Selasa, 19 Juli 2011

Bohong

Linda Sarmili
suarakarya-online.com/29 Jan 2011

Bohong. Tak terasa sudah sebulan saya merasakan nikmatnya berpuasa sunah Senin-Kamis. Soalnya, tiba-tiba saja saya merasakan semua orang menjadi baik kepada saya. Itu saya rasakan ketika saya melunasi kredit saya di sebuah bank. Pejabat kepala bagian kredit bank itu mengatakan kredit saya telah lunas. Tetapi saya ngotot bertahan bahwa sisa kredit saya masih Rp 50 juta lagi. Jadi belum lunas. Itulah yang ingin saya lunasi.

Ternyata, meski sudah tiga kali saya mengatakan kredit saya belum lunas, pejabat kepala bagian kredit itu sama ngototnya dengan saya. Ia tetap berpendapat dan menegaskan, kredit saya telah lunas. “Jadi tak perlu lagi setoran Rp 50 juta itu,” katanya seraya memperlihatkan kepada saya print out komputer yang membuktikan bahwa kredit saya memang benar-benar telah lunas. Lalu saya meninggalkan bank itu dengan perasaan kecewa.

Bersamaan dengan itu saya juga sebenarnya sangat gembira. Betapa tidak, saya mendapat uang Rp 50 juta. Uang yang seharusnya lenyap dari tangan saya, tetapi kini malah menjadi milik saya. Nah, ketika itulah timbul pemikiran untuk menggunakan uang yang menjadi milik saya itu untuk membeli rumah cicilan, rumah RSS, rumah sangat sederhana. Kebetulan hingga kini saya memang belum punya rumah. Kalaupun sekarang saya bisa tenang di rumah yang lumayan bagus, lengkap dengan garasi, taman dan kolam ikan, itu karena kebaikan keluarga yang minta saya mengisi secara gratis rumahnya yang kosong sejak lama.

Saya pun segera berurusan dengan sebuah perusahaan pengembang RSS. Diluar dugaan direktur perusahaan pengembang itu dengan sukarela memberikan sebuah rumah RSS kepada saya tanpa bayar. Ini benar-benar edan. Tidak masuk akal. Setelah mendengar penjelasan direktur perusahaan pengembang RSS itu barulah saya paham mengapa saya bisa mendapat bonus seperti itu. RSS yang jumlahnya ratusan itu dibangun perusahaan pengembang itu khusus untuk karyawannya.

Mencari untung tidak menjadi tujuan. Kalaupun untung jumlahnya kecil sekali, tidak ada artinya buat perusahaan pengembang raksasa itu. Perusahaan itu mencari untung hanya dari rumah-rumah sangat mewah yang dibangunnya. Rumah-rumah mewah itu sebagian besar dibeli oleh para pemilik “uang panas” yang sangat banyak jumlahnya di republik ini. Setelah dibeli, rumah-rumah itu mereka jadikan “rumah hantu” karena tidak dihuni dan diserahkan penghuninya kepada “makhluk-makhluk halus” yang merasa bersyukur karena mendapat rumah gratis.

Nah, karena pengembang masih memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi, dibangunlah rumah-rumah sangat sederhana, untuk para karyawannya, agar mereka memiliki rumah dan tidak mengeluarkan biaya transportasi lagi untuk pergi bekerja. Maklumlah, kompleks RSS yang saya sebutkan itu hanya dua ratus meter jaraknya dari rumah-rumah mewah yang sebagian besar telah menjadi “rumah hantu”.

Selain sepi dan bila malam tampak gelap, rumah-rumah mewah itu dikelilingi rumput liar yang tumbuh subur di halaman depan, belakang dan samping kiri-kanan. Lalu mengapa kepada saya diberikan rumah – walaupun dengan embel-embel sangat sederhana – secara cuma-cuma?

Direktur perusahaan pengembang itu, dengan senyumnya yang menawan menjawab: “Kebetulan hanya RSS yang diberikan kepada Anda itu yang belum terjual. Selebihnya telah menjadi milik karyawan kami. Rupanya yang kami bangun berlebih satu. Karena kami lihat Anda sangat membutuhkan rumah sedangkan kami tidak tahu kepada siapa akan menjual rumah itu, dengan senang hati kami memberikan rumah tersebut kepada Anda. Yang penting rumah itu dihuni orang yang benar-benar sangat membutuhkannya.” Saya kagum pada rasa sosial Direktur perusahaan pengembang itu. Terbantahlah sinisme saya bahwa kehidupan modern di kota besar telah membunuh kepedulian manusia terhadap sesamanya. Buktinya, Direktur yang baik itu. Dia sadar betul bahwa orang-orang yang hidupnya sedikit di atas garis kemiskinan seperti saya harus dibantu. Keberpihakannya juga jelas. RSS harus dihuni karena memang banyak yang membutuhkannya. Tetapi rumah-rumah mewah? Silakan saja mau dijadikan apa, terserah.

* * *

Mungkin ada di antara Anda yang menganggap saya berlebihan dalam berdusta. Masak dengan uang Rp 50 juta di zaman seperti sekarang ini masih sanggup mengatakan bahwa saya hidup sedikit di atas garis kemiskinan?

Agar prasangka Anda tidak berkelanjutan saya berkewajiban memberikan penjelasan. Tahun lalu, ketika terbongkar bahwa saya melakukan praktek korupsi kecil-kecilan, saya dipecat dari pekerjaan saya di sebuah kantor swasta. Saya terperosok dalam kebingungan. Istri sudah mendesak agar kami keluar dari rumah keluarga dan mengontrak kamar. Tetapi di dompet saya tak pernah tersimpan sisa gaji. Hasil jerih payah bulanan saya selalu ludes hanya untuk urusan dapur. Belum lagi anak saya yang tertua akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Pasti butuh uang yang tidak sedikit.

Sementara itu impian saya untuk membuka warung yang hasilnya bisa melancarkan perekonomian keluarga hanya sebatas mimpi saja sejak lama. Keinginan berwiraswasta hanya tinggal impian lebih karena saya kesulitan mencari modal. Saya malu meminjam uang untuk modal dagang kepada keluarga saya. Saya takut kelak di kemudian hari tidak lancar mencicil lalu jadi omongan. Akhirnya saya memberanikan diri meminjam uang di bank. Untuk itu saya melampirkan data-data palsu pada surat permohonan mendapatkan kredit.

Setelah menunggu satu minggu permohonan saya dikabulkan. Jadi terbantah lagi bahwa orang kecil seperti saya sukar mendapat kredit dari bank. Terbantah pula bahwa untuk memperoleh kredit dibutuhkan agunan yang nilainya jauh lebih besar dari pinjaman. Juga terbantahkan bahwa untuk mendapat kredit perlu uang pelicin. Perlu uang sogokan yang tidak kecil untuk sejumlah pejabat di bank.

Dengan uang itulah saya bisa berbuat banyak sebagai seorang kepala rumah tangga di rumah saya. Saya bisa membayar uang kuliah anak saya. Bisa membelikan motor bekas untuk anak saya kuliah. Bisa membelikan komputer murahan dan sisanya saya gunakan untuk modal berjualan makanan di kaki lima. Modal saya tentu akan lebih besar seandainya anak saya diterima di perguruan tinggi negeri yang diimpikannya sejak kelas dua SMA. Tetapi, untuk lulus dari jaringan UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri) kan tidak mudah.

Menurut cerita anak saya, UMPTN itu tidak ubahnya undian berhadiah. Beralasan sekali kalau sejak mula saya sangat tidak yakin anak saya – yang kemampuannya sangat pas-pasan di SMA – bisa menembus dan lulus dari blokade sulitnya masuk ujian perguruan tinggi negeri.

Betapa tidak, jumlah mahasiswa yang diterima total hanya 2.500 orang, tetapi yang mendaftarkan menjadi calon mahasiswa mencapai 22 ribu orang. “Saya tidak yakin kamu bisa lulus, Nak. Sulit sekali memasuki perguruan tinggi terkenal itu…” demikian kata hati saya kepada anak saya suatu hari setelah mendengar anak saya ikut testing masuk Ujian masuk perguruan tinggi. Dan ternyata benar. Beberapa hari kemudian dalam daftar pengumuman calon mahasiawa yang lulus, yang dimuat di beberapa koran terbitan ibukota, nama anak saya tidak tercantum.

Anak saya tidak lulus. Karena itu anak saya, saya masukkan ke perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal. Pertimbangan saya memasukkannya ke perguruan tinggi tidak terkenal, terus terang saja, lebih karena biaya masuknya yang jauh lebih murah ketimbang biaya di perguruan tinggi yang telah terkenal. Apakah anak saya akan berhasil dan apakah gelar kesarjanaannya nanti ada artinya untuk mendapatkan pekerjaan, nanti sajalah dipikirkan. Berpikir pragmatiskan lebih baik daripada membayangkan kesulitan yang akan dihadapi.

* * *

Jualan makanan di kaki lima janganlah dianggap enteng. Pendapatannya dalam sebulan bisa mengalahkan pendapatan sebulan seorang Direktur Jenderal yang jujur disebuah departemen pemerintah. Karena itu, cicilan pembayaran kredit saya kepada bank dapat berjalan lancar. Dan, tahukah Anda, bulan ini keuntungan bersih saya benar-benar di luar dugaan sehingga saya ingin lekas-lekas melunasi sisa utang saya kepada bank. Itulah yang ditolak kepala bagian kredit bank saya ketika saya datang untuk melunasi utang itu.

Selama saya masih tinggal di RSS yang ukuran bangunannya hanya 21 meter dan luas tanahnya hanya 60 meter persegi dan saya masih tetap berjualan di kaki lima, apakah saya tidak boleh menyebut diri saya berada sedikit di atas garis kemiskinan? Anda benar. Anda tidak salah. Saya ternyata telah berbohong secara berlebihan. Bukankah saya sendiri yang mengatakan, pendapatan seorang pedagang kaki lima sebulan bisa melebihi pendapatan sebulan seorang berpangkat Dirjen yang jujur?

Saya mohon maaf. Sekaligus ingin mengutarakan pendapat saya bahwa mayoritas Dirjen, bahkan mungkin semua Dirjen di berbagai departemen yang banyak itu adalah orang-orang jujur. Kita tidak boleh berprasangka buruk. Mencurigai boleh-boleh saja, asal kecurigaan itu jangan disebarluaskan. Tetapi, menuduh terutama sekali menuduh orang tidak jujur adalah perbuatan yang sangat tercela dan sangat tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

* * *

Surat yang baru saya terima membuat saya kebingungan. Bayangkan saja, saya diminta datang ke universitas tempat anak saya kuliah untuk mengambil semua uang yang telah saya setorkan. Apa kesalahan anak saya yang telah menjalani Ospek dengan susah-payah itu? Dengan debaran jantung yang tidak menentu saya menemui kepala bagian penerimaan mahasiswa baru.

Dengan ramah ia menyambut saya dan memberikan keterangan yang saya perlukan sebelum saya minta. “Bapak Rektor menyuruh saya mengembalikan uang yang telah Bapak setorkan beberapa hari lalu,” “Mengapa?” saya bertanya dengan rasa ingin tahu yang menggelegak. “Ini kebiasaan Pak Rektor. Setiap tahun ada saja mahasiswa baru yang ketiban rezeki seperti ini.

Jumlahnya memang tidak lebih dari satu orang. Dasar pertimbangannya apa, saya benar-benar tidak tahu. Pokoknya, Pak Rektor mengambil secara acak sebuah nama dari daftar mahasiswa baru dan membebaskan mahasiswa itu dari kewajiban membayar uang kuliah”. Rezeki memang tak perlu dikejar. Dia akan datang dengan sendirinya kalau memang sudah ditentukan untuk kita. Tak perlu sikut-sikutan untuk mendapatkan rezeki. Agama manapun di dunia ini memang melarang praktek seperti itu, sikut-sikutan memburu rezeki.

“Jadi kita pun nggak perlu ikut-ikutan dengan tetangga seberang rumah yang doyan sikut-sikutan mendapatkan uang,” kata saya kepada, Mimin, istri saya.

* * *

Kejadian membingungkan yang atang beruntun akhirnya mengantarkan saya kepada pertanyaan yang tidak pernah dapat saya jawab. Apakah saya masih hidup di bumi atau di planet lain? Apakah ini suatu keinginan atau sebuah realita? Apakah ini hanya sebuah fiksi yang hidup dan berkembang di kepala saya atau kejadian, yang benar-benar kongkret?

Cobalah Anda bayangkan. Setelah rezeki-rezeki terdahulu itu kini menyusul rezeki baru yang juga tidak pernah saya harapkan kedatangannya. Saya mendapat panggilan dari bekas kantor saya yang lama. Saya diminta kembali bekerja dengan tawaran gaji yang lebih baik. Dalam surat yang dikirimkan kepada saya, dua kalimat tercetak dengan huruf-huruf tebal.

“Korupsi kecil-kecilan Anda kami anggap tidak ada, karena telah kami maafkan. Korupsi kecil-kecilan adalah wajar dan sah-sah saja untuk mempertahankan hidup”. “Gila,” saya berteriak. Surat yang ditandatangani Direktur Utama itu saya baca berulang-ulang. Huruf-huruf tebal itu masih bertengger dengan gagah di sana. Ini keterlaluan. Saya harus berbuat sesuatu. Sebagai orang kota yang terbiasa dengan gerak cepat malam harinya saya membuat kejutan kepada banyak orang, umumnya para pelanggan warung makan saya di kaki lima. Semua pelanggan yang makan di warung saya, saya minta untuk tidak membayar semua yang telah mereka santap dan minum. Besoknya, saya juga berbuat begitu. Besoknya lagi demikian juga setelah modal saya tinggal untuk satu hari jualan lagi, baru “servis” itu saya hentikan. Kepada Mimin, istri saya, saya berbisik: “Kejadian-kejadian gila, harus disambut dan diimbangi dengan perbuatan sinting.” Mendengar ucaoan itu, istri saya pun tertawa terbahak-bahak. “Aku setuju, bang… aku setuju …” ujar Mimin. Tapi, bagaimana menurut Anda? Asal tahu saja, saya berkepentingan melakukan semua itu, karena dengan demikian faktor keseimbangan dapat terpelihara. Tapi apakah benar pandangan saya itu? ***

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir