Ignas Kleden
Kompas, 13/01/14
RICHARD Stengel yang membantu Nelson Mandela menulis otobiografinya, Long Walk to Freedom, mengenang kembali persahabatannya dengan almarhum dalam laporan utama Time Nomor 26, 2013.
Di antara berbagai catatannya, ada pernyataan yang kiranya menarik perhatian pembaca. Dia menulis: ”Tidak sekali pun saya mendengar dia (Mandela, IK) menyebut Tuhan, surga, atau sesuatu yang berhubungan dengan akhirat. Nelson Mandela percaya akan keadilan dalam masa hidupnya di dunia ini.”
Catatan itu dapat menimbulkan rasa heran karena beberapa kebajikan dalam watak Mandela segera membawa asosiasi kita kepada kehidupan asketis yang diajarkan dalam agama-agama. Keteguhan hatinya dalam penjara, khususnya 18 tahun dalam sel 2 meter x 2 meter di Robben Island, bekas tempat pembuangan penderita kusta, sikap tanpa putus harapan dalam perjuangan amat panjang menentang diskriminasi, ketegarannya menolak kompromi dan gratifikasi, kebesaran hatinya mengatasi dendam dan memaafkan orang yang telah menghukumnya dengan sewenang-wenang—semua itu merupakan kombinasi keyakinan dan kekuatan moral yang membuat seluruh dunia tercengang.
Sebuah rahasia yang menjelaskan daya tahannya menghadapi penderitaan dan tekanan ialah karena dia tak pernah menyerahkan kemerdekaannya kepada mereka yang menahannya dalam penjara selama 27 tahun. Ini dilakukannya dengan dua cara. Pertama, dia yakin bahwa pihak yang menjebloskannya ke dalam tahanan dapat merampas segala sesuatu yang ada pada dirinya, kecuali pikiran dan hatinya.
Musuh-musuhnya tak dapat merampas pikiran dan hatinya serta Mandela tak pernah menyerahkan pikiran dan hatinya kepada mereka penghukumnya.
Kedua, dia berjuang keras mengatasi rasa benci kepada mereka yang menganiayanya. Dia berpendapat, kalau tetap membenci lawan-lawan politiknya, dia akan tetap tertawan sebagai tahanan dalam dendam kesumatnya, sekalipun dia sudah bebas dari penjara. Tentang rasa dendam ini, akhirnya dia berkata, ”I let it go.”
Mandela dilahirkan pada 1918 menjelang akhir Perang Dunia I di Desa Mvezo, Distrik Umtata, ibu kota Transkei yang terletak 550 mil di selatan Johannesburg. Ayahnya seorang ketua adat yang diangkat Raja Thembu dengan restu Pemerintah Inggris dan punya empat istri. Ibu Mandela adalah istri ketiga yang kemudian pindah ke Desa Qunu setelah suaminya kehilangan jabatan karena membangkang kepada Pemerintah Inggris.
Pendidikan formal Mandela dari sekolah dasar hingga ke pendidikan tinggi ia tempuh di lembaga pendidikan yang didirikan dan dikelola misionaris Gereja Kristen Metodis dari Inggris. Di Qunu dia masuk sekolah dasar dan berkenalan dengan pendidikan dan pengajaran bergaya Inggris. Para murid mendapat nama Inggris dari guru kelas dan Mandela diberi nama Nelson, yang diambil dari nama seorang kapten laut Inggris, Lord Nelson. Nama ini kemudian lebih dikenal dari nama yang diperolehnya di desa kelahirannya, yaitu Rolihlahla, sebuah idiom bahasa Xhosa yang berarti ’troublemaker’.
Dari Qunu dia dipindahkan ibunya ke Mghekezweni, sebuah pusat misi Gereja Metodis, dengan penduduk yang dididik dengan gaya hidup Inggris dalam berpakaian, tutur kata, dan kehidupan agama. Mandela tinggal di rumah seorang regen, kenalan almarhum ayahnya, yang mengatur tempat tinggalnya sebagai pejabat kelas menengah Afrika dengan disiplin tinggi dalam Great Palace. Mandela meneruskan pendidikan dasarnya bersama anak-anak regen dan di sinilah, khususnya di sekolah Clarkebury, matanya terbuka kepada dunia Barat yang amat berbeda dengan Desa Qunu yang menyimpan masa kecilnya dalam lingkungan serba idylis.
Pada usia 19 tahun, dia masuk Sekolah Guru Healdtown di Fort Beaufort, sebuah pos Inggris paling luar di abad ke-19, tempat orang putih berusaha merebut tanah penduduk dan harus berhadapan dengan pejuang suku Xhosa yang gagah perkasa. Setelah melewati konflik dan pertempuran selama lebih dari 100 tahun, orang-orang putih dapat merebut seluruh tanah di Fort Beaufort, sementara pejuang Xhosa yang gugur memperoleh kemasyhuran turun-temurun dengan riwayat yang didengar Mandela dari penuturan orang-orang tua.
Selanjutnya pendidikan tinggi setingkat universitas ia peroleh di Kolese Fort Hare, 20 mil sebelah timur Healdtown, satu-satunya pendidikan tinggi untuk penduduk hitam di Afrika Selatan. Dari sinilah, dari antara hanya 150 mahasiswa yang belajar di sana lahir sarjana-sarjana Afrika Selatan dan Afrika Timur, yang menganggap Kolese mereka Oxford dan Cambridge atau Harvard dan Yale di Afrika. Setelah lulus mereka memperoleh gelar BA, yang memungkinkan mereka masuk ke dalam lingkungan elite Afrika dengan kemungkinan kerja dan penghasilan sangat baik. Di lembaga pendidikan ini yang didirikan misionaris Skotlandia pada 1916, para pendidik kulit putih yakin, mereka dapat menghasilkan tamatan yang menjadi the black Englishmen, orang Inggris berkulit hitam.
Menolak diskriminasi
Barangkali itulah harapan umum para penjajah di berbagai belahan dunia tatkala mereka memperkenalkan pendidikan Barat modern di koloni mereka. Namun, kita tahu dari sejarah pendidikan kolonial di Indonesia, harapan itu tak selalu terpenuhi karena pengajaran yang mengarahkan cara berpikir yang benar, dan pendidikan yang membentuk kepribadian yang etis, kemudian menghasilkan lulusan yang melihat kepincangan dan ketakadilan dalam tiap proyek penjajah. Seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka di Indonesia, Nelson Mandela kemudian menetapkan sikap politiknya: menolak diskriminasi dan apartheid di Afrika Selatan dan menegakkan persamaan dan keadilan untuk semua penduduk.
Sejak pendidikan dasarnya di Qunu, dia diajar bahasa Inggris, kebudayaan, dan pemikiran-pemikiran Inggris, diperkenalkan dengan lembaga-lembaga Inggris, seakan-akan Afrika tak punya sesuatu pun untuk dipelajari. Namun, dari ayahnya dia belajar sejak dini sekali bahwa otoritas kolonial bisa melakukan kesalahan dan dapat dilawan meski dengan berbagai risiko yang harus ditanggung. Di Fort Hare tempat dia belajar antropologi, ilmu politik, administrasi pemerintahan lokal, dan sistem hukum Romawi-Belanda, dia berkenalan dengan beberapa seniornya yang dengan terus terang mengkritik kebijakan kolonial. Dikatakan bahwa pendidikan Barat seakan-akan memberi penghidupan yang lebih baik kepada para lulusannya, sementara itu semua yang berharga dari Afrika telah habis dirampas: hak-hak dan tanah penduduk, kebudayaan dan nilai-nilai lokal, terutama sekali kemerdekaan mereka. Ada kenyataan pahit dan keras yang harus dihadapi dan tak selayaknya kaum intelek-tual menutup mata terhadap realitas itu.
Setelah ia bergabung dengan African National Congress (ANC), perjuangan menentang diskiriminasi ini menjelma jadi tujuan hidupnya. Ia mempersembahkan hidup matinya untuk cita-cita itu. Setelah pembantaian besar di Sharpeville pada Maret 1960 tatkala polisi menembak mati 69 penduduk kulit hitam, Mandela, yang banyak diilhami Gandhi dengan prinsip satyagrahanya, berubah pikiran. Dia melihat satyagraha atau sikap tanpa kekerasan bukanlah prinsip, melainkan suatu taktik. Dia teringat kearifan lokal sukunya, Sebatana ha se bokwe ka diatla: serangan binatang buas tak dapat dihadapi dengan tangan kosong. Dia akhirnya membentuk dan memimpin Spear of the Nation, sayap bersenjata dalam ANC.
Dengan tuduhan melakukan komplotan bersenjata, ia harus menghadapi pengadilan. Setelah membacakan pleidoinya selama empat jam, Mandela menutup naskah pembelaannya dan berkata kepada hakim: ”Saya telah mempersembahkan seluruh hidup saya kepada perjuangan bangsa Afrika. Saya telah menjunjung tinggi ideal suatu masyarakat demokratis yang bebas, tempat semua orang hidup damai dan mempunyai kesempatan yang sama. Maka, bila perlu, Yang Mulia, saya pun siap mati untuk ideal tersebut.”
Seperti pernyataan iman
Pidato itu terdengar seperti pernyataan iman yang menandai perubahan besar dalam penjara. Yang ia ucapkan bukanlah isapan jempol untuk gagah-gagahan seperti yang kerap kita dengar dari politisi Indo-nesia sekarang, tapi suatu sumpah yang diwujudkan dengan berbagai korban tak terperikan: 9 tahun dalam penjara Pretoria, 18 tahun dalam penjara Robben Island, kehilangan istri dan anak, kehilangan tahun-tahun paling produktif dalam hidupnya, sambil mengelola rasa benci dan dendam sampai dapat mengatasinya. Pendirian politik Mandela berangsur-angsur berubah menjadi suatu keyakinan religius dalam pertapaannya di sel penjara.
Para penulis biografinya tak habis pikir: dari mana Mandela menimba kekuatan tak menyerah, tak membiarkan diri hancur oleh benci dan dendam, dan sanggup mengatasi kegetiran nasibnya dengan memaafkan mereka yang menghukumnya demikian lama? Hal ini biasanya terjadi pada orang-orang yang hidup dengan keyakinan agama yang teguh dan tak tergoyahkan.
Namun, Mandela tak dikenal sebagai anggota suatu denominasi meski seluruh pendidikannya berada di bawah bimbingan dan pengaruh Gereja Kristen Metodis. Sebagai anggota suku Xhosa, ia hidup sedari kecil dibimbing tiga hal: adat-istiadat, ritual, dan tabu. Bayangan dan keinginannya setelah mati bukan surga dalam pengertian agama, melainkan perjumpaan kembali dengan para leluhurnya.
Sangat mungkin prinsip hidup suku Xhosa itulah yang ia terjemahkan menjadi prinsip negara modern: persamaan dan keadilan adalah adat-istiadat manusia; demokrasi adalah ritual yang suci; sementara pelanggaran HAM tabu yang tak boleh diabaikan apabila orang tak mau mengundang datang kutukan. Atas cara ini Mandela sengaja atau tidak telah mengubah pendirian politiknya menjadi keyakinan religius. Kemerdekaan politik Afrika Selatan meluas menjadi cita-cita keselamatan bagi semua manusia.
Bagi seluruh dunia, ini jadi pelajaran: orang tak sepantasnya memakai agama untuk tujuan politik praktis atau doyan mengutip ayat suci untuk menyembunyikan kebobrokan moral politiknya. Religiositas ala Mandela telah menyebabkan dia sanggup memerintah bukan dengan kekuasaan yang berasal dari jabatan formal, tetapi dengan suatu otoritas moral yang lahir dari religiositas mendalam. Kepada Bartholomaeus Grill, wartawan majalah Jerman Der Spiegel, ia berkata, ”Saya makin mendekati akhir hidupku. Saya ingin tidur selama-lamanya dengan sebuah senyum di wajahku.”
Sekarang ini setelah wafat pada 5 Desember 2013, Mandela tidur selama-lamanya di desa kelahirannya, Mvezo yang amat terpencil, dan dari tempat leluhurnya ia mungkin memberi senyum abadi pada semua orang di bumi yang ia cintai, kawan ataupun lawan.
Ignas Kleden, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar