Yohanes Sehandi *
Flores Pos (Ende), 1 Oktober 2010
Artikel ini lahir setelah saya membaca buku Biografi Singkat 1925-2006 Pramoedya Ananta Toer (2010) karya Muhammad Rifai. Isi buku yang menggetarkan ini terasa “menambah” kelengkapan warna-warni dan lekak-liku ketenaran, kontroversi, dan ironi sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Buku-buku lain yang berisi tentang ketenaran, kontroversi, dan ironi Pramoedya Ananta Toer yang sudah terbit dan beredar sebelumnya, antara lain (1) 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa: Esai Pramoedya Ananta Toer (Astuti Ananta Toer, Ed., 2009); (2) Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer (Koesalah Soebagyo Toer, 2006); (3) Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Baru (Rudolf Mrazek, 2000); (4) Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosial (Eka Kurniawan, 1999). Keempat buku tersebut terbit dan beredar di Indonesia pada masa Orde Reformasi sekarang ini.
Pada masa Orde Baru susah sekali menemukan buku-buku yang terbit dan beredar di Indonesia tentang Pram (nama populer/akrab Pramoedya Ananta Toer), sebaliknya di luar negeri buku-buku tentang Pram beredar luas dan diterjemahkan ke dalam ratusan bahasa asing. Yang bisa ditemui di Indonesia selama masa Orde Baru mungkin hanya buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (A. Teeuw, 1997) dan Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II (H.B. Jasin, 1967, khususnya Bab “Pramoedya Ananta Toer Pengarang Keluarga Gerilya”). Sedangkan pada masa Orde Lama yang bisa ditemui hanya satu buku, yakni Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya (Bahrum Rangkuti, 1963).
Membaca buku-buku tentang Pram, yang antara lain disebutkan di atas, membuat kita tercenung, terharu, dan bergejolak. Pram dan karya-karyanya, baik karya-karya sastra maupun nonsastra, penuh dengan ketenaran/keunggulan, kontroversi, dan ironi. Pram menulis karya-karya satra monumental, punyai pengaruh dan memberi warna tersendiri dalam perjalanan satra Indonesia modern bahkan sastra dunia.
Pram adalah “satu-satunya” sastrawan Indonesia yang beberapa kali (sejak tahun 1982) menjadi nominasi penerima Hadiah Nobel untuk bidang sastra. Hadiah Nobel yang merupakan supremasi prestasi tertinggi di tingkat dunia gagal diraih Pram, antara lain karena pengaruh gejolak kontroversi politik dalam negeri Indonesia menanggapi nominasi Pram merebut Hadiah Nobel Sastra tersebut.
G 30 S dan Pramoedya
Pramoedya Ananta Toer dengan segala macam ketenaran, kontroversi, dan ironi yang mewarnai perjalanan hidup dan karyanya, tidak terlepas dari peristiwa atau tragedi Gerakan 30 September 1965 (Gestapu) yang biasa disingkat G 30 S. Peristiwa tragis yang terjadi pada 45 tahun yang lalu itu, yang sampai saat ini terus menjadi topik kajian sejarah yang menarik, tentu tidak mudah dilupakan begitu saja oleh berbagai elemen bangsa ini.
Secara kebetulan penulisan artikel ini bersamaan dengan peringatan ke-45 tahun tragedi G 30 S yang diperingati hari Kamis 30 September 2010, dan tragedi itu berkaitan langsung dengan perjalanan hidup dan karya sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, maka untuk sekedar berpartisipasi (ikut ambil bagian) dalam mengenang tragedi G 30 S itu, dalam artikel ini disinggung sedikit tentang peristiwa itu. Itu pulalah sebabnya artikel ini diberi judul “G 30 S dan Pramoedya Ananta Toer.”
Menyinggung sedikit tentang peristiwa ini secara singkat hanyalah sekedar letupan kecil terhadap peristiwa sejarah sebagai cikal-bakal munculnya Orde Baru dalam sejarah Indonesia modern. Letupan kecil ini muncul dengan sendirinya setelah membaca buku-buku pelajaran sejarah dan menonton film dokumentasi tentang peristiwa tragis itu.
Sepanjang sejarah Orde Baru (1966-1998) singkatan G 30 S digandeng mutlak dengan satu tarikan nafas dengan PKI sehingga menjadi “G 30 S/PKI.” Tujuh jenderal yang dibunuh secara sadis pada 30 September 1965 malam itu menjadi pahlawan bangsa, yang nama-nama mereka dihafal generasi muda dan terus dihormati sepanjang sejarah.
Gandengan mutlak nama peristiwa G 30 S/PKI ini seolah-olah menjadi suatu “keharusan sejarah” bangsa ini, lebih tepatnya keharusan sejarah Orde Baru, bahwa satu-satunya “dalang” (pelaku utama yang bertanggung jawab) Gestapu itu adalah PKI, kemungkinan lain tertutup rapat. Keharusan sejarah ini pulalah rupanya yang “menimpa” sebuah buku pelajaran sejarah untuk sekolah menengah beberapa waktu yang lalu, yang secara mendadak dan penuh kontroversial ditarik dari peredarannya karena dalam buku itu penulisan G 30 S “tidak digandeng” dengan PKI sebagaimana lazimnya selama tradisi Orde Baru.
Generasi muda bangsa ini yang berpikir kritis tentang peristiwa itu, tetapi ditakdirkan lahir setelah tahun 1965, terpaksa “mencoba” untuk menerima dan mempercayai begitu saja cerita tentang peristiwa yang mengakhiri rezim Orde Lama dan digantikan oleh rezim Orde Baru tersebut, meskipun ada sedikit kejanggalan yang terdapat dalam buku-buku pelajaran sejarah dan dalam film dokumentasi produksi Orde Baru tentang tragedi itu. Misalnya saja, dikatakan bahwa “dalang” (pelaku utama yang bertanggung jawab) terhadap peristiwa G 30 S adalah PKI (Partai Komunis Indonesia), tetapi di dalam buku-buku pelajaran sejarah itu dan dalam film dokumentasi peristiwa tragis itu, yang angkat senjata dan melakukan pembantaian sadis terhadap tujuh jenderal adalah sejumlah tentara yang dipimpin Letkol (Letnan Kolonel) Untung. Ini tentu sebuah tanda tanya sekaligus renungan atas pristiwa itu sebagai partisipasi dalam memperingati 45 tahun G 30 S tahun 2010 ini.
Selanjutnya, mari kita tinggalkan peristiwa G 30 S. Peristiwa yang jauh lebih sadis setelah 30 September 1965 itu adalah peristiwa pembantaian massal anggota PKI. Sejak 1 Oktober 1965 sampai dengan 1966 dilakukan operasi penangkapan, penyiksaan, pembunuhan orang-orang PKI di seluruh pelosok wilayah negeri ini.
Jumlahnya korban hasil operasi ini simpang-siur, ada yang menyebut sekitar 800 ribu orang, ada yang memperkirakan minimal 500 ribu orang maksimal 2 juta orang. Perlakuan itu tanpa melalui proses hukum (peradilan). Di antara kita, tentu saja punyai anggota keluarga, sahabat kenalan, dan sanak famili di kampung-kampung kita pada waktu itu, menjadi korban sia-sia, tanpa mereka tahu persis apa keterlibatan mereka dalam peristiwa G 30 S yang terjadi di Jakarta pada 30 September 1965 malam.
Peristiwa pembataian massal ini menjadi tragedi Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Orang-orang PKI dan yang dituduh PKI yang masih hidup dipenjarakan. Setelah keluar dari penjara pun perlakuan yang diterima pun tidak jauh berbeda sewaktu di penjara karena dibatasi hak hidupnya. Salah seorang dari ribuan orang PKI yang dipenjara dan disiksa itu adalah sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Antara Toer.
Pramoedya sebagai Sastrawan
Pram lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, sebagai anak pertama dari pasangan Mastoer dan Oemi Saidah. Mastoer seorang guru dan kepala sekolah Institut Boedi Ortomo dan aktivis PNI (Partai Nasional Indonesia, yang didirikan Soekarno pada 1927). Meninggal dunia pada 30 April 2006 dalam usia 81 tahun.
Sejak kecil Pram tidak akur dengan ayahnya. Ayahnya terlalu keras mendidik, apalagi Pram tidak naik kelas sampai tiga kali di sekolah yang dipimpin ayahnya sendiri. Menurut data yang ada, Pram tidak pernah memiliki ijazah resmi, menjadi tokoh besar karena otodidak (belajar sendiri).
Pram aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan organisasi. Dalam kesibukan apapun, kegiatan membaca dan menulis adalah keterlibatan yang penuh dan sungguh-sungguh. Karya-karyanya, baik berupa karya sastra (novel dan cerita pendek) maupun karya nonsastra menunjukkan keberpihakan kepada rakyat yang tertindas, kelas masyarakat yang paling dirugikan dalam struktur sosial.
Menurut Pram, seorang pengarang harus bisa menyelami masalah rakyat, berbaur dengan mereka untuk mendapatkan pemahaman yang tepat tentang kebenaran yang hakiki, yang tidak mungkin diperoleh dari tumpukan buku dan lamunan, tetapi dari kehidupan yang langsung dari rakyat. Pekerjaan ini sungguh sulit, tetapi luhur. Inilah kredo kepengarangan Pram.
Karya sastra Pram bersifat monumental. Karya-karyanya bermunculan sejak 1946 dan terus mengalir deras seperti air. Sampai sejauh ini, Pram-lah sastrawan Indonesia yang paling banyak menulis karya sastra (asli) dan menerjemahkan karya-karya sastra para sastrawan kaliber dunia ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karya yang disebutkan berikut ini yang terselamatkan, masih banyak karya Pram yang masih dalam bentuk naskah buraman dan naskah siap terbit tapi dimusnahkan penguasa Orde Baru, baik yang ditulis di penjara selama 14 tahun maupun yang ditulis di luar penjara.
Karya-karya sastra Pram yang terselamatkan adalah: Sepuluh Kepala Nica (1946), Keranji Bekasih Jatuh (1947), Perburuan (1950), Cerita-Cerita Pendek Revolusi (1950), Percikan Revolusi (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Dia yang Menyerah (1951), Cerita dari Blora (1952), Gulat di Jakarta (1953), Korupsi (1954), Midah si Manis Bergigi Emas (1955), Sunyi Senyap di Siang Hidup (1956), Cerita dari Jakarta (1957), Cerita Calon Arang (1957), Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958), Gadis Pantai (1952), Panggil Aku Kartini Saja (4 jilid, 1965), A Heap of Asheas (1975), Bericht uit Kebayoran (1978), Verloren (1978), Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Sang Pemula (1985), Rumah Kaca (1988), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Mangir (2000), Larasati (2000).
Selama Orde Baru, karya-karya Pram dilarang beredar dan dibaca. Namun anehnya, hampir semua karya Pram justru beredar secara melus di luar Indonesia, diterjemahkan dalam ratusan bahasa asing. Menjelang akhir hidupnya, yakni pada 6 Februari 2006, atas insiatif para pengagumnya diadakan pameran buku-buku Pram di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ada 200 judul buku Pram yang dipamerkan yang semuanya merupakan terjemahan karya-karya Pram dalam berbagai bahasa di dunia. Ini sekaligus hadiah ulang tahun Pram yang ke-81.
Karya-karya sastra Pram yang beredar di luar Indonesia itulah yang memunculkan rekomendasi dari berbagai pihak agar Pram mendapatkan Hadiah Nobel Sastra beberapa kali sejak tahun 1982. Karya sastra (novel) Pram yang paling heboh dan menggegerkan suhu politik Indonesia tahun 1980-an adalah pada waktu mulai terbit “kuartet karya Pulau Buru,” yakni empat novel tebal yang berdiri sendiri namun berhubungan satu sama lain yang ditulis dalam penjara Pulau Buru, yakni Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Nama Pram di luar Indonesia sengat terkenal, dan secara langsung atau tidak langsung mengharumkan nama Indonesia di luar negeri. Di Indonesia karya-karya Pram dilarang beredar dan dibaca. Pram pun dijebloskan dalam penajara oleh penguasa Orde Baru selama 14 tahun, termasuk di pulau terpencil, Pulau Buru. Pada masa Orde Reformasi sekarang inilah baru karya-karya Pram baru bisa dibaca secara leluasa oleh anak-anak bangsa ini. Namun, sayangnya, pelarangan terhadap buku-buku Pram belum juga dicabut oleh pemerintah. Pram dituduh PKI, menganut aliran/faham kesenian “realisme sosialis,” karya-karyanya dituduh menyebarluaskan ajaran marxisme dan komunisme.
Pramoedya dan Lekra
Keterlibatan Pram dalam bidang politik tidak berhubungan langsung dengan PKI sebagai organisasi politik, tetapi lewat organisasi sayap PKI di bidang kebudayaan/kesenian, yakni Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif beberapa orang pendiri yang juga pentolan PKI, antara lain D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Nyoto. Tak lama kemudian bergabung Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebar Ajoeb. Pram tidak bergabung dari awal.
Asas dan metode kerja Lekra yang terkenal adalah: 1-5-1 (baca: satu-lima-satu). Artinya: 1 (politik sebagai panglima), 5 (kerja meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa, realisme sosialis dan romantik revolusioner), 1 (turun ke bawah atau turba).
Aliran/faham kesenian yang dianut Lekra adalah realisme sosialis. Aliran ini mempertegas pemihakannya atas kelas paling dirugikan dalam struktur dialektika masyarakat. Realisme sosialis ini bukanlah yang dogmatis, melainkan realisme sosialis yang kreatif, berkembanga, dan berdialektika.
Keterlibatan langsung Pram dengan Lekra lewat lembaga kreatif yang dibentuk oleh Lekra, yakni Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), yang dibentuk pada Maret 1959. Pram duduk sebagai Wakil Ketua, sedangkan ketuanya adalah Bakri Siregar. Meskipun Pram hanya sebagai Wakil Ketua Lestra, tetapi pengaruh Pram sangat kuat menyebarkan aliran realisme sosialis.
Peranan Pram semakin kuat pada waktu ia dipercayakan menjadi penulis tetap sekaligus penjaga gawang rubrik kebudayaan “Lentera” pada suratkabar Harian Rakyat (suratkabar resmi milik PKI). Karena bakat dan kemampuannya yang luar biasa, tulisan-tulisan Pram di harian itu menimbulkan kontroversi yang meningkatkan suhu politik, baik di kalangan politisi maupun di kalangan seniman/sastrawan/budayawan.
Sepak terjang Pram yang sangat kuat memaksakan penerapan aliran satra realisme sosialis kepada para sastrawan/seniman lain di luar Lekra, menyulut protes dan pemberontakan sastrawan/seniman/budayawan lain yang tidak sehaluan dengan aliran realisme sosialis, membentuk wadah tandingan di luar Lekra bernama Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada tahun 1963. Pertarungan politik kesenian/kebudayaan selanjutnya antara Lekra dan Manikebu, sampai meletusnya tragedi G 30 S, pada 30 September 1965 malam. Inilah awal tragedi Pram.
Pada malam 13 Oktober 1965, Pram ditangkap di rumahnya. Dalam buku Biografi Singkat 1925-2006 Pramoedya Ananta Toer (2010), Muhammad Rifai melukiskan penangkapan Pram seperti berikut ini. “Pada malam 13 Oktober (rumahnya) dikepung, dan dihujani batu oleh gerombolan pemuda, sebagian bertopeng, dilanjutkan oleh penculikan yang dilakukan oleh tim tentara dan polisi, dengan penghinaan dan pemukulan dengan gagang tomygun sehingga merusakkan pendengarannya untuk sisa hidupnya, dan perampokan atas segala harta bendanya. Termasuk yang terampok adalah sejumlah naskah yang belum sempat diterbitkan karena dalam masa itu penerbit-penerbit profesional menolak menerbitkan karya-karyanya, koleksi dokumen 1918-1948, koleksi majalah sejak abad lalu, dan koleksi buku, yang menurut pustakawan yang mengurusnya, berjumlah sekitar 5.000 jilid” (halaman 121-122).
Pram telah meninggal 30 April 2006, dua tahun yang lalu. Ia meninggalkan warisan berharga untuk anak-anak bangsa ini, anak semua bangsa. Ia BOLEH mati, karya-karya tidak akan pernah mati. Pribadi dan karya-karya sastra yang kontroversial tetap menjadi lahan subur untuk dipelajari dan dikaji ulang.
Setelah Pram meninggal, sastrawan/budayawan Goenawan Mohammad (salah satu tokoh Manikebu) yang merupakan “seteru” Pram, menulis dalam majalah Tempo (11 Juli 2008) sebagai berikut: “ Sampai ia meninggal, Pramoedya masih murung, ia menatap dengan getir sejarah Indonesia. Pelbagai wawancara terakhirnya mengesankan itu. Tapi nada marahnya mungkin sebuah keteguhan: suara seseorang tak “mendapatkan apa-apa” dari “tempat dan zamannya,” tapi percaya, “dia akan tumbuh sendiri.” *
*) Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia
http://yohanessehandi.blogspot.co.id/2016/09/g-30-s-dan-pramoedya-ananta-toer.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar