Selasa, 14 Juni 2011

Puisi, Sejarah, Santet *

Sebentuk ‘Surat Kreatif’ kepada Fatah Yasin Noor, Penulis Kumpulan Puisi Rajegwesi
Mashuri **
http://sastra-indonesia.com/

Sejarah adalah mimpi buruk (James Joyce)

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Mungkin kita belum pernah bersua, namun dalam kesempatan ini aku berikhtiar bersua denganmu lewat puisi-puisimu. Siapa tahu aku dan dirimu bertemu atau berpapasan di teks-teks puisimu, dan pertemuan itu bisa aku untai menjadi buah pikiranku. Jika aku tak bisa menemuimu di sana, aku akan merangkum kealpaan itu dalam praduga yang berlatar pada sosio-kultur yang melahirkan teks-teks puisimu, juga sosiokultur yang mematri nilai-nilai dan kearifan ke jiwamu.

Oleh karena itu, aku akan bertumpu pada ingatan-ingatan kolektif, kearifan dan kenaifan tradisi, juga mungkin sebentuk hasrat yang tergurat di bait-baitmu, yang kadang lancar. Kadang patah-patah. Dan, seringkali membuat aku harus menakik alur pikir dan perasaanku untuk membalik teks-teks puisimu, agar aku bisa mengintip rahasia dan misteri yang tersimpan di sana. Mengingat topografi dan historiografi tradisi dan budaya Banyuwangi, aku melihat beberapa puisi patah-patahmu adalah niscaya. Aku teringat saat A. Solzeynistin, mengakui tulisan tentang pulau penjara pada masa-masa rezim komunis berkuasa di Rusia: ‘Gulag’, yang tak senada, dan mungkin patah-patah, karena kondisi saat menulisnya sambil berlari dan itu adalah keniscayaan dari kesusastraannya. Mungkin aku terlalu gegabah, tetapi ini adalah salah satu caraku untuk bersua denganmu.

Ah, lupakan soal itu. Yang jelas, apapun alasannya puisi tetaplah penting, apalagi untuk zaman kini, ketika suara-suara begitu banyak yang mendesak ingin menguasai ruang kita dan menuntut untuk didengar. Dan, itu yang aku tangkap dari spiritmu: adanya keyakinan yang begitu penting pada puisi. Tak peduli kata orang, ihwal akhir romantik peran penyair. Aku menangkap begitu banyak kesungguhan dalam puisimu yang menegaskan bahwa puisi itu juga masih sangat penting dalam lingkar sengkarut realitas yang demikian hiperreal, dan kondisi kekinian kita yang rapuh.

Mungkin ini adalah problem akut kita bersama yang masih meraba-raba arah gerak dunia dan menjadi pengekor yang teguh. Aku menangkap puisimu bermain dalam wilayah itu. Spirit puisimu ingin ‘mendamaikan’ masa lalu dan masa kini. Apalagi realitas sejarah ‘lokal’-mu begitu luka. Jika dalam konteks sosio-kulturmu, itu sebagai cara terapi dalam merakit trauma-trauma sejarah, karena kita memang tak cerdas untuk ihwal itu dan selalu mengulang hal-hal yang sama, meski di masa lalu hal itu sering berperistiwa.

Sebagaimana yang dianggit Octavio Paz, bahwa puisi adalah penyembuh bagi sebuah ‘luka sejarah’. Hal itu karena sejarah Brang Wetan/ Blambangan, selalu saja menempati wilayah periferi dalam sejarah mapan Jawa. Pada masa Majapahit, ia juga berada di ruang-ruang subordinat, terutama dalam kisah perseteruan Damarwulan-Menakjinggo. Pada lanskap kultur Jawa, Damarwulan adalah pahlawan. Tetapi aku yakin dalam kultur Brang Wetan/Blambangan, terdapat anggapan yang berbeda, dan hero itu Menak Jinggo. Kondisi ‘muram’ itu berlangsung hingga kondisi mutakhir, ketika isu dukun santet merebak. Padahal, selama ini, telah terjadi pemaknaan yang salah kaprah dalam dunia santet. Santet bagi orang Osing berbeda dengan santet bagi masyarakat awam dan dipahami oleh khalayak riuh. Bahkan, lagu ‘Genjer-Genjer’ yang netral itu tiba-tiba begitu subversif pada masa Orde Baru dan disangkutpautkan dengan Gerakan 30 September, dan dianggap sebagai lagu wajib Gerwani dalam berpesta.

Dengan sedikit latar itu, tak heran, dari baris-baris puisimu, aku melihat begitu banyak warisan yang berusaha kau baca dalam kekinian, dengan tak segan kau berkata: sejarah adalah luka, sebagaimana yang dikatakan James Joyce, bahwa sejarah adalah mimpi buruk. Namun bukan berarti kau abai pada sejarah dan menganggapnya tidak penting. Aku masih meyakini bahwa kau sebagaimana Ortega Y. Gaset, yang tetap ‘gamang’ melihat masa depan, dan menganggap bahwa sejarah itu adalah ‘harta’ yang berharga. Dengan tegas Gaset mengatakan bahwa manusia tak punya kodrat dan yang dipunyai hanya sejarah. Aku melihat kau berada di persimpangan antara kodrat dan sejarah.

Sejarahmu demikian luka dan kau masih bimbang dalam kekinian. Meski demikian, keyakinan begitu besar dalam kekinianmu yang masih carut-marut itu. Ketika membuka bukumu Rajegwesi, aku bersua dengan gelisah dan optimismu itu. Dalam “Elegi Perjalanan Hidup”, yang kautulis pada 1991, aku melihat adanya kegamangan itu. Sebagaimana manusia modern Indonesia, yang masih terombang-ambing antara tradisi lokalnya dengan tradisi dari Barat yang sering disebut modern. Memang sering kali kita mendengar jangan tangisi kematian tradisi, tetapi mengingat zaman kini, sepertinya kita masih begitu butuh pada tradisi. Tentu yang patut ditimba adalah spirit tradisi sebagai progres kreatif. Karena sungguh, seringkali kita asing dengan tradisi kita sendiri. Aku dalam puisimu “Rajegwesi” (hal 50) yang kautulis pada 2007, adalah kita.

…di saat gending itu menggerakkan angin
maka di sanalah aku tahu bagaimana wajahmu
sekian lama menempati peta asing

Hal itu tidak hanya dalam “Rajegwesi” saja. Bahkan, dari sajak-sajak yang kautulis dan bertahun 1991, sebanyak 13, aku melihat adanya rasa gelisah pada ingatan, kenangan, dan kekinian. Dan, aku merasa, inilah ruh yang hidup dan menghidupi sajakmu. Dalam “Laut” (hal 22), kesadaran sejarahmu demikian tinggi: sejarah luka, juga berbagai pendikreditan arketipe budaya sekaligus ‘salah baca’-nya.

Laut yang terhampar di hadapanku
Senantiasa menyentuh luka yang tiada pernah sembuh
Telah terkubur berabad
Abad, sehingga aku tak tahu di mana
Akan kubuang masa laluku. Laut telah
Sesak oleh sejarah

Kau terus ‘Membaca. Mengaji lautan sejarah” (“Manusia Sehari”, hal 18). Kau seakan-akan menunjuk ada sesuatu yang tidak ‘alami’ terjadi di lingkungan budayamu, dan merasa “Di sini waktu berhenti. Jam-jam kehilangan jarum” (“Cerita”, hal 19). Kau begitu menolak kebekuan waktu. Kesadaran yang menguasaimu adalah kesadaran ‘modern’ dengan progres. Tetapi realitas-kekinian seakan membekukan dan waktu seakan berhenti seperti yang kau lontarkan. “Sehari waktu telah berhenti mengenal manusia. Melebur diri. Hanyut oleh kesementaraan waktu yang berhenti. (“Cerita”, hal 19). “O ini abad sudah enggan disapa”. (“Untuk Jari-jari”, 20)

Ingatan, kenangan, sejarah dan panggilan dari ‘Ibu’ menjadi ruh hidup puisi-puisimu yang lainnya. Seperti dalam “Perimbangan” (hal. 17)./Telah kulihat ibu/Memanggil namaku/Agar segera berangkat/Melupakan catatan harian/ Yang hanya menyimpan sunyi/ Telah melukai tubuh sendiri/ Tiap hari.

Dalam “Jalan Alam” (hal. 59) ditulis 2008. /Aku meletakkan telapak tanganku di dadamu/ Juga perlahan-lahan seperti ingin menghapus kenangan/. Begitu pula dalam “Kerinduan” (hal. 66), ditulis 2009: /Aku berupaya menemuimu,/ Karena begitu lama aku mengembara/ Di labirin kesia-siaan./ Engkau adalah rumah yang lama kutinggalkan/.

Dalam sajak lain yang ditulis pada 2009, juga menyangkut ihwal kenangan dan usia. “Dahan Kelapa dalam Dadamu” (hal. 70):/ Ingin segera sampai ke rumahmu./ Meletakkan gerimis./ Atas nama pikiran kosong./ Juga ingatan yang terkotak hijau. Dalam “Dan Waktu” (hal. 78): /usia empat puluh tujuh,/… sejarah puisi yang terlupakan/. Dan, pada “Sampiran Setan” (hal. 80) mengerucut pada hal-hal sublim sekaligus kontradiktif: sebuah perjalanan telah sampai, sekaligus mempertanyakan tentang sesuatu yang dianggap ‘terberi’.

Memang, meski secara umum, bait-bait puisimu tak menyimpan bentuk metrum ‘Sabuk Mangir’, ‘Jaran Goyang’, tradisi ‘Warung Bathokan”, dan lainnya yang memasang atribut identitas kulturmu, tetapi aku menangkap adanya sinyal itu. Bahkan, ada usaha untuk mengembalikan makna santet yang sesungguhnya sebagai sebentuk usaha meraih mahabbah/cinta dan demi cinta. Tentu saja, kau juga merajutnya dengan sajak-sajak cinta yang ciamik, sajak persembahan yang mantap, juga sajak-sajak yang kau sebut ‘puisi-puisi tak terduga’ yang lain.

Sungguh, berpuluh sajak-sajak berbinar ihwal cinta. Tentu cinta di sini, bukan cinta sejoli, birahi, tetapi cinta yang menguniversal dalam kemanusiaamu. Sajak-sajak cintamu demikian banyak. Aku terpaku pada sajak cintamu, yang berjudul “Yashinta Nur Safitri” (hal 82), yang kautulis pada 2009. Aku lalu teringat bahwa kumpulan sajak ini juga kau persembahkan pada nama itu. Aku menduga ia adalah buah hatimu.

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Aku termasuk orang yang kagum pada sub kultur Osing, yang tradisi lisan dan tulisannya terus terpelihara. Sastranya terus tumbuh secara mandiri dan kompleks. Bisa jadi karena begitu banyak ‘agen kebudayaan’ di sana, yang membacanya dalam kekinian, sebagaimana engkau membacanya. Mungkin banyak orang yang merasa gelisah ketika sebuah laju budaya berhenti pada ornamen, arketif pasif dan kebudayaan menjadi kata benda. Aku menangkap beberapa puisimu meruju ke situ. Kau ingin membaca warisan bukan dalam kapasitas masa lalu, tetapi dalam kekiniannya. Sehingga terkesan ada nada miris ketika kau bicara warisan masa lalu.

Hal ini kau tegaskan dalam sajak “Kelahiran” (hal. 31). Berikut ini kutipan beberapa bait:

Mataku terpejam diam-diam mengusung
Kemiren dalam tubuhku menjadi fosil
Serupa penari Gandrung yang tengah bermimpi
Tentang bulan dan suara using ditalu-talu

Tapi, di kota aku sempat mengelus patung-patung itu
Jejak masa lalu yang semakin mengabur
Hanya kukenali kembali rintihan-rintihan lembut
Yang nyaris tak terdengar dalam dadaku

O Tradisi pesisir: perahumu dihimpit gunung

Hal itu juga juga tampak pada dua sajak yang kau tulis pada tahun 2006, judulnya “Banyuwangi” (hal. 27) dan “Sebentuk Kisah” (hal. 32). Dalam “Banyuwangi”. /Banyuwangi,/ Terasa merdu suaramu di telingaku/ Lantaran jauh aku meninggalkanmu/. Banyuwangi,/ Kesempitan melapangkan jalanku ke duna/ Lantaran dialek Using yang begitu-begitu saja. /Kini sayup-sayup kudengar lagi suaramu/ Mengusung carut-marut penampakanmu/. Adapun dalam “Sebentuk Kisah”, aku lirik ‘hanya’ bersua ‘sebutir pasir’ dalam ‘kamar’ pertaruhan realitasnya, dan selalu dijejali dengan menemukan ‘tv yang selalu menyala.

Dari dua sajak tersebut tersebut, terdapat nada masqul menghadapi ‘yang begitu-begitu saja’ dan ‘carut marut’, dan dirimu berkehendak untuk memberi nilai lebih dari yang sudah ada. Jika Adonis alias Ali Ahmad Said meminjam ‘ruh’ puitik Mutanabbi untuk mendobrak kebuntuan kreativitas bangsa Arab pasca kalah Perang dengan Israil, aku melihat ada hasrat demikian besar dalam puisi-puisimu. Kau begitu luka memahami masa lalumu, dan dengan puisi kau menyurat sebuah kesaksian, bahwa mesti ada yang tetap dan berubah. Tentu warisan masa lalu yang kau angankan itu adalah dinamika Osing, Kemiren, juga Banyuwangi dengan tradisi dan kultur yang begitu kaya dan mandiri. Dan, kau ingin warisan itu tidak hanya ‘begitu-begitu saja’ tapi ‘hidup’.

Kau menegaskan dalam “Elegi Perjalanan Hidup” (hal. 14), puisi pertama dalam kumpulan Rajegwesi.

Ah hidup!
Masih mengais-ngais juga di bumi
Segala hulu yang mengalirkan sejarah
Kini meretas di jari-jariku

Optimisme masih kau pegang meski kau alirkan lewat suara sajakmu yang ironi. /Dan kini secupang cinta telah menodai tujuan yang/ Telah kubangun lewat keping waktu (“Ia Mendengar Suaraku”, hal. 15). Sajak-sajakmu yang lain juga menyebut beberapa tempat, tokoh, mitos, alih kode dan campur kode dan lainnya terkait dengan Osing dan Banyuwangi. Kau juga meruyak wilayah spiritualisme Islam, dengan mengunggah puisi yang yang sunyi dan mengungkai kaidah-kaidah sufisme.

Adapun pada tahun-tahun 2007, sajakmu cukup banyak yang berbicara tentang Kemiren. Di antaranya “Hantu di Kemiren” (hal 41), “Dosa Kemiren” (hal. 43), “Magma Kemiren” (hal. 44), dan “Geriap Kemiren” (45). Nada dan suasana yang terbangun ‘muram’, sebuah introspeksi pada ruang dan waktu yang tak tepat, menyoal perspektif umum/mapan yang riil, tapi ganjil. Ihwal ragam kulturmu juga membukit di ‘Sebukit Rinjani”, yang kau tulis 2009 (hal. 75), meski nadanya berbeda dengan sajak tahun 2007.

Dalam sajak tahun 2007 “Desa-desa di Kemiren” ( hal.47), kau menegaskan gejolak itu dalam di antara dua tanda kutip.

“Di sini tak ada apa-apa, saudara
Pergilah di kota-kota
telah tersimpan riwayatku yang basi”

Dalam “Sebukit Rinjani” (2009), yang bentuknya mirip prosa, sepertinya ada usaha untuk berdamai. “Sudahlah, hanya secangkir kopi. Engkau hanya mencari orang yang terkesima. Menggenggam peninggalan Majapahit erat-erat. Yang dekat dari sini hanya Gunung Ijen.” Suasana yang berbeda dari tahun sebelumnya juga kau tabalkan dengan mengambil ikon Gandrung dalam sajak yang kautulis pada 2009, judulnya “Belerang di Tubuhmu” (hal 77)

Tak ada bau bangkai di sini.
Hanya jejak-jejak Gandrung yang menempel
di beranda rumahmu
Selendang merah yang kusam

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Meski berbeda, aku melihat kau tetap memandang ‘jejak-jejak’ itu sebagai hal yang ‘kusam’. Artinya, kau tetap istiqomah dalam memandang masa lalu dan warisan tradisi itu sebagai hal yang harus ditafsir ulang dan diberi notasi dalam kekiniannya yang tidak terjebak pada masa lalu…

Demikianlah, pada akhirnya, beribu maaf aku gelar di sini, karena harus menyudahi pembicaraan yang mungkin terlalu melenceng jauh dari perkiraan dan bertele-tele. Namun bagiku ini adalah sebentuk ‘kenikmatan’ dan ‘rekreasi’ yang menyenangkan. Aku sudah berikhtiar ‘membaca’ 70 puisimu, yang ditulis mulai 1991—2009, dengan jumlah dan jeda yang berbeda. Tak ada sajak dari tahun 1992—1995 dan 2000—2005. Rinciannya: tahun 1991 (13 sajak), 1996 (6 sajak), 1997 (1 sajak), 1998 (2 sajak), 1999 (1 sajak), 2006 (1 sajak), 2007 (14 sajak), 2008 (8 sajak), dan 2009 (25 sajak). Paparan singkat ini adalah hasil perjumpaanku dengan beberapa puisimu.

Aku memang hanya fokus pada hal ihwal yang berbau sejarah, tradisi dan ingatan-ingatan kolektif saja, karena sajak-sajakmu mendedah banyak hal, yang tentu saja tidak kuasa kubaca semua. Bahkan, bisa jadi, banyak hal dari sajak-sajakmu yang luput dan itu karena keterbatasanku yang tak mungkin bisa mendedah seluruhnya dan sempurna. Semoga bermanfaat. Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq. (*)

*) Disampaikan sebagai prasaran dalam acara “Geladak Sastra” di Mojokerto, pada Minggu, 26 September 2010. Belum diedit.
**) Penulis puisi, prosa dan esai.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir