Alunk Estohank *
Analisa Medan 2016
Interpretasi integral yang gagal itu diakibatkan oleh
dua hal: pertama, karya sastra yang gagal. Kedua, pembaca yang gagal, Teeuw
2013.
Ada semacam pergolakan yang tak pernah selesai dalam
dunia kesusastraan, terus menggeliat dari waktu ke waktu. baik itu masalah
karya dan pembaca yang tidak paham akan karya yang lahir. Memang dalam khazanah
kesusastraan hal semacam itu lumrah, dan ini kemudian yang membuat karya sastra
terus menggelinding bagai bola api.
Sebenarnya letak permasalahannya adalah ukuran
keberhasilan karya sastra atau kesempurnaan karya itu sendiri. terus
pertanyaanya adalah: seperti apakah karya sastra yang sempurna? ini kemudian
yang membuat pergolakan di dalam kesustraan saat ini begitu panas dan membuat bulu kudu merinding.
Ada yang mengatakan kalau karya sastra saat ini tengah diambang eksistensinya
karena dengan mewabahnya zaman yang disebutnetworked society, zaman
di mana akses yang tanpa batas, di mana setiap individu dengan cepat mendapatkan
informasi atau berita meskipun jaraknya ribuan mill jauhnya, hanya dengan hitungan detik mereka akan mendapatkannya.
Dan dengan bebas bisa berkomentar sesuka hati bahkan memaki-maki sekalipun. Ini kemudian yang disebut duniahiperealitas kata Baudrillard.
Memang bukan hanya karya sastra yang tengah diambang
eksistensinya, kalau mau jujur manusia pun ketika dihadapkan pada zaman yang
berkembang saat ini akan kehilangan eksistensinya. Lihat saja apa yang sering
di wacanakan Baudlirrad tentang eksistensi manusia yang kini tengah beralih
pada budaya konsumsi. Kata Baudlirrad, konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu
fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri,
kekayaan atau konsumsi objek. Namun lebih jauh lagi, konsumsi merupakan
suatu struktur atau fakta sosial yang bersifat eksternal dan bersifat memaksa
individu. Jika demikian maka manusia terus menerus tanpa sadar di paksa
untuk mengkonsumsi tanpa batas. dan disitulah manusia akan kehilangan eksistensi
dirinya.
Lalu bagaimana dengan karya sastra? Jika manusia sudah
hilang sebagai diri dan menjelma sebagai diri yang lain, maka secara otomatis
karya sastra yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri akan terlepas dari
hal-hal yang berbau kemanusiaan dan yang lahir adalah karya-karya imajinasi
yang terbang dari dunia ke dunia lain bahkan melampaui batas-batas kenormalan.
Kita seringkali membanding-bandingkan karya sastra yang
lahir sekarang dengan karya sastra dulu yang hidup melintas zaman dan terus tak
pernah legang untuk diperbincangkan. Memang kita amini karya sastra zaman dulu
mempunyai ghiroh yang sangat kuat, hingga
bertahan sampai saat ini, namun adakah karya sastra yang lahir sekarang dapat
bertahan sampai satu bulan atau minimal satu minggu dari launching karya tersebut? Jika ada maka sungguh
beruntunglah karya tersebut.
Membandingka-bandingkan seperti itu jelas adalah sebuah
usaha yang sangat baik kiranya, namun jika pembandingan itu tidak di ikuti oleh
diri kita sendiri dengan menghasilkan karya sastra seperti yang kita inginkan,maka nihillah apa yang kita
inginkan tersebut. Oleh karena itu secara tidak langsung perbincangan sastra
yang sangat memanas pada saat ini, entah itu karya yang tidak bagus, tidak
layak terbit, bahkan karya yang abal-abal, sebenarnya tindakan tersebut adalah tindakan yangmengkeritik diri kita sendiri
namun sayang seribu sayang ketika
kita sedang memanas mengkritik sebuah karya sastra, kita lupa pada apa yang
telah kita perbuat. Apakah kita (kritikus) telah melahirkan karya sastra
seperti yang kita kritik atau bahkan belaum melakukan apa-apa.
Parahnya lagi
adalah kita masih bisa mengumpat dengan permasalahan tersebut dengan
alasan: aku kan kritikus, jadi wajar dong kalau aku gak punya karya
sastra seperti antologi puisi dan cerpen yang fenomenal, serta kerjanya kritikus
kan memang untuk mengkritisi sebuah karya.Kalau demikian, apa bedanya tukang obat dengan
dokter spesialis? bukankah dua-duanya sama-sama menjanjikan kesembuhan bagi
yang sakit! Bahkan kalau mau kita analogikan tukang obat yang dari pasar ke
pasar yang lain mempromosikan bahwa dia mempunyai obat dari segala bentuk
penyakit. Maka obat dari tukang obatlah yang paling mujarab ketimbang dari
dokter spesialis yang menghabiskan waktunya untuk meneliti dan belajar
bagaimana menyembuhkan suatu penyakit.
Dari sini
permasalahan sastra yang memanas, saling maki sana-sini, dan tak pernah
selesai, bahkan sampai ada yang membawa ke pihak yang berwajib, tanpaknya sudah
agak jelas bahwa kita seringkali melihat kerja orang lain tanpa menyadari kerja
kita sendiri. Memang sangat sulit bagi kita untuk menyalahkan diri kita
sendiri, karena sebesar apa pun cermin di depan kita toh cermin
itu tak dapat berbicara.
Maka kalau
kita mau kembali pada apa yang Teeuw katakan, sebenarnya kita berada pada posisi yang mana: Apakah
kita termasuk dari pengkarya yang gagal atau pembaca yang gagal? Jawaban paling
benar ada pada benak kita masing-masing.
*) Alunk Estohank (Alunk S Tohank atau Nurul Anam), Esais tinggal di Yogyakarta.
Sekarang aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar