Linda Sarmili
suarakarya-online.com/29 Jan 2011
Bohong. Tak terasa sudah sebulan saya merasakan nikmatnya berpuasa sunah Senin-Kamis. Soalnya, tiba-tiba saja saya merasakan semua orang menjadi baik kepada saya. Itu saya rasakan ketika saya melunasi kredit saya di sebuah bank. Pejabat kepala bagian kredit bank itu mengatakan kredit saya telah lunas. Tetapi saya ngotot bertahan bahwa sisa kredit saya masih Rp 50 juta lagi. Jadi belum lunas. Itulah yang ingin saya lunasi.
Ternyata, meski sudah tiga kali saya mengatakan kredit saya belum lunas, pejabat kepala bagian kredit itu sama ngototnya dengan saya. Ia tetap berpendapat dan menegaskan, kredit saya telah lunas. “Jadi tak perlu lagi setoran Rp 50 juta itu,” katanya seraya memperlihatkan kepada saya print out komputer yang membuktikan bahwa kredit saya memang benar-benar telah lunas. Lalu saya meninggalkan bank itu dengan perasaan kecewa.
Bersamaan dengan itu saya juga sebenarnya sangat gembira. Betapa tidak, saya mendapat uang Rp 50 juta. Uang yang seharusnya lenyap dari tangan saya, tetapi kini malah menjadi milik saya. Nah, ketika itulah timbul pemikiran untuk menggunakan uang yang menjadi milik saya itu untuk membeli rumah cicilan, rumah RSS, rumah sangat sederhana. Kebetulan hingga kini saya memang belum punya rumah. Kalaupun sekarang saya bisa tenang di rumah yang lumayan bagus, lengkap dengan garasi, taman dan kolam ikan, itu karena kebaikan keluarga yang minta saya mengisi secara gratis rumahnya yang kosong sejak lama.
Saya pun segera berurusan dengan sebuah perusahaan pengembang RSS. Diluar dugaan direktur perusahaan pengembang itu dengan sukarela memberikan sebuah rumah RSS kepada saya tanpa bayar. Ini benar-benar edan. Tidak masuk akal. Setelah mendengar penjelasan direktur perusahaan pengembang RSS itu barulah saya paham mengapa saya bisa mendapat bonus seperti itu. RSS yang jumlahnya ratusan itu dibangun perusahaan pengembang itu khusus untuk karyawannya.
Mencari untung tidak menjadi tujuan. Kalaupun untung jumlahnya kecil sekali, tidak ada artinya buat perusahaan pengembang raksasa itu. Perusahaan itu mencari untung hanya dari rumah-rumah sangat mewah yang dibangunnya. Rumah-rumah mewah itu sebagian besar dibeli oleh para pemilik “uang panas” yang sangat banyak jumlahnya di republik ini. Setelah dibeli, rumah-rumah itu mereka jadikan “rumah hantu” karena tidak dihuni dan diserahkan penghuninya kepada “makhluk-makhluk halus” yang merasa bersyukur karena mendapat rumah gratis.
Nah, karena pengembang masih memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi, dibangunlah rumah-rumah sangat sederhana, untuk para karyawannya, agar mereka memiliki rumah dan tidak mengeluarkan biaya transportasi lagi untuk pergi bekerja. Maklumlah, kompleks RSS yang saya sebutkan itu hanya dua ratus meter jaraknya dari rumah-rumah mewah yang sebagian besar telah menjadi “rumah hantu”.
Selain sepi dan bila malam tampak gelap, rumah-rumah mewah itu dikelilingi rumput liar yang tumbuh subur di halaman depan, belakang dan samping kiri-kanan. Lalu mengapa kepada saya diberikan rumah – walaupun dengan embel-embel sangat sederhana – secara cuma-cuma?
Direktur perusahaan pengembang itu, dengan senyumnya yang menawan menjawab: “Kebetulan hanya RSS yang diberikan kepada Anda itu yang belum terjual. Selebihnya telah menjadi milik karyawan kami. Rupanya yang kami bangun berlebih satu. Karena kami lihat Anda sangat membutuhkan rumah sedangkan kami tidak tahu kepada siapa akan menjual rumah itu, dengan senang hati kami memberikan rumah tersebut kepada Anda. Yang penting rumah itu dihuni orang yang benar-benar sangat membutuhkannya.” Saya kagum pada rasa sosial Direktur perusahaan pengembang itu. Terbantahlah sinisme saya bahwa kehidupan modern di kota besar telah membunuh kepedulian manusia terhadap sesamanya. Buktinya, Direktur yang baik itu. Dia sadar betul bahwa orang-orang yang hidupnya sedikit di atas garis kemiskinan seperti saya harus dibantu. Keberpihakannya juga jelas. RSS harus dihuni karena memang banyak yang membutuhkannya. Tetapi rumah-rumah mewah? Silakan saja mau dijadikan apa, terserah.
* * *
Mungkin ada di antara Anda yang menganggap saya berlebihan dalam berdusta. Masak dengan uang Rp 50 juta di zaman seperti sekarang ini masih sanggup mengatakan bahwa saya hidup sedikit di atas garis kemiskinan?
Agar prasangka Anda tidak berkelanjutan saya berkewajiban memberikan penjelasan. Tahun lalu, ketika terbongkar bahwa saya melakukan praktek korupsi kecil-kecilan, saya dipecat dari pekerjaan saya di sebuah kantor swasta. Saya terperosok dalam kebingungan. Istri sudah mendesak agar kami keluar dari rumah keluarga dan mengontrak kamar. Tetapi di dompet saya tak pernah tersimpan sisa gaji. Hasil jerih payah bulanan saya selalu ludes hanya untuk urusan dapur. Belum lagi anak saya yang tertua akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Pasti butuh uang yang tidak sedikit.
Sementara itu impian saya untuk membuka warung yang hasilnya bisa melancarkan perekonomian keluarga hanya sebatas mimpi saja sejak lama. Keinginan berwiraswasta hanya tinggal impian lebih karena saya kesulitan mencari modal. Saya malu meminjam uang untuk modal dagang kepada keluarga saya. Saya takut kelak di kemudian hari tidak lancar mencicil lalu jadi omongan. Akhirnya saya memberanikan diri meminjam uang di bank. Untuk itu saya melampirkan data-data palsu pada surat permohonan mendapatkan kredit.
Setelah menunggu satu minggu permohonan saya dikabulkan. Jadi terbantah lagi bahwa orang kecil seperti saya sukar mendapat kredit dari bank. Terbantah pula bahwa untuk memperoleh kredit dibutuhkan agunan yang nilainya jauh lebih besar dari pinjaman. Juga terbantahkan bahwa untuk mendapat kredit perlu uang pelicin. Perlu uang sogokan yang tidak kecil untuk sejumlah pejabat di bank.
Dengan uang itulah saya bisa berbuat banyak sebagai seorang kepala rumah tangga di rumah saya. Saya bisa membayar uang kuliah anak saya. Bisa membelikan motor bekas untuk anak saya kuliah. Bisa membelikan komputer murahan dan sisanya saya gunakan untuk modal berjualan makanan di kaki lima. Modal saya tentu akan lebih besar seandainya anak saya diterima di perguruan tinggi negeri yang diimpikannya sejak kelas dua SMA. Tetapi, untuk lulus dari jaringan UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri) kan tidak mudah.
Menurut cerita anak saya, UMPTN itu tidak ubahnya undian berhadiah. Beralasan sekali kalau sejak mula saya sangat tidak yakin anak saya – yang kemampuannya sangat pas-pasan di SMA – bisa menembus dan lulus dari blokade sulitnya masuk ujian perguruan tinggi negeri.
Betapa tidak, jumlah mahasiswa yang diterima total hanya 2.500 orang, tetapi yang mendaftarkan menjadi calon mahasiswa mencapai 22 ribu orang. “Saya tidak yakin kamu bisa lulus, Nak. Sulit sekali memasuki perguruan tinggi terkenal itu…” demikian kata hati saya kepada anak saya suatu hari setelah mendengar anak saya ikut testing masuk Ujian masuk perguruan tinggi. Dan ternyata benar. Beberapa hari kemudian dalam daftar pengumuman calon mahasiawa yang lulus, yang dimuat di beberapa koran terbitan ibukota, nama anak saya tidak tercantum.
Anak saya tidak lulus. Karena itu anak saya, saya masukkan ke perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal. Pertimbangan saya memasukkannya ke perguruan tinggi tidak terkenal, terus terang saja, lebih karena biaya masuknya yang jauh lebih murah ketimbang biaya di perguruan tinggi yang telah terkenal. Apakah anak saya akan berhasil dan apakah gelar kesarjanaannya nanti ada artinya untuk mendapatkan pekerjaan, nanti sajalah dipikirkan. Berpikir pragmatiskan lebih baik daripada membayangkan kesulitan yang akan dihadapi.
* * *
Jualan makanan di kaki lima janganlah dianggap enteng. Pendapatannya dalam sebulan bisa mengalahkan pendapatan sebulan seorang Direktur Jenderal yang jujur disebuah departemen pemerintah. Karena itu, cicilan pembayaran kredit saya kepada bank dapat berjalan lancar. Dan, tahukah Anda, bulan ini keuntungan bersih saya benar-benar di luar dugaan sehingga saya ingin lekas-lekas melunasi sisa utang saya kepada bank. Itulah yang ditolak kepala bagian kredit bank saya ketika saya datang untuk melunasi utang itu.
Selama saya masih tinggal di RSS yang ukuran bangunannya hanya 21 meter dan luas tanahnya hanya 60 meter persegi dan saya masih tetap berjualan di kaki lima, apakah saya tidak boleh menyebut diri saya berada sedikit di atas garis kemiskinan? Anda benar. Anda tidak salah. Saya ternyata telah berbohong secara berlebihan. Bukankah saya sendiri yang mengatakan, pendapatan seorang pedagang kaki lima sebulan bisa melebihi pendapatan sebulan seorang berpangkat Dirjen yang jujur?
Saya mohon maaf. Sekaligus ingin mengutarakan pendapat saya bahwa mayoritas Dirjen, bahkan mungkin semua Dirjen di berbagai departemen yang banyak itu adalah orang-orang jujur. Kita tidak boleh berprasangka buruk. Mencurigai boleh-boleh saja, asal kecurigaan itu jangan disebarluaskan. Tetapi, menuduh terutama sekali menuduh orang tidak jujur adalah perbuatan yang sangat tercela dan sangat tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
* * *
Surat yang baru saya terima membuat saya kebingungan. Bayangkan saja, saya diminta datang ke universitas tempat anak saya kuliah untuk mengambil semua uang yang telah saya setorkan. Apa kesalahan anak saya yang telah menjalani Ospek dengan susah-payah itu? Dengan debaran jantung yang tidak menentu saya menemui kepala bagian penerimaan mahasiswa baru.
Dengan ramah ia menyambut saya dan memberikan keterangan yang saya perlukan sebelum saya minta. “Bapak Rektor menyuruh saya mengembalikan uang yang telah Bapak setorkan beberapa hari lalu,” “Mengapa?” saya bertanya dengan rasa ingin tahu yang menggelegak. “Ini kebiasaan Pak Rektor. Setiap tahun ada saja mahasiswa baru yang ketiban rezeki seperti ini.
Jumlahnya memang tidak lebih dari satu orang. Dasar pertimbangannya apa, saya benar-benar tidak tahu. Pokoknya, Pak Rektor mengambil secara acak sebuah nama dari daftar mahasiswa baru dan membebaskan mahasiswa itu dari kewajiban membayar uang kuliah”. Rezeki memang tak perlu dikejar. Dia akan datang dengan sendirinya kalau memang sudah ditentukan untuk kita. Tak perlu sikut-sikutan untuk mendapatkan rezeki. Agama manapun di dunia ini memang melarang praktek seperti itu, sikut-sikutan memburu rezeki.
“Jadi kita pun nggak perlu ikut-ikutan dengan tetangga seberang rumah yang doyan sikut-sikutan mendapatkan uang,” kata saya kepada, Mimin, istri saya.
* * *
Kejadian membingungkan yang atang beruntun akhirnya mengantarkan saya kepada pertanyaan yang tidak pernah dapat saya jawab. Apakah saya masih hidup di bumi atau di planet lain? Apakah ini suatu keinginan atau sebuah realita? Apakah ini hanya sebuah fiksi yang hidup dan berkembang di kepala saya atau kejadian, yang benar-benar kongkret?
Cobalah Anda bayangkan. Setelah rezeki-rezeki terdahulu itu kini menyusul rezeki baru yang juga tidak pernah saya harapkan kedatangannya. Saya mendapat panggilan dari bekas kantor saya yang lama. Saya diminta kembali bekerja dengan tawaran gaji yang lebih baik. Dalam surat yang dikirimkan kepada saya, dua kalimat tercetak dengan huruf-huruf tebal.
“Korupsi kecil-kecilan Anda kami anggap tidak ada, karena telah kami maafkan. Korupsi kecil-kecilan adalah wajar dan sah-sah saja untuk mempertahankan hidup”. “Gila,” saya berteriak. Surat yang ditandatangani Direktur Utama itu saya baca berulang-ulang. Huruf-huruf tebal itu masih bertengger dengan gagah di sana. Ini keterlaluan. Saya harus berbuat sesuatu. Sebagai orang kota yang terbiasa dengan gerak cepat malam harinya saya membuat kejutan kepada banyak orang, umumnya para pelanggan warung makan saya di kaki lima. Semua pelanggan yang makan di warung saya, saya minta untuk tidak membayar semua yang telah mereka santap dan minum. Besoknya, saya juga berbuat begitu. Besoknya lagi demikian juga setelah modal saya tinggal untuk satu hari jualan lagi, baru “servis” itu saya hentikan. Kepada Mimin, istri saya, saya berbisik: “Kejadian-kejadian gila, harus disambut dan diimbangi dengan perbuatan sinting.” Mendengar ucaoan itu, istri saya pun tertawa terbahak-bahak. “Aku setuju, bang… aku setuju …” ujar Mimin. Tapi, bagaimana menurut Anda? Asal tahu saja, saya berkepentingan melakukan semua itu, karena dengan demikian faktor keseimbangan dapat terpelihara. Tapi apakah benar pandangan saya itu? ***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 19 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar