Rabu, 22 Oktober 2008

SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI

Nurel Javissyarqi*

Pertanyaan-pertanyaan tumpah bagai seribu kehendak terlaksana,
memburu tak terjangkau, terpontang-panting mencari gagasan sayang (XVII: I).

Jiwa pencari terus bergelora, menyembul dari akar-akaran keyakinan,
kau pantul wajah bercermin, guna percepat tancapkan pendirian (XVII: II).

Jangan kembalikkan keraguan, jawablah penuh tenang,
ia tahu pribadimu lebih mantap, membuka tatapan berhiasi wengi (XVII: III).

Tiada cukup kalimah mewakili tampungan gemintang,
murni dari ketinggian, sekiranya mabuk dirimu memukau (XVII: IV).

Lapangkan jiwamu serupa tanah dibasuh hujan,
sepadan anggur tertuang di cangkir kehormatan (XVII: V).

Kau dahaga akan suara busa asmara meluap ke tenggorokan hangat,
diteguknya sungguh hingga tandas kasih setia (XVII: VI).

Jika kau melambung sekapas randu ditiup bayu, namun siapa
menyaksikan prahara itu? Lalu siapa mengikuti tariannya? (XVII: VII).

Aku bersambut lagu suka cita, kenapa tak menderap maju,
padahal lugu serta keraguanmu teramat dekat pribadiku (XVII: VIII).

Seorang kembara di ladang tropisnya saat langit melekkan mata,
melihat sekawanan domba bercermin telaga (XVII: IX).

Menimang dayadinaya memperkirakan tujuan
ialah kematanganmu memiliki keraguan prasangka (XVII: X).

Suatu jembatan layang setiamu nan ganjil itu pengelanaan,
dan mereka persilahkan tersebab kau hakim sesama (XVII: XI).

Sisi lain belum kau dapati, maka duduk dan pastikan tetesan air ke batu,
cekungan tersebab dirinya mencurigai keliaran badan selagi membaca (XVII: XII).

Santunlah bibir menceritakan madu atau racun, ia tak menolak selagi kau
melucuti kerahasiaan, jikalau nyata berguna bagi pencarian kemurnian (XVII: XIII).

Pastikan lolos dari bentangan jala-jala perangkap, sebab siapa saja
bisa cemburu, saat tarianmu mengikuti nyala matahari mewaktu (XVII: XIV).

Kau purnama kala dirinya tak tampak, dan nafasmu laksana telaga
bersimpan persiapan, menenggelamkan bathin di kedalaman (XVII: XV).

Sekuntum padma di telaga, duduklah dalam mekar kelopaknya
mengabadikan keyakinanmu, serta jadikan jarak waktu pengalaman,
selagi menetapkan waktu walau cuaca menghalau bertemu (XVII: XVI).

Yang tidak terkira menjadi perhatianmu paling sungguh
kala kau timba air lagi mengangkat dari kedalaman sumur (XVII: XVII).

Kekupu terbang tersapu angin berlalu,
tidakkah esok berjumpa dalam percakapan mata? (XVII: XVIII).

Usah risau ke mana, ia memiliki lautan yang pelan tembangannya,
kau tertampar berkali-kali, kenapa masih membaringkan diri? (XVII: XIX).

Kau sebangsa kekupu kelelahan, sayap pancaran cahayamu memudar,
tapi kelepakan pujangga seterang warnanya, tersebab cahaya kurnia yang logis (XVII: XX).

Ketika terlelap kemabukan awal, kalian terhuyung jiwa memberat,
tenggelam dalam dengkur impian panjang dunia perbendaan (XVII: XXI).

Di saat semua ditinggal bayangan berkata, waktu menetap serupa
adanya, sedangkan perubahan di bebankan kepada masa (XVII: XXII).

Tiada pantas berseru waktu, lebih bijak berpulang kepada diri,
menerobos bayu, jangan salah menyelami lautan hayat (XVII: XXIII).

Sambut hawa dingin menggigit tubuh,
bergeraklah sepenuh jiwa, sedalam sunyi tak berwarna (XVII: XXIV)

; pecahnya di sela-sela batu awan rindu, sebelum terdampar
di pantai kesunyian nyata, letak tumpahnya kepastian (XVII: XXV).

Terasa dekat kebenaran memanggil, tapi tak ingin mengganggumu
tersebab kau seranum bayangan yang mampu merubah waktu (XVII: XXVI)

; manusia menapaki pribadinya laksana bintang terjatuh
kepada malam mengagumi kucing menggeliat (XVII: XXVII).

Syukurlah selagi bertempat-waktu,
dan tetaplah hening, beratnya semurni embun pagimu (XVII: XXVIII).

Sebagaimana kerahasiaan,
ia merawat senyum paling ganjil kemanusiaan (XVII: XXIX).

Bukan kepadanya nujum, ia pendukung paling kuat
dan termasuk golongan merugi, jika tak mampu beranjak (XVII: XXX).

Kau lamur di pandang waktu, ketenanganmu atas kesiapan peperangan
lebih dia alami, keyakinan tunggal penolongmu saat semua meragu (XVII: XXXI).

Jadikan waktu pendampingmu lalu tempat menyesuaikan,
ia berseru dalam bisik, aku tak mengulangi kalimah bila kau tiada lupa,
teguran selempang kayu penghalang laju perahu (XVII: XXXII).

Melewati itu setelah tahu arus melampaui,
dan aku mencintai para pemberani (XVII: XXXIII).

Seluruh alam menyaksikan pilihanmu, berhati-hatilah memandang,
kucing betina terlelap pulas, jadilah kupu-kupu penunggu,
menempelkan kaki-kakinya di dinding kayu (XVII: XXXIV).

Di kala terbangun, sapalah agar tiada kecewa mendera,
kekupu berkejaran tiada kesal, dan manusia menamainya kasmaran,
kesakitan mengabadikan kasih, tetapi mereka menyebut tragedi (XVII: XXXV).

Alangkah indah pupusnya lembar dedaun meresapi cahaya
ketika berpentas di panggung (XVII: XXXVI).

Ayam betina melindungi anak-anaknya penuh sayang
saat diintai elang, dan melabrak demi kedamaian (XVII: XXXVII).

Kalian tahu arti tanggung jawab mewarnai pribadi, dengan cat kau kenal,
akrab palet di kanvas, teramat senang sekaligus menyebalkan (XVII: XXXVIII).

Jika kau Ratu Sima, ambillah ketenaran Jalukencanamu, kau utusan
Kalinggapura, di mana keadilan sebagai tongkat kuasa (XVII: XXXIX).

Di sendang Jimbung, mata air rahmat purbawi,
beburung kembara menambatkan diri, meraup kejernihan sekitar,
bersuka cita teduh, dalam pergumulan jiwa-jiwa mandiri (XVII: XL).

Duduklah di batu hitam, kekasihmu sedang berenang; ikan emas di antara yang lain,
kau tentu memahami, bintang mana yang paling akrab di jantung (XVII: XLI).

Candi Abang kesaksian yang sama lewat mengukur kepekaan, burung Srigunting
mengurai sayapnya di ketinggian, ketika gerimis takdir menyapa (XVII: XLII).

Kau sekuntum harum khantil di daun telinga persuntingan jiwa,
kasihmu merentangi pulau Jawa sampai Swarnadwipa (XVII: XLIII).

Saat hari jadi keraton, kau lempar uang logam beserta beras kuning
bunga setaman, lalu rakyat jelata melapangkan jalan bagimu,
bersenyum menunggu kedatangan waktu (XVII: XLIV).

Suatu ketika sepasang pengantin melangsungkan pernikahan,
sangking melaratnya tiada sanggup memberi maskawin,
kau sungguh berbudi memberi pepundi Yatrakencana,
pemberianmu bernilai tinggi bagi rakyat jelata,
bagi penyaksi, berharu biru melihatnya (XVII: XLV).

Dengan uang Kepeng, perdagangan meningkat di pasar-pasar,
kau pengaruhi tentara dengan senyum ganjilmu yang memukau (XVII: XLVI).

Kehendak berkuasa ialah kekuasaan itu sendiri,
kehendak itu ruh kekuasaan, kekuasaan diraih melewati kehendak (XVII: XLVII).

Lewat senyuman, kau adili Pangeran Kumudasari yang mencuri emas di kuil
Tirta Sarira, yang mengunjungi bumi perdikan Karang Tumaritis, seperti
hembusan nafas keluar-masuk, dalam otakmu mencairkan suasana (XVII: XLVIII).

Mereka hanyut kebijakanmu yang merelakan tanah leluhur ditempati
gema pujian, sampai jiwa-jiwa insan mewaktu lelah mengartikan (XVII: XLIX).

Kau pepintu harum mengikhlaskan kebun sayurmu dipetik para papa,
rakyat jelatamu berharu-biru mata jelita di candi Bima (XVII: L).

Kemurahan hatimu sumber keabadian, pakaian kebesaranmu hijau
balutan bulu Cendrawasih, tidak ubahnya peri penunggu Candi Ijo (XVII: LI).

Keagungan terkadang konyol memalukan,
bukankah rasa malu serta bangga berdekatan seakan nurani dan nafsu? (XVII: LII).

Rerumputan merinding menebak sangka bumi manusia,
ibunda tercinta dari anak-anakan sungai hayat tanpa kekangan (XVII: LIII).

Kabut mengendap, kelemah-lembutan tiupan bayu bersentuh rumput,
di sini kehendak abadi, tiada menyesalkan keputusan (XVII: LIV).

Ia tak menyuruh kau duduk di hadapan Venus, serupa bangsa
Babilonia, siapa melempar koin menjadikan kau persembahan (XVII: LV).

Ia sendirian dalam teaterikal pandangan besar dunia, dan
semua persoalan tampak dalam gaung musikal agung (XVII: LVI).

Berapa pun harga kecantikanmu, ia tukar reinkarnasi keabadaian,
dititahkan lentik jemarimu menunjukkan jalan padang njinglang (XVII: LVII).

Langkah kasihmu tak terhitung sampai kaki-kaki sempoyongan,
berharap bayangannya mengikuti usia mudamu, terpesona syair pemikatan (XVII: LVIII).

Kau tidak keberatan menimba ke kota tua yang menimbun sejarah,
kenangan menampilkan keyakinan (XVII: LIX).

Ia membawa pebekalan kau beri, sebaliknya jaga yang ditinggalkan!
Usah menanti deru terlalu, biar langkah tak tersandung batu (XVII: LX).

Santunlah mendengar panjatan doa, jangan segan di dekatnya hanya
diam, laksana sampanmu terlalu mahal, atau benarkah sedingin itu? (XVII: LXI).

Tidakkah lebih tentram keikhlasan, dan kau wanita keras penampik impian,
mengartikan senyum harapan tidak terkira (XVII: LXII).

Ia tahu kau wanita terbaik dilahirkan bumi dari anak-anakan hujan deras,
tangisanmu merontokkan dosa-dosa sejarah di tengah perjuangan (XVII: LXIII).

Ia menunggu sampai waktu sepi cukup mewakili (XVII: LXIV).

Hasrat penjaga keganjilan mendaki mencapai puncak,
mendapati sendang beserta ikan-ikannya, membawa nafasnya mendekat (XVII: LXV).

Bisikan langit memulangkan sunyi dari hadapan terkira,
pertanyaan-pertanyaan sangat membebani jiwa (XVII: LXVI).

Padang sahara jiwanya dilanda langut kemungkinan rahasia,
tidakkah membeli sepotong baju berukuran suwong (XVII: LXVII).

Kau berkata, berkelahilah terlebih dulu serupa kawanan serigala
berebut tulang, sebab perdamaian tiada harganya, dan tiada mau membelinya
selain para pengecut, wahai insan-insan luhur (XVII: LXVIII).

Ia di tanjung karang paling tinggi, sedang gelombang samudra sangat jauh
di bawah, kau kepiting terdampar tiada hasrat mengarungi kembali (XVII: LXIX).

Yang tersekap dagingnya kering terjebak sengatan mentari,
nantinya sebagai santapan semut (XVII: LXX).

Menghitung ombak berdesah, berkali-kali gelombang kecil,
sekali waktu gulungan membesar, inilah putaran masa-masa,
hari-hari memiliki nama, ombak terbesar disebut hari disucikan (XVII: LXXI).

Selepas dari pantai kau ke sana kembali,
di saat membosan, bergegaslah menemui pedalaman (XVII: LXXII).

Bukankah keinginan seperti tuan memperbudak hambanya,
cobalah menyetiai lalu katakan; aku meyakinkanmu (XVII: LXXIII).

Ia memaklumi pelajar menanti panggilan terdalam,
namun gelora rindu tak pernah berkesudahan (XVII: LXXIV).

Sayapnya menyentuh bibir cakrawala, anak-anak merindu ibunda, tetapi ia ibunda
segala kemarahan, cinta buta menggemparkan. Apakah ini kedewasaan ? (XVII: LXXV).

Berlarian di pesisir pantai, akrab ombak serta butiran pasir di hati,
diajaknya riak putih, busa paling suci meniti-niti kepastian (XVII: LXXVI).

Maukah kau menjadi bahan pelajaran paling spesifik,
ketika kau dirinya, tidak kenal selain dirimu (XVII: LXXVII).

Terpenggal bayang keremangan, namun siapa meremehkan kerahasiaan?
Wujud keluguanmu bagi kebebalan mereka (XVII: LXXVIII).

Kau terlihat begitu nyaman
bila tak memberi letak duduk mereka (XVII: LXXIX).

Sang penggagas datang kepadamu, setenang keyakinan tak mengurangi
pebekalanmu, malah menambah, dikala waktunya telah tertibakan (XVII: LXXX).

Yang tersesat ke kota asing, pembengkakan luka sehabis terjatuh,
setelah melalui jalan terjal menantang dari biasanya (XVII: LXXXI).

Ia memberi letih, maka terimalah hidangan disuguhkan,
ia membagi haus berlebih, maka teguklah perasan buah asam muda (XVII: LXXXII).

Ia merawat tubuh keraguan, menimbun rayu dalam renungan kembara,
tersadarkan bathin mencekam oleh keheningan (XVII: LXXXIII).

Yang perbaiki jalan belum tahu ke mana menjulurnya tujuan, bagi yang pernah
saja, mengerti berapa kilo jauhnya merasakan cucuran keringat (XVII: LXXXIV).

Inikah penantianmu? Terlambat tetapi tak disebut kesiaan,
memaklumi pemancing menunggu mendapati ikan-ikan (XVII: LXXXV).

Tabuhan gendang menderang cahaya menghimpun peperangan, menusuk
ruang gelap busa, mabuk gugurkan dedaunan awan (XVII: LXXXVI).

Inikah cara menepati janji dunia penyair? Kan trauma besar,
merontokkan gigi-gigi palsu, rahang tambalan (XVII: LXXXVII).

Apalagi dipertahankan? Mengembangkan maksud memekarkan kembang
tersentuh, patuh menyirami hasratmu berbudi pekerti (XVII: LXXXVIII).

Ia laksana air mengalir dari ketinggian,
kata-kata mengenai jalan satu-satunya (XVII: LXXXIX).

Kebimbangan penuh, keraguan mutlak,
mengasyiki derita menggelinjak jiwa merdeka (XVII: XC).

Setelah lembah pesawahan nurani dahaga, subur keganjilan dari benang
-benang terpencil, degup jantungmu terbawa kehendak tak terkira (XVII: XCI).

Ini sajak terlangsir ketika ada, menjadikanmu berdaya kepakkan sayap,
paruhmu diasah batu karang, mentitili bebijian makna kembara (XVII: XCII).

Mengajarkan anak-anak terbang dari dahan ke penglihatan jiwa,
teguk, saat danau menyuguhkan salam kedamaian mata (XVII: XCIII).

Di atas ketinggian batu karang, dedahan menjulur ke awan,
daunnya sahaja meninggalkan embun bagi pengajaran insan (XVII: XCIV).

Berkumpulnya waktu menggairahkan hasrat menggebu,
deru memukul ruang bisu, berteriaknya hati kelabu (XVII: XCV).

Kau mendapati firasat ganjil kesadaran, membisikkan masa pernah ada,
sebelumnya berupa nyala, lalu disebut pemberani, ruh-ruh terlahir (XVII: XCVI).

Dalam pribadinya tiada perlu adanya saran, sebab telah bersemayam wejangan,
sedang yang masih menghitung ragu, tersandung langkahnya (XVII: XCVII).

Ruh para pemberani berkecukupan, tiada kekurangan dalam kesunyian,
nalurinya bermahkota raja, jiwanya selaksa angin membuncang (XVII: XCVIII).

Bukankah kembara itu penerima serupa karang, pemberi laksana gelombang,
dan faham gempa taupan jiwanya, mematangkan kasih sayang (XVII: XCIX).

Duri-duri ilalang masih menyisakan darah masa silam
dan belumlah kering beku, embun di pagi-pagi itu (XVII: C).

Saat bibirmu tersapu angin lautan, keningmu tanjung karang ke ufuk mungil
kerinduan, sejauh ombak membawa kapalmu ke pulau matahari (XVII: CI).
-----------------

*) Pengelana dari Lamongan, JaTim.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir