Senin, 01 Desember 2008

POLITIK BUNGLON

Maman S. Mahayana *

Siapa yang tak mengenal bunglon; makhluk sebangsa bengkarung yang piawai menyesuaikan diri dengan alam di sekelilingnya? Binatang melata berdarah dingin yang termasuk ordo lacertilia ini, tentu saja berbeda dengan kutu loncat, ngengat-- sang koruptor atau kutu busuk, musuh dalam selimut si pengisap darah.

Bunglon kadangkala bertindak bagai penguasa lalim. Ia tidak mengenal belas kasihan atas musuh yang menjadi mangsanya. Ia juga akan melakukan psycho-war jika muncul ancaman dari pesaingnya. Dengan cara memperagakan warna kulitnya yang gemerlap, ia akan segera menyatakan perang, jika wilayah kekuasaannya diganggu. Bersamaan dengan itu, sambil bergoyang-goyang, sisi badannya akan digembungkan, mulutnya menganga lebar memperlihatkan warna selaput lendirnya yang kontras. Semua itu sekadar untuk menakut-nakuti lawan, atau jika perlu dilanjutkan dengan penyergapan dan penculikan.

Munculnya sesuatu yang dianggap membahayakan, secara refleks akan menggerakkan tubuh bunglon menyiapkan perangkat senjata yang berupa tanduk dan jambul di kepalanya. Tetapi, manakala ia kalah dalam persaingan dan menjadi pecundang, segera ia akan mengubah warna kulit dan sorot matanya dalam citra yang memelas dan bertingkah laku macam betina.

Bunglon yang mempunyai sejarah panjang dalam kehidupannya di dunia ini, secara fisik kalah pamor, apalagi bersaing dengan hewan sebangsanya, seperti iguana yang tampak karismatik, biawak, si berangasan pemakan bangkai atau ular yang lidahnya bercabang dua. Meski begitu, ia dapat memperalat binatang-binatang itu untuk kepentingannya. Di sini hebatnya politik bunglon. Kesadaran yang tinggi akan kelemahannya itu, sering kali memaksanya bertindak sangat taktis. Lewat perhitungan matang, begitu mangsanya berada dalam jarak tembak, lidah bunglon yang menyerupai jepretan dengan ujung yang mirip pentungan, akan menjulur dengan kecepatan tinggi. Korbannya akan segera melekat seperti kena magnet dan masuk ke dalam mulut manakala lidah itu ditarik kembali dalam kecepatan yang sama. Secepat itulah mangsanya akan hilang tanpa jejak, tanpa berita, mirip para korban penculikan.

Seperti juga manusia yang terkadang keseleo lidah atau salah perhi¬tungan, hewan bergigi akrodon ini kadangkala melakukan blunder. Jika itu terjadi, ia akan memanfaatkan kelebihannya mengubah warna kulit secara cepat. Tiba-tiba, ia berubah menyerupai warna kayu, hijau seperti dedaunan atau coklat mirip tanah. Perubahan warna kulit secara fisiologis itulah yang dapat mengecoh dengan sempurna binatang lain, baik kawan maupun lawan. Dan pada saat yang tepat, ia akan bergerak; mengecoh, meloloskan diri atau menyerang, bergantung situasi. Inilah salah satu kelebihan hewan dari keluarga chamaleonidae ini, yaitu kepiawaiannya menangkap momentum.

Namun jika sedang sial, dan hewan lain sudah tak dapat lagi dibohongi dan sudah tahu sepak terjangnya, perubahan warna kulit itu terkadang gagal mengelabui pihak lain. Bunglon yang berwarna pucat keputih-putihan, misalnya, akan dengan mudah ketahuan belangnya jika ia sedang tidur, terutama pada malam hari, di antara dedaunan yang berwarna gelap.
***

Dalam kehidupan manusia, bunglon sering dijadikan ibarat untuk menyebut orang yang bertingkah laku macam pucuk cemara (oportunis). Ia condong mengikuti arah angin, tak berpendirian, mencla-mencle dan senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan arus zaman. Pada waktu pendudukan Jepang, misalnya, mereka yang pada mulanya mendengungkan revolusi, tetapi kemudian malah menjadi pengikut propaganda Jepang, disebut bunglon. Kaum oportunis, konon juga termasuk kategori ini. Di Malaysia bunglon disebut sumpah-sumpah. Entah mengapa masyarakat Melayu mengatakan demikian. Boleh jadi lantaran sifatnya yang cenderung licik dan pandai (lipan) itulah, ia menjadi tumpuan sumpah-serapah.

Di negeri ini, kini, selepas rezim yang penuh kongkalikong dan rekayasa dilanda badai reformasi, banyak pihak yang semula menyebut gerakan reformasi sebagai oknum antikemapanan, mendadak berubah dan menyatakan sebagai pendukung gerakan itu.Bahkan, dengan lantangnya, mereka menyuarakan reformasi total dan menggemborkan anti-KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) meski sebelum itu, justru hidup dalam kubangan KKN.

Ingat saja suasana menjelang dan saat berlangsungnya Sidang Umum MPR, Maret 1998 lalu. Semua menjagokan Soeharto. Bahkan, jauh sebelum itu, mereka yang mengklaim mewa¬kili mayoritas rakyat Indonesia, sudah mengelus-elus jagonya itu. Sebaliknya, jika ada pihak yang mencalonkan tokoh lain, ditolak dan dianggap di luar mekanisme yang berlaku. Ia dicap tidak mewakili rakyat. "Itu inkonstitusional!" Maka, ketika saatnya tiba, acara pemilihan presiden dan wakilnya itupun, tidak lagi memilih, sebab calonnya tunggal. Itulah pemilihan presiden yang tidak memilih. Cuma, Selo Sumardjan yang kemudian menyatakan keheranannya: "Aneh, memilih, koq satu."

Apa yang terjadi selanjutnya ketika reformasi mulai menggilas dan tak terbendung¬kan? Tiba-tiba semua ikut arus dan berubah pikiran menuntutnya mundur. "Dengan arif dan bijaksana, mohon agar presiden mundur," begitu tuntutannya. Boleh jadi itu bukan kemunafikan. Bukan pula pengkhianatan. Itu cuma politik bunglon yang memaksanya mesti menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi. Di sini, terbukti sudah bahwa estimasi, mungkin saja meleset. Ini benar-benar di luar scenario. Terlalu sulit pula untuk membuat rekayasa baru. Sutradara sudah tak mampu lagi menghadirkan sandiwara. Ia telah kehilangan legitimasi
***

Begitulah, untuk tetap bertahan hidup, survive, bunglon dan manusia yang berjiwa bunglon, acapkali dituntut oleh sifat lipannya untuk tak perlu konsisten. Cukuplah dengan satu kata: penyesuaian. Dengan kepiawaiannya, bunglon dapat mengubah warna kulitnya tanpa membuatnya harus menjadi kadal atau biawak, meski perilakunya tidak jauh beda dari kedua binatang melata itu.

Bunglon tetap saja bunglon. Demikian juga manusia bunglon. Percumalah punya politik bunglon jika tidak pandai menangkap momentum. Hanya bagaimanapun juga, manusia tidak termasuk genus hewan chamaeleo atau brookesia; dua genus besar dari keluarga bunglon. Manusia, selain punya akal sehat, juga ada hati nurani yang menuntunnya ke arah jalan budi pekerti luhur dan moralitas.

Jika manusia tidak lagi dibimbing akal sehat dan hati nurani, ia tidak lebih berharga dari seekor bengkarung. Lebih daripada itu, jika manusia sudah menjadi pelacur moral yang cuma memikirkan kepentingannya sendiri dengan sikapnya yang plintat-plintut, berperilaku macam bunglon, dan berpendirian mengikuti arah angin, sungguh ia telah menjadi binatang menjijikkan. Entah mengapa, gerakan reformasi ini telah melahirkan begitu banyak hewan seperti itu. Dan kita tetap saja membiarkan para bunglon itu berkeliaran, hidup enak dan terhormat menikmati kebunglonannya. Sudah suratan, barangkali, kebenaran di negeri ini, nasibnya selalu dibengkokkan.
***

_________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2009/01/politik-bunglon/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir