Rabu, 13 Februari 2013

Esai: Menulis Karangan

Jacob Sumardjo *
Pikiran Rakyat, 27 Okt 2007

INI pengalamanku waktu menjadi redaktur cerita pendek tidak resmi di sebuah harian terkenal di daerahku. Tidak resmi, kukatakan, karena saya tidak mendapat bayaran sesen pun atas pekerjaan itu.
Saya mendapat mandat dari redaktur budaya surat kabar tersebut untuk memilih cerita pendek yang dimuat tiap minggu. Hampir setiap bulan harus memeriksa setumpuk naskah cerita pendek, kira-kira lima puluh naskah, dan saya menetapkan empat atau lima cerita pendek yang akan dimuat.

Tidak mudah menyeleksi naskah-naskah cerita pendek yang rata-rata ditulis oleh para pemula. Hanya sedikit pengarang yang sudah punya nama mengirimkan naskahnya. Kalau ada nama-nama penulis yang sudah dikenal sebagai cerpenis, karangan merekalah yang lebih dahulu saya baca. Kadang cukup bagus, tetapi kadang juga kurang puas untuk dimuat.

Yang paling menjengkelkan adalah penulis-penulis pemula, yang namanya kadang aneh-aneh untuk nama Indonesia. Kebanyakan mereka menulis tentang pengalaman cinta mereka. Judulnya juga masih pantas dimuat di zaman tahun 1930-an, karena memakai judul semacam “purnama”, “bayu”, “rindu dendam”, dan sebagainya.

Ada seorang penulis yang amat rajin mengirim karangannya. Namun, belum pernah saya muat. Dia selalu melampirkan sepucuk surat yang menerangkan riwayat kepengarangannya, cerpen, serta puisi yang pernah dimuat. Bahkan di sebuah suratnya, ia menyertakan foto setengah badan. Menilik gambarnya, ia cukup berusia, setengah baya, mungkin sekitar 40-an. Sampai pada suatu ketika, saya menerima karangannya dan saya putuskan untuk memuatnya meskipun sebenarnya saya juga belum puas menilainya sebagai sebuah cerpen yang baik.

Saya menjadi redaktur cerpen kira-kira sepuluh tahun. Dan karena tak dapat bayaran, saya mulai menulis komentar pendek pada setiap cerpen yang saya muat. Itu tahun kedua. Komentar pendek itu merupakan penilaian dan pertanggungan jawab saya sebagai redaktur. Dan komentar-komentar pendek itulah yang kemudian dibayar oleh surat kabar. Sejak itu, setiap cerpen yang saya muat selalu saya beri komentar nilainya sebagai cerpen.

Pada suatu siang, ketika saya akan mengambil naskah cerpen, sekretaris keuangan memberi tahu saya bahwa ada orang yang menunggu sejak dua jam yang lalu di ruang lobi. Saya bergegas menuju lobi. Di sana ada tiga orang yang duduk menunggu, mungkin mau ambil honor tulisan. Seorang pun tak ada yang saya kenal. Ketika melihat yang duduk di kursi pojok, saya ingat sebuah foto yang pernah saya kenal. Itulah Emhaes Purbowangi yang menyertakan foto di karangannya.

“Anda mencari saya?” kataku menyapa.

“Bapak Asmara?”

“Betul.”

“Saya Purbowangi. Emhaes Purbowangi. Dari Tegal.”

“Jauh amat. Khusus ke sini?”

“Ya. Mau minta pertanggungjawaban bapak.”

“Tanggung jawab apa?”

“Bapak sudah bertahun-tahun mengasuh ruang cerpen di sini. Dan saya telah banyak mengirim cerpen. Baru satu yang bapak muat. Padahal sudah ada sekitar lima belas cerpen saya dimuat di surat kabar Jakarta.”

“Mari kita duduk di dalam.”

Saya mengajak dia masuk ke ruang redaksi yang kebetulan masih kosong. “Apakah Bapak betul-betul membaca cerpen-cerpen saya? Redaktur tak punya tanggung jawab. Ini. Ini bagaimana. Cerpen semacam ini dimuat, apa? Taik. Cerpen naik bus kota kok dimuat. Cerpen-cerpen saya lebih berbobot. Tragedi cinta anak manusia. Apa naskah saya ‘Mendung di Langit Tegal Arum’ telah benar-benar dibaca? Naskah itu di mana sekarang? Naskah itu pengalaman cinta saya yang sesungguhnya. Saya menulisnya dua minggu penuh. Sedang cerpen ini cengeng bener, naik bus kota berdesakan saja sudah dianggap penderitaan. Ditolak cintanya, itulah tragedi universal….”

“Lho Anda mau menuntut saya? Pada siapa?”

“Saya hanya minta pertanggungjawaban moral redaktur di sini. Cerpen recehan dimuat. Cerpen berbobot dibaca pun tidak.” Beberapa orang di ruangan itu mulai menengok ke arah kami.

“Setiap redaktur mempunyai penilaian sendiri mana yang dapat dimuat dan mana yang tidak. Kalau cerpen-cerpen Anda ditolak di sini, dan dimuat di penerbitan lain, itu wajar saja. Setiap redaktur memiliki penilaian sendiri. Saya sendiri mengalami….”

“Tidak usah bela diri. Tiga cerpen saya pernah dimuat di sini sebelum redakturnya diganti. Dasar redaktur goblok!”

“Hei, ada apa ribut-ribut di sini?” tiba-tiba suara Mas Marwan, redaktur budaya, muncul di belakang saya.

“Ini Mas….”

“Lu siapa ngotot mendelik? Cerpen tidak dimuat saja ribut seperti nagih utang. Kalau tidak, keluar dari ruangan ini …,” Mas Marwan mulai membuka ranselnya dan mengeluarkan pistol. Mas Marwan memang bekas militer di zaman revolusi dulu. Dan dia suka membawa-bawa pistolnya ke mana saja pergi. Kabarnya juga dalam rapat redaktur. Purbowangi tiba-tiba pucat. Ia ketakutan memandang wajah Mas Marwan.

“Minggat dari sini tidak?”

“Saya hanya minta penjelasan….”

“Keluar!”

Saya kasihan juga melihat orang itu tiba-tiba melunak. Ia mulai memasukkan berkas-berkas guntingan koran yang sejak tadi dipegangnya. Purbowangi kemudian keluar ruangan. Saya masih di dalam dengan Mas Marwan.

“Mengapa melayani orang gila semacam itu? Lain kali ditolak. Sudah ngambil honor belum? Honornya sudah naik belum?”

“Masih lima belas ribu!”

“Sudah berapa lama?”

“Ada kalau delapan tahun ini.”

“Nanti saya minta naikkan.”

“Mas….”

“Ah nggak usah basa-basi. Kamu kan butuh duit. Menulis memang untuk dapat duit.”

Sesudah ngobrol sebentar di ruang redaksi kebudayaan, saya pamit. Ketika melewati pintu gerbang dengan mengendarai Suzuki minibus saya yang tua, saya lihat Purbowangi berdiri di pinggir jalan mau mencegat angkot.

“Hei Purbo! Purbo! Mau ke mana?”

Ia menoleh ke arah saya. Ia menunjuk ke arah terminal bus Leuwipanjang.

“Ayo ikut saya. Saya lewat terminal.”

“Terima kasih.”

Ia naik setelah saya bukakan pintu depan.

“Mau terus ke Tegal?”

“Ya. Naiknya di Cicaheum.”

“Wah, kebetulan dekat rumah saya. Saya antar sampai pertigaan Cicaheum.”

Kami masih tegang. Namun, saya usahakan untuk melupakannya. Untuk beberapa lama kami terdiam.

“Di surat kabar mana saja cerpen-cerpennya pernah dimuat?”

“Di Pos Betawi ada lima. Lainnya di Mayapada, di Semarang, dan Purwokerto. Maaf tadi….”

“Ah, lupakan. Saya memahami kegeraman Anda. Tadi itu Pak Marwan, bekas tentara. Meskipun tampaknya kasar, hatinya baik.” Purbowangi diam lagi. Melewati Terminal Leuwipanjang, suasana sudah mulai cair. Saya benar-benar berusaha memendam peristiwa yang baru terjadi. Untuk saya, merupakan perjuangan tersendiri. Beberapa kali saya dilecehkan terang-terangan di depan umum yang memerahkan telinga dan hati. Namun saya pendam dengan kesabaran. Kadang malam harinya saya berniat membalas dendam, tetapi saya berusaha memaafkan mereka yang sengaja melampiaskan sakit hatinya pada saya.

“Mengapa sulit dimuat, Pak?”

Tiba-tiba Purbowangi berkata dalam nada orang yang baru saja dikalahkan dalam sebuah pertandingan. “Saya punya penilaian sendiri yang tidak tiap redaktur menyetujuinya.”

“Semua karangan saya berdasarkan pengalaman nyata. Sebagian besar pengalaman saya sendiri dan teman-teman dekat saya. Terutama pengalaman waktu SMA.”

“Namanya juga karangan. Jadi fiksi. Bikinan saja. Tak usah harus pengalaman nyata. Mengarang itu bukan pengetahuan yang sudah ada, tetapi yang tidak ada.”

“Bagaimana bisa begitu, Pak?”

“Itulah mengarang namanya. Dalam menulis Anda akan menulis apa yang sudah Anda ketahui, tetapi kalau dalam proses penulisnya Anda tidak menemukan sesuatu di luar yang Anda ketahui, itu karangan biasa saja. Sebenarnya Anda tidak tahu apa yang akan Anda tulis sampai tulisan itu jadi. Dalam proses itulah pengetahuan yang tidak ada Anda peroleh.”

Purbowangi lama terdiam. Mencoba mencerna apa yang saya katakan. “Kita hanya kadang-kadang saja bisa menulis secara demikian. Tetapi pada suatu ketika bisa berjubel hal-hal yang ingin ditulis. Namun, Anda tetap tidak tahu bagaimana jadinya tulisan itu. Pengetahuan dan pengalaman penting, tetapi lebih penting apa yang Anda tidak ketahui dan apa yang Anda tidak alami.”

Di pertigaan Cicaheum Purbowangi saya turunkan.

“Terima kasih Pak Asmara!”

“Selamat jalan!”***

*) Jacob Sumardjo, budayawan.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/10/esai-menulis-karangan.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir