Selasa, 02 Desember 2008

Lorca, di Andalusia Maut Memanggilmu

Dian Basuki
http://www.korantempo.com/

Tujuh puluh tahun silam, Federico Garcia Lorca mati ditembus peluru rezim fasis Spanyol. Di hari ini, orang masih berselisih kata di mana kuburnya.

Suatu malam yang gelap. Tubuh yang lebam itu akhirnya dijemput ajal saat dua butir peluru menembus punggungnya. Tiga tubuh lainnya, tengah meregang nyawa, lebih dulu menantinya di liang tanah. Orang-orang Falangis, pendukung Jenderal Franco yang fasis, mengumpat: "Dua butir peluru itu untukmu, karena kamu homo dan kamu merah!"

Orang mencatat, 19 Agustus 1936 waktu itu. Tujuh puluh tahun yang silam. Lelaki yang ditembus peluru itu bukanlah pemberontak. Ia seorang penyair, dramawan--menulis naskah dan memainkannya di panggung-panggung teater, juga bermain musik. Di usianya yang 38 tahun, energi kreatifnya yang tengah memuncak terputus tiba-tiba oleh maut, ketakutan, horor, kegilaan akan kuasa, yang ditebarkan oleh kaum kanan dan pasukan-pembunuh Franco, la escuadra negra (skuadron hitam).

Jadilah ia martir:
pada pukul lima sore hari
selebihnya adalah kematian, dan kematian semata

Simbol ketertindasan itu bernama Federico Garcia Lorca, lelaki yang meramalkan kematiannya sendiri. Di belantara New York, 1929, yang ia sebut "Senegal yang dilengkapi mesin", Lorca menulis sebuah puisi [bahwa ia akan dibunuh dan jasadnya tak akan pernah ditemukan]. Puisi itu ia selesaikan 19 Agustus 1931, dan lima tahun kemudian kekuatan fasis membenarkan ramalannya.

Di sebuah bangsa yang hidup dalam tradisi yang sadar akan kematian--maut yang siap menjemput matador di gelanggang pertarungan dengan banteng, ramalan Lorca itu tetap saja tak ubahnya obsesi. Kematian adalah tontonan akbar, kata Lorca. Ia menulis banyak puisi perihal kematian. Banyak orang akrab dengan Lament for the Death of a Bullfighter (1935), yang ia tulis untuk mengenang sahabatnya, Ignacio Sanchez Mejias.

Setelah tujuh tahun pensiun, Mejias kembali ke gelanggang. Lorca tahu, secara naluriah, matador itu sedang menjemput maut. Ketika itu terbukti benar, Lorca memberitahu kawannya: "Kematian Ignacio itu seperti kematianku. Godaan itu datang menghampiriku." Ia, kata Lorca, "sudah melakukan setiap hal yang ia sanggup agar lolos dari kematiannya, tapi setiap hal itu hanya menolongnya mengencangkan tali jaring."

Begitu pula Lorca. Di awal perang saudara, ia semestinya berada di Mexico bersama aktris favoritnya, Margarita Xirgu, yang akan mementaskan dramanya. Tapi Lorca enggan meninggalkan Spanyol. Ketika kekerasan oleh militer mulai marak di Madrid, Lorca memutuskan kembali ke rumah asalnya, Granada. Berulang kali ia diingatkan, jangan tinggalkan Madrid. "Tetaplah di sini. Kamu jauh lebih aman berada di Madrid," pinta Luis Bunuel, sutradara film, sahabat Lorca.

Namun, seperti figur dalam puisinya, Primer romancero gitano (Gypsy Ballads, 1928), yang terpanggil untuk berkencan dengan kematian, Lorca tetap pulang ke Granada. Ke kaki gunung Sierra Nevada ia menjemput takdirnya. "Hidup adalah gelak tawa di tengah-tengah tasbih kematian," ujarnya suatu ketika.

Begitu sederhana, begitu semeleh:
sebagaimana aku tidak cemas dilahirkan
aku pun tak cemas menghadapi mati

Kebangkitan kaum fasis di Spanyol adalah kematian suri karya Lorca. Buku-bukunya dibakar di Plaza del Carmen, sebuah pentas kekuasaan Jenderal Franco. Menyebut nama Lorca pun dilarang. Karyanya baru boleh muncul, dengan sensor amat ketat, pada 1953: Obras completas. Obras tidak memasukkan Sonetos del amor oscuro (Sonnets of Dark Love), yang ia tulis pada November 1935 dan hanya dibacakan di hadapan kawan-kawan terdekatnya.

Tanpa kuasa menolak, Franco menemui ajalnya 1975. Karya-karya Lorca kembali menembus ruang-ruang percakapan tanpa sensor. Para politikus sibuk mengusung isu transisi ke arah demokrasi, tapi rakyat tahu sebagian besar mereka tergabung dalam "pakta diam" ketika Franco menebar teror. Loyalis Franco setuju transisi damai, dengan syarat: lupakan masa lalu. Tak ubahnya di banyak tempat di bumi ini, amnesia yang dipaksakan meninggalkan korban Franco tertidur selamanya di pekuburan masal tak bertanda.

Mereka, yang membayar hidupnya demi mendukung demokrasi di Spanyol, hanya tinggal angka. Mereka adalah orang-orang yang mewarnai karya-karya Lorca--puisi dan dramanya. Juga Cordova dan Granada, di mana cahaya malam memantul dari rumah-rumah putih, udara bersih masih memenuhi angkasa Sierra, lanskap pohon zaitun dan ara selepas pandang, dan perempuan tua yang menikmati sore di depan pintu rumah.

Di tengah rasa damai itulah Lorca dilahirkan, di sebuah hari, 5 Juni 1898. Desa Fuente Vaqueros menjadi saksi bagaimana Lorca menempuh masa kecilnya dalam keluarga tani yang makmur: bermain piano, bernyanyi. Seperti kebanyakan orang muda ketika itu, Lorca belajar filsafat dan hukum di Universitas Granada. Tapi darah seni terlalu kuat untuk ia tolak. Ia pun pindah ke Madrid, beralih belajar sastra, seni, dan teater. Di usia 20 tahun terbit kumpulan prosa pertamanya, Impresiones y paisajes (Impressions and Landscapes).

Di kampus Universitas Madrid, 1919, ia membentuk kelompok teater, membaca puisi di hadapan publik. Di sini ia berteman dengan anak muda yang di kemudian hari menjadi seniman berpengaruh di Spanyol: Salvador Dali dan Luis Bunuel--mereka kemudian dikenal sebagai penggiat Generasi 27. Bersama Dali sebagai penata panggung, Lorca mementaskan drama pertamanya, Mariana Pineda.

Lorca adalah manusia teater. Bersama kelompoknya, La Barraca, memainkan kisah-kisah tragedi di pedesaan Andalusia. Di saat yang sama ia mulai terperangkap dalam homoseksualitas yang tak mampu ia rahasiakan dari keluarga dan teman-temannya. Sambutan yang luar biasa atas Romancero Gitano (1928, diterjemahkan sebagai Gypsy Ballads, 1953) membuat Lorca kian kesakitan: ia terjebak di dalam dikotomi antara seniman sukses, yang memaksanya tampil di hadapan publik dengan penuh senyum, dan diri yang tersiksa karena kehidupan privatnya.

Sebuah gagasan keluarga membawa Lorca ke New York. Di Columbia University ia belajar, tak lama. Itulah pengalaman pertamanya, sebagai orang dewasa, tinggal di negeri yang didominasi hidup serba-materi. Keterasingannya melahirkan kumpulan puisi, Poeta en Neuva York (Poet in New York)--yang terbit sesudah kematiannya. Kumpulan syair ini memadukan "kecaman terhadap peradaban ubarn modern--kekosongan spiritual yang dipancarkan New York--dan tangisan gelap kesunyian metafisik." Seperti disebut kritikus Christopher Muerer, ada tiga tema dalam kumpulan ini: ketidakadilan sosial, cinta yang gelap, dan keyakinan yang hilang.

Sesudah New York, Kuba dan Argentina adalah tujuan berikutnya. Di negeri ini ia disambut meriah. Sukses pertunjukan teaternya di Argentina pada 1933-34 begitu rupa sehingga penyair Chili Pablo Neruda menyebutnya "kejayaan terbesar yang pernah dicapai oleh penulis dari ras kita." Bertahun kemudian Neruda mengenang dengan nostalgia yang intens bulan-bulan yang mendahului perang saudara di Madrid sebagai "hari-hari besar dalam kehidupan saya. Hari-hari itu adalah kelahiran kembali yang luar biasa kehidupan kreatif bangsa Spanyol yang belum pernah saya lihat lagi."

Lorca kembali ke Spanyol, 1931, ketika Eropa mulai menggeliat oleh kekuatan fasis. Tanggal 19 Agustus 1931, Federico Garcia Lorca menyelesaikan naskah drama baru, Asi qu pasen cinco anos (When Five Years Pass). Ia mengabarkan kegembiraannya kepada kawannya, seorang pemetik gitar, Regino Sainz de la Maza: "kepuasan yang luar biasa". Ia juga bercerita sudah menyelesaikan karya yang lain untuk Margarita Xirgu, hampir pasti itu adalah Bodas de sangre (Blood Wedding, naskah ini pernah dipentaskan oleh Teater Populer dengan sutradara Teguh Karya).

Seakan mencium aroma kematian dirinya kian dekat, Lorca mendaki ke puncak kreatifnya. Sepanjang 1931 hingga tahun kematiannya, ia amat produktif. Sejumlah kumpulan puisinya terbit: Poema del cante jondo (Poem of Deep Song, 1931), Sonetos del amor oscuro (Sonnets of Dark Love, 1935), Primeras canciones (First Songs, 1936). Naskah dramanya meluncur dari tangannya. Yang paling masyhur lahir di masa ini: trilogi Bodas de sangre (Blood Wedding, 1932), Yerma (1934), dan La casa de Bernarda Alba (The House of Bernarda Alba, 1936).

Namun capaian-capaian puncak itulah yang kian menempatkan Lorca dalam daftar penting rezim Franco di antara orang-orang yang mesti dilenyapkan. Ada banyak bintang di langit Spanyol, kata Neruda, namun Lorca yang paling terang. Dan bintang paling terang itu mesti dipadamkan. Namun, terbukti sudah, 70 tahun setelah kematiannya, suara Lorca masih terdengar nyaring seperti pada 19 Agustus malam ketika peluru kaum fasis mencoba membungkamnya.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir