Senin, 01 Desember 2008

B.O.

Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/

POTRET yang tertinggal dari awal abad ke-20 itu menggambarkan Mas Wahidin Sudirohusodo seakan-akan bagian dari Jawa yang lembek. Atau jinak. Ia tak tampak cakrak, dengan kepala bangga. Ia malah terkesan mengambil postur seorang yang sopan sekali. Tak ada kumis yang perkasa. Blangkon di kepalanya tampak ditimpa waktu.

Saya terkadang tak paham kenapa ”dokter Jawa” ini jadi tokoh utama Hari Kebangkitan Nasional. Saya tak pernah membaca teks pidatonya yang berapi-api. Saya tak pernah melihat sehelai foto pun yang menunjukkan ia berdiri dengan tangan mengepal. Bagaimana mungkin dengan itu ada ”kebangkitan nasional”? Apanya yang ”bangkit”? Mana yang ”nasional”?

Saya lupa: ketika ia merintis jalan yang akhirnya melahirkan organisasi ”Boedi Oetomo” pada tanggal 20 Mei 1908 itu, Wahidin sudah seorang pensiunan. Tapi ia pensiunan yang tak hendak mandeg. Sejak 1906, Wahidin berkeliling dari kota ke kota untuk menjajakan idenya: membentuk dana buat beasiswa bagi anak-anak Jawa. Selama dua tahun ia gagal terus. Baru ketika ia bertemu dengan para siswa STOVIA gayungnya disambut.

Sekolah itu seperti sudah menantikannya. Sejak awal abad ke-20, STOVIA diperbaiki agar jadi tempat untuk para pemuda—terutama mereka yang datang dari kalangan yang disebut ”bumiputra”—dilatih jadi tenaga kesehatan. Para lulusannya disebut ”dokter”, tapi dengan tambahan: ”dokter Jawa”.

Dari nama ini saja dapat dilihat bagaimana struktur sosial dan ideologi kolonial Belanda waktu itu. Dari sini pula dapat dimengerti kenapa STOVIA jadi tempat di mana ada api dalam sekam, hingga ide Wahidin berkembang di sini.

Para mahasiswa STOVIA bukan dari keluarga petinggi daerah, melainkan dari kalangan priayi rendah. Wahidin sendiri, misalnya, bukan seorang ”raden”. Demikian pula Cipto Mangunkusumo dan adiknya, Gunawan: mereka anak guru. Bahkan pernah tercatat anak pembantu rumah tangga di sekolah kedokteran itu. Seperti dikemukakan Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite, status sosial para ”dokter Jawa” tak dipandang tinggi di masyarakat kolonial. Bahkan tak banyak yang tertarik masuk ke sana. Untuk mempromosikannya, sejak 1891 pemerintah memberi pelbagai kemudahan bagi murid yang ingin masuk STOVIA.

Dalam sejarahnya, STOVIA disiapkan melayani kepentingan pemilik perkebunan di Sumatera Timur: para buruh yang didatangkan dari Jawa perlu dijaga kesehatannya agar tak membebani perusahaan. Untuk itu perlu dokter. Pendidikan yang disiapkan cukup serius. Sejak 1904, diploma STOVIA dapat mengantar seorang lulusan ke sebuah sekolah kedokteran di Belanda di tingkat lanjut, hingga ia bisa mendapatkan gelar dokter tingkat Eropa hanya dalam waktu setahun.

Tapi lulusan itu akhirnya toh hanya dijuluki ”dokter Jawa”. Gajinya di perkebunan tak sebanding dengan ”dokter Eropa”. Kolonialisme selamanya ingin mengukuhkan diri dengan membedakan sang penjajah dari si terjajah. Kalaupun si inlander diberi kesempatan meniru, peniruan itu harus dijaga agar ”hampir sama, tapi tak benar-benar sama”, untuk memakai kata-kata Homi Bhabha tentang bagaimana masyarakat kolonial disusun. Demikianlah semasa kuliah para calon dokter itu—kecuali mereka yang beragama Nasrani—tak boleh mengenakan pakaian Eropa.

Dalam latar yang panas itu, ide Wahidin akhirnya berkembang melampaui soal beasiswa. ”Budi Utomo” dibentuk oleh para mahasiswa kedokteran itu—dan peran dr Wahidin segera berakhir. Para pemuda mengambil alih. Bagi mereka, ikhtiar akhirnya mesti bersifat politik, sebab ketidakadilan yang mereka alami adalah bagian dari kekuatan struktural.

Jika politik adalah penggalangan kekuatan alternatif untuk mengubah keadaan, mau tak mau sebuah aksi masuk ke dalam sebuah paradoks. Di satu sisi, aksi itu harus menegaskan identitas tersendiri. Tapi di sisi lain, ia harus menjangkau yang bukan dirinya, hingga identitas itu tak seperti baju besi yang terkunci rapat. Dan itulah yang terjadi pada ”Budi Utomo”.

Organisasi ini pada awalnya bertumpu pada segala sesuatu yang ”Jawa”. Tapi ketentuan organisatorisnya sepenuhnya ”Barat”. Bahkan dengan segera ”Jawa” tak hanya berarti sekitar Yogya dan Surakarta, tapi juga mereka yang biasa disebut ”Sunda”, ”Madura”, dan ”Bali”. Akhirnya identitas pun terbongkar: semuanya tak jelas batasannya. Salah satu yang menarik pada ”Budi Utomo”: untuk berkomunikasi, organisasi ini tak menggunakan bahasa Jawa, melainkan Melayu.

Bukankah gerakan politik ke arah keadilan akan selalu terdorong menjangkau yang universal?

Tapi sejumlah orang tua, para aristokrat Jawa, menampik. Bagi mereka, ”Budi Utomo” harus tetap ”Jawa”. ”Berpolitik” harus dihentikan. Pada Oktober 1908, orang-orang konservatif itu mengambil alih pimpinan ”B.O.”.

Bentrokan terjadi. Dari sinilah muncul dua nama yang kekal dalam sejarah kebangkitan Indonesia—dua orang yang tak sesopan Mas Wahidin: Cipto Mangunkusumo, dokter; ia dengan sengaja memasang bintang penghargaan dari Ratu Belanda di pantat sebagai protes. Suwardi Suryoningrat, pemuda bangsawan keturunan Paku Alam; ia akhirnya meninggalkan STOVIA dan menulis sebuah pamflet cemooh. Ia gugat pemerintah Hindia Belanda ketika berencana membuat pesta besar ulang tahun ke-100 kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis—pesta yang diadakan di tanah yang tak punya kemerdekaan.

Als ik eens Nederlander was, tulis Suwardi. Seandainya aku seorang Belanda…. ”Aku juga patriot, dan sebagaimana seorang Belanda yang dengan semangat nasionalis mencintai tanah airnya, juga aku mencintai tanah airku….”

Kalimat itu betapa menggigit: seorang hamba menyatakan diri bisa sama dengan si tuan—bukan dalam kuasa, tapi dalam menghargai kemerdekaan.

Hal itu mungkin tak diduga Mas Wahidin: yang ”Jawa” bisa dan seyogianya lebur dalam sesama. Nasionalisme bukan suara igauan sendiri.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir