Maman S. Mahayana *
Siapa yang tak mengenal bunglon; makhluk sebangsa bengkarung yang piawai menyesuaikan diri dengan alam di sekelilingnya? Binatang melata berdarah dingin yang termasuk ordo lacertilia ini, tentu saja berbeda dengan kutu loncat, ngengat-- sang koruptor atau kutu busuk, musuh dalam selimut si pengisap darah.
Bunglon kadangkala bertindak bagai penguasa lalim. Ia tidak mengenal belas kasihan atas musuh yang menjadi mangsanya. Ia juga akan melakukan psycho-war jika muncul ancaman dari pesaingnya. Dengan cara memperagakan warna kulitnya yang gemerlap, ia akan segera menyatakan perang, jika wilayah kekuasaannya diganggu. Bersamaan dengan itu, sambil bergoyang-goyang, sisi badannya akan digembungkan, mulutnya menganga lebar memperlihatkan warna selaput lendirnya yang kontras. Semua itu sekadar untuk menakut-nakuti lawan, atau jika perlu dilanjutkan dengan penyergapan dan penculikan.
Munculnya sesuatu yang dianggap membahayakan, secara refleks akan menggerakkan tubuh bunglon menyiapkan perangkat senjata yang berupa tanduk dan jambul di kepalanya. Tetapi, manakala ia kalah dalam persaingan dan menjadi pecundang, segera ia akan mengubah warna kulit dan sorot matanya dalam citra yang memelas dan bertingkah laku macam betina.
Bunglon yang mempunyai sejarah panjang dalam kehidupannya di dunia ini, secara fisik kalah pamor, apalagi bersaing dengan hewan sebangsanya, seperti iguana yang tampak karismatik, biawak, si berangasan pemakan bangkai atau ular yang lidahnya bercabang dua. Meski begitu, ia dapat memperalat binatang-binatang itu untuk kepentingannya. Di sini hebatnya politik bunglon. Kesadaran yang tinggi akan kelemahannya itu, sering kali memaksanya bertindak sangat taktis. Lewat perhitungan matang, begitu mangsanya berada dalam jarak tembak, lidah bunglon yang menyerupai jepretan dengan ujung yang mirip pentungan, akan menjulur dengan kecepatan tinggi. Korbannya akan segera melekat seperti kena magnet dan masuk ke dalam mulut manakala lidah itu ditarik kembali dalam kecepatan yang sama. Secepat itulah mangsanya akan hilang tanpa jejak, tanpa berita, mirip para korban penculikan.
Seperti juga manusia yang terkadang keseleo lidah atau salah perhi¬tungan, hewan bergigi akrodon ini kadangkala melakukan blunder. Jika itu terjadi, ia akan memanfaatkan kelebihannya mengubah warna kulit secara cepat. Tiba-tiba, ia berubah menyerupai warna kayu, hijau seperti dedaunan atau coklat mirip tanah. Perubahan warna kulit secara fisiologis itulah yang dapat mengecoh dengan sempurna binatang lain, baik kawan maupun lawan. Dan pada saat yang tepat, ia akan bergerak; mengecoh, meloloskan diri atau menyerang, bergantung situasi. Inilah salah satu kelebihan hewan dari keluarga chamaleonidae ini, yaitu kepiawaiannya menangkap momentum.
Namun jika sedang sial, dan hewan lain sudah tak dapat lagi dibohongi dan sudah tahu sepak terjangnya, perubahan warna kulit itu terkadang gagal mengelabui pihak lain. Bunglon yang berwarna pucat keputih-putihan, misalnya, akan dengan mudah ketahuan belangnya jika ia sedang tidur, terutama pada malam hari, di antara dedaunan yang berwarna gelap.
***
Dalam kehidupan manusia, bunglon sering dijadikan ibarat untuk menyebut orang yang bertingkah laku macam pucuk cemara (oportunis). Ia condong mengikuti arah angin, tak berpendirian, mencla-mencle dan senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan arus zaman. Pada waktu pendudukan Jepang, misalnya, mereka yang pada mulanya mendengungkan revolusi, tetapi kemudian malah menjadi pengikut propaganda Jepang, disebut bunglon. Kaum oportunis, konon juga termasuk kategori ini. Di Malaysia bunglon disebut sumpah-sumpah. Entah mengapa masyarakat Melayu mengatakan demikian. Boleh jadi lantaran sifatnya yang cenderung licik dan pandai (lipan) itulah, ia menjadi tumpuan sumpah-serapah.
Di negeri ini, kini, selepas rezim yang penuh kongkalikong dan rekayasa dilanda badai reformasi, banyak pihak yang semula menyebut gerakan reformasi sebagai oknum antikemapanan, mendadak berubah dan menyatakan sebagai pendukung gerakan itu.Bahkan, dengan lantangnya, mereka menyuarakan reformasi total dan menggemborkan anti-KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) meski sebelum itu, justru hidup dalam kubangan KKN.
Ingat saja suasana menjelang dan saat berlangsungnya Sidang Umum MPR, Maret 1998 lalu. Semua menjagokan Soeharto. Bahkan, jauh sebelum itu, mereka yang mengklaim mewa¬kili mayoritas rakyat Indonesia, sudah mengelus-elus jagonya itu. Sebaliknya, jika ada pihak yang mencalonkan tokoh lain, ditolak dan dianggap di luar mekanisme yang berlaku. Ia dicap tidak mewakili rakyat. "Itu inkonstitusional!" Maka, ketika saatnya tiba, acara pemilihan presiden dan wakilnya itupun, tidak lagi memilih, sebab calonnya tunggal. Itulah pemilihan presiden yang tidak memilih. Cuma, Selo Sumardjan yang kemudian menyatakan keheranannya: "Aneh, memilih, koq satu."
Apa yang terjadi selanjutnya ketika reformasi mulai menggilas dan tak terbendung¬kan? Tiba-tiba semua ikut arus dan berubah pikiran menuntutnya mundur. "Dengan arif dan bijaksana, mohon agar presiden mundur," begitu tuntutannya. Boleh jadi itu bukan kemunafikan. Bukan pula pengkhianatan. Itu cuma politik bunglon yang memaksanya mesti menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi. Di sini, terbukti sudah bahwa estimasi, mungkin saja meleset. Ini benar-benar di luar scenario. Terlalu sulit pula untuk membuat rekayasa baru. Sutradara sudah tak mampu lagi menghadirkan sandiwara. Ia telah kehilangan legitimasi
***
Begitulah, untuk tetap bertahan hidup, survive, bunglon dan manusia yang berjiwa bunglon, acapkali dituntut oleh sifat lipannya untuk tak perlu konsisten. Cukuplah dengan satu kata: penyesuaian. Dengan kepiawaiannya, bunglon dapat mengubah warna kulitnya tanpa membuatnya harus menjadi kadal atau biawak, meski perilakunya tidak jauh beda dari kedua binatang melata itu.
Bunglon tetap saja bunglon. Demikian juga manusia bunglon. Percumalah punya politik bunglon jika tidak pandai menangkap momentum. Hanya bagaimanapun juga, manusia tidak termasuk genus hewan chamaeleo atau brookesia; dua genus besar dari keluarga bunglon. Manusia, selain punya akal sehat, juga ada hati nurani yang menuntunnya ke arah jalan budi pekerti luhur dan moralitas.
Jika manusia tidak lagi dibimbing akal sehat dan hati nurani, ia tidak lebih berharga dari seekor bengkarung. Lebih daripada itu, jika manusia sudah menjadi pelacur moral yang cuma memikirkan kepentingannya sendiri dengan sikapnya yang plintat-plintut, berperilaku macam bunglon, dan berpendirian mengikuti arah angin, sungguh ia telah menjadi binatang menjijikkan. Entah mengapa, gerakan reformasi ini telah melahirkan begitu banyak hewan seperti itu. Dan kita tetap saja membiarkan para bunglon itu berkeliaran, hidup enak dan terhormat menikmati kebunglonannya. Sudah suratan, barangkali, kebenaran di negeri ini, nasibnya selalu dibengkokkan.
***
_________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2009/01/politik-bunglon/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 01 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar