Kamis, 23 Oktober 2008

H.B. Jassin tanpa Wahyu

Jawa Pos, 20 Juli 2008
M. Fadjroel Rachman

Membaca Hudan Hidayat, membaca Nabi Tanpa Wahyu (2008), adalah membaca sastra Indonesia muda yang jatuh bangun merintis jejak di dunia baru dalam aras nasional, regional, dan global. Hudan Hidayat (HH) tak lelah-lelah mencari jejak penulis baru, menciumi aroma pembeda, menelisik simpangan subtil, mencari kaitan pergaulan sastra Indonesia baru dan globalisasi dunia baru. Merumuskan benang merah sastra dan kebudayaan baru Indonesia, dalam taman sastra dan kebudayaan dunia, dengan iman yang teguh terhadap kebebasan, kehidupan, dan kemanusiaan. Sebab, kata HH, ia sama yakinnya dengan Octavio Paz (hlm. 55) yang berkata, ''Sastra modern lahir dari kritik terhadap zaman, kritik terhadap kebenaran tunggal.''

Dua jiwa dunia
Bila HH memeriksa karya penulis baru Indonesia, tanpa ragu HH langsung terjun dalam samudera pertempuran jiwa sang penulis. Pertempuran berdarah rasio dan nurani dalam menghadapi jiwa zaman yang berdialektik dunia batin para penulis. Segala bentuk luar (eksterior) karya menjadi persoalan kedua yang diperiksanya, bahkan seringkali diabaikan saja. HH mencatat pertarungan batin, membantu merumuskannya, menjadi tandem bila pertarungan kolosal dan berdarah-darah sedang berlangsung, yang kadang membuat penulis Indonesia muda terkapar dan ingin menyerah saja.

Dialektika dua jiwa dunia, jiwa zaman, dan jiwa penulis, adalah medan pertarungan spiritual yang dimasuki tanpa ragu oleh HH. Tak selamanya HH terjun bertempur dengan pedang berkilau, tameng tak tembus tombak, dan ksatria musuh yang hadir nyata di depan mata. Bahkan HH kadang seperti Don Quixote yang merumuskan medan pertarungannya sendiri lengkap dengan musuh yang harus dilawan, puteri yang harus diselamatkan, bahkan ukuran kemenangannya. Tetapi keikhlasan dan kesabaran untuk terjun dalam pertarungan dua jiwa dunia tersebut, adalah kata kunci untuk memahami kumpulan artikel kritik sastra dan kebudayaan Nabi Tanpa Wahyu (NTW) ini. Seberapa dahsyatkah pertarungan dalam medan dialektika dua jiwa dunia tersebut? Arthur Rimbaud (1857-1907), dalam A Season in Hell, berucap, ''The spiritual fight is as brutal as men battle.''

Bila kritikus sastra dan kebudayaan dunia lama, Indonesia tua, kadang hanya mengintip medan pertarungan dengan sinis, bahkan menghardik pelakunya, atau bermodal meteran pengukur estetika, moral dan teologis mengukur panjang dan lebar formasi pertempuran. Maka HH mengatakan tidak atas sikap dan karakter dekaden semacam itu. Karena kritikus sastra dan kebudayaan bukan nabi dengan wahyu pamungkas, atau paus katolisisme dengan segala keputusan Ilahiah. Kritikus sastra dan kebudayaan adalah sahabat, tandem, dan petarung dalam pertempuran berdarah antara jiwa zaman dan jiwa penulis. Seolah HH menyuarakan teriakan arogan Chairil Anwar, ''yang bukan penyair (petarung, pen.) tidak ambil bagian''. HH menyelam ke jiwa terdalam para penulis baru, karena ''suka pada mereka yang menemu malam.''

Hudan tanpa Wahyu
Apa jadinya bila Hudan Hidayat yang juga menulis novel Tuan dan Nona Kosong bersama Mariana Amiruddin, antologi cerpen Lelaki Ikan dan Keluarga Gila, dipertukarkan dengan Taufiq Ismail, lawan polemiknya tentang sastra pornografi? Maka, saya yakin, akan habislah semua lawan polemiknya, terkapar berdarah-darah, terkutuk di dunia dan di akhirat. Sebab, kekuatan argumen Hudan, pengetahuan, dan pengalamannya di kancah sastra sebagai novelis dan cerpenis, serta kelihaiannya menyusun kalimat seperti penyair atau ahli pantun Melayu yang memilih kata dan bunyi, bila ditambah absolutisme wahyu, akan menjelmakan sosok Hudan sebagai ''esais dengan palu penghancur''. Bersukurlah, HH adalah seorang pelaku polemik tanpa wahyu.

Hudan dalam kumpulan esai terbaru NTW ini tetaplah pemuja keras kepala wahana dialog dan pertarungan wacana, sepanas apa pun hantaman bertubi, maupun stigma yang disematkan di kening oleh lawan polemiknya, tak membuat HH tergelincir menjadi pembunuh berdarah dingin. Siapa pun yang dikritiknya di dalam esai NTW, seperti Iwan Simatupang, Budi Darma, Martin Aleida, Ayu Utami, Afrizal Malna, Binhad Nurrohmat, Fadjroel Rachman, Agus Noor, Djenar Maesa Ayu, sampai Albert Camus, selalu mendapatkan sapaan hangat menggetarkan seperti sinar matahari, pasir putih, pantai sepi, dan kilau laut Kota Oran (Aljazair) di novel Albert Camus, Sampar.

Paradoks Takdir Dunia
Jantung NTW sekaligus kredo kepenulisan dan kehidupannya menurut saya adalah esai pertama Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya. Esai ini sangat kuat, selain mengungkapkan kepercayaan penulis pada olah sastra dan hidupnya, juga langsung berkonfrontasi dengan olah sastra dan hidup dari Taufiq Ismail, lawan polemiknya. Sastra, kata Hudan, menjadi wahana mengolah kompleksitas kehidupan dan manusia, bukan sastra yang meringkus hidup dan manusia pada satu keyakinan, agama, atau ideologi absolut. Saya teringat Dr Soedjatmoko yang menulis Dr Zhivago: Manusia di Tengah Revolusi, dengan sangat simpatik ia meneriakkan kembali suara Dokter Zhivago karya besar Boris Pasternak itu, dengarlah, ''Manusia dilahirkan buat hidup, bukan untuk bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup itu sendiri, fenomena hidup, anugerah hidup, bukan main seriusnya...Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa mengatakan itu tak pernah mengerti apa pun tentang hidup -mereka itu tak pernah bisa merasakan hembusan nafas, detakan jantungnya, betapa pun seringnya hal itu mereka lihat atau lakukan. Mereka hanya melihatnya sebagai segumpal bahan mentah yang perlu diolah, dibuat berharga dengan sentuhan mereka. Tetapi hidup bukanlah suatu bahan atau substansi untuk dibentuk... Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya sendiri...''

Begitulah hidup yang dipercayai HH dan para sahabatnya dalam Memo Indonesia (Marianna Amirudin, Rocky Gerung, dan Fadjroel Rachman). Kata Hudan, ''Kalau diumpakan sungai, maka sungai kehidupan yang memantulkan warna-warni nasib manusia dan takdir dunia, akan mengering diisap cara kerja Taufiq Ismail yang ingin memasung kreativitas, membelenggu kebebasan berpikir, serta menciutkan imajinasi. Akibatnya, kehidupan akan kehilangan terang dan gelapnya sendiri. Kehendaknya alih-alih membawa suara-suara moral dalam sastra, tapi justru akan membawa sastra menjauh dari Tuhannya.''

Mengatasi H.B. Jassin
Sikap simpati terhadap karya sastra yang dikaji, sehingga setiap pukulan tak terasa menyakitkan, setiap pujian tak terasa merusak kemajuan dan progresivitas penulisnya, itulah karakter yang dibutuhkan untuk merawat dan memajukan sastra Indonesia baru, Indonesia muda. Sastra yang merangkak menjadi bunga pengharum taman sastra dunia, taman harum kebebasan umat manusia di bumi manusia. HH memiliki kualitas itu, terang benderang terlihat dalam NTW.

Bersyukurlah sastra Indonesia baru, para penulis Indonesia muda, beriringan jalan dengan HH, perlahan mengatasi H.B. Jassin, tetap rendah hati karena tak berniat menjelma paus sastra Indonesia muda, apalagi menjelma polisi kritikus dengan segala kitab usang estetika, moral, dan teologis. Hudan bersuara nyaring sebagai kritikus sastra dan kebudayaan bahwa kebebasanlah nyawa kehidupan. Kreativitas dan kehidupan menciut dan menghilang tanpa kebebasan. Inilah jeritan Memo Indonesia, bahtera gagasan nir-organisasi yang melaju di tengah derasnya gelombang besar otoriterisme dan totaliterisme moral, teologi, dan parokialisme kebudayaan.

Memang kadang suara HH dalam NTW terekam sebagai suara paradoks, ia melihat kebebasan manusia sebagai motor kreativitas dan kehidupan, sebuah optimisme, tetapi juga memasukkan istilah takdir dunia dan Tuhan yang terasa pesimistik. Tetapi kondisi paradoks adalah medan pergulatan manusia, sama brutalnya dengan medan pertempuran dua jiwa dunia: jiwa zaman dan jiwa penulis. Paradoks membuat hidup maupun karya jadi bersinar seperti punggung Sysiphus yang berkilap peluh ketika turun dari bukit untuk mengulang pertempuran dunia batinnya, mendorong batu jiwa ke puncak bukit, terguling ke lembah lagi untuk menghadapi pertempuran batin berikutnya. Karena itu kita bisa, dan harus, membayangkan Sysiphus berbahagia.

HH dalam NTW tampak sama yakinnya dengan Arthur Rimbaud melihat cakrawala terjauh dari pertarungan spiritual para penulis Indonesia muda. Kata Rimbaud lagi, ''and at the dawn/armed with scorching patience/we shall enter the cities of splendour.'' Kota megah, hadiah kesabaran, dan keikhlasan manusia dalam isak-tangis dan gelak-tawa, sebuah kota bagi jiwa-jiwa bebas, yang beriman pada kemanusiaan, kebebasan dan kehidupan. Tentu keikhlasan dan kesabaran yang tak terpemaknai akan membentuk HH menjadi H.B. Jassin tanpa wahyu, sekarang dan di kemudian hari. HH adalah penghiburan agar para penulis baru tak takut memasuki dunia baru yang tak dikenal sama sekali. HH dengan NTW sekarang menjadi bahtera kokoh para Christoper Columbus sastra baru Indonesia untuk berlayar di samudera sastra baru dunia. (*)

*) Penulis dan Peminat Karya Sastra

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir