Minggu, 06 Juli 2014

Keris yang Menikam Batu

Ahda Imran
Pikiran Rakyat, 28 Nov 2010

PADA dinding, sebuah banjir besar sedang menelan Kota Jakarta. Sedang di sebuah ruang sempit tampak hutan hanya tinggal jejak pepohonan. Daun-daun kering dan tanah yang berwarna kelabu, dan sebuah keran dengan tetesan air yang menggelantung di ujungnya, seolah tetesan air terakhir. Lewat cermin di setiap sisi ruang sempit itu, pemandangan hutan yang hancur tersebut sekonyong-konyong menjadi ruang yang demikian besar. Sehingga pemandangan hutan yang hancur itu tampak begitu memilukan. Ada memang sebatang pohon tampak masih tegak dengan sisa-sisa pokok dan dahannya. Akan tetapi, di pertengahan batangnya, tumbuh dan tegak menjulang tembok beton dan rangka-rangka besi. Sisa semen meleleh di ujung batang pohon.
Di bagian yang lain, sebuah batu tegak dan tampak hening di atas lumpur kering. Permukaan lumpur itu membentuk garis-garis lingkaran dan batu itu tegak sebagai porosnya. Di puncak batu sebilah keris menancap sehingga menyuguhkan pemandangan yang hening sekaligus menyedihkan. Keris yang menikam batu yang menjadi poros dari suatu lingkaran di atas lumpur kering. Keris itu agaknya dihadirkan untuk mengganggu keheningan batu yang menjadi poros di atas lingkaran lumpur. Ia memang menancap dan menciptakan keheningan berikutnya. Itulah titik bumi. Titik yang menjadi pusat dari rasa sakit alam dengan keris yang menjadi representasi dari kuasa manusia.

Kuasa manusia pada alam dipahami telah menjadi tabiat yang merusak. Modernitas telah mengubah cara pandang manusia atas alam. Alam tak pernah lagi menjadi “ibu” atau semacam guru bagi manusia. Tubuh manusia modern adalah tubuh “Aku” yang mengambil jarak dari alam. “Aku” yang tak memberi hak hidup pada tanah, sungai, pohon, dan laut. Demokrasi manusia adalah pertarungan kuasa di antara “Aku”, dan alam berada di luar itu. Ia tak punya hak suara untuk menyatakan kehadirannya. Ia tak punya hak untuk didengar, melainkan hanya menjadi sesuatu yang menjadi komoditas.

Oleh karena itu, ketika alam mengeluarkan suaranya untuk didengar, manusia menyebutnya sebagai bencana, “bencana alam”. Suaranya tak pernah dimaknai sebagai isyarat betapa alam bisa bersuara dengan caranya sendiri jika ia tak didengar. Suara alam inilah yang diam-diam dianggap sebagai ancaman. Dan inilah yang terus mengintai lewat gunung berapi, tsunami, gempa. Padahal alam tak pernah mengancam. Ia hanya ingin bersuara untuk menunjukkan bahwa ia ada, sekaligus juga mengingatkan bahwa ia disakiti. Ia batu yang hening dan keras dengan keris yang menancap di tubuhnya.

Inilah yang diusung perupa Sunaryo dalam karya instalasi terbarunya “Titik Bumiku”. Karya ini dipamerkan Main Lobby, M11 Jakarta Convention Center, Jakarta 18-21 November 2010.
**

SUNARYO dan seni instalasi memang selalu menyuguhkan semacam konsistensi tematik, yakni, manusia dan fenomena kerusakan alam. Paling tidak, seraya membaurkannya dengan latar situasi sosial-politik, manusia dan krisis ekologi selalu menjadi bagian yang tak bisa disendirikan dari kecenderungan karya-karya Sunaryo. Tak hanya dalam karya lukisannya, tetapi terlebih lagi dalam karya seni instalasinya. Dengan mudah, misalnya, orang menyebut sejumlah karya instalasi Sunaryo, mulai dari “Monumen Negeriku” dan “Titik Nadir” (1998), “Puisi Titik Putih” (2000), “A Stage of Metamorphosis” (2001), “Titik Gamang” (2002), hingga seni instalasi gigantik “There is no Space to Bargain” (2003).

Alam dan tabiat manusia tampaknya tak henti-henti menjadi obsesi kesadaran Sunaryo dalam sejumlah karyanya. Lebih dari itu, karya-karyanya selalu merujuk pada konteks aktualitas peristiwa yang tengah terjadi. Karya-karyanya selalu hadir dengan relasi penanda pada fenomena yang tengah terjadi. Alih-alihmenyemburkan semacam sikap perlawanan yang mengepalkan tangan, karya-karya Sunaryo semacam ini lebih hadir sebagai keinginan mengartikulasikan suasana. Lewat suasana inilah Sunaryo memprovokasi kesadaran audiens, tanpa perlu mengajaknya mengepalkan tangan, menggerutu, apalagi berteriak.

Demikian pula dengan “Titik Bumiku”. Karya instalasi ini berukuran 6 x 7 meter dengan media kayu, daun, pasir, fotografi, cermin, cat arkrilik, dan panil plywood. Mengambil konsep sebuah wahana, instalasi ini mengajak pengunjung masuk. “Titik Bumiku” merupakan seni instalasi berupa wahana yang mengajak pengunjung untuk masuk ke dalamnya. Dalam setiap ruang terdapat berbagai pemandangan ihwal kerusakan alam dan nasib masa depan manusia. Dalam seni instalasi ini pengunjung tak hanya disuguhi pemandangan tentang kerusakan alam, tetapi juga embusan angin, suara air dan gemerisik dedaunan, peristiwa yang melukiskan kerusakan hutan, serta tenggelamnya sebuah kota.

Pusat dari instalasi ini adalah batu yang tegak sebagai poros garis-garis lingkaran di atas lumpur kering. Di atas batu itu sebilah keris menancap. Inilah titik bumi. Lingkaran-lingkaran di atas lumpur kering tampak menjadi torehan yang memberi kesan gerak. Gerak melingkar yang berlawanan dari arah jam, sehingga lingkaran itu terus mengembang. Atau, bisa juga garis lingkaran itu mengecil ke pusatnya. Akan tetapi apa pun, poros dari lingkaran itu ada sebuah batu yang begitu hening. Suatu pemandangan yang menautkan berbagai elemen sehingga menjadi kesatuan simbol yang menghadirkan suasana. Ada keheningan yang terasa purba sekaligus juga begitu menyakitkan ketika menatap keris itu menancap di atas batu.

Jika sejumlah bagian dalam instalasi ini terasa dihadirkan dengan ungkapan yang terasa cair, pusat dari instalasi ini menohon pengunjuk dengan titik bumi yang hadir sebagai satu metafora. Metafora yang merangkum seluruh pengalaman tubuh pengunjung dalam memasuki wahana karya. Rangkuman inilah yang direpresentasikan sebagai titik bumi, ruang dengan titik kesedihan ihwal hubungan manusia dan alam. Seperti pada karya instalasinya yang lain, Sunaryo amat fasih membangun suasana dan pencekaman yang melatarinya. Batu, keris, pasir, seluruhnya tampak mistis, murung, dan menyakitkan.
**

TITIK bumi bagi Sunaryo adalah titik pencekaman dalam hubungan manusia dan alam. Sebuah titik yang mendebarkan. Meski begitu, dengan titik ini pula Sunaryo menghadirkan gagasan kesadarannya ihwal apa sebenarnya yang tersisa dalam pusat kesadaran manusia ihwal alam. Mungkin soalnya tak beranjak dari fenomena lama tentang tabiat manusia terhadap alam. Kuasa dunia manusia dengan otoritas yang bergerak kelewat jauh. Kesadaran yang telah lama dibaca, dipahami, tetapi juga yang sekaligus tak seorang pun bisa menghentikannya. Demikian pula tampaknya dengan “Titik Bumiku”.

Hanya, berbeda dari karya-karya sebelumnya dengan tekanan tematik yang sama ihwal manusia dan krisi ekologi, dalam “Titik Bumiku” Sunaryo lebih terkonsentrasi pada penciptaan bangun suasana. Dengan bangun suasana inilah Sunaryo menghadirkan berbagai idiom yang komunikatif, bahkan pada beberapa bagian terasa cair, verbal, dan harfiah. Penggunaan efek suara untuk mengartikulasikan suasana visual ini menjadi strategi komunikasi yang menarik demi mendedahkan kesadaran ihwal kesakitan alam. Demikian pula cermin yang melakukan manipulasi cerdik untuk melakukan reproduksi metafora kehancuran hutan. Permainan dan pengolahan simbol khas Sunaryo amat terasa pada bagian ini.

Dalam sejumlah judul instalasinya, Sunaryo memang selalu menggunakan kata “titik”, seperti, “Titik nadir”, “Titik Nadir”, atau “Puisi Titik Putih”. Tampaknya kata “Titik” merujuk kepada kesadaran sublimasi yang hendak dimaktubkan dalam karya. Ia seolah akhir atau puncak dari suatu permenungan demi mereaksi atas suatu keadaan. Aktualitas memang terkesan selalu menjadi rujukan dalam sejumlah karya Sunaryo. Meski begitu, ia bukanlah hendak sekadar mengulang realitas atas fenomena yang sedang aktual atau untuk mewartakannya. Seniman memang tidak bertugas mewartakan peristiwa atau fenomena.

Dan inilah juga yang tidak dilakukan Sunaryo lewat “Titik Bumiku”, meski karya ini hadir di tengah alam yang sedang menyuarakan kehadirannya lewat gunung berapi, tsunami, dan banjir. “Titik Bumiku” sebenarnya membawa aktualitasnya sendiri ihwal tabiat manusia terhadap alam. Alam yang kini hanya menjadi sebongkah batu dan keris yang menikamnya. Setelah di Jakarta, karya ini akan dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) Bandung pada Januari 2011.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/11/keris-yang-menikam-batu.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir