Adhi Pandoyo
bagai aur dengan tebing
Memetakan kehidupan, lebih-lebih kebudayaan, tidaklah sesederhana mengaktifkan lokasi akun gadget kita dalam google map, agar segala riwayat perjalanan kita terlacak. Adanya perkembangan pemetaan selama berabad-abad sejak lembaran-lembaran arsip navigasi hingga citra potret satelit paling canggih dan akurat sekalipun, tak sanggup menjelaskan saling-silang kebudayaan. Tak heran dalam membaca kebudayaan, denah geografis mesti membutuhkan penjelasan Ilmu-ilmu sosial dan humaniora; Semata-mata agar keterbatasan visualnya teratasi.
Dari situ semisal lahirlah penambahan imbuhan kata: kultural, sehingga muncul istilah geografi-kultural. Geografi-kultural kemudian mewadahi tarik-ulur antara teritori visual -berbasis apa yang tampak dalam peta- dan teritori budaya -berbasis pengetahuan atas segala aspek kinerja kebudayaan-.
Ketika teritori visual mendikte geografi ke dalam patok-patok perbatasan dan garis-garis kaku demarkasi antar wilayah hingga negara. Maka visual alam disandera ke dalam politik kepentingan manusia. Dari sini, teritori visual tak ubahnya beralih nama menjadi teritori politik, sebagaimana dilegitimasi dalam pemetaan internasional. Sedangkan saat teritorial budaya dijajaki, maka batas-batas antar budaya diudar melalui ingatan-ingatan perjumpaan dan sejarah pertukaran antar suku-bangsa. Dari sinilah teritori budaya menjelma tubuh kebudayaan.
Singkatnya, teritori visual cum politik kerap menggerus kinerja teritori budaya. Sementara kinerja teritori budaya dijalin dengan melunakkan batasan-batasan ambisius dalam teritori politik. Saling bantah antar kekuasaan dalam teritori politik itulah yang menindas fleksibilitas teritori budaya. Walhasil luka-luka peradaban teruslah dipanen hingga hari ini, dengan barisan korban manusia. Taruhlah sejak jaman peperangan kerajaan-kerajaan kuno hingga perang-perang kontemporer di berbagai perbatasan di seantero negara-negara, semisal agresi Israel atas Palestina.
Seandainya teritorial visual memaksimalkan potensi teritorial budaya, boleh jadi wajah pemetaan kehilangan garis-garis perbatasan yang saklek. Artinya suatu produk budaya seperti bahasa hingga kesenian, akan memandu batas-batasnya sendiri, maupun kekayaan keberagamannya secara perlahan namun tanpa saling mengintimidasi. Batas-batas yang dinamis dan terus berubah, sejauh laju konektivitas kebudayaan.
Disitulah akan memicu terciptanya peta peradaban yang lebih manusiawi. Ketersambungan atau interkoneksi antar budaya inilah yang mestinya membentuk hubungan intim antar ruang-ruang yang ada di dalamnya, termasuk kesenian, untuk saling memberi daya hidup. Saling silang yang mencita-citakan daya hidup inilah yang barangkali memotifasi proyek ambisius pameran “Konak-Konek” tiga kota kali ini. Lantas, ada apa dengan Surakarta, Yogyakarta dan Jakarta?
Nyatanya sejarah seni rupa kita memang kadung mencatat adanya ketegangan kubu-kubu dan blok seniman-perupa, berikut seabreg pertarungan kepentingannya. Artinya sejarah seni rupa kita terus menerus ditafsirkan dan dipopulerkan para “politisi seni”. Tak heran teritori politik dalam seni rupa mencaplok kemungkinan positif dan produktif dari pemahaman teritori budaya yang lentur lagi cair. Kondisi ini menyebabkan suburnya sebuah medan seni rupa yang berwatak politis dan bergantung pada kubu-kubu maupun “institusi seni” yang dikanonkan maupun dilegitimasi rezim beserta agen-agen intelektualnya.
Ujung-ujungnya seni rupa kita berlidah ular, dengan satu cabang sibuk meramu seni rupa moderen khas Indonesia, dan cabang satunya berjibaku dalam hegemoni pasar yang masih menjadi buntut dari warisan kolonialisme dan perkembangan kapitalisme global. Tak heran hal ini secara bawah sadar direproduksi terus menerus dan menghasilkan ukiran sejarah seni rupa moderen Indonesia, yang sulit diurai dan dilepaskan dari belenggu pikiran minder kaum terjajah dan warisan cara berpikir penjajah. Belum lagi sengkarut kolonial-kolonial anyaran berwajah proyek-proyek seni.
Setelahnya, kita pun sibuk mengais figur yang nasionalistik namun tak kehilangan modern-kebaratannya. Belum lagi kebanalan para sejarawan seni, yang sibuk menempelkan arsip kolonial guna mencari jati diri. Hal ini alih-alih menemukan ramuan identitas yang ces pleng, malah kian terperosok dalam aturan main wacana kolonial yang kadung hegemonik. Tak heran narasi sejarawan seni kita seperti panik dan serba latah memberi klaim atas seni rupa kita, katakanlah berkutat mengajak para seniman untuk sekedar biner memilih sanad, Raden Saleh atau Sudjojono?
Memang telah jelas, sejarah pengkubuan memicu teritori visual yang bernuansa politik dalam pemetaan seni rupa, dan darinya teritori budaya gagal dipahami penuh sebagai ruang produktif interkoneksi kebudayaan. Realitas hari ini ketika kubu-kubu seni rupa tak lagi sanggup disederhanakan ke dalam Yogyakarta, Bandung dan Bali; Maka konak-konek adalah kemendesakkan yang menjalin kembali teritori kebudayaan, demi menyuburkan daya hidup kesenian. Dahulu memang perupa muncul dari kalangan para trah bangsawan-priyayi dan kelas menegah-elite tertentu, kini dan sudah lama mereka lahir dari beragam pergumulan subjek dan kelas.
Konak-konek tiga kota, tentu tidak sesederhana keterhubungan sejarah semata. Jakarta misalnya bukanlah layaknya ruang Sunda Kelapa sebagaimana dirancang Panglima Fatahillah. Sebab sebagai konsentris ibukota Batavia warisan VOC-nya Jan Peter Zoen Coen, dan koloni Hindia-Belanda, Jakarta mengarungi perubahan yang luar biasa pasca kemerdekaan dan hingga kini di masa yang katanya melampaui reformasi. Begitupun Yogyakarta dan Surakarta yang kemudian membangun konsentris-konsentris berikut ruang publik dan kotanya. Baik Surakarta dan Yogyakarta, dahulu tak lain adalah produk negosiasi Mataram Islam dengan Kolonialisme VOC hingga masa Hindia-Belanda. Namun kini generasi mesti menghadapi tantangan melampaui perlawanan simbolik terhadap rezim kolonial ala Pakubuwono X maupun strategi cerdik Hamengkubuwono IX yang mengawinkan kerajaan dengan republik dalam revolusi kemerdekaan.
Ketiga ruang kebudayaan ini kemudian memiliki perubahan sosialnya masing-masing, terlebih dalam hal pendidikan seni. Pusat-pusat kampus seni dari ketiga kota itu terus mencetak kultur kesenimanannya. Surakarta, Yogyakarta dan Jakarta menjelma ruang-ruang akademik pendidikan formal kesenian, hingga yang informal dalam kantung-kantung sanggar maupun kolektif seni. Hal tersebut menyemai konsentris-konsentris baru dalam dunia seniman, di balik ruang besar teritori konsentris kota, dalam bebayang teritori visual. Kendati ketiga konsentris kota tersebut memiliki beban masing-masing dalam hal sejarah hingga ekonomi-politik; namun dari situlah geografi-kultural seni terbentuk dan terbentang. Agaknya di situlah kinerja etno-histori kesenian menjalin pemetaan kebudayaan.
Gagasan dasar pameran ini barangkali bukan yang pertama. Akan tetapi kehadiran proyek tiga kota pameran ini menjadi pengulangan yang mempertegas interkoneksi guna memetakan teritori budaya dalam kesenian. Baik dari lalu lintas medium yang digunakan para seniman di dalamnya, hingga corak karya yang sibuk dengan mimesis atas apa yang ditemukan; maupun pergulatan eksistensi masing-masing perupanya; Kesemuanya hendak menjawab kebutuhan menyemai jejaring ruang. Sebuah konak konek generasi seniman muda yang meraba identitas dirinya dalam laju generasi milenial di era hyper-cybernetik pasca revolusi industri 4.0; Terlebih di tengah carut marut seniman-seniman seniornya menghadapi kejumudan medan seni, di tengah mitos-mitos kurasi. Konspirasi trans nasional yang melecut teka-teki dalam “permainan para politikus seni” mencipta pasar dan infrastruktur yang tentu saja sarat kong kalikong.
Pameran”Konak-Konek” tiga kota ini mesti diakui sebagai sebuah bukti bahwa kita tidak pernah selesai dengan pergumulan identitas, dan dialog generasi. “Konak konek” para seniman muda adalah sebentuk upaya reposisi subjek atas rezim kemapanan kesenian yang ada. Segala tehnik telah selesai digali. Segala gaya seolah telah ternamai. Tinggal bagaimana terus menerus menerabas tempurung konsentris. Memacu “konak konek” dalam merawat “keberpihakan” ideologi, menyemai jejaring teritori kesenian bin kebudayaan. (Tentunya bukan recehan kemanusiaan, gubahan proyekan institusi/lembaga serigala berbulu domba, boneka NGO atau hibah founding berpamrih, Oh Semoga). Tabik!
Kebun Makna, Sosromenduran, seusai purnama Februari 2019, Yoyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar