Dian Basuki
http://www.korantempo.com/
Tujuh puluh tahun silam, Federico Garcia Lorca mati ditembus peluru rezim fasis Spanyol. Di hari ini, orang masih berselisih kata di mana kuburnya.
Suatu malam yang gelap. Tubuh yang lebam itu akhirnya dijemput ajal saat dua butir peluru menembus punggungnya. Tiga tubuh lainnya, tengah meregang nyawa, lebih dulu menantinya di liang tanah. Orang-orang Falangis, pendukung Jenderal Franco yang fasis, mengumpat: "Dua butir peluru itu untukmu, karena kamu homo dan kamu merah!"
Orang mencatat, 19 Agustus 1936 waktu itu. Tujuh puluh tahun yang silam. Lelaki yang ditembus peluru itu bukanlah pemberontak. Ia seorang penyair, dramawan--menulis naskah dan memainkannya di panggung-panggung teater, juga bermain musik. Di usianya yang 38 tahun, energi kreatifnya yang tengah memuncak terputus tiba-tiba oleh maut, ketakutan, horor, kegilaan akan kuasa, yang ditebarkan oleh kaum kanan dan pasukan-pembunuh Franco, la escuadra negra (skuadron hitam).
Jadilah ia martir:
pada pukul lima sore hari
selebihnya adalah kematian, dan kematian semata
Simbol ketertindasan itu bernama Federico Garcia Lorca, lelaki yang meramalkan kematiannya sendiri. Di belantara New York, 1929, yang ia sebut "Senegal yang dilengkapi mesin", Lorca menulis sebuah puisi [bahwa ia akan dibunuh dan jasadnya tak akan pernah ditemukan]. Puisi itu ia selesaikan 19 Agustus 1931, dan lima tahun kemudian kekuatan fasis membenarkan ramalannya.
Di sebuah bangsa yang hidup dalam tradisi yang sadar akan kematian--maut yang siap menjemput matador di gelanggang pertarungan dengan banteng, ramalan Lorca itu tetap saja tak ubahnya obsesi. Kematian adalah tontonan akbar, kata Lorca. Ia menulis banyak puisi perihal kematian. Banyak orang akrab dengan Lament for the Death of a Bullfighter (1935), yang ia tulis untuk mengenang sahabatnya, Ignacio Sanchez Mejias.
Setelah tujuh tahun pensiun, Mejias kembali ke gelanggang. Lorca tahu, secara naluriah, matador itu sedang menjemput maut. Ketika itu terbukti benar, Lorca memberitahu kawannya: "Kematian Ignacio itu seperti kematianku. Godaan itu datang menghampiriku." Ia, kata Lorca, "sudah melakukan setiap hal yang ia sanggup agar lolos dari kematiannya, tapi setiap hal itu hanya menolongnya mengencangkan tali jaring."
Begitu pula Lorca. Di awal perang saudara, ia semestinya berada di Mexico bersama aktris favoritnya, Margarita Xirgu, yang akan mementaskan dramanya. Tapi Lorca enggan meninggalkan Spanyol. Ketika kekerasan oleh militer mulai marak di Madrid, Lorca memutuskan kembali ke rumah asalnya, Granada. Berulang kali ia diingatkan, jangan tinggalkan Madrid. "Tetaplah di sini. Kamu jauh lebih aman berada di Madrid," pinta Luis Bunuel, sutradara film, sahabat Lorca.
Namun, seperti figur dalam puisinya, Primer romancero gitano (Gypsy Ballads, 1928), yang terpanggil untuk berkencan dengan kematian, Lorca tetap pulang ke Granada. Ke kaki gunung Sierra Nevada ia menjemput takdirnya. "Hidup adalah gelak tawa di tengah-tengah tasbih kematian," ujarnya suatu ketika.
Begitu sederhana, begitu semeleh:
sebagaimana aku tidak cemas dilahirkan
aku pun tak cemas menghadapi mati
Kebangkitan kaum fasis di Spanyol adalah kematian suri karya Lorca. Buku-bukunya dibakar di Plaza del Carmen, sebuah pentas kekuasaan Jenderal Franco. Menyebut nama Lorca pun dilarang. Karyanya baru boleh muncul, dengan sensor amat ketat, pada 1953: Obras completas. Obras tidak memasukkan Sonetos del amor oscuro (Sonnets of Dark Love), yang ia tulis pada November 1935 dan hanya dibacakan di hadapan kawan-kawan terdekatnya.
Tanpa kuasa menolak, Franco menemui ajalnya 1975. Karya-karya Lorca kembali menembus ruang-ruang percakapan tanpa sensor. Para politikus sibuk mengusung isu transisi ke arah demokrasi, tapi rakyat tahu sebagian besar mereka tergabung dalam "pakta diam" ketika Franco menebar teror. Loyalis Franco setuju transisi damai, dengan syarat: lupakan masa lalu. Tak ubahnya di banyak tempat di bumi ini, amnesia yang dipaksakan meninggalkan korban Franco tertidur selamanya di pekuburan masal tak bertanda.
Mereka, yang membayar hidupnya demi mendukung demokrasi di Spanyol, hanya tinggal angka. Mereka adalah orang-orang yang mewarnai karya-karya Lorca--puisi dan dramanya. Juga Cordova dan Granada, di mana cahaya malam memantul dari rumah-rumah putih, udara bersih masih memenuhi angkasa Sierra, lanskap pohon zaitun dan ara selepas pandang, dan perempuan tua yang menikmati sore di depan pintu rumah.
Di tengah rasa damai itulah Lorca dilahirkan, di sebuah hari, 5 Juni 1898. Desa Fuente Vaqueros menjadi saksi bagaimana Lorca menempuh masa kecilnya dalam keluarga tani yang makmur: bermain piano, bernyanyi. Seperti kebanyakan orang muda ketika itu, Lorca belajar filsafat dan hukum di Universitas Granada. Tapi darah seni terlalu kuat untuk ia tolak. Ia pun pindah ke Madrid, beralih belajar sastra, seni, dan teater. Di usia 20 tahun terbit kumpulan prosa pertamanya, Impresiones y paisajes (Impressions and Landscapes).
Di kampus Universitas Madrid, 1919, ia membentuk kelompok teater, membaca puisi di hadapan publik. Di sini ia berteman dengan anak muda yang di kemudian hari menjadi seniman berpengaruh di Spanyol: Salvador Dali dan Luis Bunuel--mereka kemudian dikenal sebagai penggiat Generasi 27. Bersama Dali sebagai penata panggung, Lorca mementaskan drama pertamanya, Mariana Pineda.
Lorca adalah manusia teater. Bersama kelompoknya, La Barraca, memainkan kisah-kisah tragedi di pedesaan Andalusia. Di saat yang sama ia mulai terperangkap dalam homoseksualitas yang tak mampu ia rahasiakan dari keluarga dan teman-temannya. Sambutan yang luar biasa atas Romancero Gitano (1928, diterjemahkan sebagai Gypsy Ballads, 1953) membuat Lorca kian kesakitan: ia terjebak di dalam dikotomi antara seniman sukses, yang memaksanya tampil di hadapan publik dengan penuh senyum, dan diri yang tersiksa karena kehidupan privatnya.
Sebuah gagasan keluarga membawa Lorca ke New York. Di Columbia University ia belajar, tak lama. Itulah pengalaman pertamanya, sebagai orang dewasa, tinggal di negeri yang didominasi hidup serba-materi. Keterasingannya melahirkan kumpulan puisi, Poeta en Neuva York (Poet in New York)--yang terbit sesudah kematiannya. Kumpulan syair ini memadukan "kecaman terhadap peradaban ubarn modern--kekosongan spiritual yang dipancarkan New York--dan tangisan gelap kesunyian metafisik." Seperti disebut kritikus Christopher Muerer, ada tiga tema dalam kumpulan ini: ketidakadilan sosial, cinta yang gelap, dan keyakinan yang hilang.
Sesudah New York, Kuba dan Argentina adalah tujuan berikutnya. Di negeri ini ia disambut meriah. Sukses pertunjukan teaternya di Argentina pada 1933-34 begitu rupa sehingga penyair Chili Pablo Neruda menyebutnya "kejayaan terbesar yang pernah dicapai oleh penulis dari ras kita." Bertahun kemudian Neruda mengenang dengan nostalgia yang intens bulan-bulan yang mendahului perang saudara di Madrid sebagai "hari-hari besar dalam kehidupan saya. Hari-hari itu adalah kelahiran kembali yang luar biasa kehidupan kreatif bangsa Spanyol yang belum pernah saya lihat lagi."
Lorca kembali ke Spanyol, 1931, ketika Eropa mulai menggeliat oleh kekuatan fasis. Tanggal 19 Agustus 1931, Federico Garcia Lorca menyelesaikan naskah drama baru, Asi qu pasen cinco anos (When Five Years Pass). Ia mengabarkan kegembiraannya kepada kawannya, seorang pemetik gitar, Regino Sainz de la Maza: "kepuasan yang luar biasa". Ia juga bercerita sudah menyelesaikan karya yang lain untuk Margarita Xirgu, hampir pasti itu adalah Bodas de sangre (Blood Wedding, naskah ini pernah dipentaskan oleh Teater Populer dengan sutradara Teguh Karya).
Seakan mencium aroma kematian dirinya kian dekat, Lorca mendaki ke puncak kreatifnya. Sepanjang 1931 hingga tahun kematiannya, ia amat produktif. Sejumlah kumpulan puisinya terbit: Poema del cante jondo (Poem of Deep Song, 1931), Sonetos del amor oscuro (Sonnets of Dark Love, 1935), Primeras canciones (First Songs, 1936). Naskah dramanya meluncur dari tangannya. Yang paling masyhur lahir di masa ini: trilogi Bodas de sangre (Blood Wedding, 1932), Yerma (1934), dan La casa de Bernarda Alba (The House of Bernarda Alba, 1936).
Namun capaian-capaian puncak itulah yang kian menempatkan Lorca dalam daftar penting rezim Franco di antara orang-orang yang mesti dilenyapkan. Ada banyak bintang di langit Spanyol, kata Neruda, namun Lorca yang paling terang. Dan bintang paling terang itu mesti dipadamkan. Namun, terbukti sudah, 70 tahun setelah kematiannya, suara Lorca masih terdengar nyaring seperti pada 19 Agustus malam ketika peluru kaum fasis mencoba membungkamnya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar