendengar yang baik.
Demikianlah. Cerpen memang merupakan dunia tersendiri, setidaknya yang dirasakan oleh penulisnya sendiri. Dengan cepat setiap kali membaca sebuah cerita, terlepas apakah cerita tersebut realis atau imajiner-setiap orang bisa menertawakan sendiri ketololannya, ataupun penyesalan yang dilakukan diam-diam. Sebagai bahan permenungan cerita dapat segera larut di pikiran pembaca. Sebab, bagaimanapun pembaca merupakan raja terbesar. Tanpa adanya pembaca sebuah karya sehebat apapun tidak akan pernah "berbunyi". Memang seluruh cerpen dalam buku ini telah dipublikasikan di media massa. Bahkan beberapa cerpen pernah diikutkan dalam antologi lain. Meskipun demikian sebagai kumpulan, cerita yang terjalin tetap menarik untuk disimak. Upaya Agus untuk membongkar seluruh sisi kehidupan, baik itu yang gelap maupun tidak layak diapresiasi. Sebagai pengamat kehidupan. Jika hidup tak melulu putih. Sebagai juru kisah Agus telah tampil dengan kisahnya. Seperti dongeng seribu satu malam. Namun Agus menyuguhkan hal-hal yang dekat dengan keseharian kita. Hidup yang malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, meminjam ungkapannya dalam cerpen Pesan Seorang Pembunuh. Barangkali kita dapat untung dengan membaca sejumlah cerita dari Agus. ***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar