Jacob Sumardjo *
Pikiran Rakyat, 27 Okt 2007
INI pengalamanku waktu menjadi redaktur cerita pendek tidak resmi di sebuah harian terkenal di daerahku. Tidak resmi, kukatakan, karena saya tidak mendapat bayaran sesen pun atas pekerjaan itu.
Saya mendapat mandat dari redaktur budaya surat kabar tersebut untuk memilih cerita pendek yang dimuat tiap minggu. Hampir setiap bulan harus memeriksa setumpuk naskah cerita pendek, kira-kira lima puluh naskah, dan saya menetapkan empat atau lima cerita pendek yang akan dimuat.
Tidak mudah menyeleksi naskah-naskah cerita pendek yang rata-rata ditulis oleh para pemula. Hanya sedikit pengarang yang sudah punya nama mengirimkan naskahnya. Kalau ada nama-nama penulis yang sudah dikenal sebagai cerpenis, karangan merekalah yang lebih dahulu saya baca. Kadang cukup bagus, tetapi kadang juga kurang puas untuk dimuat.
Yang paling menjengkelkan adalah penulis-penulis pemula, yang namanya kadang aneh-aneh untuk nama Indonesia. Kebanyakan mereka menulis tentang pengalaman cinta mereka. Judulnya juga masih pantas dimuat di zaman tahun 1930-an, karena memakai judul semacam “purnama”, “bayu”, “rindu dendam”, dan sebagainya.
Ada seorang penulis yang amat rajin mengirim karangannya. Namun, belum pernah saya muat. Dia selalu melampirkan sepucuk surat yang menerangkan riwayat kepengarangannya, cerpen, serta puisi yang pernah dimuat. Bahkan di sebuah suratnya, ia menyertakan foto setengah badan. Menilik gambarnya, ia cukup berusia, setengah baya, mungkin sekitar 40-an. Sampai pada suatu ketika, saya menerima karangannya dan saya putuskan untuk memuatnya meskipun sebenarnya saya juga belum puas menilainya sebagai sebuah cerpen yang baik.
Saya menjadi redaktur cerpen kira-kira sepuluh tahun. Dan karena tak dapat bayaran, saya mulai menulis komentar pendek pada setiap cerpen yang saya muat. Itu tahun kedua. Komentar pendek itu merupakan penilaian dan pertanggungan jawab saya sebagai redaktur. Dan komentar-komentar pendek itulah yang kemudian dibayar oleh surat kabar. Sejak itu, setiap cerpen yang saya muat selalu saya beri komentar nilainya sebagai cerpen.
Pada suatu siang, ketika saya akan mengambil naskah cerpen, sekretaris keuangan memberi tahu saya bahwa ada orang yang menunggu sejak dua jam yang lalu di ruang lobi. Saya bergegas menuju lobi. Di sana ada tiga orang yang duduk menunggu, mungkin mau ambil honor tulisan. Seorang pun tak ada yang saya kenal. Ketika melihat yang duduk di kursi pojok, saya ingat sebuah foto yang pernah saya kenal. Itulah Emhaes Purbowangi yang menyertakan foto di karangannya.
“Anda mencari saya?” kataku menyapa.
“Bapak Asmara?”
“Betul.”
“Saya Purbowangi. Emhaes Purbowangi. Dari Tegal.”
“Jauh amat. Khusus ke sini?”
“Ya. Mau minta pertanggungjawaban bapak.”
“Tanggung jawab apa?”
“Bapak sudah bertahun-tahun mengasuh ruang cerpen di sini. Dan saya telah banyak mengirim cerpen. Baru satu yang bapak muat. Padahal sudah ada sekitar lima belas cerpen saya dimuat di surat kabar Jakarta.”
“Mari kita duduk di dalam.”
Saya mengajak dia masuk ke ruang redaksi yang kebetulan masih kosong. “Apakah Bapak betul-betul membaca cerpen-cerpen saya? Redaktur tak punya tanggung jawab. Ini. Ini bagaimana. Cerpen semacam ini dimuat, apa? Taik. Cerpen naik bus kota kok dimuat. Cerpen-cerpen saya lebih berbobot. Tragedi cinta anak manusia. Apa naskah saya ‘Mendung di Langit Tegal Arum’ telah benar-benar dibaca? Naskah itu di mana sekarang? Naskah itu pengalaman cinta saya yang sesungguhnya. Saya menulisnya dua minggu penuh. Sedang cerpen ini cengeng bener, naik bus kota berdesakan saja sudah dianggap penderitaan. Ditolak cintanya, itulah tragedi universal….”
“Lho Anda mau menuntut saya? Pada siapa?”
“Saya hanya minta pertanggungjawaban moral redaktur di sini. Cerpen recehan dimuat. Cerpen berbobot dibaca pun tidak.” Beberapa orang di ruangan itu mulai menengok ke arah kami.
“Setiap redaktur mempunyai penilaian sendiri mana yang dapat dimuat dan mana yang tidak. Kalau cerpen-cerpen Anda ditolak di sini, dan dimuat di penerbitan lain, itu wajar saja. Setiap redaktur memiliki penilaian sendiri. Saya sendiri mengalami….”
“Tidak usah bela diri. Tiga cerpen saya pernah dimuat di sini sebelum redakturnya diganti. Dasar redaktur goblok!”
“Hei, ada apa ribut-ribut di sini?” tiba-tiba suara Mas Marwan, redaktur budaya, muncul di belakang saya.
“Ini Mas….”
“Lu siapa ngotot mendelik? Cerpen tidak dimuat saja ribut seperti nagih utang. Kalau tidak, keluar dari ruangan ini …,” Mas Marwan mulai membuka ranselnya dan mengeluarkan pistol. Mas Marwan memang bekas militer di zaman revolusi dulu. Dan dia suka membawa-bawa pistolnya ke mana saja pergi. Kabarnya juga dalam rapat redaktur. Purbowangi tiba-tiba pucat. Ia ketakutan memandang wajah Mas Marwan.
“Minggat dari sini tidak?”
“Saya hanya minta penjelasan….”
“Keluar!”
Saya kasihan juga melihat orang itu tiba-tiba melunak. Ia mulai memasukkan berkas-berkas guntingan koran yang sejak tadi dipegangnya. Purbowangi kemudian keluar ruangan. Saya masih di dalam dengan Mas Marwan.
“Mengapa melayani orang gila semacam itu? Lain kali ditolak. Sudah ngambil honor belum? Honornya sudah naik belum?”
“Masih lima belas ribu!”
“Sudah berapa lama?”
“Ada kalau delapan tahun ini.”
“Nanti saya minta naikkan.”
“Mas….”
“Ah nggak usah basa-basi. Kamu kan butuh duit. Menulis memang untuk dapat duit.”
Sesudah ngobrol sebentar di ruang redaksi kebudayaan, saya pamit. Ketika melewati pintu gerbang dengan mengendarai Suzuki minibus saya yang tua, saya lihat Purbowangi berdiri di pinggir jalan mau mencegat angkot.
“Hei Purbo! Purbo! Mau ke mana?”
Ia menoleh ke arah saya. Ia menunjuk ke arah terminal bus Leuwipanjang.
“Ayo ikut saya. Saya lewat terminal.”
“Terima kasih.”
Ia naik setelah saya bukakan pintu depan.
“Mau terus ke Tegal?”
“Ya. Naiknya di Cicaheum.”
“Wah, kebetulan dekat rumah saya. Saya antar sampai pertigaan Cicaheum.”
Kami masih tegang. Namun, saya usahakan untuk melupakannya. Untuk beberapa lama kami terdiam.
“Di surat kabar mana saja cerpen-cerpennya pernah dimuat?”
“Di Pos Betawi ada lima. Lainnya di Mayapada, di Semarang, dan Purwokerto. Maaf tadi….”
“Ah, lupakan. Saya memahami kegeraman Anda. Tadi itu Pak Marwan, bekas tentara. Meskipun tampaknya kasar, hatinya baik.” Purbowangi diam lagi. Melewati Terminal Leuwipanjang, suasana sudah mulai cair. Saya benar-benar berusaha memendam peristiwa yang baru terjadi. Untuk saya, merupakan perjuangan tersendiri. Beberapa kali saya dilecehkan terang-terangan di depan umum yang memerahkan telinga dan hati. Namun saya pendam dengan kesabaran. Kadang malam harinya saya berniat membalas dendam, tetapi saya berusaha memaafkan mereka yang sengaja melampiaskan sakit hatinya pada saya.
“Mengapa sulit dimuat, Pak?”
Tiba-tiba Purbowangi berkata dalam nada orang yang baru saja dikalahkan dalam sebuah pertandingan. “Saya punya penilaian sendiri yang tidak tiap redaktur menyetujuinya.”
“Semua karangan saya berdasarkan pengalaman nyata. Sebagian besar pengalaman saya sendiri dan teman-teman dekat saya. Terutama pengalaman waktu SMA.”
“Namanya juga karangan. Jadi fiksi. Bikinan saja. Tak usah harus pengalaman nyata. Mengarang itu bukan pengetahuan yang sudah ada, tetapi yang tidak ada.”
“Bagaimana bisa begitu, Pak?”
“Itulah mengarang namanya. Dalam menulis Anda akan menulis apa yang sudah Anda ketahui, tetapi kalau dalam proses penulisnya Anda tidak menemukan sesuatu di luar yang Anda ketahui, itu karangan biasa saja. Sebenarnya Anda tidak tahu apa yang akan Anda tulis sampai tulisan itu jadi. Dalam proses itulah pengetahuan yang tidak ada Anda peroleh.”
Purbowangi lama terdiam. Mencoba mencerna apa yang saya katakan. “Kita hanya kadang-kadang saja bisa menulis secara demikian. Tetapi pada suatu ketika bisa berjubel hal-hal yang ingin ditulis. Namun, Anda tetap tidak tahu bagaimana jadinya tulisan itu. Pengetahuan dan pengalaman penting, tetapi lebih penting apa yang Anda tidak ketahui dan apa yang Anda tidak alami.”
Di pertigaan Cicaheum Purbowangi saya turunkan.
“Terima kasih Pak Asmara!”
“Selamat jalan!”***
*) Jacob Sumardjo, budayawan.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/10/esai-menulis-karangan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar