Ahda Imran
Pikiran Rakyat, 28 Nov 2010
PADA dinding, sebuah banjir besar sedang menelan Kota Jakarta. Sedang di sebuah ruang sempit tampak hutan hanya tinggal jejak pepohonan. Daun-daun kering dan tanah yang berwarna kelabu, dan sebuah keran dengan tetesan air yang menggelantung di ujungnya, seolah tetesan air terakhir. Lewat cermin di setiap sisi ruang sempit itu, pemandangan hutan yang hancur tersebut sekonyong-konyong menjadi ruang yang demikian besar. Sehingga pemandangan hutan yang hancur itu tampak begitu memilukan. Ada memang sebatang pohon tampak masih tegak dengan sisa-sisa pokok dan dahannya. Akan tetapi, di pertengahan batangnya, tumbuh dan tegak menjulang tembok beton dan rangka-rangka besi. Sisa semen meleleh di ujung batang pohon.
Di bagian yang lain, sebuah batu tegak dan tampak hening di atas lumpur kering. Permukaan lumpur itu membentuk garis-garis lingkaran dan batu itu tegak sebagai porosnya. Di puncak batu sebilah keris menancap sehingga menyuguhkan pemandangan yang hening sekaligus menyedihkan. Keris yang menikam batu yang menjadi poros dari suatu lingkaran di atas lumpur kering. Keris itu agaknya dihadirkan untuk mengganggu keheningan batu yang menjadi poros di atas lingkaran lumpur. Ia memang menancap dan menciptakan keheningan berikutnya. Itulah titik bumi. Titik yang menjadi pusat dari rasa sakit alam dengan keris yang menjadi representasi dari kuasa manusia.
Kuasa manusia pada alam dipahami telah menjadi tabiat yang merusak. Modernitas telah mengubah cara pandang manusia atas alam. Alam tak pernah lagi menjadi “ibu” atau semacam guru bagi manusia. Tubuh manusia modern adalah tubuh “Aku” yang mengambil jarak dari alam. “Aku” yang tak memberi hak hidup pada tanah, sungai, pohon, dan laut. Demokrasi manusia adalah pertarungan kuasa di antara “Aku”, dan alam berada di luar itu. Ia tak punya hak suara untuk menyatakan kehadirannya. Ia tak punya hak untuk didengar, melainkan hanya menjadi sesuatu yang menjadi komoditas.
Oleh karena itu, ketika alam mengeluarkan suaranya untuk didengar, manusia menyebutnya sebagai bencana, “bencana alam”. Suaranya tak pernah dimaknai sebagai isyarat betapa alam bisa bersuara dengan caranya sendiri jika ia tak didengar. Suara alam inilah yang diam-diam dianggap sebagai ancaman. Dan inilah yang terus mengintai lewat gunung berapi, tsunami, gempa. Padahal alam tak pernah mengancam. Ia hanya ingin bersuara untuk menunjukkan bahwa ia ada, sekaligus juga mengingatkan bahwa ia disakiti. Ia batu yang hening dan keras dengan keris yang menancap di tubuhnya.
Inilah yang diusung perupa Sunaryo dalam karya instalasi terbarunya “Titik Bumiku”. Karya ini dipamerkan Main Lobby, M11 Jakarta Convention Center, Jakarta 18-21 November 2010.
**
SUNARYO dan seni instalasi memang selalu menyuguhkan semacam konsistensi tematik, yakni, manusia dan fenomena kerusakan alam. Paling tidak, seraya membaurkannya dengan latar situasi sosial-politik, manusia dan krisis ekologi selalu menjadi bagian yang tak bisa disendirikan dari kecenderungan karya-karya Sunaryo. Tak hanya dalam karya lukisannya, tetapi terlebih lagi dalam karya seni instalasinya. Dengan mudah, misalnya, orang menyebut sejumlah karya instalasi Sunaryo, mulai dari “Monumen Negeriku” dan “Titik Nadir” (1998), “Puisi Titik Putih” (2000), “A Stage of Metamorphosis” (2001), “Titik Gamang” (2002), hingga seni instalasi gigantik “There is no Space to Bargain” (2003).
Alam dan tabiat manusia tampaknya tak henti-henti menjadi obsesi kesadaran Sunaryo dalam sejumlah karyanya. Lebih dari itu, karya-karyanya selalu merujuk pada konteks aktualitas peristiwa yang tengah terjadi. Karya-karyanya selalu hadir dengan relasi penanda pada fenomena yang tengah terjadi. Alih-alihmenyemburkan semacam sikap perlawanan yang mengepalkan tangan, karya-karya Sunaryo semacam ini lebih hadir sebagai keinginan mengartikulasikan suasana. Lewat suasana inilah Sunaryo memprovokasi kesadaran audiens, tanpa perlu mengajaknya mengepalkan tangan, menggerutu, apalagi berteriak.
Demikian pula dengan “Titik Bumiku”. Karya instalasi ini berukuran 6 x 7 meter dengan media kayu, daun, pasir, fotografi, cermin, cat arkrilik, dan panil plywood. Mengambil konsep sebuah wahana, instalasi ini mengajak pengunjung masuk. “Titik Bumiku” merupakan seni instalasi berupa wahana yang mengajak pengunjung untuk masuk ke dalamnya. Dalam setiap ruang terdapat berbagai pemandangan ihwal kerusakan alam dan nasib masa depan manusia. Dalam seni instalasi ini pengunjung tak hanya disuguhi pemandangan tentang kerusakan alam, tetapi juga embusan angin, suara air dan gemerisik dedaunan, peristiwa yang melukiskan kerusakan hutan, serta tenggelamnya sebuah kota.
Pusat dari instalasi ini adalah batu yang tegak sebagai poros garis-garis lingkaran di atas lumpur kering. Di atas batu itu sebilah keris menancap. Inilah titik bumi. Lingkaran-lingkaran di atas lumpur kering tampak menjadi torehan yang memberi kesan gerak. Gerak melingkar yang berlawanan dari arah jam, sehingga lingkaran itu terus mengembang. Atau, bisa juga garis lingkaran itu mengecil ke pusatnya. Akan tetapi apa pun, poros dari lingkaran itu ada sebuah batu yang begitu hening. Suatu pemandangan yang menautkan berbagai elemen sehingga menjadi kesatuan simbol yang menghadirkan suasana. Ada keheningan yang terasa purba sekaligus juga begitu menyakitkan ketika menatap keris itu menancap di atas batu.
Jika sejumlah bagian dalam instalasi ini terasa dihadirkan dengan ungkapan yang terasa cair, pusat dari instalasi ini menohon pengunjuk dengan titik bumi yang hadir sebagai satu metafora. Metafora yang merangkum seluruh pengalaman tubuh pengunjung dalam memasuki wahana karya. Rangkuman inilah yang direpresentasikan sebagai titik bumi, ruang dengan titik kesedihan ihwal hubungan manusia dan alam. Seperti pada karya instalasinya yang lain, Sunaryo amat fasih membangun suasana dan pencekaman yang melatarinya. Batu, keris, pasir, seluruhnya tampak mistis, murung, dan menyakitkan.
**
TITIK bumi bagi Sunaryo adalah titik pencekaman dalam hubungan manusia dan alam. Sebuah titik yang mendebarkan. Meski begitu, dengan titik ini pula Sunaryo menghadirkan gagasan kesadarannya ihwal apa sebenarnya yang tersisa dalam pusat kesadaran manusia ihwal alam. Mungkin soalnya tak beranjak dari fenomena lama tentang tabiat manusia terhadap alam. Kuasa dunia manusia dengan otoritas yang bergerak kelewat jauh. Kesadaran yang telah lama dibaca, dipahami, tetapi juga yang sekaligus tak seorang pun bisa menghentikannya. Demikian pula tampaknya dengan “Titik Bumiku”.
Hanya, berbeda dari karya-karya sebelumnya dengan tekanan tematik yang sama ihwal manusia dan krisi ekologi, dalam “Titik Bumiku” Sunaryo lebih terkonsentrasi pada penciptaan bangun suasana. Dengan bangun suasana inilah Sunaryo menghadirkan berbagai idiom yang komunikatif, bahkan pada beberapa bagian terasa cair, verbal, dan harfiah. Penggunaan efek suara untuk mengartikulasikan suasana visual ini menjadi strategi komunikasi yang menarik demi mendedahkan kesadaran ihwal kesakitan alam. Demikian pula cermin yang melakukan manipulasi cerdik untuk melakukan reproduksi metafora kehancuran hutan. Permainan dan pengolahan simbol khas Sunaryo amat terasa pada bagian ini.
Dalam sejumlah judul instalasinya, Sunaryo memang selalu menggunakan kata “titik”, seperti, “Titik nadir”, “Titik Nadir”, atau “Puisi Titik Putih”. Tampaknya kata “Titik” merujuk kepada kesadaran sublimasi yang hendak dimaktubkan dalam karya. Ia seolah akhir atau puncak dari suatu permenungan demi mereaksi atas suatu keadaan. Aktualitas memang terkesan selalu menjadi rujukan dalam sejumlah karya Sunaryo. Meski begitu, ia bukanlah hendak sekadar mengulang realitas atas fenomena yang sedang aktual atau untuk mewartakannya. Seniman memang tidak bertugas mewartakan peristiwa atau fenomena.
Dan inilah juga yang tidak dilakukan Sunaryo lewat “Titik Bumiku”, meski karya ini hadir di tengah alam yang sedang menyuarakan kehadirannya lewat gunung berapi, tsunami, dan banjir. “Titik Bumiku” sebenarnya membawa aktualitasnya sendiri ihwal tabiat manusia terhadap alam. Alam yang kini hanya menjadi sebongkah batu dan keris yang menikamnya. Setelah di Jakarta, karya ini akan dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) Bandung pada Januari 2011.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/11/keris-yang-menikam-batu.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar