Selasa, 03 April 2012

Kabar Kenyataan Antroposentrisme Berbelah

Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/

Lokomotif modernitas bermula dari gagasan Rene Descartes tentang “pikir”, tentang “kesadaran”. Lewat ungkapan masyur cogito ergo sum (terjemahan populernya, “aku berpikir, maka aku ada”). Rene Descartes meyakini diri “ada” melalui “pikiran” yang meragukan segala hal. Lalu muncul wacana antroposentrisme, manusia sebagai pusat alam semesta.

Berbekal wacana antroposentrisme, peradaban manusia memasuki zaman baru—yang dianggap zaman keemasan—ialah modernisme.

Modernisme dalam batasan tertentu dapat dipahami sebagai kemenangan rasionalitas, kemenangan pikiran normal manusia. Modernisme berawal dari antroposentrisme, dan pada gerak modernisme pula, antroposentrisme menjadi berbelah. Modernisme adalah waktu, adalah ruang, yang sarat dengan pergulatan antara manusia sebagai subyek dengan manusia sebagai obyek. Modernisme memberi jalan kepada manusia untuk mencipta benda-benda, tetapi modernisme pula yang memberi jalan kepada benda-benda untuk mencipta manusia. Modernisme menggema hingga zaman terkini, zaman postmodernisme.

Segalanya bermula dari kemenangan rasionalitas. Bermula dari kehendak antroposentris. Segalanya bergerak dan lalu digerakkan oleh kenyataan antroposentrisme berbelah.

Modernisme, postmodernisme, dan kenyataan antroposentrisme berbelah adalah tiga wacana yang saling berkaitan, adalah tiga wacana yang kerap memunculkan perdebatan, kerap memunculkan pertanyaan.

Apakah modernisme adalah gerak budaya yang melegakan? Tidak ada jawaban tunggal. Tidak hanya benar, tidak juga hanya salah. Sama dengan bila tema pertanyaan diganti dengan postmodernisme, atau dengan kenyataan antroposentrisme berbelah. Sebab, ketiga wacana tersebut berada dalam satu jerat konvergensi.

Kabar Kenyataan Antroposentrisme Nalar

Seorang Galilea Galileo menyeru kepada masyarakat pada zamannya bahwa bukan bumi yang dikelilingi matahari tetapi mataharilah yang dikelilingi bumi. Saat itu gereja dan kerajaan sedang akrab menjalin pembentukan pusat pengetahuan, dan pernyataan Galileo berbalik dengan pendapat yang difatwakan gereja. Tentu saja, kepanikan menjalar. Pro dan kontra masyarakat mencuat keras. Demi wibawa gereja, Galileo dihukum tahanan rumah, dan meninggal.

Abad XVI adalah abad Renaisance Eropa. Kematian Galileo membuka kesadaran baru tentang kebenaran nalar manusia. Rene Descartes (1596-1650), seseorang yang lebih paham kondisi kekerasan zaman, mengambil jalan yang lebih melingkar. Cogito ergo sum, “saya berpikir maka saya ada”. Kalimat kunci Descartes yang menasbihkan bahwa manusia ada karena nalar, karena akal budi. Manusia berbeda dengan alam, berbeda dengan binatang, sebab manusia berpikir. Manusia memiliki rasionalitas. Maka dimulailah, kepercayaan terhadap rasio manusia. Modernisme. Babak baru antroposentrisme, “manusia sebagai pusat alam semesta”.

Begitu lembaga agama dan kerajaan mulai bangkrut kewibawaannya, para ilmuwan semakin berani mengungkapkan gagasannya tentang penguasaan manusia terhadap alam. Maine de Biran (1766-1824), filsuf dari Perancis, mengkritisi pemikiran dari Rene Descartes. Aku yang berpikir sebagai ada masih terlalu romantik untuk kemajuan dunia.

Biran mengenalkan aku yang berkehendak dan bertindak: “Lewat penghayatan intern yang menangkap adanya aku, sekaligus diadakan perbedaan dengan segala benda lain, dan sekaligus dibedakan dengan penghayatan-penghayatan inderawi gagasan-gagasan dan citra-citra. Andaikan kita mampu melenyapkan datangnya semua kesan, ide dan citra ini maka subyek tetap akan dapat mengadakan apersepsi dirinya, sebagai suatu tenaga yang menggerakkan, yang mampu menyatakan pengaruhnya dalam menentukan suatu gerak. Dan gerak ini dapat atau tidak dapat menyebabkan suatu perubahan pada obyek yang dikenal lewat gerak pula”. Antroposentrisme melompat dari pikiran ke dalam kehendak dan tindakan. Manusia mesti berkehendak dan melakukan tindakan perubahan terhadap alam. Segala yang selain manusia tersedia untuk sebesar-besarnya kemakmuran manusia. Kemajuan dunia sudah di ambang mata.

Antroposentrisme ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah banyak penemuan-penemuan baru “tentang mengolah alam” demi kepentingan “mempermudah hidup manusia”. Ridwan al-Makassary menyebutkan: “Pemikiran pencerahan meyakinkan kita, bahwa “anggur” kebahagiaan universal dapat direguk selama nalar dan kebebasan berjuang bersama, mengikis habis kepalsuan tradisi dan “terungku” (Bugis: penjara) alam dan politik, untuk menghasilkan kemajuan (progress)”.

Ilmu pengetahuan yang semula menjadi otoritas gereja dan kerajaan, kini telah bebas dimiliki masyarakat. Modernisasi dapat dimulai. Manusia-manusia modern yang berilmu pengetahuan dan memiliki kebebasan berhak dan sanggup mengubah alam untuk kesejahteraan dan kemudahan hidup di dunia.

Terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dengan benda-benda ciptanyaan, puisi dalam antologi Arsitektur Hujan, tidak urung, juga ikut mengabarkannya. Puisi “Popok-Popok Bayi dan Botol Infus” bait kedua berikut dapat sebagai contoh: Istriku berpegang pada botol-botol infus di lengan, tabung oksigen melekat pada jam dinding. Dia susun anaknya dari kicauan burung, bentangan sawah yang turun dari langit Montong Semaye. Kita naik taksi, menjemput dokter, menjemput rumah. Makhluk-makhluk tak kukenal mulai berkeliling di sekitar telpon. AC membuat dingin dari jam-jam besuk di situ. Dan lis-rik mati, membuat malam yang lain lagi.

Benda-benda seperti botol-botol infus, tabung oksigen, taksi, telpon, AC, dan listrik tidak akan ada tanpa ilmu pengetahuan manusia. Berkat benda-benda tersebut kehidupan manusia sudah meninggalkan budaya kegelapan, yaitu ketika manusia masih mengandalkan kepercayaan terhadap metafisika. Misalnya, kisah seorang ibu yang hendak melahirkan. Dahulu kala, melahirkan bayi hanya bisa dilakukan dengan pertolongan dukun, orang yang mengandalkan jampi-jampi tradisional dan mantra-mantra mistik. Seorang dukun lebih dipercaya bukan karena jampi-jampi atau obatnya, tetapi oleh kekuatan mantra mistiknya. Sering kali, dukun memberi air putih kepada segala macam keluhan pasien. Kepercayaan terhadap dukun dapat dikatakan kepercayaan yang membabi buta. Akhirnya banyak kelahiran bayi yang gagal, angka kematian bayi sangat tinggi. Berkat adanya dokter dan obat-obatan angka kematian bayi dapat ditekan.

Di Indonesia dokter termasuk pekerjaan yang paling diminati masyarakat. Fakultas Kedokteran Unair buktinya, setiap tahun peminatnya paling tinggi dibandingkan dengan fakultas yang lain, terutama dibandingkan dengan fakultas Sastra. Apakah Indonesia benar-benar telah berjiwa Modern? Penulis tidak tahu pasti.

Dahulu kala, hanya orang-orang sakti yang bisa berhubungan jarak jauh. Konon dua orang sakti yang berbeda wilayah dapat berbincang-bincang melalui telepati—konon juga, hingga kini masih ada orang-orang sakti—tetapi dari seribu penduduk mungkin hanya ada satu orang yang dapat melakukannya. Tetapi, masyarakat tidak perlu kecewa. Berkat penemuan ilmu pengetahuan, manusia mencipta telepon, dan hanya dengan biaya murah, setiap orang dapat menghubungi orang lain yang jaraknya berjauhan. Kini di Indonesia, banyak anak-anak SD yang memanfaatkan telepon umum untuk menghubungi teman sekolahnya, mereka cukup mengeluarkan biaya seratus rupiah. Apakah mereka bisa melakukannya tanpa modernisme? Penulis kurang yakin untuk menjawab, dapat.

Satu abad setelah Rene Descartes mengeluarkan cogito ergo sum, penguasaan rasionalitas manusia di atas segalanya, dunia mengalami perubahan menakjubkan. Penguasaan manusia terhadap alam, penemu-ciptaan benda-benda, ditegaskan oleh Revolusi Industri Inggris (1750-1850) dan Revolusi Perancis (1789). Antroposentrisme semakin menemukan bentuk maksimalnya. Kemerdekaan individu dilegalkan melalui pemerintahan demokrasi. Penciptaan dan distribusi benda diberi wadah melalui kapitalisme.

Selanjutnya perlu diperiksa puisi “Dia Hanya Dada” bait ketiga berikut: Dia hanya dada yang ingin berlari dalam hujan. Belajar memberi parfum pada kenangan. Memanggil kupu-kupu plastik. Memanggil bunga plastik. Menyatakan cinta juga. Penuh ibu dan ayah mati.

Nalar manusia, yaitu logika, telah mampu menunjukkan bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Manusia dapat mengubah alam. Manusia dapat mereproduksi alam untuk, hingga, memenuhi kebutuhan kesenangan hidup. Dahulu kala, sebelum ditemukannya plastik, orang-orang perlu keluar rumah untuk dapat menikmati keindahan kupu-kupu dan bunga. Kini di dalam rumah, di kamar pribadi, di almari kaca dapat orang-orang dapat /memanggil kupu-kupu plastik/ memanggil bunga plastik/. Tentang keindahannya, tiruan alam seringkali melebihi keindahan alam. Contoh sederhana, hutan di pedalaman Tulungagung ternyata masih kalah indah dan rapi dibandingkan hutan buatan di TMII Jakarta.

Manusia telah meninggalkan Abad Pertengahan, di mana lembaga religius dan kekuasaan negara memonopoli pengetahuan. Masa silam hanyalah menjadi nostalgia yang sejuk, seperti larik puisi, /memberi parfum pada kenangan/. Begitulah kenyataan masa silam mati, seperti larik puisi, /penuh ibu dan ayah mati/. Manusia menikmati hasil kenyataan antroposentrisme, berkuasanya nalar dalam kehidupan manusia. Berkuasanya nalar di dalam sejarah alam.

Pada Abad Pertengahan, kebersamaan dalam masyarakat sangat ditekankan. Cita-cita masyarakat diarahkan kepada gemerlap kehidupan sesudah mati, kehidupan sorga. Sebaliknya bagi yang menolak, kehidupan neraka yang mengerikan telah menunggu. Pengetahuan diserukan kepada khalayak dengan kepastian-kepastian yang anti pertanyaan. Apalagi mempertanyakan. Pengetahuan hanya untuk dijalani. Pusat dari segalanya adalah lembaga agama dan kerajaan.

Puisi “Orang-Orang Jam 7 Pagi” bait kedua, kiranya, menampilkan kenyataan zaman yang berbeda: Selimut masih membayangi sebuah kota, bersama bubur ayam, mentega dalam roti, dan air mendidih di atas kompor. Sepatu mereka mulai berbunyi, menjauh dari teras rumah, bau sabun dan shampo pada rambut basah. Suara ribut di meja makan mulai berubah jadi asap knalpot. Aku adalah 3 KM yang lalu dalam bis penuh sesak, menelusuri koridor-koridor yang me nyimpan betismu, lalu menghilang di balik lift. Aih! Tak ada lagi masyarakat, pada telpon yang kau angkat.

Puisi di atas mengabarkan kemenangan antroposentrisme dalam meruntuhkan hegemoni lembaga agama dan kekuasaan kerajaan. Menurut Hikmat Budiman, tiga kata kunci manusia modern adalah kemerdekaan individu, keadilan, dan kemajuan.

Kekangan dari struktur kekuasaan—lembaga agama dan kerajaan—menggumpal-pecahkan keinginan orang-orang untuk menikmati kebebasan individu. Cita-cita terpendam yang baru terealisasi setelah Renaisance terjalani. Kenyataan antroposentrisme. Setiap orang bebas menafsirkan dirinya sendiri, seperti larik puisi /aku adalah 3 KM yang lalu dalam bis penuh sesak itu/. Masyarakat bukan lagi suatu kelompok yang homogen. Masyarakat didefinisikan kembali menjadi kumpulan individu-individu, lebih jauh lagi, telah punah konsep tentang masyarakat. Berkat privatisasi dan ilmu pengetahuan manusia dimanjakan untuk menjadi dirinya sendiri. Misal, adanya telepon membuat manusia bebas menghubungi orang lain di manapun dan dalam keadaan apapun. Orang yang dihubungi dalam telepon tidak akan pernah tahu keadaan si penelepon. Apakah sedang berpakaian merah, bersepatu merk terkenal, atau sedang telanjang bulat di atas kasur? Ada jarak lebar antara orang-orang. Seperti larik puisi /tak ada lagi masyarakat, pada telpon yang kau angkat/.

Kematian konsep masyarakat lama, sistem homogenitas tertutup, digantikan dengan konsep demokrasi. Pemerintahan yang kekuasaan tertinggi dipegang masyarakat—kumpulan individu. Pemerintah tidak bisa lagi bertindak sewenang-wenang. Pemerintah hanyalah tangan panjang dari masyarakat, dan karenanya masyarakat sewaktu-waktu dapat mengganti salah satu dari sekian individu yang dianggap mampu. Anak seorang presiden, walikota, dan jabatan-jabatan lain tidak dapat sekaligus menggantikan kedudukan orang tuanya. Jabatan pun dibatasi hanya pada bidang-bidang tertentu dan dibatasi oleh rentang waktu tertentu. Demokrasi menghormat amat tinggi pada hak-hak individu.

Dulu kala, para bangsawan dan pemuka agama menempati posisi elit. Hak sosial yang didapatkan limpah-ruah, kewajiban yang disandang hanya kecil saja. Khalayak riuh menempati posisi sebaliknya. Kemunculan Renaisance—yang menurut sebagian sejarawan berkat ditemukannya kompas, mesiu, dan mesin cetak—meratakan hirarki martabat individu dalam masyarakat. Tanda dari segalanya adalah keadilan dalam pembagian jatah alat kehidupan. Hak sama dalam menikmati hasil pengetahuan. Mencipta pengetahuan. Menolak pengetahuan. Nalar manusia, kriteria satu-satunya penerimaan alat bantu hidup.

Kondisi antroposentrisme, masing-masing manusia pusat lingkungan, menumbuhkan perlombaan penciptaan pengetahuan. Orang-orang bergairah dalam pamer kecerdasan. Penemuan suatu benda disusul dengan penemuan lebih lanjut. Benda-benda baru bermunculan layaknya hujan bulan September. Alam dirombak menurut selera (kebutuhan) manusia. Tanah-tanah baru dirambah, hutan-hutan dijadikan lahan percobaan. Berkat antroposentrisme. Manusia bebas dan sah membentuk tata alam. Kemajuan peradaban manusia pada mula antroposentrisme adalah pertumbuhan paling tinggi sejak perhitungan Masehi. Hanya kejayaan bangsa Yunani, yang mungkin, bisa menyamai.

Melengkapi klaim, antroposentrisme nalar memberi tanah lapang bagi kemajuan peradaban, puisi “Bis Membawa Mereka Pergi” bait kedua ini menarik untuk dicermati: Kota seperti etalase di huni jam weker yang buas di situ. Menangkapi ikan-ikan dari limbah industri. Lalu kami bersorak, kami bisa bekerja apa saja, mengangkat batu, memindahkan hutan dan sungai-sungai, atau mencuri. Tetapi siapakah kami, di antara siaran-siaran TV itu, menyentuh sunyi di tengah pasar.

Kabar Kenyataan Antroposentrisme Berbalik

Kenyataan antroposentrisme telah memberi tanah lapang bagi penguasaan alam, penciptaan benda-benda, dan bagi keinginan manja manusia. Apakah kenyataan antroposentrisme nalar terlaksana dengan mutlak? Menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya, puisi “Arsitektur Hotel” bait kedua berikut dikutip: Hotel mengubah orang-orang datang jadi orang-orang pergi, menyetir mobil sendiri, menyetel radio sendiri, memanggil burung-burung terbang, menghias sunyi di setiap telur. Maka, dada, kupu-kupu bersarang jadi pohon mati, burung-burung terbang jadi bukit mati. Ia bangun manusia pecah.

Sebuah hotel—sebuah lambang bagi prestasi antroposentrisme—menawarkan privatisasi individu, fasilitas mewah, glamour, martabat, dan aturan-aturan mustahil. Hotel dibikin untuk menunjukkan superioritas manusia, alam adalah alat yang dapat direkayasa dengan alasan membantu kehidupan manusia. Tetapi, bagi yang pernah menginap pasti tahu, hotel bukanlah tempat yang sembarangan. Ada aturan-aturan yang mesti ditaati, apabila seseorang tidak ingin dianggap manusia kurang beradab. Misalnya tentang membuang ludah. Masihkah bisa dibayangkan penghuni hotel meludah di lantai yang bersih dan berkilap? Suatu tindakan yang biasa bagi orang yang berumah tanpa lantai, langsung tanah, apalagi sedikit basah sebab terlalu sering kena rembesan air hujan. Masih banyak lagi aturan di dalam hotel; entah tentang pakaian makan pagi, makan siang, makan malam yang khusus, entah tentang ijin keluar masuk, pemeriksaan barang bawaan, tentang tata cara dansa, dan tentang cara menyendok makanan. Pengalaman orang desa saat pertama masuk hotel, kebingungan dalam cara memperlakukan kamar mandi bukanlah peristiwa yang asing. Memasuki hotel berarti memasuki sebuah penjara mewah, penuh sipir dan keharusan tindakan.

Hotel memiliki kebiasaan tersendiri. Hotel melambai-lambaikan fantasi- glamour justru dengan segala aturan eksotisnya. Hotel telah mencipta tradisi bagi manusia. Menciptakan format kebudayaan manusia. Jangan dibayangkan, hotel hanya menyediakan keharusan-keharusan bagi penghuni atau tamu. Pekerja, bahkan pemilik hotel pun tidak terbebas dari pusaran perintah hotel. Seseorang akan lebih memilih tidak menyewa hotel yang sama apabila sudah merasakan keburukan pelayanan pekerja hotel. Seorang pemilik hotel akan dihantui keinginan lebih memaksimalkan potensi pengembangan, lepas dari operasional pelayanan, laba rugi tahunan bukanlah persoalan yang gampang untuk ditebak. Pemilik hotel adalah orang tua bagi lebih dari seratus anak asuh, hanya uniknya, anak asuh tersebut dipungut biaya.

Di tanah Tulungagung pada tahun 1980-an, ketika lahan sawah masih dua kali lipat dibanding tahun 1990-an, pertanian adalah pekerjaan paling memabukkan. Bulan pertama pengolahan petani berangkat lepas Subuh, pulang siang untuk istirahat, kadangkala tidak pulang sebab ada yang mengantar ransum makanan, dan pulang setelah terdengar adzan Ashar. Malam-malam petani habis untuk mengisi warung-warung kopi, kadangkala disertai kelakar sambil main kartu domino. Sekitar pukul 23.00 pulang untuk persiapan kembali ke sawah esok hari. Dua bulan setelah tanam padi, petani hanya sesekali menengok sawah, selebihnya dihabiskan di rumah atau menjalani pekerjaan sambilan. Yang lebih sering, menganggur, atau mendatangi tempat-tempat perkumpulan tetangga; cangkruk. Pada bulan ke empat, pekerjaan panen bisa dimulai. Sebuah kegiatan yang, mungkin, jauh berbeda dibanding penghuni hotel yang sering sulit menentukan jadual liburan tahun.

Rasionalitas manusia yang mampu mengubah alam dan mencipta benda-benda, kiranya, justru membuat manusia asing dengan lingkungan sekitar. Puisi “Hujan di Pagi Hari” bait kedua berikut dapat menjadi kajian menarik tentang antroposentrisme yang berbalik: Semua yang dibuat, kemudian tak bisa lagi jadi penjelasan hari-hari kita. Dan membacakan lagi kisah-kisah: kita bukan pusat segala-galanya. Kita mencium bau tubuh sendiri di situ, seperti mencium bau obat-obatan. Dan mengusik lagi satu cerita: tak ada darah yang mengalir, bukan.

Puisi di atas secara jelas menyatakan, segala keberhasilan manusia dalam mengubah dunia tidak dapat menjelaskan kehidupan manusia. Pagi berangkat ke kerja, sore pulang, dan malam disibukkan dengan tugas-tugas kantor yang belum selesai. Setiap hari, tanpa kenal lelah, tanpa batas harapan, dan tanpa tahu; untuk apa? Kebahagiaan. Benda-benda tercipta teramat banyak, macam-macam kegunaannya, macam-macam permintaannya, mengurung manusia. Bukan benda meladeni manusia tetapi manusialah meladeni benda. Antroposentrisme menjadi berbalik, manusia sebagai subyek telah pecah, /kita bukan pusat segala-galanya/.

Lalu, orang-orang seperti teringatkan pada diri. Inilah yang dituliskan dalam teks puisi; /kita mencium bau tubuh sendiri di situ, seperti mencium bau obat-obatan/. Suatu ironi besar, bau obat-obatan. Bau orang sakit. Bau rumah sakit.

Setelah cita-cita modernisme bergerak berbalik, kenyataan antroposentrisme berbalik, manusia menemukan diri yang tidak sesuai dengan rencana. Justru sebaliknya. Kata kunci modernisme; individu, keadilan, dan kemajuan menjadi “omong kosong besar” tentang peradaban.

Kenyataan antroposentrisme, pada cita-cita, mendesain hidup dengan perhitungan pikiran. Ada gambaran hidup manusia ideal, dan ada gambaran hidup manusia tidak ideal. Alam sebagai “sesuatu” di luar manusia menjadi sah untuk diperlakukan demi kebutuhan merealisasikan gambaran ideal manusia. Misalnya, manusia menciptakan kendaraan untuk semakin memudahkan hidup, dalam arti, percepatan. Yang terjadi; pemilik kendaraan dihadapkan pada hari-hari merawat kendaraan, mengikuti peraturan-peraturan lalu-lintas, dan pengurusan administrasi ke kepolisian. Kerepotan yang tidak pernah ada sebelum diciptakannya kendaraan. Penciptaan kendaraan oleh manusia dibarengi oleh terciptanya aturan hidup oleh sebab kendaraan. Sesuatu yang tidak diinginkan tiba-tiba saja menyembul dan mengikat hidup manusia. Keinginan mempermudah jalan hidup ketika diterapkan, bertukar-tangkap dengan kesulitan baru yang membelenggu.

Ironi dalam puisi pun tidak berhenti pada bau obat, /tapi ada lagi darah yang mengalir, bukan/. Kondisi manusia sungguh parah. Ibarat orang sakit, darah sudah tidak mengalir lagi, berarti sudah meninggal. Manusia menurut puisi “Hujan di Pagi Hari” sudah bukan lagi manusia. Definisi bahwa yang namanya manusia adalah orang yang mampu menentukan tindakannya sendiri telah selesai. Tindakan manusia, kini, ditentukan oleh sesuatu di luar manusia.

Benda-benda menentukan dan menciptakan aturan-aturan terhadap tindakan manusia. Sigmund Freud yang membagi tindakan manusia dalam id, ego, dan superego ditolak di sini. Id di dasarkan pada kebutuhan dalam, misalnya lapar, haus, dan mempertahankan hidup, serta prinsip dominasi kesenangan. Superego didasarkan pada aturan-aturan dari lingkungan manusia, misalnya norma, undang-undang, dan keadilan. Kedua motivasi tersebut bertarung untuk menentukan ego, tindakan nyata manusia. Berdasarkan Freud tersebut, ketiga kriteria tersebut berasal dari manusia sendiri. Sedangkan menurut teks puisi di atas, id dan superego berasal dari benda-benda. Manusia menjalani hidup diatur oleh benda-benda. Tragis! Benda-benda diciptakan manusia, kini, benda-benda menciptakan manusia!

Ataukah perlu ada pendefinisian lain, terserah. Teks puisi bergerak makin jauh dalam berkisah tentang kondisi buruk manusia. Periksa bait ketiga berikut: Kita pernah membuat rumah, sebuah dunia, tetapi dengan me- rasa heran kita bertanya: Ke mana mau pulang? Segala yang bergerak diam-diam sedang mengubah dirinya sendiri, hanya untuk mengenali kembali, jalan-jalan yang pernah dilalui.

Manusia sadar akan perubahan orientasi hidup, dikisahkan, kesulitan untuk kembali pada kondisi semula, ketika belum getol mencipta benda-benda. Manusia bergerak, benda-benda pun bergerak.

Manusia, sungguh ajaib, berlomba saling pengaruh dengan benda-benda ciptaannya. Seperti seseorang yang membikin golok untuk bekal bertarung dengan musuh, tidak disangka, di tengah jalan, ternyata goloknya melompat dari tali pinggang dan menantang manusia untuk bertarung. Seseorang tersebut mungkin menyisakan penyesalan dalam tindakannya mencipta golok, dan dirinya ingin kembali pada kondisi ketika golok belum tercipta, tetapi golok telah berdiri, menghadang manusia. Sangat sulit untuk pulang. Golok—benda-benda—mesti dihadapi dalam waktu kekinian. Mungkin begitu. Mungkin juga tidak setragis itu.

Tetapi sungguh, benar adanya, manusia merasa heran dan bingung dengan terciptanya kondisi-kondisi tidak terduga dari terapan antroposentrisme. Pada mula—dalam tataran ide, pada awal modernisme—manusia menjadi pusat alam. Ketika ide diturunkan dalam kenyataan, banyak hal lain ikut menyertai, dan kerinduan pada kondisi awal adalah keinginan yang wajar. Seperti seseorang yang rindu untuk kembali ke rahim ibu. Dan bertanya; bagaimana jalan kembali? Mungkinkah terbentang jalan untuk pulang? Haruskah dicipta alat-alat—yang juga berarti benda-benda baru—untuk kendaraan pulang? Sulit untuk menjawabnya.

Puisi “Kesibukan Membakar Sampah” bait pertama berikut menyajikan keseharian yang lebih konkret: Harga cabe naik lagi, 1000 rupiah lalu. Berita-berita dari pemerintah jadi seragam penuh ancaman, bersama inflasi, dan tumpukan kredit bank. Siapa bercermin di situ, dingin dan basah, penuh nyonya-nyonya mencukur bulu kakinya di salon. Bicara nya seperti jam-jam tidurmu yang berbusa, biru kehitam-hitaman. Ini belum berselang dua gelas eskrim yang lalu: “Apakah saya harus bertanggung jawab juga pada sampah, dan mimpi buruk kebersihan umum?” Masyarakat, pada bentuk terkini, adalah kumpulan dari individu-individu. Secara personal—individu an sich—benda-benda telah sedemikian merepotkan. Secara komunal—masyarakat—muncul persoalan-persoalan keseharian dan jangka panjang yang tidak kurang merepotkan. Manusia menciptakan pasar untuk menjaga keseimbangan kepentingan, untuk keadilan pemenuhan hak atas pertukaran benda-benda. Manusia juga menciptakan pemerintahan demokrasi untuk menjaga kepentingan komunal secara legal, ditunjuk orang-orang tertentu yang berhak menentukan kebijaksanaan atas nama seluruh individu. Agar keseimbangan terjaga.

Demokrasi—pemerintahan dengan sistem perwakilan atas nama kepentingan rakyat terbanyak—diberi hak untuk menghukum, memberi penghargaan, dan mengatur kebijakan distribusi benda-benda bagi masyarakat. Atas nama kepentingan orang banyak, demokrasi sah untuk mengurung dan membunuh salah satu manusia. Puisi di atas mengisahkan pengaruh perseteruan antara demokrasi, benda-benda, dan (kumpulan) individu. Larik /berita-berita dari pemerintah jadi seragam penuh ancaman/. Kebijakan demokrasi, lembaga paling paham persoalan universal masyarakat, selalu mengutamakan kepentingan suara individu yang terbanyak. Sering kali, mungkin selalu, ada sedikit individu yang kepentingannya dikorbankan. Misalnya, banyak individu menginginkan dibangun stadion sepakbola di tengah kota. Walikota, sebab takut tidak terpilih lagi, tiada segan-segan membebaskan tanah dan rumah milik beberapa individu untuk tempat pembangunan stadion. Semakin banyak pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan akan semakin banyak individu yang dikorbankan.

Sejarah dunia ketiga, kiranya, gambaran dosa terbesar antroposentrisme yang mendasarkan diri pada nalar. Puisi “Seorang Lelaki di Benteng Fort Roterdam” bait pertama berikut membuktikan dosa tersebut: Saya temui lelaki itu, sisa-sisa tubuh sebuah koloni, di bangunan tua lantai atas, Benteng Fort Roterdam. Ia seperti hempasan ombak pantai Losari, membuat bantal tidur saya berkeringat di malam hari. Udara laut membuat sebuah lobang di pintu, lalu bercerita tentang hantu-hantu tentara berbaris di malam hari, jeritan perempuan dari sumur tua, dan biskuit di piring seketika habis dalam kerubungan semut merah. Benteng Fort Roterdam jadi bulu kudukku yang berdiri, penuh nyawa kehilangan kamar, di antara bangunan tua tempat anak-anak kursus bahasa Inggeris. Tak saya ajak lelaki itu makan nasi goreng, berderetan di pantai Losari. Untuk mengenalnya, saya harus membayangkan seorang lelaki memancang tubuhnya pada tembok-tembok Benteng Som- ba Opu, dari serangan meriam Kompeni yang mengepungnya dari laut. Saya merasa sendiri dengan sepatu buatan Jerman di kaki saya, bersama udara laut yang tak henti mengirim garam-garam halus di bibir saya. Kisah itu membuat batu berjatuhan pada kalimat-kalimatnya, keras, urat di tangan menutup malam. Barat berkat kompas dan mesiu berkeliling benua-benua lain. Ke seluruh muka bumi, dan mendapatkan, ada masyarakat yang masih terbelakang. Termasuk di dalamnya, kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara—kini bernama bangsa Indonesia. Mengingatkan Barat dengan Abad Pertengahan yang baru saja ditinggalkan. Barat merasa wajib untuk mengkabarkan dan menerapkan modernisme ke benua-benua lain. Sekaligus, keinginan untuk berdagang.

Tetapi, benua-benua lain menerima modernisasi Barat sebagai penjajahan. Barat terlalu kencang menerapkan modernisme atau humanisme sehingga diperlukan kontak senjata dengan masyarakat pribumi. Bangsa Indonesia merasannya proyek besar tersebut selama 3,5 abad. Bangsa Indonesia, wakil bangsa-bangsa lain yang terjajah, beratus-ratus tahun terinjak identitasnya, terkoyak alamnya, dan terhina sebagai bangsa yang tidak merdeka.

Sisa-sisa penjajahan itu, hingga kini, masih tebal pengaruhnya. Mental terjajah masih membayangi setiap perhubungan dengan bangsa-bangsa Barat. Trauma terhadap penjajahan bentuk baru selalu menghantui. Yang paling kentara, kekayaan alam dan kecerdasan pemikiran bangsa Indonesia—dan bangsa-bangsa lain di dunia ketiga—telah terkuras. Masyarakat hidup dengan pikiran bodoh dan skeptis dalam zaman penuh keriuhan benda-benda.



Kabar Kenyataan Antoposentrisme Glokal

Kenyataan antroposentrisme, penguasaan manusia terhadap alam, menyebabkan manusia justru kehilangan banyak hal. Manusia pun kian sadar akan ketidak-mungkinan menerapkan satu nilai universal dalam hidup. Manifesto Surealis dari Andre Breton mungkin lebih manusiawi dibanding doktrin-doktrin tunggal yang mengatas namakan humanisme. Dalam satu ruang, sulit untuk dipaksakan hanya ada satu logika. Sejarah peradaban dunia adalah sejarah yang carut marut.

Pluralitas dan kerja sama dengan alam mutlak dilestarikan. Muncullah wacana postmodernisme. Wacana yang menolak untuk bergerak dalam narasi-narasi besar. Wacana yang menolak untuk didefinisikan. Postmodernisme hanya dapat dikenali melalui sifat-sifatnya; berubah, berkembang biak, dan anti sosial. Bagaimana mungkin postmodernisme dapat dipatenkan ketika yang dijadikan bentuk adalah perubahan. Memang ada ketakutan terhadap konsep-konsep. Sejarah memberi pelajaran berharga tentang niat buruk setiap konsep.

Narasi-narasi kecil menjadi pilihan. Puisi “24 Jam Siaran dalam Mobil” bait pertama dapat menjadi kajian: Truk-truk peti kemas melintasi rumahmu. Suara klaksonnya menjeritkan lemari es, toilet di tengah malam, dan sebatang tusuk gigi yang patah. Orang-orang membakar jagung, daun kering, dan bungkusan plastik. Seperti kenangan buruk yang mem- bangunkanmu, dan meletakkanmu pada rasa getir. Deretan ru- mah jadi peti-peti sabun di situ, tak ada lagi memberi arti pada tidurmu. Lalu kau lempar seekor sapi dari tanki bensin. Piring-piring pecah menyusun tubuhmu kembali, tak sedih—hidup tinggal siaran radio. Maka ini batu untukmu, cuma sebentar, memadamkan lampu jalan itu.

Teks puisi di atas dibangun melalui kisah-kisah kecil. Kisah-kisah yang sering diacuhkan perbincangan khalayak. Kisah yang sering tidak disentuh puisi modern.

Larik-larik seperti /truk-truk peti kemas melintasi rumahmu/ suara klaksonnya menjeritkan lemari es, toilet di tengah malam, dan tusuk gigi yang patah/ lalu kau lempar seekor sapi dari tanki bensin/ bukan ilustrasi kejadian-kejadian besar. Kejadian tersebut merupakan pengalaman yang subyektif, tidak semua orang mengalami. Mungkin hanya pengalaman satu orang. Semacam ilustrasi kejadian yang kisahkan puisi bentuk haiku. Hanya landscape. Kejadian sekilas. Puisi di atas dapat digolongkan sebagai kumpulan puisi haiku. Kumpulan landscape.

Antroposentrisme dicoba diraih kembali melalui peristiwa-peristiwa remeh. Peristiwa-peristiwa keseharian yang sering dilupakan orang. Ketika seseorang menyadari keseharian, merasakan setiap gerak, yang mungkin dianggap kurang berguna; di situlah seseorang akan menemukan dirinya bermakna. Ketika hal-hal kecil diakui sama penting dengan hal-hal besar, seseorang menemukan dirinya lebih berarti.

Modernisme membuat orang begitu kencang meraih kemajuan. Penciptaan benda-benda baru, lebih baru, dan semakin baru mengakibatkan pengurasan besar-besaran terhadap alam. Kerusakan ekologi terjadi, industri besar selalu meninggalkan tanah-tanah tandus dan bencana alam. Manusia justru terancam oleh ulahnya sendiri. Modernisme telah menghabiskan waktu dan tenaga untuk kisah-kisah besar. Kini tumbuh pemikran postmodernisme, tindakan yang menghormati narasi-narasi kecil. Puisi “24 Jam Siaran dalam Mobil” di atas merupakan contoh narasi kecil tersebut.

Kabar mengharukan sekaligus harapan terkini datang bagi “orang-orang lain”. Modernisme berhasil menciptakan konsep realitas ideal, manusia super, dan sistem demokrasi. Penerapan konsep modernisme membawa pengaruh tersingkirnya realitas non ideal, manusia cacat, dan suara-suara minoritas. Puisi “Buku Harian dari Gurindam Duabelas” bait pertama berikutlah kabar bagus tersebut: Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam. “Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga. Tetapi seseorang mencari hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku hingga Senggigi. 150 Tahun kematian Friedrich Hoderlin, jadi penyair lagi di situ, hanya untuk menjaga cinta. Gerimis membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma, dan kenangan di jendela: Siti berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, appel, dan kecapi juga.

Teks puisi di atas bertaburan dengan tanda-tanda. Berbagai tanda dari lingkungan berbeda di campura-adukan dalam satu wadah, puisi. Kau, Siak, Raja Ali, Islam, nabi, sutra, elektronik, Piz Gloria, kubah-kubah, Senggigi, 150, kematian, Friedrich Holderlin, penyair, cinta, gerimis, kota-kota, palma, kenangan, Siti, menyapu, buah mangga, appel, dan kecapi juga. Tanda-tanda remeh bersanding-jajar dengan tanda-tanda tinggi. Jauh jarak pun ditebas, benda-benda dan orang-orang dari daerah sangat jauh dipertemukan dalam satu teks. Kesemuanya diperlakukan sama, sebagai tanda.

Sejarah dunia, menurut banyak orang adalah sejarah Barat. Wilayah lain yang bukan Barat tidak diakui sebagai sejarah. Dunia ketiga, termasuk Indonesia, telah dikutuk oleh pencipta sejarah sebagai “masyarakat tanpa identitas”. Dan karenanya, masyarakat yang tidak layak ditulis. Sejarah dunia adalah sejarah pemikiran, dan tragisnya, hampir seluruh pemikiran berasal dari Barat. Itu kenyataan.

Modernisme, dalam hal ini Barat, datang ke benua-benua lain dan melakukan penjajahan. Apakah pada saat itu Barat merasa bersalah? Penulis kurang punya alasan untuk menjawab benar. Barat mengunjungi dunia lain, melihat dengan mata kepala sendiri; “masyarakat benua lain ternyata belum beradap”. Penjajahan pada mulanya adalah proyek peradabanisasi dunia. Posisi saat itu, penjajahan = humanisasi. Ternyata, proyek Barat tersebut gagal.

Tercipta kelas-kelas dalam dunia. Pemikiran terkini, postmodernisme, menyadari kesalahan “humanisasi”. Sebagai pengganti, postmodernisme melebar ke hampir seluruh penjuru dunia sebagai realitas-realitas kerdil. Postmodernisme mengakui keberadaan orang-orang cacat. Pada wadah postmodernisme, orang-orang cacat dikategorikan sama dengan orang-orang tidak cacat. Sehingga, tidak ada kategori, tidak ada orang-orang yang tidak cacat. Semua orang cacat sekaligus semua orang tidak cacat. Kenyataan antroposentrisme punah, dan itu lebih baik, sebab tidak dibutuhkan manusia.

Penyusunan sejarah dunia tidak lagi berpusat pada Barat, penyusunan sejarah dunia juga menyertakan dunia Timur, Selatan, dan juga Utara. Edward W. Said telah memulai pekerjaan tersebut. Mendasarkan diri pada karya sastra prosa, peradaban dunia disusun dengan melibatkan kejadian-kejadian di berbagai benua. Bahkan juga dibuktikan, kesuksesan modernisme Barat berhutang pengetahuan kepada dunia Timur. Orang-orang Islam di Timurlah yang menyelamatkan dan menyalin naskah-naskah Yunani. Barat, menurut Edward, perlu belajar banyak kepada pengetahuan dari benua lain, sama seperti yang dilakukan dunia lain kepada Barat. Penyusunan pun didasarkan pada narasi kecil dan sesuatu yang dianggap menyimpang dari rasionalitas. Tulis Edward: “Metode saya adalah memusatkan perhatian sebanyak mungkin pada karya-karya individual, membaca mereka pertama-tama sebagai produk-produk hebat dari imajinasi kreatif atau interpretatif, dan kemudian menunjukkan mereka sebagai bagian dari hubungan antara kebudayaan dan imperium. Saya tidak percaya bahwa para pengarang secara mekanis dibatasi oleh ideologi, kelas, atau sejarah ekonomi”.

Antar kebudayaan bergerak dengan posisi berdiri sejajar. Tidak dengan motivasi menyebarkan satu gagasan tentang dunia, semua dilakukan dengan motivasi saling memberi dan menerima. Pertemuan dua atau lebih kebudayaan adalah dialog yang saling melengkapi dan mendewasakan. Dialog jugalah yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan hibrida, sebuah kebudayaan campuran.

Postmodernisme, pada dampaknya dapat dikategorikan gerakan dahsyat, membunyikan lonceng bagi kebangkrutan arogansi rasionalitas. Lonceng kematian bagi yang menganggap adanya kesesatan logika. Puisi “Saya Menyetrika Pakaian” bait pertama berikut memberi ilustrasi menakjubkan: Dia adalah deru kereta…. Seorang wanita Indonesia di Bern, membuat bahasa aneh, dari jaket kulit dan pembebasan visa: Suami saya seorang Itali. Tetapi saya dari Gunung Kidul.” Di sungai Melezza, batu-batu berkaca menghanyutkan kembali lukisan-lukisan Bacon, jadi bangkai-bangkai rumah Abad 20. Rasialisme telah tertanam dalam warna kulitku. Dia adalah sapi dan sepeda, di antara gereja, cafe, dan batang-bantang rel kereta.

Puisi yang ilustrasinya carut-marut. Seorang wanita yang dijuluki sebagai deru kereta. Seorang wanita yang mengantongi beragam identitas. Dia adalah sapi dan sepeda, di antara gereja, cafe, dan batang-batang rel kereta.

Orang Indonesia, khususnya Jawa, tahu Gunung Kidul adalah wilayah gersang yang sering kekurangan pangan. Bern, kota di Jerman yang termasuk metropolis besar. Kondisi sosial ekonomi kedua tempat tersebut amat berbeda. Sedangkan Itali, negara yang di dalamnya terdapat Vatikan, pusat agama Katolik. Ketiga nama tempat tersebut, yang juga menunjuk pada identitas, menggumpal di diri satu tokoh wanita. Apakah ini contoh seorang yang ada di dunia terkini?

Zaman sebelum Renaisance, dunia hidup dalam lokalisasi. Belum ada perhubungan antar benua. Indonesia—dulu Nusantara—adalah contoh menarik untuk lokalisasi, ada ratusan suku yang hidup perilaku berbeda dan berbahasa dengan bahasa yang berbeda. Masing-masing kebudayaan bergerak sendiri. Sesudah Renaisance, dunia hidup dalam globalisasi. Perhubungan antar benua dimungkinkan. Ada keinginginan menyatukan visi dunia, LBB dan PBB misalnya. Barat sebagai pusat segalanya.

Dan kini, sebuah puisi menyajikan seorang wanita dengan beragam atribut kebudayaan. Berbagai kontradiksi nilai di sandang. Aneka bahasa dapat diucap. Glokalisasi. Globalisasi sekaligus lokalisasi. Hasilnya, /membuat bahasa aneh/ dan /pembebasan visa/.

Pembebasan Visa merupakan simbol lunturnya batas-batas negara. Seseorang bisa masuk ke mana pun negara. Dunia dengan aneka negara layaknya desa dengan macam-macam rumah. Mc Luhan menyebutnya “global village” desa global.

Membuat bahasa aneh bisa diartikan tumbuhnya kebudayaan hibrida. Percampuran berbagai kebudayaan yang akhirnya membentuk sebuah kebudayaan baru. Pada tataran individu, berbagai atribut identitas melahirkan identitas baru. Manusia hibrida. Manusia pewaris sah kebudayaan dunia sekaligus pemilik resmi kebudayaan daerah.

Puisi di atas menyebut nama Bacon. Sejarah filsafat mencatat nama Roger Bacon, seorang ilmuwan Inggris pada Abad Pertengahan yang merintis pentingnya data-data empiris. Dua abad sesudahnya, muncul Francis Bacon, ilmuwan Inggris yang menegas-barukan empiris sebagai dasar filsafat ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kedua pemikir tersebut berjasa besar dalam membentuk manusia rasionalis dan termasuk yang memberi jalan bagi penguasaan manusia terhadap alam. Tragisnya, pada puisi disebutkan /menghanyutkan kembali lukisan-lukisan Bacon/. Kalimat yang mengindikasikan penolakan terhadap arogansi rasionalitas.

Tokoh dari gerak penolakan tersebut, dalam puisi di atas, adalah seorang perempuan. Puisi yang menyepakati gerakan feminisme, gerakan yang mengusahakan perlakuan sama antara laki-laki dan perempuan. Sebuah gerakan yang termasuk ciri khas postmodernisme. Dalam realitas, feminisme sedang dalam perjuangan. Dalam puisi “Saya Menyetrika Pakaian”, feminisme telah jadi keanyataan.

Mengakhiri pembahasan tentang antroposentrisme glokal, puisi “Fotocopy Orang Ramai” bait terakhir berikut dapat dijadikan renungan menarik: Saya orang ramai yang ditulis oleh peristiwa di situ, telah jadi bahasa yang menafsirkan dirinya kembali, ketika jalan raya menjemputnya pergi.

Manusia menemukan antroposentrisme dalam bentuk yang berbeda, antroposentrisme glokal. Orang ramai yang menafsirkan dirinya kembali.

Kabar Kenyataan Tanpa Antroposentrisme

Puisi-puisi dalam antologi Arsitektur Hujan bersepakat dengan gejolak postmodernisme. Apakah persoalan telah terselesaikan? Mungkin, dunia akan tamat bila persoalan telah selesai.

Inilah kutipan puisi “Mitos-mitos Kecemasan”: Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat-saat kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini. Burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling kota.

Ini bukan hanya kecemasan orang-orang dunia ketiga. Kenangan buruk terhadap senjata merupakan perasaan universal. Nyatanya, setiap negara masih memperhebat tentaranya dengan latihan-latihan berat dan dipersenjatai dengan alat-alat yang makin canggih; untuk membinasakan manusia lain.

Apakah setelah membikin senjata tidak ada keinginan mempergunakan senjata? Apabila jawabannya tidak, mungkin senjata tidak perlu dipercanggih. Sebuah ketidakmungkinan, perlombaan pencanggihan senjata hanya untuk memenuhi gengsi suatu negara. Perang masih terus membayangi setiap orang yang hidup di suatu negara yang memiliki tentara dan senjata. Padahal, setiap orang bernegara.

Manusia memang suatu kontradiksi yang kurang menarik. Manusia cemas terhadap tindakan menghilangkan nyawa dirinya. Manusia juga bahagia dengan prestasi negaranya dalam membinasakan manusia lain. Perayaan kemerdekaan setiap tahun adalah kenangan terhadap keberhasilan melenyapkan manusia lain yang dianggap musuh.

Puisi di atas mengabarkan orang-orang yang senantiasa cemas terhadap datangnya maut pada dirinya, pada saudara-saudaranya, pada tetangga-tetangganya, /seperti tak ada, yang bisa disapa lagi esok pagi/. Perang masih mengancam. Perang masih terjadi.

Tentang ilmu pengetahuan, puisi “Siti Nurbaya Berlari-lari” bait terakhir berikut memberi kesimpulan: Siti, ilmu pengetahuan itu, seperti novel penuh batu, dia yang tak ada, dan semangka.

Novel adalah rekaman realitas hidup manusia. Puisi di atas menciptakan realitas yang penuh batu, benda yang amat keras. Berarti, ilmu pengetahuan membuat hidup manusia semakin sulit, semakin keras. Yang paling mengerikan, /dia yang tak ada/, manusia telah hilang dalam perjalanan ilmu pengetahuan. Manusia hanyalah substansi ilmu pengetahuan. Subyek ditempati pengetahuan sendiri. Padahal, ilmu pengetahuan sangat rentan layaknya /semangka/.

Antroposentrisme seperti yang dikonsepkan modernisme telah tiada. Manusia turut tiada. Sebagai kabar terakhir, inilah sedikit kutipan tentang “manusia” dari tiap-tiap puisi -berjumlah 53- dalam antologi Arsitektur Hujan:

1. Kutipan dari Sub bab “Narasi dari Semangka dan Sepatu”, 25 puisi;

- dia yang tak ada – menghuni ruang tamu tak terjaga – sepatuku goyah di situ – membuat ia menangis ketika aku mati – kau seperti mayat berhianat pada kematian – pikiran jadi benda-benda di situ – aku gemetar oleh makhluk baru – sekarang tak akau kenali lagi dia – kita minum orange juice tanpa masa lalu di situ – rasialisme telah tertanam dalam warna kulitku – tetapi tanganmu tua gemetar – aku tersedu – dan aku berlari-lari – tapi kaos kakiku tak cukup menahan dingin – 24 jam menyusun tubuhmu dari bau plastik terbakar – tetapi seseorang berlari dari pipa-pipa air, membuat anatomi kebencian jadi seni rupa – manusia mungkin tinggal impian dalam puisi – memerankan Hamlet yang terusir – istriku berpegang pada botol-botol infus di lengan – kita adalah kegugupan bersama – mengucur hingga tempat tidur ibumu – aku lihat kakiku mulai berubah, jadi bola-bola api – sisa-sisa mie goreng seperti serakan orang bunuh diri – suaranya melengking seperti asbak pecah – di mana kau dilempar -

2. Kutipan dari sub bab “Yang Berdiam Dalam Mikropon”, 11 puisi;

- keabadian telah menghina kematianku – lututku bergetar, berbau sungai meluap – juga suaramu yang berjatuhan seperti batu – dunia wanita dan lelaki itu, mengenakan kacamata hitam – setiap ucapan seperti menyimpan gelas tumpah di situ – tidak ada siapa-siapa di sini – setelah itu mereka tak pernah kembali lagi – tetapi kini aku melayang, tanpa alamat – menggali kubur untuk ayahnya – ayah tak bisa lagi merasakan garam – riwayat hidupmu dibaca lagi, penuh kawat berduri -

3. Kutipan dari sub bab “Mitos-mitos Kecemasan”, 12 puisi;

- di situ kami meranggas – kami menetes pada setiap impian jadi manusia – kami ingin tahu dimana anak-anak kami dilebur jadi bensin – dan orang-orang mati baca puisi di rumah-rumah sakit – tubuhmu keramaian pasar gadisku – saya tercekik – saya orang ramai yang ditulis oleh peristiwa di situ – kita bukan pusat segala-galanya – karena setiap 15 menit orang jadi karikatur – saya merasa tak pernah lepas dari makhluk asing itu – ia datang padamu seperti gagasan, bahwa semua akan mati – bicara lagi kucing-kucingku… pisau -

4. Kutipan dari sub bab “Membaca Kembali Dada”, 5 puisi;

- penuh ibu dan ayah mati – aku bermimpi aku jadi manusia – saya sedang bunuh diri sebentar – beri aku orang – tak ada lagi, berita manusia -

Awal masa Renaisance begitu yakin bahwa berkat rasionalitas manusia menjadi pusat alam. Antroposentrisme. Kenyataannya, manusia terjebak pada penerapan antroposentrisme. Antroposentrisme bermetamorfosis dan manusia terjebak di dalam pusarannya. Antroposentrisme meliuk-liuk seperti gelombang laut lalu memudar. Itulah kabar antroposentrisme berbelah.

Kini, menurut puisi-puisi dalam antologi Arsitektur Hujan karya Afrizal Malna, keberadaan manusia tengah tercabik-cabik oleh gelombang antroposentrisme. Dan, benda-benda makin merdeka.

–––––––, Waru Kabupaten Sidoarjo
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/16/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir