Sabtu, 21 Januari 2012

KIBAR BENDERA SI SARTO DI HALAMAN RUMAH

Karya: Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Para Tokoh;

Sartib, lelaki kampung yang berusia 40-an. Hari-harinya dirundung sedih karena belum genap seratus harinya ditinngal istri tercintanya.

Sarto, Bocah laki-laki berusia belasan tahun. Ia bisu dan kurang normal pikiranya, tapi ia punya semangat hidup yang tinggi.

Mbok Sumi, Perempuan Tua yang masih lantang bicaranya. Ia adalah tetangga yang sangat perhatian. Namun sangat cerewet.

Marjo, Pemuda penjual bendera

Kepala Desa, sesusia dengan Sartib. Ia suka main perempuan dan sok berwibawa. Sangat otoriter.

ADEGAN I

Seorang bocah laki-laki bisu berdiri di bawah tiang bendera. Ia memegangi talinya sambil menaikkan bendera merah putih yang sudah sobek-sobek. Ia tarik pelan sambil menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.
Dalam nyanyian yang hikmat, seorang lelaki dewasa berteriak memanggil bocah yang sedang khusuk bernyanyi. Lelaki yang memanggil itu adalah Sartib, ayah dari si bocah bisu itu.

Sartib : Sarto!
Sarto : (sedang khusuk bernyanyi)
Sartib : Sarto! Bapak minta mantuan!
Sarto : (terus menarik tali, menaikkan benderah merah putih)
Sartib : Sarto, sedang apa kamu?
Sarto : (terus saja ia pandangi benderanya yang sudah naik di atas setengah tiang)
Sartib : (lebih keras suaranya) Kenapa kamu tidak mengindahkan panggilan bapakmu sama sekali, apa kamu sudah budek?
Sarto : (tetap hikmat menyanyikan lagu Indonesia Raya)

Sartib keluar dari rumah, melihat apa yang sedang dilakukan anaknya. Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu berusaha bersabar menunggu anaknya menyelesaikan bait terakhir lagu “Indonesia Raya”.
Usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, Sarto kemudian berlagak seperti komandan upacara untuk menghadap dan hormat pada ayahnya yang ia perlakukan sebagai Instruktur Upacara.

Sartib : Sarto, sarto ………… ya sudah bubarkan!
Sarto : (menggelengkan kepala)
Sartib : Sarto, komandan upacara, bubarkan, upacara telah selesai!
Sarto : (menggelengkan kepala)
Sartib : Upacara hari ini sudah bisa dibubarkan, tidak ada amanat dari instruktur
upacara. Ayo bubarkan!
Sarto : (menggelengkan kepala)

Sarto berlarian masuk rumah dan keluar dengan membawa sobekan kardus, ia berjalan tegap seakan membawa map yang berisi teks Proklamasi.

Sartib : Apa yang harus bapakmu lakukan, Sarto?
Sarto : (menggerakkan tangannya untuk meminta membaca teks Proklamasi dengan mengangkat tangannya seakan meneriakkan “merdeka”)
Sartib : Sarto, semuanya kita anggap ‘pre-memori’ ya
Sarto : (terus memaksa untuk membacakan teks Proklamasi dengan mengangkat tangannya”Merdeka”)
Sartib : Ya, pembacaan Proklamasi pre-memori. Ini kan masih latihan. 17 Agustus kan masih beberapa hari lagi.
Sarto : (mengangkat tangannya berulangkali)
Sartib : Ya, nanti anakku, kalau tanggal 17 Agustus kita akan mengadakan upacara di halaman rumah ini. Kita akan mengundang semua teman-temanmu, paman, bibi, semua sanak kita, dan tidak lupa para tetangga.
Sarto : ( terus memaksa bapaknya untuk membacakan teks Proklamasi)
Sartib : (Dengan suara membujuk) Anakku Sarto, upacara kemerdekaan itu harus dilaksanakan dengan banyak orang, tidak cukup hanya berdua. Ada komandan upacara, ada pengibar bendera, ada pembina upacara, ada pembaca teks Proklamasi. Ada pembaca do’a dan puluhan peserta upacara. Kalau upacara itu hanya kita lakukan berdua, akan ditertawakan oleh orang-orang yang lalu lalang di depan rumah kita. Mereka menganggap kita gila anakku, kamu Sarto dan bapakmu ini akan jadi omongan orang, bahwa anak dan bapaknya sama-sama gilanya.

Lagu Indonesia Raya mengalun.
Sarto mulai murung. Ia berjalan meninggalkan bapaknya. Ia sangat kecewa dengan perlakuan bapaknya yang tidak mau di ajak upacara.

Sartib : Sarto, kamu mau kemana? Jangan pergi, bapak masih butuh bantuanmu. Sarto, belikan bapak rokok, ada kembaliannya buat kamu.

Sarto langsung bergegas memenuhi panggilan bapaknya. Ia sangat girang.

Sartib : Ini uangnya, buat belikan rokok dua batang, sisanya buat kamu. (tersenyum merasa senang) Ya gitu, kamu harus riang. Besok kalau 17 Agustus kita akan adakan upacara di depan rumah . Bendera putihnya tidak sobek seperti milik kamu itu, kalau bapak punya uang kita ganti dengan yang baru. (bersemangat) Bendera si Sarto akan berkibar di halaman rumah.

Sarto bergegas pergi, ia berlari sambil menyanyikan bait terakhir lagu Indonesia Raya berulang-ulang.

ADEGAN II

Syair-syair lagu Indonesia Raya, berkumandang keras dalam degup jantung Sartib yang menunggu anaknya si Sarto yang belum juga datang. Pikiran Sartib berkecamuk antara keinginan merokok dan keinginan anaknya untuk melakukan upacara. Sartib meminum kopi untuk membuang pikiranya yang ruwet..
Tiba-tiba seorang peremupuan tua berlarian memanggil-manggil Sartib. Ia adalah mbok Sumi.

Mbok Sumi : Sartib, Sartib gak waras kamu ya, kamu tega dengan anak kamu sendiri. Ternyata kamu lebih sakit daripada anakmu. Sarto walaupun begitu, ia masih anakmu, Sartib!
Sartib : Ada apa mbok Sumi? Apa salah anak saya?
Mbok Sumi : Bukan salah anak kamu, tapi kamu yang salah.
Sartib : Apa yang di lakukan Sarto mbok, apa?
Mbok Sumi : Sartib, Sartib……. kamu bener-bener keterlaluan, kamu tidak bisa menjaga amanat bojomu, gak bisa jaga amanate Karti, Ibunya si Sarto.
Sartib : Mbok Sumi, jangan membawa-bawa nama almarhumah Karti, istriku. Biarkan ia tenang di sisi Tuhan.
Mbok Sumi : Belum genap seratus harinya. Istrimu meninggal. Kamu sudah lupa dengan amanatnya. Istrimu semakin tidak tenang karena kamu tidak bisa menjaga Sarto anaknya.
Sartib : Mbok Sumi……

Seorang laki-laki menggendong bocah yang diselimuti dengan bendera merah putih. Ia adalah si Sarto. Bocah itu ditidurkan di atas amben bambu. Sartib berusaha membantunya. Sartib membuka pelan bendera yang menutupi wajah anaknya.

Karjo : Sudah sabar ya, Gus. Sudah waktunya.
Sartib : Apa yang terjadi dengan anak saya, Mas?
Karjo : Usai membayarkan uangnya pada saya untuk membeli bendera baru itu. Ia bergegas membuka lipatan bendera. Saking gembiranya, ia kibarkan bendera merah putih itu sambil berlarian. Ia tidak melihat kanan kiri langsung berlari menyebrang jalan. Ia kecelakaan, ia ketabrak sepeda motor.
Sartib : Tidak terjadi apa-apa kan dengan dia. Dia hanya ingin tidur kan?
Karjo : Dia sudah meninggal, Gus.
Mbok Sumi : (tangisan mbok Sumi langsung pecah dan menghamburkan tubuhnya merangkul Sarto) Innalillahi, Sarto. Kenapa secepat ini. Kenapa kamu cepat ingin bertemu makmu, le?
Sartib : maksudnya?
Karjo : Ia sudah meninggal dunia, Gus Sarto
Sartib : (menangis histeris) Tidaaaak… tidak anakku Sarto, jangan tinggalkan bapakmu. Sarto ayo bangun, ya bapak mau sekarang, kita akan mengadakan upacara kemerdekaan. Bangun sarto, bapak akan membacakan Proklamasi. Ayo sarto, percayalah pada Bapak akan membacakan Proklamasi. Sarto bangun anakku. Ayo kita melaksanakan upacara bendera. Bangun Sarto…….! (menempelkan pipinya pada telinga anaknya, sambil menangis ia mengucapkan Proklamasi) Sarto anakku…. Karti, maafkan aku yang tidak bisa menjaga anak kita. Maafkan aku Karti….
!
Back soud lagu Indonesia Raya mengiringi kepergian Sarto. Lampu fade out dan panggung menjadi gelap.

ADEGAN III

Lagu Indonesia Raya mengibarkan semangat Sartib untuk bersiap mendatangi Pak Kades di Balai Desa. Ia memakai sarung dan pecinya, dan langsung bergegas berangkat.
Sartib : Assalamualaikum, selamat pagi Pak Kades!
Kades : Pagi, Sartib. Ada apa kok pagi-pagi betul datang ke Balai Desa?
Sartib : Ya ada perlu, Pak Kades
Kades : Ya perlu apa? Mau menikah kamu Tib? Ya sukur. Tapi ya nggak pantes kalau secepat ini kamu mau menikah lagi. Belum genap saratus harinya Surti istrimu meninggal, anakmu yo baru kemarin meninggal. Kalau kamu mau cepat-cepat menikah yo nggak baik. Sabar duluh, tunggu sekitar satu tahun lagi. Kalau benar-benar nggak kuat ya paling tidak setenga tahun lagi la. Ngomong-ngomong mau menikah sama siapa sih?
Sartib : tidak, pak Kades
Kades : Sartib-Sartib, kamu ini seperti anak remaja yang lagi pertama jatuh cinta, pakai malu-malu segala. Perempuan mana, masih perawan atau sudah janda?
Sartib : Tidak pak Kades
Kades : Kita ini sudah berumur, Sartib, sudah makan asam garam persoalan perempuan, persoalan rumah tangga. Kamu kok pakai rahasia segala. Sungguh tidak akan saya sampaikan sama siapa-siapa.
Sartib : Tidak pak
Kades : Sartib, kalau aku tahu dan kenal perempuan itu. Aku kan akan bisa melindungi. Selaku Kepala Desa aku akan mengayomi. Maksud aku, kalau ada laki-laki yang menggoda perempuan calonmu itu, aku kan bisa ngomong kalau perempuan itu tidak boleh digoda karena bakal calonmu.
Sartib : Maaf, pak kades…
Kades : Oh, kamu takut sama saya. Takut kalau calon perempuanmu itu akan aku goda. Maaf Sartib. Selera aku dengan selera kamu jauh berbeda. Selera aku itu perempuan yang suka pakai lipstik, merah warnanya. Sartib sartib…..
Sartib : Maaf, pak kades. Maksud kedatangan saya ke sini bukan mau melapor kalau saya mau menikah.
Kades : Terus untuk apa?
Sartib : hari ini kan tujuh harinya anak saya, Si Sarto
Kades : Lha urusan tahlilan saja kok kamu laporkan ke kantor desa
Sartib : Bukan tahlilannya pak kades
Kades : Terus apa?
Sartib : Hutang saya pada sarto anak saya
Kades : Hutang apa itu?
Sartib : Saya berhutang mau ngadakan upacara bendera di halaman rumah saya, Pak Kades.
Kades : Apa, upacara bendera di halaman rumah kamu?
Sartib : Ya pak.
Kades : Terus sama siapa kamu akan mengadakan?
Sartib : Sama para tetangga. Dan saya berharap pak kades datang sebagai instruktur upacara untuk menyampaikan amanat.
Kades : Kamu tahu sejarah nggak, kenapa upacara bendera itu diadakan?
Sartib : Tidak banyak pak. Setahu saya ya untuk memperingati kejadian pada tanggal 17 agustus sebagai hari kemerdekaan kita. Bendera merah putih dikibarkan dan teks proklamasi dibacakan oleh Bung Karno. 17 agustus adalah pintu gerbang kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merdeka, berkarya dan membangun.
Kades : Hanya itu?
Sartib : ya hanya itu pak, maklum tidak pernah makan bangku sekolah, Pak.
Kades : Kamu pernah lihat tidak upacara itu dihadiri tukang ngarit, tukang angon, tukang matun. Ya pokoknya orang-orang seperti yu ton, mbok sumi, Kang gus marjo tetangga kamu itu. Dengan memakai sewek dan kudung umbrut-umbrut gitu?
Sartib : Belum pak
Kades : Kamu pernah tahu tidak upacara bendera merah putih itu diadakan di depan Rumah?
Sartib : Belum pak
Kades : Begini Kang Gus sartib. Para pahlawan kita itu tidak main-main memperjuangkan kemerdekaan. Ia mengorbankan segala yang dimilikinya termasuk nyawanya. Kita sebagai warga negara yang baik, sebagai generasi perjuangan haruslah bisa merayakan dengan penuh hikmat.
Sartib : Saya serius pak Kades. Sungguh saya tidak main-main
Kades : kalau upacaranya di halaman depan rumah sampean dan yang hadir itu tetangga-tetangga sampean ya itu namanya main-main, Gus
Sartib : Tidak Pak, sungguh saya tidak main-main, saya serius ingin mengadakan upacara bendera, saya ingin menghormati anak saya yang sangat menghormati pahlawan yang memperjuangkannya.
Kades : Kalau ada upacara di laksanakan di halaman rumah dan diikuti oleh para tetangga itu namanya main-main, Gus. Upacara itu di laksanakan di halaman sekolah, di halaman kantor pemerintah, di alun-alun. Dan yang hadir adalah para pegawai pemerintah dan anak-anak sekolah.
Sartib : tapi kami akan melaksanakan dengan serius, pak Kades
Kades : Kalau kamu dan para tetangga yang melaksanakan. Itu namanya mempermainkan
Sartib : Sungguh Pak Kades, saya tidak main-main. Dengan tulus saya ingin mengadakan upacara untuk menghormati anak saya yang menghormati para pahlawannya.
Kades : (membentak) Tidak, tidak ada upacara di depan halaman rumah kamu!
Sartib : kenapa tidak boleh, pak Kades?
Kades : Karena kamu yang melaksanakan.
Sartib : Kenapa kalau saya yang melaksanakan tidak diperbolehkan, padahal saya sunguh-sungguh ingin melaksanakan. Saya ingin menghormati anak saya yang sungguh-sungguh menghormati para pahlawan.
Kades : Tidak! Pak sartib, saya tidak bisa membayangkan buah bibir warga, orang-orang kampung sebelah kalau upacara itu dilaksanakan.
Sartib : Kenapa, Pak Kades?
Kades : Mereka akan mentertawakan kita. Mereka akan menganggap kita gila.
Sartib : Kenapa mereka menganggap kita gila, Pak Kades?
Kades : Karena mengadakan Upacara memperingati kematiannya orang yang tidak normal alias gila.
Sartib : Siapa yang tidak waras pak Kades, anak saya atau para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan kita itu?
Kades : Hai goblok, yang tidak waras itu anak kamu yang bisu itu. (diam) Kang Gus Sartib, Si Sarto anak kamu itu tidak pernah sekolah, tidak pernah belajar, ngomong saja tidak bisa apalagi membaca. Masak kita akan memperingati kematiannya seperti kita memperingatai para pahlawan.
Sartib : Tapi, dia juga pahlawan, pak
Kades : (tertawa) apa, pahlawan? Pahlawan bagi siapa? Enaknya kamu ngomong bahwa ia pahlawan. Enaknya kamu menyamakan orang yang bisu dengan para pahlawan.
Sartip : Dia mati karena sangat mencintai bendera merah putih, dia mati karena dia ingin mengadakan upacara bendera untuk menghormati para pahlawan.
Kades : Pak Sartib. Ya itu, keinginan seperti itu hanya pada orang-orang yang tidak waras. Dia mati karena memperjuangkan ketololannya. Dan dia mati bukan sebagai pahlawan, tapi itu namanya mati gila!

Lagu Indonesia raya melantun mengiris hati. Mengiringi kepergian Sartib dengan rasa kecewa. Kecewa karena tidak dizinkan mengadakan upacara, dan kecewa karena anaknya dikatakan tidak waras dan mati gila!

ADEGAN IV

Sartib memegangi bendera yang seminggu lalu menjadi selimut kematian anaknya. Ia berjalan dengan hati sedih mengingat keinginan anaknya yang ingin sekali mengadakan upacara bendera merah putih. Di bawah tiang bendera ia ikatkan bendera dan ia tariknya pelan. Sampai pada setenga tiang bendera itu melambai sedih. Tiba-tiba Sartib kaget karena ada suara yang menghardik.

Kades : Tangkap Sartib. Dia sedang gila, dia sedang tidak waras, dia menghina bendera merah putih kita! Ayo, amankan si Sartib yang gila itu!

Sartib ditangkap dan diamankan dengan iring-iringan lagu Indonesia Raya.

Lamongan, 30 April 2008

TAMAT

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir