Anjrah Lelono Broto
http://suaraguru.wordpress.com/
Ada sebuah kedukaan yang mendalam ketika “Teater Sansesus SMAN 2 Jombang”, harus kehilangan sanggarnya karena digusur oleh “Sang Pembuat Kebijakan” lembaga pendidikan. Meski harus jujur diakui, kedukaan ini bersifat pribadi dan berpijak pada ikatan sejarah masa lalu sebagai alumni, akan tetapi kenyataan “penggusuran” ini makin memperkuat wacana politik pemerintah yang cenderung iliterasi. Keberadaan sebuah kelompok kegiatan ektrakurikuler berbasis kesenian dan kebudayaan di sebuah lembaga pendidikan, secara mendasar, merupakan wahana pembelajaran dan pendalaman teks-teks kesenian dan kebudayaan, seperti sastra, tari, lukis, dan teater itu sendiri.
Namun, dewasa ini, pendidikan di Indonesia cenderung memarjinalkan pendidikan kesenian dan kebudayaan. Padahal, secara kultural, dalam pendidikan kesenian dan kebudayaan tersebut terbentang senyawa pengembangan mental, spiritual, sejarah, dan moralitas. Sehingga, hari ini, secara kualitas, output pendidikan Indonesia cenderung gersang dari torehan-guratan mental, spiritual, sejarah, dan moralitas.
Akankah kita percayakan masa depan Indonesia kepada generasi muda seperti ini?Film India “Rang De Bhasanti”, yang dibintangi oleh Amir Khan, telah mengkritisi fenomena generasi muda India yang memiliki kemiskinan akar budaya, dan sejarah India. Sehingga mereka mengalami shock ketika menjumpai fakta bahwa justru orang lain dari ras, etnik, dan kultural non-India yang lebih memahami sejarah legenda kepahlawanan Bhagat Singh. Sekarang, andaikata pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) berani untuk melakukan survey (secara jujur) tentang pengetahuan sejarah, kesenian, dan kebudayaan; kepada para siswa di sekolah seluruh Indonesia, maka hasil yang sangat memilukan dan memalukan akan mencuat ke permukaan.
Ketika Menteri Pendidikan Anton Soedibyo berani menepuk dada memamerkan keberhasilan dan arah pergerakan pendidikan kejuruan yang berorientasi menciptakan ‘pekerja’ di di depan Karni Ilyas, dalam sebuah acara talk show di TVOne, ada sebuah keinginan menyesak di dalam dada untuk membisik sebuah pertanyaan di telinga Karni Ilyas; “Adakah pengajaran kesenian dan kebudayaan di sekolah?”
Mengapa? Karena secara faktawi, pengajaran kesenian dan kebudayaan di lingkungan lembaga pendidikan cenderung menjadi pilihan ke sekian dari fokus arah dan strategi pengelolaan pembelajaran. Bila teater dan tari berdiri di lingkungan ekstrakurikuler, sangatlah wajar kalau mereka mendapat perlakuan ala Borjuis-Proletar. Tetapi, lukis dan sastra berada di lingkungan pembelajaran intrakurikuler, kenyataannya dua kutub kesenian dan kebudayaan ini juga menerima perlakuan yang sama. Tari di’okulasi’kan pada bidang studi Kertakes, sedangkan sastra terpaksa di’cangkok’kan pada bidang studi Bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka cenderung dipandang sebagai ‘tempelan’ atau ‘penggenap’ yang eksistensinya terpinggirkan dan cenderung untuk ditiadakan oleh “Sang Pengambil Kebijakan” di lingkungan lembaga pendidikan.
Lebih lanjut, kegiatan marjinalisasi berjama’ah pembelajaran kesenian dan kebudayaan ini berdampak pada siswa yaitu menurunnya budaya baca buku-buku sastra. Jika siswa SMA di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMA di negara jiran, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMA di Indonesia adalah nol buku. Padahal, pada era penjajahan Belanda, siswa SMA (dulu disebut Algemeene Middelbare School-AMS), diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra. Jika siswa SMA di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, maka 80% warga Amerika yang menamatkan pendidikan di AS pasti pernah membaca buku cerita fiksi “Moby Dick”, karena buku yang bercerita tentang petualangan di laut ini senantiasa ada di perpustakaan sekolah dan guru-guru sastra Inggris pasti pernah memberi penugasan yang mengharuskan membaca buku tersebut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Bukankah kita juga memiliki “Siti Nurbaya”, “Gurindam Dua Belas”, “La Galigo”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Burung-Burung Manyar”, “Lintang Kemukus Dini Hari”, “Rara Mendut”, “Gadis Pantai”, “Supernova”, “Saman”, “Ayat-Ayat Cinta”, “Laskar Pelangi”, dan sederet karya-karya masterpiece sastrawan Indonesia. Akan dibuang kemanakah karya-karya sastrawan Indonesia tersebut?
Realitas tak terpelakkan ini semakin memperteguh asumsi bahwa selama ini bahwa pengajaran sastra di sekolah-sekolah kita masih jauh dari idealitas. Ada sebuah PR yang harus mendesak untuk dikerjakan yaitu bagaimana meyakinkan pemerintah sebagai pengambil kebijakan tertinggi bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Berbekal harapan besar, bahwa pembelajaran seni dan budaya (terlebih sastra) dapat menanamkan landasan kesejarahan Indonesia, pembangunan mentalitas dan spiritualitas, serta moralitas yang berpijak pada kultural Indonesia, sebagai investasi jangka panjang.
Sebagai institusi pencetak “agent of change” sekolah sejatinya haris menempatkan diri sebagai media strategis untuk menguatkan nilai-nilai etika dan estetika moral, religi, kesejarahan, nasionalisme, dan budaya. Namun, megahnya pagar, bangunan laboratorium, serta aula tidak disertai dengan kekayaan perbendaharaan buku (sastra) di perpustakaan dan intensitas peminjaman buku yang menggembirakan. Sehingga, kualitas hasil pembelajaran cenderung “hampa” dan terkesan babak belur. Pada pembelajaran apresiasi sastra, siswa tidak diajak untuk aktif dan apresiatif teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi semata teksbookish (hafal-menghafal karya dan nama pengarangnya). Kalaupun lebih mendalam, kegiatan apresiasi sastra terpatron habis dalam bingkai yang diberikan dalam buku, LKS, BKS, dll. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, guru mengajak siswa berhenti pada cover luar (permukaan), sehingga siswa gagal menikmati kandungan nilai-nilai dalam karya sastra. Realitas pembelajaran apresiasi sastra seperti ini tidak saja memprihatinkan, tetapi juga mengubur kecerdasan emosional dan spiritual siswa sebagai individu yang humanistis.
Sejatinya, pembelajaran apresiasi sastra adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Seorang pembaca dapat mengidentifikasikan dirinya secara bebas dan memetik katarsis dari tokoh-tokoh cerita, jalinan konflik, tema, setting budaya, setting waktu dan tempat, sehingga pembaca memperoleh kesadaran secara humanistis dalam upaya memandang segala fenomena, pernik-pernik peritiwa, dan liku-liku kehidupan. Seperti halnya karya seni yang lain, sebuah karya sastra seringkali mampu mengajak pembacanya membangun refleksi. Karya sastra menjadi lentera penerang sisi-sisi gelap (kebinatangan) manusia dalam hidup dan berkehidupan. Melalui jalinan peristiwa, proyeksi tokoh secara fisik dan psikologis, teks literasi sastra menjadi tiruan yang mengayakan batin siswa sebagai manusia yang multidimensional. Kekuatan bahasa (diksi dan gramatikalnya) menuntun pembangunan landasan konstruksi personal yang beretika, berestetika, bermoral, dan beragama.
Bukankah Al Qur’an, Injil, Weda, Tri Pitaka, Mahabharata, maupun Ramayana, adalah sebuah teks yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaian pesan (firman)? Namun, mungkinkah tujuan mendasar pembelajaran apresiasi sastra dapat dicapai dengan metode hafalan dan pembacaan sinopsis yang instan?
Rendahnya kualitas pembelajaran apresiasi sastra di lingkungan lembaga pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kenyataan minimnya guru ber“talenta” dan berminat serius terhadap sastra. Di satu sisi, kenyataan ini diperparah oleh kurikulum yang memaksa apresiasi sastra sebagai materi “cangkokan” dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Akibatnya, proses pembelajaran apresiasi sastra cenderung dilakukan setengah-setengah. Memang, pembelajaran sastra memerlukan strategi dan metode pembelajaran tersendiri yang cenderung kontekstual, kooperatif, dan kompleks; karena tiga ranah pembelajaran yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat tercakup sekaligus. Akibatnya, guru bidang studi bahasa Indonesia yang kurang berminat dan bertalenta sastra, menganggap pembelajaran apresiasi sastra sebagai beban, dan cenderung diabaikan. Meski bidang studi Bahasa Indonesia termasuk dalam mata pelajaran yang di-UNAS-kan, toh format ujiannya bersifat kognitif semata. Dus, kenapa harus mempersulit diri?
Apabila, pembelajaran apresiasi sastra berdiri independen, misi memanusiakan manusia yang menjadi tanggung jawab pendidikan akan menjadi lebih ringan, sebab pembelajaran sastra menjadi media pengembangan pengetahuan budaya, sejarah, etika, estetika, religi, serta karakter siswa. Independensi pembelajaran apresiasi sastra diasumsikan menjawab kebuntuan dan kesimpang-siuran proses dan arahan pembelajaran Bahasa Indonesia, yang termangu-mangu di persimpangan antara linguistika dan kesusastraan.
Di pihak lain, pemerintah juga harus menerapkan politik literasi dalam penataan dan penetapan arah pendidikan Indonesia, sehingga memberikan ruang bagi pengembangan pengetahuan budaya, sejarah, etika, estetika, religi, serta karakter siswa. Andaikata, pemerintah masih setia dengan politik iliterasinya maka generasi muda Indonesia tidak akan mengenal teks-teks sastra yang berkualitas. Akibatnya, mereka akan cenderung kehilangan eksistensinya sebagai manusia, dan menjadi generasi yang berintelektual namun tidak beretika, berestetika, bermoral, dan beragama.
Bukankah sekarang sudah nampak gejala-gejalanya? Perkelahian pelajar, maraknya video porno, human trafficking, pernikahan di bawah umur, korupsi, kolusi, manipulasi, sparatisme, chauvinisme akut, etnosentris, dan lain sebagainya adalah gejala-gejala psikososial yang tidak dapat serta merta kita pandang sebagai akibat globalisasi, tuntutan ekonomi, kurangnya komunikasi, ataupun sederet kambing hitam lainnya. Satu hal yang pasti, menggejalanya fenomena psikososial seperti di atas dilatarbelakangi rendahnya kualitas beretika, berestetika, bermental, bermoral, dan beragama masyarakat Indonesia. Jikalau dirujuk ke belakang maka pendidikan yang un-orientedlah yang menjadi penyebabnya. Semoga pendidikan yang lebih berorientasi, dengan pembelajaran apresiasi sastra yang proporsional, dapat menjadi jawaban untuk Indonesia ke depan. Mungkinkah? Selayaknya dicoba.
27 Juli, 2009
*) Litbang LBTI (Lembaga Baca Tulis Indonesia), staf ahli Ringin Tjonthong Institute, alumni Teater Sansesus SMA Negeri 2 Jombang, Jatim.
Email: anantaanandswami@gmail.com
Sumber: http://suaraguru.wordpress.com/2009/07/27/sastra-berduka-di-sekolah/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar