Radhar Panca Dahana*
Kompas,19 Mei 2007
SEMBILAN tahun reformasi berlalu dan Orde Baru tumbang ternyata masih meninggalkan banyak pesimisme di berbagai kalangan. Kritik dan keluhan banyak dilontarkan pada merosotnya kemampuan produksi, daya saing, kreativitas, dan kualitas produk-produk unggulan negeri ini.
Biar tercatat sedikit kemajuan, ia tidak cukup signifikan untuk mengangkat standar hidup, terutama di kalangan rakyat kecil, ke tingkatan yang sama dengan negara-negara tetangga, bahkan pada level yang pernah dicapai pemerintahan Soeharto. Apa yang kini menjadi bahan keributan utama justru urusan-urusan politik, atau segala macam persoalan yang dipandang dari kepentingan politis.
Hal itu tak hanya membuat kita menderita mental “kalahan”, sampai tak mampu berbuat apa-apa ketika beberapa potensi utama bangsa ini “dirampok” atau dipatenkan oleh pihak asing, di mana mereka mengomersialkannya secara global tanpa sisa keuntungan sedikit pun untuk kita.
Dominasi kepentingan politis itu membuat kita lupa pada satu kekuatan utama, yang—dalam sejarah panjang negeri ini—justru membuat bangsa mana pun respek, bahkan mengapresiasinya dengan kekaguman. Di kala semua komoditas ekonomi, sosial, dan politik kita mengalami inflasi di tingkat global, potensi inilah satu-satunya yang dapat mempertahankan nilai dan mutunya.
Mesti diakui, potensi dan produk yang satu ini pula yang selama ini berhasil menjaga wibawa, meningkatkan “harga”, bahkan mendukung—langsung dan tak langsung—sukses diplomasi kita. Potensi itu tidak lain adalah karya kreatif, artistik pada khususnya. Kita menyebutnya karya seni dan kesenian.
Bahkan, sebelum negeri ini secara modern terbentuk dan diakui, kesenian negeri kepulauan ini telah sukses. Tak hanya menerima aplaus, tetapi juga menanam pengaruh yang tajam di beberapa seniman legendaris dunia. Sejak dari masa Raden Saleh, kekaguman Rabindranath Tagore (yang menolak menyatakan Borobudur adalah karya seni derivatif dari India), hingga Claude Debussy, Antonin Artaud, atau Peter Gabriel—antara lain—yang konsep-konsep jenial mereka “meminjam” atau dipengaruhi oleh kekaguman dan studi mereka pada kesenian di kepulauan ini.
Dan itu berlaku hingga hari ini.
Senjata budaya
Betapa pun, dahulu Soekarno—sebagai presiden pertama Indonesia—memiliki perhatian begitu besar pada kesenian. Begitu pun KH Abdurrahman Wahid, presiden keempat, memiliki keterlibatan kental dengan hidup kesenian. Akan tetapi, tetap saja seni sebagai sebagai “kekuatan”—kultural, ekonomis, juga politis—belum diperhitungkan dalam strategi besar kita dalam bernegara.
Berbagai kebijakan perihal kesenian hingga di kabinet “SBY”, sebagaimana tertuang dalam kebijakannya di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, masih tetap melihat peran kesenian secara minor, jika tidak termarjinalisasi, dibandingkan sektor-sektor lainnya. Pemahaman akan kesenian lebih didominasi oleh pertimbangan ekonomis: sebagai salah satu sektor penghasil keuntungan finansial.
Pandangan tersebut tidak seluruhnya keliru. Namun, tentu, ia tidak harus menafikan potensi kesenian dalam menciptakan fungsi dan peran yang jauh lebih kuat dan lebih luas dari itu. Dibandingkan dengan nama-nama besar dalam dunia politik dan diplomasi kita, mulai dari Soekarno, Agus Salim, hingga Adam Malik, Soeharto hingga Gus Dur, dan presiden incumbent kita sekarang ini, banyak nama dalam kesenian Indonesia yang memperoleh penghargaan dan kehormatan setara di dunia internasional.
Katakanlah nama Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar (yang masuk dalam ensiklopedia resmi Perancis dan Rusia, misalnya), Mochtar Lubis, Rendra, Putu Wijaya, Sardono W Kusumo hingga belakangan Rahayu Supanggah, Garin Nugroho, dan masih banyak nama lagi. Penghargaan internasional banyak diraih tokoh-tokoh kesenian, bahkan di saat citra Indonesia—secara sosial, politik, dan ekonomi—terpuruk.
Itu pun belum memperhitungkan karya-karya kreatif lain yang bersifat kolektif dan anonim, baik yang modern, tradisional, maupun yang primitif. Dibandingkan dengan sektor-sektor hidup lain, bukti dan potensi ini sesungguhnya dapat menjadi kekuatan pendamping, bahkan senjata utama, dalam usaha diplomasi atau penegakan posisi tawar Indonesia di mata dunia.
Sayangnya, masih banyak pengambil kebijakan yang memandangnya sebelah mata. Itu karena mereka tak mengenalnya dengan baik atau telanjur terkena stigma negatif akibat latar historis seni yang buruk atau perilaku yang kadang terpandang “eks-sentris”, urakan bahkan asosial.
Potensi raksasa
Satu hal lagi yang terlupa dari potensi kesenian sebagai produk budaya adalah kemampuannya dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara sangat signifikan. Hal ini terbukti di Inggris, negeri yang pada tahun 1990-an awal disebut sebagai “negara ketiga Eropa” secara ekonomis karena kekalahannya dalam industri berat, terutama setelah ekspansi macan-macan Asia, seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan India belakangan.
Tahun 1998, Pemerintah Inggris melakukan pemetaan yang komprehensif mengenai potensi ekonominya. Mereka menemukan ternyata sektor (industri) kreatif, termasuk musik—yang sampai 1997 dipandang sebelah mata—telah memberi sumbangan sangat signifikan dan pertumbuhan ekonomi mereka. Data itu membuat para pengambil kebijakan memberi fokus yang lebih kuat pada industri budaya tersebut.
Hasilnya, industri kreatif Inggris—seperti kriya, desain, busana, film, televisi, musik, seni pertunjukan, iklan, arsitektur—menciptakan pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun, tiga kali lebih pertumbuhan ekonomi nasionalnya yang hanya 2,8 persen. Tahun 2003 ia menyumbang 8 persen dari PDB Inggris (121,6 miliar pound) dan 15 persen dari nilai ekspornya. Ia menjadi sumber penghasilan kedua setelah jasa perbankan, dan merekrut tidak kurang dari dua juta tenaga kerja.
Di bagian lain dunia, kita tahu, bisnis serupa merupakan penghasil uang terbanyak di Amerika Serikat, setelah bisnis senjata. Di Singapura ia menyumbang 5 persen dari PDB dengan pertumbuhan annual 10 persen. Di Kolombia, 4 persen PDB dan jauh lebih tinggi dari produk unggulan mereka: kopi.
Di Indonesia, potensi itu begitu meraksasa. Bukan hanya karena pengenalan dunia pada kreativitas seniman kita yang tinggi dan penuh ide, tetapi juga fakta-fakta kecil, seperti 1.500 gerai pakaian independen (“distro”) di Jakarta, Bandung, Yogya, Medan atau Surabaya, yang memberi penghasilan pada pengusaha muda hingga 75.000-100.000 dollar AS tiap bulannya.
Belum lagi kreativitas seniman muda kita dalam semangat DIY (Do It Yourself)-nya, yang juga mampu menembus pasar internasional di bidang game dan animasi. Bahkan, dalam permebelan global muncul merek Chamdani, perusahaan lokal yang semula bernama Alam Calamus.
Raksasa tidur
Contoh kecil di atas masih tak bisa menutupi kenyataan bagaimana sentra-sentra industri kreatif, kota-kota atau komunitas dengan kekayaan artistik dan produk budayanya, seperti batik, lukisan, patung, musik, seni pertunjukan, furnitur, hingga arsitektur, masihlah kembang kempis hidupnya, sebagaimana UKM pada umumnya.
Karya-karya mereka begitu kaya dan unik, tetapi selalu gagal pada tahap komersialisasi atau industrinya. Banyak yang kemudian menjadi korban pembajakan dan “perampokan” potensi ekonominya. Posisi mereka begitu lemah bahkan subordinat di antara kapital besar. Sementara bukan hanya birokrasi pemerintah, para elite, melainkan juga pihak swasta (perbankan antara lain) tak berhasil memandang kekuatan gigantik dari raksasa tidur itu.
Pihak kreator dan senimannya sendiri kerap bereaksi secara pasif dan defensif, seperti Putu Wijaya yang pernah menyatakan, “Biarlah mereka merampok satu-dua, bahkan sepuluh-dua puluh ide kita, karena kita masih menyimpan seribu dalam kepala.” Sikap ini memang mengundang decak kekaguman walau juga menyiratkan kenaifan dan semacam kepasrahan.
Padahal, Putu sendiri, dengan gaya teatrikal eksperimental tahun 70-annya saja, masih mampu meraih penghargaan tertinggi dalam festival teater eksperimental internasional di Cairo, tahun lalu. Dan masih banyak putu-putu lain, yang tak cukup menyadari, betapa mereka sesungguhnya adalah panglima besar yang dapat menjadi loko bagi perkembangan bangsa ini di semua lini.
Karena, mereka memiliki satu hal yang khas: karya kreatif. Sebuah arsenal yang begitu utama, tetapi kita melupakannya. Maka, siapa pun jenderal dan prajurit negeri ini pasti menderita rugi bila mereka lupa diri dan tenggelam melulu dalam statistik serta indikator politik-ekonomi, yang sebenarnya sudah bisu dan basi.
* Radhar Panca Dahana, Sastrawan Tinggal di Tangerang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/05/esai-arsenal-utama-yang-terlupa.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar