Rabu, 17 Desember 2008

Teater Eksperimental

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Teater yang hadir dengan “bahasa” yang dipahami masyarakat, akan mendapat “wilayah”, “kedaulatan”, “bentuk” dan juga “kekuasaan”. Teater yang menguasai “bahasa yang diterima masyarakat” akan memiliki kekuatan, wewenang, hak, popularitas, pengaruh dan akhirnya juga “kekebalan” yang harus ditentang.

Kalau tidak, akan terjadi kemacatan teater. Dalam keadaan macat, tak akan pernah lagi teater melahirkan peristiwa teater, yang memberikan sumbangan spiritual pada perkembangan budi-daya manusia. Teater akan menjadi hiburan murni yang memperbodoh manusia seperti bermacam-macam racun yang dilahirkan oleh kegiatan pasar. Panggung akan menjadi kuburan seniman teater dan lokalisasi pelacuran dari masyarakat penonton yang dekaden.

Kami adalah orang-orang yang memilih untuk melawan meriam-meriam teater yang sudah mengabdi kepada pelacuran pasar. Kami terpaksa membeci pasar, selama kami melihat tempat itu sudah begitu menggoda iman saudara-saudara kami dan membunuh banyak bakat-bakat terbaik.

Selama pasar menjadi reaktor yang menguras dana yang seharusnya dapat membangun pencakar-pencakar langit dalam kerajaan spiritual setiap diri anggota masyarakat. Sehingga pribadi-pribadi yang selayaknya dapat tumbuh sebagai unit metropolitan budaya, semakin langka.

Semakin menipis, semakin kehabisan darah untuk melakukan perlawanannya pada erosi di dalam sanubari yang semakin lama semakin membuas, kurangajar bahkan juga, maaf biadab.

Kami menentang pasar, karena ketidakmampuan serta ketidaktegaan kami sendiri untuk mendamaikan ide-ide kami tentang tontonan dengan kehendak raja-raja yang telah menjadi diktator dan berbuat semena-mena untuk kepentingan kekuasaannya sendiri.

Kami memilih jalan untuk melawan, karena kami percaya, jalan yang ditempuh teater sudah dibelokkan ke arah yang bertentangan dengan kemanusiaan. Cerita yang diangkat ke atas lantai pertunjukkan bukan lagi bayang-bayang kebenaran, tetapi tarian strip dari uang yang mempergunakan politik, ilmu jiwa, panutan moral atau kotbah filsafat yang sudah hampir mampus, sebagai buku sucinya.

Teater sudah menjadi kambing guling dalam sebuah pesta pengkhianatan mantan-mantan sukarelawan yang semula sudah teken kontrak unmtuk melakukan pengabdian sosial pada kemanusiaan. Untuk itu kami berpacu melawan arus dan melakukan apa saja yang memungkinkan kami bebas dari “bahasa” yang ada.

Kami melakukan terobosan, percobaan-percobaan, pengujian serta serangan-serangan, yang pada prakteknya memberikan alternatif lain. Bukan saja tentang cara mengucapkan sesuatu, cara melihat sesuatu, cara menilai sesuatu, cara merasakan sesuatu, cara mendengar, menghayati, menghirup, mengecap, meraba, menyebut, menamakan, mempersoalkan dan memikirkan sesuatu.

Kami terutama mencecer untuk mempertimbangkan kembali segala sesuatu yang sudah diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak yang tak perlu dipersoalkan lagi.

Kami menggugat. Kami mengaum. Kami berontak. Untuk menggantikan seluruh teks teater yang sudah kedaluwarsa. Seluruh isi tontonan yang sudah kalah dan tunduk di kaki gelombang kemenangan mukibat orde pengemas.

Kami menyerbu idiom-idiom karatan yang sudah jadi idiologi lamban dan gemuk, untuk dipensiunkan, karena dia tidak lagi menolong dialog kita, tetapi sudah menyesatkan bukan saja masyarakat teater, tetapi juga semua tetangganya yang lain, termasuk nyamuk pers, para maecenas, partner dagang dan pejabat-pejabat berwenang yang pada prakteknya sudah mampu menentukan hidup dan mati.

Kami melakukan sesuatu yang berbeda dengan tujuan, tata-cara, bahkan juga ritus dari bukan saja apa yang sudah galib dilaksanakan, tetapi juga dari apa yang sudah pernah kami lakukan sendiri. Gebrakan ini adalah serangan yang menentang ke segala arah, termasuk ke dalam tradisi kami pribadi atau mereka yang lebih suka disebut sebagai: para pembaharu.

Karena kami tidak semata-mata dijajah oleh kehendak untuk memenangkan segala sesuatu yang baru. Tidak dihantui oleh cita-cita untuk memenangkan pertempuran. Tidak didorong oleh hasrat untuk mengibarkan sebuah panji-panji kami lebih tinggi dari panji-panji orang lain.

Karena kalau itu sampai terjadi, segalanya kemudian akan berakhir kembali persis seperti apa yang kini kami tentang. Yakni tirani baru, yang bisa lebih lalim dari apa yang ada sekarang. Kami lebih tertarik pada api revolusi yang berkobar-kobar abadi untuk memanggang apa saja yang menjadi mapan setiap saat. Termasuk apa kini atau yang pernah kami sebut sendiri, sebagai sesuatu yang baru.

Lebih dari apa yang terkandung dalam pengertian “baru” baik isi maupun bentuknya, kami menginginkan ada “perimbangan”, ada “kemungkinan”, ada “pilihan”. Kebimbangan adalah “suci”. Kami mengusahakan untuk selalu ada jalan lain untuk berucap, mengucapkan dan berdialog, termasuk juga menentang sendiri apa saja yang sedang kami kecapkan.

Jalan-jalan di dalam jalan kami sendiri harus tak terbendung. Mesti terus-menerus lahir. Sehingga kemungkinan bersinggungan, tumpang-tindih bahkan bertentangan dalam diri sendiri adalah sesuatu yang normal.

Di mata kami, berbeda dengan kesimpulan yang sudah diterima, dunia ini makin lama bukannya makin bertambah sempit, namun bertambah lebar dan tak terjamah. Globalisasi menambah hiruk-pikuk yang memacu kegelisahan makin parah, namun juga sekaligus dikuntit oleh keterpencilan yang sangat sepi.

Perbedaan-perbedaan lama yang sudah dibunuh dalam kesepatakan dan pengertian, membuat kita tiba-tiba ngeh pada perbedaan-perbedaan baru, yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Perbedaan yang mungkin beberapa kali lipat dari perbedaan yang ada sebelumnya. Namun perbedaan yang bukannya membuat kita bertambah jauh, tapi justru semakin membutuhkan.

Teater mengingatkan penonton pada medan kehidupan kini yang lebih rumit dan memerlukan ekstra awas. Karena itu besar kemungkinan, teater akan bertentangan dengan kehendak penonton. Bertentangan dengan kehendak ahli-ahli filsafat, politik dan ekonomi. Bahkan bisa bertolak-belakang dengan kehendak para kritisi dan ahli estetika. Teater tidak menghasilkan rasa nikmat. Teater adalah racun.

Teater eksperimental akan terus-menerus berlawanan dengan kehendak pasar. Bermusuhan dengan kemauan orang banyak. Dan bukan mustahil bertentangan dengan kebahagiaan kami sendiri.

Teater eksperimental adalah teater yang tak hanya melawan kekuasaan mutlak bahasa teater yang sudah mendapat pengesahan di dalam pasar dan hati masyarakat. Teater eksperimental adalah juga teater yang setiap kali berontak pada dirinya sendiri yang sudah terjebak dalam bahasa yang diam-diam mengandung opium kemapanan.

Teater eksperimental adalah teater yang selalu menolak untuk tahu. Teater yang sanggup mengingkari dirinya setiap kali. Teater yang anti pada statusquo. Teater yang tak ingin mengada. Teater yang tak pernah diam. Teater yang selalu dalam keadaan bergerak, bimbang, meragukan, merindukan dan akhirnya mampus dalam mencari sesuatu yang belum ada, tidak ada atau mungkin tidak akan pernah ada.

Walhasil teater yang nihil. Teater yang zero. Namun juga sekaligus teater yang amat penuh, ambisius dan pretensius.

Teater eksperimental adalah langkah ke zone terapung, di mana ruang berlapis-lapis dengan dimensi yang tak terjangkau. Di mana kebenaran hadir dalam jutaan nuansa yang pelik dan membingungkan siapa saja yang menginginkan kemutlakan. Satu langkah lagi, satu langkah kecil lagi untuk mendekati “Misteri” yang semakin banyak kita ketahui, semakin membuat kita ragu-ragu tentang kebenaran yang ada di kepala kita.

Teater yang membuat manusia lebih menyadari keadaannya yang tak berdaya. Teater yang mengingatkan manusia pada dirinya sebagai noktah yang tak punya hak dan kekuatan, yang tak kekal, yang pasti akan musnah. Apalagi kalau tidak melakukan apa-apa.

Teater eksperimental adalah sebuah idiologi tontonan. Adalah sebuah ritus. Adalah sebuah ajaran kebijakan. Dan sekaligus juga: sebuah teror mental.

*) Tulisan ini dibuat untuk menyambutulang tahun ke-25 TEATER POPULER.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir