Edeng Syamsul Ma’arif
radarcirebon.com
BAROK adalah momok. Pimpinan para rampok, bromocorah,
jambret, pencoleng, pemalak, penodong. Berdiam di sebuah kampung kumuh,
terbelakang, padat penduduk, dan (pastilah) tak terjangkau kemakmuran. Tidak
ada listrik, sampah berserak di sembarang tempat, orang-orang biasa mandi dan
berak di sungai pekat aroma bacin.
Kata-kata kasar dan kotor berseliweran di
setiap percakapan. Tapi Barok bahagia. Memangsa siapa saja yang melintas di
kampung itu. Semua takut kepadanya. Semua melindunginya dari kejaran pihak berwajib.
Hanya kepada Aki pemancing tua, Barok menaruh hormat. Dan kepada Aki jugalah ia
belajar tentang hidup yang lain termasuk mengadukan gebalau perasaan.
Atas
saran Aki, Barok yang sangar mengganti nama jadi Karnadi (diambil dari cerita
Sunda Karnadi Bandar Bangkong) sebab tersihir kecantikan Yani, anak camat
penggila hormat. Pejabat baru dengan setumpuk gelar akademik yang dibelinya
dari kampus abal-abal. Jadilah Barok yang hanya kelas empat sekolah dasar,
mengakali keluarga Camat Kosim dengan berpura-pura kaya dan sekolah di Amerika.
Menjadi Karnadi agar terpandang dan memiliki harga diri. Barok yang kampung,
berusaha keras tidak jadi kampungan. Mencari tahu harga mobil termahal, pakaian
dan parfum mewah, kampus luar negeri terkemuka, gaya hidup jetset. Anak-anak
buahnya dibuat kalangkabut karena Barok buta teknologi dan tak bisa membaca.
Maka, tak usah heran mendengar Barok menyuruh anak buahnya merampok siapa saja
yang lewat membawa internet.
Usaha
kerasnya tidak percuma. Meski prosesnya dibuat ribet oleh kemarahan dan
kekonyolan-kekonyolan, Barok berubah jadi miliuner. Bergelar PhD dari Harvard
University, ahli teknologi informasi, menunggang Lamborghini, kapal pesiar, dan
jet pribadi. Direktur kilang minyak dan sejumlah perusahaan multinasional di
negeri ini. Camat Kosim terperangah, Yani termehek-mehek. Meski di akhir
cerita—sebagaimana kisah Karnadi Bandar Bangkong yang tragis—penyamaran Barok
terbongkar dan harus menerima akibat. Dirajam kakitangan Kosim dan didor timah
panas polisi.
Lakon Barok
(Tidak Bodoh, Tapi Tidak Tahu, Sebab Tidak Pernah) karya dan disutradarai Aan
Sugianto Mas dimainkan oleh Teater Sado di Gedung Kesenian Raksawacana Kuningan
(19 Maret sampai 9 April 2017), mengabarkan kepada penonton bahwa mustahil
antara tidak punya dan punya bisa terjalin kemesraan. Sejak zaman sebelum nabi
hingga hari ini. Tapi, di luar itu semua, menjadi manusia pencoba dan berkeras
untuk menjadi tahu adalah hak siapa saja.
Sebagaimana
petikan dialog Barok: Aku Karnadi/Manusia tidak bodoh/Yang telah jadi tahu
tentang apapun kekayaan manusia/Meski aku tetap tidak pernah punya//Aku
Barok/Manusia yang terpaksa jadi Karnadi/Karena nasib tidak mendadak mengubah
keadaan manusia/Sementara rasa menuntut aku harus bergerak segera//Aku Barok
sekaligus Karnadi/Manusia yang mencoba melawan/Pendapat kalian yang mengatakan
dalam pikiranmu/Bahwa mustahil antara tidak punya dan punya bisa mesra//Aku
manusia pencoba!///
Barok
adalah cermin tragedi kemanusiaan sepanjang zaman. Ia akan selalu menjadi
penanda dan petanda ruang-ruang sosial di segala penjuru. Terus melingkar
mengisi siklus kehidupan tanpa batas tanpa aturan. Kalaupun ada sedikit
perbedaan, itu lebih disebabkan oleh sosio-geografi dan kekhasan karakteristik
manusianya di masing-masing tempat. Kaya dan miskin laksana takdir yang saling
mengisi dan seolah harus selalu bertentangan. Dan lewat naskahnya ini, Aan
Sugianto Mas terlihat hendak mengkritisi penyakit mental masyarakat kita yang
gemar membedakan derajat manusia berdasarkan kepemilikan benda-benda.
Kemiskinan dituding sebagai biang segala dosa dan kesalahan. Sementara pangkat,
gelar, harta benda, dan jabatan, seperti lisensi dan kewenangan untuk
melemparkan orang-orang miskin ke dalam neraka.
Aan
juga ingin menegaskan, proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan tidak melulu
harus bergantung kepada uang. Justru cara Kosim mendapatkan gelar dan tidakboleh
salah dalam setiap penyebutan, adalah ironi yang terpapar di depan mata
telanjang dan teramat berurat akar. Dalam konteks ini, Barok yang buta huruf
menjadi sosok jujur ketika ingin menjadi tahu. Dan Barok tidak mundur meski
sejengkal ketika dipukuli beramai-ramai. Darahnya memuncak karena Kosim
berulang-ulang meyebutnya bodoh.
PERGULATAN
MANUSIA SADO
Spirit perlawanan Barok terhadap kosakata dan sebutan bodoh,
lebih mirip presentasi semangat dan identitas Teater Sado. Kelompok yang lahir
pada 1997 dan awalnya murni sebagai teater kampus STKIP Kuningan ini, kemudian
melebarkan sayapnya dan berdiri sebagai kelompok teater di luar kampus dengan
dasar pikiran agar Kabupaten Kuningan memiliki tempat berkumpul yang lebih
terbuka. Dan sebagai penggagas, Aan Sugianto Mas menyebut Sado sebagai teater
latihan. Sebagaimana lazimnya teater latihan, Sado lebih merupakan tempat
penjelajahan beragam karakter manusia untuk kemudian diterjemahkan dalam seni
peran.
Proses
pemikiran, penghayatan, reaksi, dialog, persetubuhan mesra manusia dengan
kemanusiaannya itu sendiri, jauh lebih penting ketimbang menjadikan pementasan
sebagai tujuan akhir. Harapannya, dalam segala kehidupan manusia Sado harus
memiliki sikap. Pada perkembangan berikutnya, Sado mengalir ke wilayah yang
lebih majemuk. Kelompok ini menyesuaikan minat yang beragam dari penghuninya.
Manusia Sado tidak berhenti di pementasan sebagai arena asah kreatifnya, tetapi
beranjak ke pergulatan seni hidup lainnya seperti lukis, pahat, musik,
handycraft, dekorasi, desain interior, taman, patung, jurnalistik, dongeng,
fotografi dan videografi, konveksi, dan lain-lain, bahkan dengan sadar masuk ke
wilayah industri kreatif apapun wujudnya.
Tentu
saja, semua itu tidak lepas dari napas artistik, kerjasama, disiplin, dan
manajemen teater sebagai dasar pijaknya. Penyadaran ini harus dilakukan sebab
manusia Sado pantang terpuruk saat berada di panggung kehidupan sesungguhnya.
Awal 2016, Teater Sado mementaskan lakon berjudul Lelaki Tua dan Ibu Sepuh Ratu
Rita—yang dipersembahkan secara khusus untuk almarhum penyair Ahmad
Syubbanuddin Alwy—yang dipentaskan secara marathon 21 kali, dengan jumlah
penonton sembilan ribu orang. Sementara, lakon Barok sampai akhir jadwal
pertunjukan mencatat kehadiran 14 ribu penonton.
Fakta
ini, bagaimana pun, tercatat sebagai capaian spektakuler yang sulit ditandingi
oleh kelompok-kelompok teater lain di Wilayah III Cirebon bahkan mungkin di
Jawa Barat, yang mengisyaratkan rapinya manajemen pengelolaan penonton.
Sebentuk ikhtiar yang sabar dan telaten sebagai manifestasi penegakkan konsep
bahwa penonton adalah manusia. Tangan dingin Aan Sugianto Mas-lah penyebabnya.
Sampai-sampai, dalam kondisi kesehatan yang memburuk yang mengharuskannya
istirahat total di pembaringan, Aan masih sanggup menulis dan menggarap naskah
Barok dengan kalimat persembahan di akhir naskahnya: Buat tubuhku yang tak
sepaham dengan inginku..!
Teater Sado dan manusianya adalah fenomena. Magma yang
bergolak dan menderas dari kota kecil di kaki Gunung Ciremai yang tetap
bersikap rendah hati dan tak pernah melupakan muasalnya, tanah Sunda sebagai
tempat diam dan berpijak. Karena itu, dalam setiap naskah dan pementasannya,
Aan selalu menyertakan idiom-idiom dan kosakata lokal sebagai bagian penting
dalam dialog tokoh-tokohnya. Dialog khas manusia Sunda yang lugas, ekspresif, meski
kadang banal dan nakal.
*) Penulis
adalah aktor, pegiat sastra di Lingkar Jenar
http://www.radarcirebon.com/tragedi-barok-dan-pergulatan-manusia-sado.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar