Abdul Kadir Ibrahim
www.tanjungpinangpos.co.id 02/02/2014
Kata: Akulah Puisi
Sekali lagi kita ajak para pemula dan sesiapa yang sudah merasa sebagai menulis puisi, tetapi mungkin merasa belum berhasil atau mengena, tiada jalan lain kecuali membaca puisi-puisi penyair lainnya yang sudah “jadi” dan selalu membaca dan mengubah secara mendalam puisi yang ditulis sendiri. Penulisan puisi boleh berangkat dari persoalan apapun, tetapi lagi-lagi ia tidak mengangkat persoalan ke dalam puisi sebagaimana faktanya seperti penulisan berita, reportase ataupun laporan. Puisi bahasa “istimewa” seni dan indah.
Kata Ignas Kleden dalam “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan” (2004), dengan lain perkataan, puisi datang kepada kita bukan lewat gagasan atau ide. Seandainya pun ada ide yang harus disampaikan, komunikasi dan penerusan ide itu tidak dilakukan lewat konseptualisme, melainkan lewat nada, imaji, sentuhan dengan benda-benda, keterpesonaan pada warna dan cahaya atau impresi yang dirangsang oleh bunyi dan suara. Yang terjadi dalam puisi adalah peristiwa yang lain sama sekali wujudnya, yaitu “saya mengalami maka saya ada”.
Seperti kita tahu, pengalaman bukanlah perjumpaan intelektual dengan dunia, melainkan keterlibatan eksistensial di dalamnya.Dalam puisi terjadi transposisi pikiran menjadi pengalaman dan suasana, rindu menjadi getar dan perasaan, proposisi menjadi instuisi, dan intuisi menjadi vision tentang warna langit dan bau hutan, dan argumentasi yang tersusun rapi menjadi imaji yang liar berkejar-kejaran.
Dalam menulis atau membubuhkan judul karangan ataupun buku sekalipun, kata-katanya adalah kata-kata pilihan yang lazim pula tidak telanjang dan terang benderang, melainkan menyiratkan seni-sastra.Sebagai misal, lihatlah Bung Karno yang menulis banyak buku, antara lain berjudul Di Bawah Bendera Revolusi.Dari kata judul buku itu telah dengan sangat mengajuk-ajuk dan menggugah pikiran kita apa gerangan yang dimaksudkan dengan judul tersebut. Jikapun Bung Karno masih hidup, tidak ada relefansinya kita menanyakan apamakna dan maksud judul bukunya itu.
Hal terpenting adalah dari kata yang dipakainya sebagai judul bukunya itu telah memberi kita ruang untuk berpikir, menginterpretasi, menafsirkan, dan mengapresiasi sesuai dengan pikiran kita masing-masing. Tentang apa? Banyaklah jawabannya! Bahwa betapa kata diletakkan sebagai simbol, metafora atau perlambangan sebagai menyembunyikan makna dan maksud secara langsung, dan sebaliknya memainkan makna-maksud yang sangat menyentak, misteri dan indah.Apatah lagi kata-kata yang dipakai sebagai bangunan kalimat ataupun baris-baris puisi.
Sekali lagi, kita hendak menjadi penulis puisi (penyair) mau tak mau, suka tak suka bukan teori tentang puisi (sajak) yang mesti banyak dibaca, tetapi bagaimana volume, jumlah dan lamanya kita membaca karya puisi penyair yang ada. Dengan itulah kita dapat menemukan pola, bentuk, gaya dan jatidiri bagi puisi yang kita tulis. Sebagai ajukan, saya hendak berkisah apa yang saya alami belum lama ini yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan puisi di Indonesia. Adalah di penghujung tahun 2013nyaris dalam waktu bersamaan saya menerima limabuku kumpulan puisi langsung dari penyair Indonesia yang begitu sudah punya nama.
Sungguh menggembirakan dan seketika diterima maka hanya dalam beberapa saat kemudian langsung hatamlah saya membacanya.Ada yang sayabaca di tempat acara, di hotel, di bandara ataupun di pesawat terbang. Buku puisi yang saya maksudkan, pertama, Ros karya Rida K Liamsi (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2013), yang saya terima di Pekanbaru, 12 Oktober 2013. Kedua,Kopi, Kretek, Cinta karya Agus R Sarjono (Komodo Books, Depok, Juni 2013), yang saya terima dalam pesawat terbang tatkala penerbangan dari Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjungpinang-Soekarno-Hatta, Jakarta, 29 November 2013. Ketiga, Air Mata Kopi karya Gol A Gong (Gong Publishing, Serang, Oktober 2013) yang saya terima di Rumah Dunia, Serang, Banten, 30 November 2013. Keempat, Rontaan Masehi karya Iwan Kurniawan (Terbit Press, Bogor, Juli 2013), yang saya terima di Tanjungpinang, 14 Desember 2013. Kelima, Di Bawah Tanah karya Raudal Tanjung Banua (Akar Indonesia, Yogyakarta, Oktober 2013) yang saya terima di sela-sela acara Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XVII di Pekanbaru, Riau.
Perlu saya sisipkan kabar pula, di samping kelima buku kumpulan puisi itu, saya juga menerbitkan sebuah kumpulan puisi, Mantra Cinta (Akar Indonesia, Yogyakarta, Agustus 2013). Buku kumpulan puisi ini sebagai menyertai kedelapan judul buku saya yang terbit tahun yang sama, yakni Tanah Air Bahasa Indonesia (Esai), Politik Melayu(Esai), Santet Tujuh Pulau(Kumpulan cerpen), Karpet Merah Wakil Presiden(Kumpulan cerpen), Tanjung Perempuan (Kumpulan cerpen), dan Harta Karun (Cerita anak dan remaja) yang masing-masing diterbitkan oleh Komodo Books, Depok, 2013. Kemudian Memburu Kasih Perempuan Sampan (Novel) diterbitkan Akar Indonesia, Yogyakarta, 2013 dan Kartini & Aisyah Sulaiman Cinta Sekian Mendalam (Esai) diterbitkan Melaz Grafika, Tanjungpinang, 2013.
Maksud kita mengemukakan judul-judul kumpulan puisi antara lain yang saya terima dalam tahun 2013 itu, tak lain sebagai memberi kabar kepada sesiapa saja peminat, penyuka dan penulis puisi (penyair), bahwa menulis puisi ataupun karya sastra lainnya bukan hanya sekedar menulis atau ditulis dengan tanpa kesungguhan, keseriusan dan pembelajaran. Ianya ditulis dengan pemikiran dan perenuangan yang sungguh-sungguh dan mendalam.
Jikapun dalam sekali waktu, sekali jalan langsung jadi, tetapi tidaklah bermakna bahwa puisi yang sudah ditulis itu dapat kukuh sebagai sebuah puisi.Ianya masih perlu dibaca ulang, disigi, direnyai, dipahami, diganti katanya, dan terus dipoles sehingga benar-benar memadailah dipandang sebagai puisi.Soal tema, obyek, gagasan, ide ataupun imajinasi sebagai pangkal ditulisnya puisi boleh bebas dan seluas-luasnya.Namun bukanlah sebagaimana tindakan seorang menulis laporan ataupun berita.Tentang hal ini sudah kita tekankan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya.
Rida K Liamsi, lahir di Singkep, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943.Menulis puisi amat berbait dan bersebati dengan kesehariannya, negerinya, lingkungannya, budayanya dan apa-apa mengitarinya sepanjang perjalanan hidupnya.EDE X: Ada seribu mawar/ seribu merah/ seribu pagi/ basah// Tapi aku mau pergi/ dari satu ke lain malam/ Luluhkan sukma dalam gaung gaib/ gua resahku/ Karena seribu bunga layu/ dalam genggamanku/ Karena aku tak bisa berikan selamat pagiku/ pada kupu-lupu// Mawar merah/ pagi yang basah/ Jangan berikan selamat pagimu/ Pada bumi/ yang cemburu kupu-kupu/ berikan bau peluhmu. Agus R Sarjono, lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Sama halnya dengan Rida, menulis puisi amat jeli dan memahami serta memaknai apa-apa perkara yang berlaku di sekitarnya.Apa saja bagi Agus bisa menjadi puisi.
Selepas Perjamuan: Semua telah pergi. Di piring tinggal duri/ duri yang menganga.Jejak-jejak kaki/ di lantai dingin.Tumpahan saus/ nasi basin dan tulang-tulang ayam berserakan/ di paru-paruku. Dari jendela/ kulihat engkau di restoran lain/ bersendawa tak habis-habisnya// Di sebuah pinggan/ kulihat sepotong ikan bagai diriku/ terendam di kuah yang salah/ hingga rasanya kikuk dan masam di lidah./ Maka kukemasi diam-diam sisa bumbu/kulit bawang dan pecahan telur/ yang berserak dalam batinku.// Akupun belajar memasak bagi diriku/ sendiri. Sekali saja kau sebut kata perjamuan/ piring-piring di nadiku segera berderak pecah/ membikin hatiku luka parah.
Gol A Gong, lahir di Purwakarta, 15 Agustus 1963. Begitu mahir dan fasih mengambil segala apa yang berlaku dan dimati atau dialaminya sehingga menjadi puisi. Bagaimana peristiwa iamelampauwi banyak daerah di Indonesia tertuang dalam puisinya. Salah satunya tentang bagaimana perempuan malam dan hidung belang di Pulau Serindit, Bunguran, Natuna. Yang sungguh mati, apa gerangan sehingga beberapa tahun terakhir ini sudah “berkeliaran” perempuan yang dulu dikatakan orang sebagai “pelacur”.
Semakin menghenyakkan hati, terjadi di dalam “Kota Bunguran Timur”.KOPI PANGKU: Seorang wanita Jawa menanak air laut/ senja robek di Natuna selatan China/ kursi-kursi berjejer di pasir kasar/ kopi plastik dipajang siap ditawarkan/ diaduk keruh dengan gula sembilu/ keringat bercampur lenguh kuda binal.// “Malam dingin di Natuna, apakah langit/ Penuh bintang?” isteriku tersenyum di rumah./ Kujawab, “Hanya ada wajahmu di bintang.”// Wanita Jawa menyiapkan kursi pengantin/ menanyakan apa maharnya kepadaku/ dipersilahkannya gadis muda dipangku/ segelas kopi dalam genggaman kucing nakal/ meliuk musik hasrat sekarung keringat.// Setiap menghitung satu gelas kopi plastik/ diaduk dengan desahan panjang/ “Hilang lagi satu anakku,” tulisnya pilu.// Kau tahu Jakarta melipat ini di balik map/ tak peduli negeri tetangga memanjakan/ aku si pengembara menandai di buku harian/ kopi di negeriku terancam kedaulatan/ kopi diaduk kopi dipangku/ rasanya tak sepadan dengan harga diri. (Ranai, Natuna, 26 Oktober 2011).
Iwan Kurniawan, lahir di Nusa Tenggara Timur. Penyair muda Indonesia ini juga menulis puisi yang pada intinya terlihat benar sebagai puisi kritik sosial atau menyangkut persoalan sosial, di samping keagungan Tuhan. Tapi mesti begitu sama sekali tidak ada puisinya yang berapi-api sebagaimana pidato, ceramah atau tulisan opini (esai) lazim dihidangkan di hadapan khalayak dengan terus terang, dan menggugah, mengajak, menyuruh atau bahkan menegah untuk jangan atau tidak berbuat buruk atau salah. Tetap: tetaplah di sini, Ibu/ belum selesai malam mengucapkan selamat tinggal/ sebelum matahari merah timbul besok// tetaplah di sini saja/ perjuangan masih berlangsung/ dua mata api belum terbakar oleh gerhana perjanjian// busur-busur tertancap pada tiang/ hanya temali mengisyaratkan/ pada bekas memar di tapak kakimu// berjalan di sini saja, Ibu/ pabrik-pabrik belum tertutup/ dua bulldozer baru saja meratakan temboknya// berjalan di sini saja/ botol-botol vodka digilas/ ruangan berjemur dengan kerikil dan batu// tetaplah di sini, Ibu/ penjara hanya rumah kedua/ mengurung para nasionalis, koruptor, dan penjahat berdasi/ terali-terali melingkar pada baja dan besi/ membukakan lubang kecil bagi keledai// satu halaman kecil/ masih bisa bermain dan bercanda/ memaksakan angina untuk tidak masuk/ melewati jendela tanpa kain gorden// tetaplah di sini, Ibu/ dinding buta menjelma baja/ dentuman waktu sebentar lagi meledak/ melantarkan anak cucu dari tanah yang kita sebut Indonesia.
Terakhir, Raudal Tanjung Banua, yang lahir di Langsano, Kanagarian Taratak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975.Bagaimana Raudal menghidangkan betapa sentralnya sosok seorang ibu dan begitu juga kekasih.Penuh hormat, kasih-sayang, kesetiaan dan kerinduan.Tiada lagi sepantas cinta selain kepada bunda.Laci: ibu dan kekasih yang cemburu/ bagiku selalu baru/ seperti buku puisi/ tersimpan di laci tak terkunci/ ngengat mengerat/ anak-anak kalimat, kujadikan pengingat/ wajah ibu yang sabar serta surat kekasih/ rindu menanti, tetapi aku lama/ kembali: maka kucari ibu dan kekasih baru/ dalam puisi apa saja yang kumau.
Temukan Pukaunya Kata
Melayang awan/ embun rebas/ selembar daun kemunting terbang/ gelisah hati/ kekasih ke mana memantau!
Kita lihat dan baca puisi Ahad, 12 Januari 2014. Ditulis oleh 4 orang, Novita Tri P dengan puisinya “Suryaku”, Fanny Silvia dengan puisi “Mama” dan “Melangkah”, Giovanni dengan puisi “Harapan yang Sia-sia”, dan Adelia Lintang dengan puisi “Cinta Sejati”. Novita Tri P dapat diselam kedalaman puisi begitu mengagungkan ibu.Hampir seluruh baris puisinya menggunakan kata-kata sebagai mengisyaratkan demikian hebat dan luar biasanya ibu.
Tampak ikhtiar penyair ini untuk menempatkan metafora dalam puisinya. Hanya saja sebagian besar kata-kata metafora yang digunakan terkesan hanya menjadi kata ganti untuk ibu. Dikau bagai embun di pagi hari/ Menyambut matahari terbit/ Dikau bagai sinar matahari/ yang menyhinari kehidupanku/ Dikau bagai rembulan/ Yang sinarnya meneduhkan jiwaku/…Terlihat betapa masih perlu upaya untuk menyelami ke dalaman kata dalam penyajian puisi sehingga indah dan memukau.
Puisi Fanny Silvia yang berjudul “Mama” tak jauh beda dengan puisi Novita. Seluruh kata-kata puisinya adalah menuturkan tentang pengorbanan dan perjuangan ibu untuk anaknya. Begitu biasa bahasanya dan perlulah diikhtiarkan agar kelak lahirlah puisi tentang ibu yang mempesona. Mama…/ engkau adalah wanita yang hebat/ kau bagaikan bidadari dalam hidupku/ Mama…/….. Kemudian dalam puisi “Melangkah” Fanny Silvia, bagaimana pula kata puisinya.Saat jarak dinanti telah tiba/ Dan kita mulai melangkah maju/ Singkirkan arang (aral?Pen.) yang melintang/….. Sayang sekali kata-kata menjadi sekedar rangsangan, memotivasi, dorongan atau menyemangati sebagaimana lazimnya kata-kata dalam ceramah atau petuah biasa saja.
Puisi Giovanni “Harapan yang Sia-sia” sejatinya masih sebagai keluhan dan kegalauan yang dihidangkan dengan lazim dan lurus saja.Kata-kata pilihan dan tidak telanjang sayang sekali belum muncul.Sehingga menjadikan keseluruhan puisinya penuturan biasa juga.Pun puisi Adelia Lintang Kirana “Cinta Sejati” juga puja-puji terhadap ibu.
Meski demikian lebih elok dibanding puisi yang disebutkan di atas.Hanya saja masih belum mendalam dan kering.Kubangun istana cinta di atas setiaku/ Kulindungi dindingnya dengan/ percayaku….. Meski demikian, Novita, Fanny, Giovanni dan Adelia sudah menunjukkan ada kelebat kata yang nampak sehingga selanjutnya akan dapat melahirkan puisi yang sebagaimana dikenal luas.
Puisi Ahad, 19 Januari 2014 terdapat lima buah karya E. Naz Achmad. Dalam kaitan puisi-puisi penulis ini niscayalah berkaitan erat dengan pembahasan kita terdahulu.Pada arahan kita sebelumnya dan kali ini kembali dapat kita katakan puisi penyair ini amat mengkhususkan dan menampilkan pada persajakan dari akhir setiap baris.Dia begitu produktif menulis puisi, dan tentu kita berharap banyak kepadanya muncul ikhtiar dalam menyergamkan dan menyanggamkan puisi-puisinya.
Barangkali waktulah yang akan memberi laluan dan mengubahnya. Tapi sebelum itu sekali lagi perlu E. Naz Achmad meknai benar bahwa puisi sama sekali bukan sekedar peringatan, kabar, ajakan, himbauan ataupun sumpah-seranah. Puisi adalah kata pilihan, yang bernas, motafora, berisi dan seni.Coba kita salami penggalan puisinya “Percakapan”.Gunakanlah bahasa yang baik/ Ketika kita berada di mana saja/ agar fenomena memberikan keakraban/ …..
Selanjutnya pada Ahad, 26 Januari 2014 ada enam puisi karya Ferry “Kehilangan”, “Sahabat Terbaik”, “Hilang Semangatku”, dan “Sinar Mentariku”. Karya Yulia Sahbi “Bintang Kecilku” dan Machmudy Al-makkarSHARE menulis dalam bahasa inggris.Baik Ferry maupun Yulia serirama juga menampilkan puisi dengan penulis yang disebutkan di atas.Perlu banyak dan serius belajar menulis puisi dan membaca puisi-puisi penyair lainnya yang sudah jadi.Tidak ada salahnya bagi nama-nama yang kita sebutkan di atas dan lainnya untuk bertanya dan mendiskusikan puisi-puisinya kepada para guru, dosen atau penyair yang ada di kotanya masing-masing.
Tanjungpinang, 29 Januari 2014
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar