Budi P. Hatees*
http://www.lampungpost.com/
JANGAN pernah membuang ampas kopimu, karena kau bisa memanfaatkannya menjadi sesuatu yang sangat pantas dipajang di ruang tamu rumahmu, sesuatu yang bernilai estetika tinggi.
Itulah moral yang ingin disampaikan delapan perupa Lampung yang menggelar pameran lukisan bertajuk Me-rupa-kan Ampas Kopi di Ruang Seni Rupa Taman Budaya Lampung (29 Maret--2 April 2008). Mereka memanfaatkan ampas kopi sebagai pengganti cat, menggoreskan ragam bentuk rupa di atas medium kanvas, hingga terbentuk lukisan yang mewacanakan lokalitas Lampung.
Sebagai sebuah gagasan, kerja artistik para pelukis Lampung pantas mendapat apresiasi. Namun, kalau diandaikan bahwa kreativitas ini dapat mengatasi masalah sampah ampas kopi, jelas terlalu mengada-ada. Sebab, ampas kopi relatif tidak pernah menimbulkan masalah bagi masyarakat. Tidak sebanding dengan masalah akibat kafeina yang dikandungnya. Di samping mudah larut dalam air, produksi ampas kopi cenderung rendah. Apalagi di era sekarang, orang bisa menikmati secangkir kopi tanpa meninggalkan sebutir ampas pun.
Lantas, bagaimana memberi apresiasi atas kerja kreatif kedelapan perupa Lampung ini?
Ampas kopi bukan sekadar sebagai materi lukisan alternatif untuk menjawab mahalnya harga cat, bukan pula sebuah solusi untuk mengatasi persoalan sampah ampas kopi. Lebih dari semua itu, pameran lukisan yang digelar dalam rangka memperingati 44 tahun usia Provinsi Lampung ini, juga menjadi semacam gugatan atas kebijakan perkopian yang digerakkan pemerintah daerah.
Lukisan ampas kopi menjadi sangat kontekstual. Lampung sebagai salah satu produsen biji kopi di negeri ini, sudah lama sekali tidak lagi menjadi produsen. Pesona biji-biji kopi yang di pengujung abad 19 mengundang kolonialisme Belanda untuk mengeruknya, juga membuat petani dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam datang untuk belajar budi daya kopi, kini tinggal sepenggal sejarah pahit tentang betapa buruknya pemerintah daerah mengatasi persoalan perkopian.
Perekonomian Lampung yang selama puluhan tahun sangat bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan, tidak diimbangi pemerintah daerah dengan membuat kebijakan yang mampu menstimulasi para petani kopi. Sebaliknya, pemerintah daerah menunjukkan keberpihakan kepada pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dengan memberi izin kepada asosiasi itu untuk menarik iuran dari setiap butir kopi yang dijual petani. Padahal, petani sudah menjadi sapi perah para pengekspor dengan mengendalikan harga kopi. Petani sebagai produsen kopi kini tidak merasa diuntungkan oleh budi daya kopi yang dilakukannya selama bertahun-tahun itu.
Riwayat pohon kopi di Lampung, riwayat masa depan petani kopi yang sehitam warna kopi. Petani menebangi pohon kopi, mengganti dengan tanaman produksi lainnya seperti kakao. Ini membuat Lampung tidak lagi menjadi produsen kopi, sehingga sejumlah produsen bubuk kopi di daerah ini mengandalkan bahan baku dari petani-petani kopi di Sumatera Selatan. Kopi tidak lagi bisa mensejahterakan rakyat Lampung seperti pada dekade 1980-an.
Sebab itu, kerja kreatif para pelukis yang memosisikan ampas kopi sebagai materi penting dari lukisannya, mestinya memunculkan persoalan perkopian Lampung pada tataran tema lukisan. Dengan begitu, apa yang dilakukan para pelukis dapat meramaikan "pasar wacana" seni rupa Lampung, sesuatu yang makin jarang terdengar akhir-akhir ini. Sayangnya, lukisan-lukisan itu condong lebih mengutamakan "wacana pasar", di mana sangat kuat orientasi untuk menghasilkan lukisan-lukisan yang diminati oleh pasar.
Antara "pasar wacana" dengan "wacana pasar" mestinya mendapat perhatian yang sama dari para pelukis. Pertemuan "pasar wacana" dengan "wacana pasar" akan mengangkat para pelukis Lampung sebagai seniman yang mampu menghasilkan karya berkualitas artistik sekaligus berkualitas komersial. Kedua wacana ini hampir tidak bisa ditemukan tampil bersamaan dalam dunia seni rupa Lampung.
Padahal kedelapan pelukis, Ari Susiwa Manangisi, Bambang Irianto, Joni Putra, Koliman, Rosmedi Jamaluddin, Sutanto, Tince Megawati Johnson, dan Yulius Benardi, sudah malang melintang berpameran di sejumlah kota di Nusantara. Pengalaman berpameran tampaknya tidak begitu memengaruhi pada aras pemikiran tentang bagaimana menyejajarkan antara estetika dengan pasar. Setidaknya bisa dimulai dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya wacana karya.
Joni Putra, misalnya, yang dalam banyak karya sangat ekspresif dengan kemampuan luar biasa menampilkan aura tersembunyi dari objek-objek lukis yang sebagian besar manusia. Dalam pameran kali ini, lukisannya berjudul "Introspeksi", mewacanakan pentingnya membangun tradisi "berkaca". Di tengah persoalan deindividuasi yang merebak sebagai dampak kehadiran budaya massa, tradisi berkaca secara personal tidak lagi dianggap penting. Individu-individu lebih memilih "berkaca" pada massa, di mana dirinya bukan lagi sebagai individu, melainkan sebagai bagian dari massa.
Pentingnya wacana karya telah membuat banyak perupa mendulang sukses kerja. Apa yang dilakukan pelukis-pelukis di Bandung, misalnya, dengan mengubah arus pemikiran dalam kerja kesenian membuat karya-karya mereka diterima secara terbuka baik oleh pasar komersial maupun kritikus. Sebut saja yang dialami Ay Tjoe Christine, Dikdik Sayahdikumulloh, dan Arin Dwihartanto, di mana pasar menerima mereka dengan gempita, yang akhirnya membuat pergeseran pada estetika para pelukis lain di Bandung.
Dunia seni rupa Lampung sampai pada Sumatranformatif yang melibatkan kurator almarhum Mamannoor dalam ajang Lampung Art Festival 2004, bisa dikatakan kehilangan perspektif wacana. Event-event pameran yang digelar para perupa di Lampung, sering digarap tanpa kehadiran sebuah tema yang memadai. Bahkan, event pameran di luar Lampung yang diikuti para pelukis terkesan tidak meningalkan jejak pada tingkat pemikiran, sehingga kerja seni yang dijalani para pelukis terkesan sebagai kerja tradisi. Mereka hanya melanjutkan kebiasaan, di mana yang diandalkan cuma keterampilan menampilkan gambar rupa di atas kanvas.
Begitu juga yang bisa ditangkap dari event Me-rupa-kan Ampas Kopi. Titik tolak berupa "ampas kopi" sesungguhnya bisa bicara banyak hal seandainya mengkristal dalam tema-tema garapan lukisan. Sayangnya, ampas kopi hanya menunjukkan satu hal yang justru kurang bisa mendukung penguatan wacana rupa, yakni upaya "memanfaatkan ampas kopi" atau "kerja alternatif menjawab mahalnya harga cat".
Sebab itu, terhadap para pelukis yang sudah malang-melintang, ikut dalam pameran Me-rupa-kan Ampas Kopi menjadi semacam fenomena filsafat: di mana bobot pengalaman mereka dihadirkan dalam ajang ini?
Masyarakat awan tentu akan sangat kagum, ampas kopi dapat diubah menjadi lukisan yang layak dipanjang di ruang tamu rumahnya. Di sini, yang bermain adalah selera publik yang dibentuk oleh minim pengalaman atas estetika seni rupa. Nmaun, kekaguman masyarakat awam tidak ada kaitannya dengan bobot kehadiran seni rupa. Cat minyak, arang, akrilik, cat air, pensil, tanah, kopi, darah, dan lain-lain bisa dipahami pada tingkat permainan media dengan ragam perluasan kemungkinan estetik dari konvensi yang ada. Artinya, persoalan materi dalam seni rupa tidak terlalu mempengaruhi kualitas estetika seni, karena semua itu hanya persoalan media.
Pascamunculnya dadaisme di Barat, apa pun dapat menjadi media dan apa pun adalah media. Koko Bae di Palembang melukis dengan darah, tak berbeda dengan pelukis yang melukis dengan kopi. Yang paling pokok bukan darah atau kopi, tetapi bagaimaa otoritas si seniman yang berfilsafat dengan materi-materi seni rupa itu.
Dalam hal inilah setiap pelukis perlu menyadari bahwa seni rupa bukan sekadar wahana untuk mengekspresikan egosentrisme sempit guna menciptakan monumen-monumen estetik paripurna, melainkan terjemahan langsung dari kegiatan si seniman di tengah masyarakatnya. Sebab itu, seni rupa harus menjadi sebuah perayaan atas ragam kemungkinan dari berbagai persoalan yang berlangsung di lingkungan si seniman, sehingga bisa dipahami bagaimana otorisasi si seniman dalam menyikapi persoalan-persoalan tersebut.
Dalam konteks inilah kedelapan pelukis mestinya bisa mengambil posisi sebagai orang yang berfilsaat dengan bahasa rupa. Apakah mereka akan memberikan pemahaman filsafat atas ampas kopi, sehingga otoritas mereka sebagai seniman menjadi begitu dikenang masyarakat, ataukah mereka tidak lebih bagus dari sekumpulan anak-anak yang baru saja mengikuti lomba mewarnai di halaman rumah dinas Gubernur Lampung?
Ada banyak kemungkinan dari ampas kopi yang bisa dikedepankan sehingga tak sekadar sebagai materi lukis.
*) Esais, tinggal di Depok
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar