Tu-ngang Iskandar
Mempersatukan negeri yang terdiri dari berbagai suku
memanglah terbilang rumit. Terlebih tanpa adanya suatu tujuan bersama yang
kuat. Maka bertambah rumit untuk menjalin kata sepakat, saat kita telah
berdamai dengan musuh sekalipun. Karena seringkali akhir dari setiap tindakan
bersama adalah sebuah perpisahan dan perpecahan. Tentunya dengan berbagai
alasan yang seringkali dibuat-buat.
Namun pada dasarnya adalah sebuah gejolak baru dari nasionalisme budaya. Dimana ianya lebih kuat dari nasionalisme terhadap lembaga-lembaga atau ideologi apapun. Lihat saja berbagai gesekan terhadapnya, bahkan bisa menimbulkan perang yang amat menakutkan.
Orang-orang pada pusaran industri politik seharusnya
lebih bijak dalam mengkalkulasikan untung dan rugi, karena melebihi dari
apapun, persoalan nilai-nilai amatlah penting dibandingkan kemajuan angka-angka
yang tidak pasti untuk membangun kemanusian.
Penolakan simbol-simbol dan kebijakan lainnya dari
masyarakat adalah juga suatu petanda, bahwa diperlukan sikap moderat dan kesediaan
berkompromi lintas budaya dalam setiap mewujudkan tujuan bersama, agar tidak
benar-benar hancur. Sikap seperti itu pernahlah ditunjukkan Italia di tahun
1970-an, ketika Negara tersebut lebih memilih mendesentralisasi kebijakan
publiknya dibandingkan menekan sekecil-kecilnya angka pemberontakan. Hingga
akhirnya bukan Cuma tingkat kepercayaan yang berhasil dinaikkan Italia, namun
juga telah mewujudkan harmonisasi yang indah dari perbedaan budaya.
Disinilah letak pikir dalam sebuah negara, ketika rakyat bisa
dipahami sebagai makhluk yang berbudaya dibandingkan melihatnya dari kacamata
angka untuk keuntungan beberapa kelompok saja. Nilai-nilai dan sikap dalam
berpolitik tentunya adalah sebuah ikhwal yang menentukan dalam pembangunan, dan
itu semua berasal dari kekuatan budaya.
Jika hari ini beberapa wilayah di Aceh dengan sangat
percaya diri menuntut pemisahan diri dari Aceh, maka bukan tidak mungkin
orang-orang yang menganggap dirinya Aceh sekalipun akan juga menuntut dirinya
mundur dari Aceh dikarenakan tidak menemukan sesuatu yang pantas dibanggakan di
dalamnya. itu semua bukan remeh, mengingat nilai-nilai yang ditemukan dalam
material-material budaya lebih bisa meyakinkan manusia tentang bagaimana itu
hidup berkualitas, dibandingkan mengekor pada kuantitas gaya hidup yang hanya
bisa menjijikkan dan kehilangan harga diri.
Maka marilah kita evaluasi kembali, Tentang apa yang
dikatakan teungku Hasan Tiro sebagai kepentingan nasional Aceh, yaitu suatu hal
yang terdengar melebihi dari kepentingan apapun selainnya, termasuk kepentingan
pribadi dan kelompok. Adalah semangat bersama untuk membangun di lintas bidang
dengan beragam budaya dan nilai-nilai yang tetap harus mengikat pada
masing-masingnya, sebagai fondasi yang kuat di setiap tempat.
Untuk itulah, sebagai diri yang mengaku dirinya
berbudaya, semua wilayah harus konsisten dalam bersikap seperti dalam budaya
adanya. Hal tersebut untuk saling menguatkan diantara budaya-budaya lain yang
telah melemah dikarenakan berbagai kondisi dan tragedi yang telah menghancurkan.
Semoga dengan nilai-nilai dan sikap yang masih terjaga, Aceh insyaAllah bisa
terwujud menjadi makmur, sejahtera dan bahagia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar