Selasa, 05 Agustus 2008

Cak Durasim, Peacock, dan Senjakala Ludruk

Fahrudin Nasrulloh*

Konon, pada 1943, Cak Durasim mati ditembak tentara Jepang saat suatu malam dia mentas ludruk di Peterongan, Jombang. Demikianlah salah satu versi cerita. Pasalnya sepele, malam itu dia berkidungan begini: Pegupon omahe doro/Melok Nipon tambah sengsoro (Pegupon rumahnya burung dara/Ikut Nipon tambah bikin menderita). Sudah lama Nipon telah dibikin geram oleh kidungan Cak Durasim yang nylekit itu. Ternyata, kata-kata, pada momen itu, menggoreskan luka dalam ingatan kolektif. Menjadi subversif, saat kekuasaan bertakhta.

Beberapa tahun sebelum peristiwa berdarah itu, sejarah mencatat bahwa keberadaan ludruk muncul 1932 sebagai suatu bentuk pemberontakan kaum petani (atau rakyat jelata) terhadap hegemoni tiranik juragan penindas, penjajah dan antek-anteknya. Hal demikian sudah terjadi sejak penjajahan bercokol di negeri ini. Pasca 1945 ludruk semakin berkembang pesat. Ironisnya, masa itu ludruk dimanfaatkan parpol sebagai kendaraan politik. Pada 1965 banyak group ludruk menjadi onderbouw-nya LEKRA. Setelah Gestapu surut, ludruk mengalami kemerosotan fatal. Dan pada 1967, atas gagasan TNI dan POLRI, ludruk dibangkitkan kembali.

Selanjutnya, kenyataan ini pula yang menggerakkan James L. Peacock untuk melakukan riset serius terhadap 82 kelompok ludruk di Surabaya pada era 60-an. Dan baru 2005, buku karya jebolan Universitas Nort Caroline yang berumbul Ritus Modernisasi: Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (Desantara: Jakarta) ini terbit. Dalam buku tersebut Peacock mengapresiasi ludruk sebagai klasifikasi secara simbolik dalam aras tindakan-tindakan sosial dan sebagai ajang-tawar bagi penonton untuk “terlibat” secara emosional. Karya Peacock ini telah dijadikan kajian penting terhadap seni pertunjukan Indonesia, disamping karya James R. Brandon (Theatre in Southeast Asia), Claire Holt, R.M. Soedarsono, Jennifer Lindsay, dan lain-lain. Melalui buku ini Peacock menunjukkan seproletar apa pun, seperti halnya komunitas ludruk, komunitas-komunitas yang tak pernah dinyana dari kacamata modernitas, ternyata mujarab memerankan diri dalam menjembatani dan mengawal suatu nilai urgensif dalam perubahan sosial.

Namun kini apa terjadi dalam jagat ludruk kita? Memang perlu studi baru pasca penelitian Peacock itu. Yang terang, spirit kesenian ini begitu menggugah kesadaran saya ketika semalam suntuk saya menyaksikan pergelaran ludruk Mustika Jaya dari Jombang berlakon Geger Pabrik Kedawung di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) pada 12 April 2007. Sebelumnya, di tempat yang sama, juga dipentaskan lakon Sawunggaling dari group Karya Budaya Mojokerto pada 8 Maret 2007.

Pergelaran ludruk ini akan berlangsung hingga 2008, yang akan disemarakkan oleh sejumlah group ludruk terkemuka mulai dari lakon Pak Sakerah (Timbul Jaya, Probolingga: 24 Mei 2007); Babad Suroboyo (Warna Jaya, Sidoarjo: 14 Juni 2007); Joko Sambang (Bangun Tresna, Lumajang: 12 Juli 2007); R.M. Branjang Kawat (Taruna Budaya, Malang: 9 Agustus 2007); Sogol Pendekar Sumur Gumuling (Irama Budaya, Surabaya: 8 September 2007); Maling Caluring (Orkanda, Malang: 29 November 2007); Sarip Tambak Oso (Budhi Wijaya, Jombang: 6 Desember 2007); Untung Suropati (Perdana, Pasuruan: 10 Januari 2008).

Alangkah menarik untuk disimak, ketika sehabis pementasan tersebut diadakan semacam ‘bedah ludruk’ secara dialogis antara penonton dan pemain ludruk. Dialog yang cukup debatable itu dipandu oleh Pak Sinarto dari TBJT. Banyak tokoh dan pemain ludruk yang urun-rembuk malam itu seperti Pak Edi (pimpinan ludruk Karya Budaya, Mojokerto), Cak Supali, Cak Agus Kuprit, Cak Bawong, dan lain-lain. Perhelatan tersebut menyoal seputar nasib masa depan ludruk; ihwal regenerasi aktor, manajemen pengelolaan, inovasi cerita, revitalisasi berupa adanya museum ludruk untuk pengembangan riset dari pelbagai sudut pandang (seperti riset yang cukup berbobot dari Sindhunata berjudul Ilmu Gletek Prabu Minohek [Galang Press, 2005, Yogyakarta]: tentang makna sosial dalam kidungan dan jula-juli group ludruk Kartolo; juga buku Gendhakan: Visualisasi Parikan Ludruk [Bentara Budaya, 2007]). Di sini pula peran pemerintah diperhitungkan untuk menakar seberapa jauh ludruk masih menjadi hiburan unggulan masyarakat.

Sehubungan dengan itu, jika seksama dicermati, penelitian Peacock puluhan tahun silam tersebut sebenarnya cuma berkutat pada “isi” dan “bentuk”. Dan tentu saja dia bukan ahli nujum yang dapat meramalkan keberlangsungan ludruk yang di zaman ini tengah diserbu hiburan yang menggiurkan yang semata-mata hanya menawarkan “leviathan” dunia modern yang instan, hedonistik, mewah tapi murah, tontonan TV yang menyihir di mana klimaksnya segala hasrat serentak terpuaskan. Dalam kubangan ironik tersebut, sepertinya secara sadar dan tidak, spirit kreatif ludruk betul-betul telah didaur-ulang dan dibongkar-pasang oleh industri hiburan kapitalistik dengan menyulapnya (dengan ragam acara) menjadi semisal tayangan Bajaj Bajuri, OB, Empat Mata, Extravaganza, atau Ketoprak Humor, dan seabrek metamorfosa produk lawakan lainnya. Ludruk, dengan begitu, telah dikloning sedemikian rupa menjadi jejaring kapitalisme yang niscaya dan mustahil dibendung. Ludruk tidak lagi sebagai media pemberontakan kaum proletar terhadap kekuatan penguasa yang hegemonik sebagaimana dicerminkan dalam tragedi Cak Durasim.

Sampai kapan ludruk sebagai citra seni rakyat yang adiluhung dapat bertahan di bawah bayang-bayang membanjirnya hiburan TV misalnya? Apa yang terjadi dengan ludruk, katakanlah, 20 hingga 30 tahun ke depan? Sementara warisan seni rakyat yang lain seperti “jaran-kepangan”, “jatilan”, “bantengan”, perlahan-lahan juga mulai sekarat di tengah arus deras hiburan zaman sekarang.

Sementara, di ranah perludrukan, sebenarnya kita cukup salut dan bertabik atas sejumlah seniman ludruk yang tetap konsisten menjalani dan mendedikasikan seluruh hidupnya demi keberlangsungan warisan kesenian ini. Lepas dari desakan tuntutan ekonomi, kendati perkara itu juga patut dijadikan catatan penting. Sederet tokoh ludruk seperti Kartolo, Basman, Sapari, Sidik, Markeso, Markuat, Munawar, Kecik, Kirun, Supali, hingga Trubus dan Sulabi tetap terus berjuang menghidupkan tradisi ludruk ini. Bahkan peran pelawak perempuan tidaklah bisa dikesampingkan begitu saja kontribusinya semisal Umi Kalsum (di ludruk RRI Jatim), Kastini, Surya Dewi, Lasiana, Sutatik, hingga Marliyah (grup ludruk Karya Baru, Mojokerto). Konsistensi mereka-mereka ini sepatutnya mendapatkan perhatian dan penghargaan yang layak dari pemerintah. Sebab jarang orang sekarang memilih hidup berprofesi di dunia ludruk yang dianggap tak menjanjikan masa depan yang cerah.

Terkait dengan itu, saya yakin, jika di antara generasi muda sekarang ditanya apakah ada yang mau memilih hidup berkesenian di ludruk? Saya kira hanya orang putus harap yang memilihnya, untuk tidak mengatakan mustahil. “Perempuan mana yang mau main ludruk seperti saya? Apalagi generasi muda sekarang. Bahkan di group saya, saya sering mendorong mereka yang muda-muda untuk melawak. Tapi sungguh sulit melawak, apalagi ‘ngidung’ dan jula-juli, kata mereka,” demikian cerita Marliyah kepada saya pada 15 April 2007, di rumahnya di Girang, Bakalan, Krian. “Penari remo sekarang jarang. Sebenarnya jika dipelajari dengan telaten, semua orang bisa. Sampai saat ini saya tidak menemukan siapa yang dapat meneruskan ilmu ‘ngremo’ saya ini,” tambah Hadi Wijaya, suami Marliyah.

Di sisi lain, memang jumlah kelompok ludruk sekarang terbilang banyak. Di Jombang misalnya ada sekitar 38 grup ludruk. Dan biasanya setiap group mengklaim punya anggota kisaran 50 sampai 70 orang. Jika dihitung secara matematis, katakanlah per-group ada 50 personil. Maka 38 x 50 = 1900 orang. Tapi kenyataan di lapangan semua seniman ludruk di Jombang kira-kira hanya 400-an orang. Sebab yang banjir tanggapan hanya sekitar 3 group ludruk. Dan itu mungkin juga terjadi di daerah lain. Ini satu kondisi yang tidak sehat, terkait dengan manajemen dan mutu kerja kreatif, lebih-lebih minimnya minat generasi muda untuk menekuni bidang ini.

Dan yang paling memprihatinkan adalah kelompok ludruk model tobong yang berpentas keliling dari kampung ke kampung dengan penghasilan sekali gelar sekitar 300-an ribu. Lalu hasil dari penjualan karcis (2000/orang) dibagi seluruh kru yang rata-rata jumlahnya 40-60 personil. Group tobong memang hampir sudah tidak ada. Hanya beberapa gelintir yang tersisa. Menurut pengakuan Cak Yusuf Hidayat (ketua grup ludruk tobong Mandala dari Ngusikan, Jombang), bahwa dia akan tetap menjalani profesinya tersebut sampai kapanpun, karena ludruk tobong adalah warisan dari kakek buyutnya. Namun dia juga merasa diserbu kekhawatiran bahwa masyarakat mulai tak tertarik lagi menikmati model ludrukan ini. Memang banyak kasus yang telanjur jadi benang kusut dalam dunia perludrukan kita. Gambaran di atas hanyalah sebagian kecil contoh.

Walhasil kini dan mendatang ludruk seolah di ambang senjakala kesirnaannya. Tersebab jika pelestariannya tidak diupayakan dengan kesadaran kolektif untuk nguri-nguri dan ngopeni secara bersama dengan kesungguhan yang penuh-seluruh (atau justru malah diabaikan?). Barangkali benar, secara perlahan-lahan, ludruk mulai terkikis oleh keniscayaan perubahan dan, akhirnya menjadi situs sejarah yang mengenaskan. Bisa jadi Peacock akan mengamini ramalan Schiller ini: Yang lama musnah. Masa pun berubah. Dan di atas puing-puing reruntuhan. Mekarlah kehidupan baru.

Tampaknya di sinilah ujian bagi seniman ludruk agar lebih getol dan sungguh-sungguh dalam menekuni bidang ini sebagai jalan hidup berkesenian. Tapi sejauh mana mereka dapat bertahan dalam arus hiburan yang kian menderas saat ini?

*)Redaksi tamu pada Jurnal Kebudayaan The Sandour
Kompas, 19 Agustus 2007.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir