Grathia Pitaloka
Jurnal Nasional,19 Okt 2008
Novel Indonesia dihuni banyak tokoh dari beragam profesi, seperti wartawan, guru, pedagang, mahasiswa, dan juga militer.
Militer seolah tak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tak terkecuali dalam perkembangan dunia sastranya. "Bagi para sastrawan angkatan 45, militer sempat menjadi tema yang inspiratif," kata Nurinwa Ki S Hendrowinoto kepada Jurnal Nasional, Selasa (14/10).
Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu pengarang yang dengan sempurna mengangkat tema militer dalam karya-karyanya. Pria yang dinobatkan sebagai tokoh yang paling berpengaruh di Asia oleh Majalah Time ini memang pernah berkecimpung langsung dalam dunia tersebut.
Disisi lain, militer pula yang merampas kebebasan hidup mantan karyawan Kantor Berita Domei ini. Hampir separuh umurnya terpaksa dihabiskan di balik terali besi, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, Orde Lama, maupun Orde Baru.
Di dalam tahanan, secara fisik Pramoedya memang terpenjara, tetapi imajinasinya tetap membumbung tinggi menyentuh cakrawala. Buktinya ketika ditahan Belanda di Penjara Bukit Duri tahun 1947-1949, pengagum Leo Tolstoy ini mampu melahirkan karya monumental berjudul Keluarga Gerilya.
Dalam novel yang diterbitkan tahun 1950 tersebut, Pramoedya bertutur melalui tokoh Sa'aman yang merupakan alter ego dari Wahab. Pada halaman awal novel Pramoedya sempat menjelaskan kalau Wahab adalah wakil komandan pasukan yang dibawahinya dan telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Belanda.
Kerinduan yang begitu pekat terhadap kemerdekaan memaksa Sa'aman mengamputasi syaraf perih di kepalanya. Demi kemerdekaan negerinya ia harus rela menarik pelatuk pistol untuk mengakhiri nyawa ayahnya karena sang ayah menjadi tali barut Belanda.
Revolusi tak berhenti meminta upeti. Setelah ayah, ibu, saudara, serta ribuan orang lainnya tergeletak mati, kemerdekaan masih harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Sa'aman bersedia, bahkan ia menolak meminta pengampunan pada Belanda dan meminta agar eksekusi terhadap dirinya dipercepat.
Pengalaman bersentuhan langsung dalam dunia militer menjadi salah satu nilai tambah bagi Pramoedya. "Pengaruh dari pengalaman tersebut dalam proses kreatif Pramoedya sangat terasa, berbeda dengan pengarang lain yang tidak memiliki pengalaman langsung," ujar Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Jakob Sumardjo.
Dalam proses kreatifnya, Pramoedya berusaha mengawinkan antara pengalaman, nalar dan pengamatan. Maka tak heran jika karya-karya penulis kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini terasa begitu nyata. "Seorang yang tidak pernah mempunyai pengalaman sendiri maka struktur berceritanya akan terasa datar,layaknya pastur yang bertutur tentang persetubuhan," kata Nurinwa.
Suasana nyata yang berhasil dihadirkan membuat sebagian pembaca menempatkan karya-karya Pramoedya bukan hanya sebagai sebuah karya fiksi melainkan catatan sejarah. "Jalinan kalimat yang dirangkai oleh Pramoedya mampu membuat pembaca merasakan dinamika semangat revolusioner masyarakat pada zaman itu," ujar Jakob.
Semangat kebangsaan yang diusung melalui tokoh militer juga ditulis Pramoedya dalam novel berjudul Di Tepi Kali Bekasi. Novel yang memotret gejolak pemuda ini disebut Pramoedya sebagai epos tentang revolusi jiwa Angkatan Muda, dimana jiwa jajahan berubah jiwa merdeka.
Revolusi jiwa ini dikisahkan Pramoedya melalui Farid, sosok muda yang memiliki semangat membara untuk membela tanah airnya. Di tengah desakan kehidupan pragmatis yang diminta ayahnya, ia melangkah tegar menuju medan pertempuran.
Tentulah rangkaian kata yang diuntai Pramoedya akan terasa hambar dan kurang bermakna jika tidak didukung data akurat. "Sampai saat ini Pramoedya adalah pengumpul data terbaik yang dimiliki oleh negeri ini," kata penerima Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata selama tiga tahun berturut-turut ini.
Pramoedya meletakkan data sejarah sebagai bahan mentah, sementara supaya karya tersebut dapat hidup dan sesuai dengan nalar ia meniupkan ruh melalui daya imajinasi yang melambung tinggi.
Kumpulan data sejarah tentu sangat penting guna membangun karakter, percakapan, adegan, serta konflik, supaya terlihat hidup dan meyakinkan. Bagi para penulis fakta sejarah tidak mengikat dan dapat berupa fiksi. Tetapi ketika menyusun cerita, ia dituntut membangun logika cerita.
Pergeseran Karakter
Pramoedya lahir dari lingkungan keluarga sederhana, ayahnya berprofesi sebagai seorang guru. Pramoedya tak sempat mengecap pendidikan tinggi hanya sampai kelas dua di Taman Dewasa. Kemampuan luar biasa yang dimilikinya merupakan hasil dari tempaan alam. "Pramoedya merupakan sosok yang istimewa. Ia tidak mengenyam pendidikan tinggi tetapi belajar banyak dari pengalaman hidup," kata Nurinwa.
Jakob melihat kekuatan karya Pramoedya terletak pada karakter-karakter di dalamnya. "Semua itu dikarenakan karya-karya dia berangkat dari pengetahuan dan pengalaman, bukan hasil sekedar lamunan kosong," ujar ayah empat orang anak ini.
Tengok ketika Pramoedya menulis Tetralogi Pulau Buru yang dibangun dari tetesan elemen sejarah hidup R.M. Tirtoadhisoerjo (1880-1918). Pramoedya berhasil menghidupkan karakter Minke dalam sebuah panggung fiksi yang memikat.
Nama Tirtoadisoerjo yang semula jarang terdengar, perlahan namun pasti mencuat ke dalam narasi sejarah pergerakan Indonesia sebagai seorang protagonis yang tak bisa disepelekan.
Dari baki prosa yang disajikan Pramoedya, terkuaklah jika Tirto merupakan jurnalis pribumi pertama yang menggunakan bahasa Melayu sebagai "bahasa bangsa-bangsa yang terperintah". Secara sadar Tirto dengan aktif menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa perjuangan dan pemersatu.
Karakter tokoh militer dalam novel-novel Pramoedya mengalami pergeseran dari masa-masa awal kepenulisannya hingga kemudian diasingkan di Pulau Buru. Pada masa awal Pramoedya menggambarkan militer sebagai tokoh pelindung rakyat yang memiliki rasa kebangsaan tinggi. Karakter tersebut dapat ditemukan pada Di Tepi Kali Bekasi (Keranji dan Bekasi Jatuh), Mereka Yang Dilumpuhkan, Percikan Revolusi, Cerita Dari Blora, Subuh, dan Keluarga Gerilya.
Pada Keluarga Gerilya, Pramoedya melukiskan tokoh militer sebagai manusia biasa yang memiliki hati nurani. Penggambaran humanisme pada tokoh militer begitu terasa pada percakapan antara Sa'aman dengan kepala penjara yang berkebangsaan Belanda. "Konflik-konflik yang dibangun Pramoedya tak hanya menumbuhkan rasa kebangsaan, tetapi juga cinta kasih sesama manusia" kata Jakob.
"Revolusi menghendaki segala-galanya... menghendaki kurban yang dipilihnya sendiri. Demikian hebatnya revolusi. Kemanusiaanku kukorbankan. Dan sekarang ini... jiwa dan ragaku sendiri. Demikianlah paksaan yang kupaksakan pada diriku sendiri. Kupaksa diriku menjalani kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu... agar mereka itu dengan langsung bisa menikmati kemanusiaan dan kemerdekaan."
Nurinwa mengatakan, pergeseran karakter militer pada karya Pramoedya dapat ditemui pada Tetralogi Pulau Buru dan karya-karya setelahnya, di mana ia lebih cenderung memposisikan diri sebagai anti militer. "Rasa muak Pramoedya terhadap militer bermula dari pengalamannya menjadi korban," kata Ketua Yayasan Biografi Indonesia ini.
Jakob mengatakan, suatu hal yang lazim ketika inspirasi seorang penulis bermuara dari potongan-potongan peristiwa hidupnya. Peristiwa itu kemudian membentuk sederet tanda tanya yang kemudian dituangkan dalam bentuk karya. "Bagaimana karya tersebut bisa menjawab pertanyaan pada zamannya dan masa mendatang," ujar Jakob.
Pergeseran karakter tokoh militer tidak hanya terjadi pada karya-karya Pramoedya, tetapi pada hampir semua karya sastra di Indonesia. "Kalau dulu tokoh militer digambarkan dengan citra positif, saat ini berubah menjadi sebaliknya," kata lulusan IKIP Negeri, Bandung ini.
Tokoh militer yang tadinya digambarkan sebagai sosok pelindung dan pengayom masyarakat, berubah menjadi sebaliknya, merusak dan menakuti masyarakat. "Militer menjadi sosok antagonis yang dimusuhi oleh masyarakat," ujar suami dari Jovita Siti Rochma ini.
Tak Menarik
Selanjutnya, militer seperti dilihat sebagai tema yang tidak lagi menarik untuk diangkat, kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas. Para penulis lebih tertarik mengelaborasi tema-tema lain seperti cinta, ketuhanan, ataupun tradisi. "Jarang sekali pengarang yang tertarik mengangkat tema militer, bisa dilihat dari buku-buku yang dihasilkan," ujar lelaki Klaten, 26 Agustus 1939 ini.
Penulis buku Segi Sosiologis Novel Indonesia ini mengatakan, langkanya buku dengan tema militer karena latar belakang profesi sebagian besar penulis di tanah air adalah guru dan wartawan, sangat sedikit yang berasal dari tentara.
Nah, latar belakang tersebut menyebabkan tokoh yang diceritakan dalam karya sastra Indonesia pun hanya berkisar sekitar wartawan, dosen atau orang kantoran. "Mereka tidak terlalu dekat bahkan asing dengan dunia militer," kata Jakob.
Situasi berbeda terjadi di negara-negara Eropa, di mana para penulisnya berasal kebanyakan dari kelas atas, sehingga cerita yang diangkat seringkali mengenai masyarakat kelas atas, termasuk tentara.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar