Muhammad Rain *
http://sastra-indonesia.com/
Puisi dapat dinikmati dengan beragam cara. Ada dua cara di antara ragam penikmatan dan pemahaman puisi sebagai benar satu (kita tak mau salah) karya sastra sebagaimana yang disampaikan oleh M. Saleh Saad dalam Prasaran Catatan Kecil Sekitar Penelitian Kesusastraan miliknya yang dimuat dalam buku Bahasa dan Kesusastraan Indonesia sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru (Ali, ed., 1967: 111 – 27; 128 – 51). Pertama, bersatu dan menenggelamkan diri ke dalam karya sastra itu, sehingga persoalan yang ada ialah merasakan; dan cara kedua ialah menikmatinya secara sadar dengan memanfaatkan kaidah atau kriteria tertentu untuk menganalisis karya sastra, sehingga persoalannya ialah menilai secara obyektif.
Memasuki cara pertama yang disampaikan M. Saleh Saad ini yakni bersatu, tenggelam ke dalam karya yang kita baca, maka kita selaku pembaca dihadapkan kepada penyerahan kesadaran kita secara ikhlas untuk memperoleh hasil pembacaan puisi. Keyakinan dan kepercayaan kita kepada penyair yang puisinya kita baca tak boleh sedikitpun goyah, justru karena kita sedang belajar darinya, dalam memahami kehidupan yang dikisahkan dan difikirkan oleh pemuisi. Sedangkan cara kedua, lebih menekankan pada konsentrasi mencari nilai, bahkan menilai karya sastra yang kita baca sesuai kemampuan menilai masing-masing kita. Sebab pada dasarnya pemaknaan seni puisi yang mengambil “kehidupan” sebagai tema universal tetap menjadi hak umum segala manusia. Meski pembaca awam dan minim pengalaman terhadap seni berpuisi, catatan penting di sini bahwa sesungguhnya seorang penyair atau ribuan penyair jikapun mereka dikumpulkan ternyata tak juga mampu menunjukkan kita apa sesungguhnya nilai, tujuan, hakikat adanya kehidupan itu.
Masing-masing mereka (para penyair) punya pandangan originalnya, begitu juga pembaca. Sebab itulah penilaian terhadap sebuah karya adalah hak paten setiap orang, setiap pembaca. Seperti memberikan nilai kepada dirinya. Nilai dalam suatu karya sastra sesungguhnya sangat beragam rupa. Keberagaman ini muncul akibat banyaknya kepala, isi dan pemikiran yang berlintasan di setiap penyair. Teeuw (dalam Yudiyono KS., 1990: 33) menyinggung tentang masalah nilai sastra, ia dalam buku Telaah Kritiik Sastra Indonesia ini secara singkat menyatakan bahwa kriteria utama untuk nilai sastra ialah relevansinya sebagai karya seni bagi eksistensi manusia. Robson menimpali pula dalam menilai sastra harus dapat dikembalikan kepada satu prinsip, yaitu kemanusiaan. Sebab, tidak ada seni untuk seni saja, atau tidak ada ilmu untuk ilmu saja.
Meskipun dengan dua pertimbangan nilai sastra yang ditawarkan dua ahli ini seolah saling sokong, namun untuk menafsirkan makna “kemanusiaan”, kita perlu berhati-hati, justru karena maknanya tidak menunjuk suatu konsep yang tunggal. Kemanusiaan bagi kaum Marxis boleh jadi tidak sama dengan maknanya dengan kemanusiaan di mata penganut ajaran yang lain. Hal ini selanjutnya menimbulkan beragam persepsi yang bermuara pula terhadap beragam pemaknaan nilai karya sastra (puisi). Akan tetapi sebagai pembaca, pencipta sastra, pengkritik dan peneliti luasnya dunia sastra, ternyata penafsiran nilai kemanusiaan ini tetap memiliki muara sebagai tujuan sama, yakni memanusiakan manusia. Puisi sebagai sebuah proyek raksasa kemanusiaan yang dilakukan sejak berabad-abad silam bahkan hingga berabad-abad ke depan berfungsi abadi dalam memunculkan nilai kebermaknaan kehidupan yang dijalani oleh manusia, manusia yang tak bermakna, tak memiliki arah nilai juga tak berpedoman hanya akan menyia-nyiakan fungsi akal budi yang dimilikinya.
Puisi sebagai produk demi melayat kemanusiaan kita yang seakan selalu mati oleh kondisi, oleh perombakan-perombakan yang dilakukan seiring jalannya waktu. Puisi menjadi ranah kondusif yang banyak diminati seluruh kalangan suku bangsa manusia sehingga sebagai salah satu seni yang kompleks yang selanjutnya menjadi salah satu kesusastraan penting dunia selanjutnya dijunjung tinggi lewat penghargaan Nobel segala, pencitraan tingginya nilai kemanusiaan yang berhasil dilayat oleh penyairnya, jika hari ini ada yang mengatakan puisi sebagai barang mati, nyata sekali bagi kita bahwa pengkata ini sedang mengubur nilai kemanusiaan dirinya. Bahasa puisi adalah bahasa jiwa, kendaraan yang mengantarkan pembaca kembali mengenali dirinya dan semesta, bolak-balik dari kosmos ke mikrokosmos yang melingkupi dunia replika, dunia yang menyelamatkan jutaan jiwa dari kematian denyut kehidupan jiwa itu.
Lalu bagaimana jika suatu kenyataan berbeda lahir dari sebuah karya puisi yang tidak menjalankan fungsinya sebagai tenaga hidup dalam menkhidmati kehidupan ini? Bagaimana sebenarnya sikap bijak kita ketika membaca suatu karya puisi yang nonsens yang tidak memiliki daya dorong untuk membangun fungsi refleksifitas, revisioner, re-re- lainnya yang menghendaki pencerahan dalam tugas manusia sastra untuk mampu membaca jalan dan tumbuhnya kehidupan di dalam kesusastraan. Bagaimana ketika dunia puisi dipenuhi oleh orang-orang yang mati, mati rasa mati estetika? Kita lalu menjawabnya dengan perasaan jenuh dan sia-sia. Puisi yang gelamor belum tentu merdeka dari kebobrokan syahwat yang membelenggu dunia nafsu. Puisi tenar belum tentu bebas dari uji materil kekonyolan demi sekedar membesarkan satu dua nama.
Keterjebakan kita terhadap sastra nonsens, sastra yang fulgar, atau sastra yang malah lembek menetek kepada keindahan tanpa nilai refleksi. Seperti halnya manusia memilih makanannya, tentu cita rasa menjadi penting. Jiwa pembaca memiliki beragam cita rasa memang, tetapi ketika kita misalkan menanyakan satu demi satu pembaca itu, apa tujuan Anda membaca puisi? Nyaris secara umum mereka para pembaca itu menunjukkan suatu jawaban yang mengarah untuk memperoleh nilai kehidupan, nilai kemanusiaan yang didialokkan oleh penyair lewat puisinya.
Saudara tidak akan tertawa terpingkal khan jika ada yang begitu menggilai puisi sampai ada yang lupa makan? itu adalah suatu daya cinta pembaca terhadap cinta dirinya kepada kemanusiaan. Penyair bahkan menulis tanpa rasa lapar jika ia sejenis manusia yang tidak manja, yang tidak hanya akan menulis ketika perutnya kenyang, entah itu setelah diundang makan-makan di suatu acara sastra terkemuka lalu mulai berguyon tentang kesusatraan yang merdeka tanpa tujuan mengisi perut. Jiwa yang kita memiliki tentu membutuhkan nutrisi yang bergizi, puisi salah satu gizi yang doyan dinikmati. Gizi berfungsi memendam nilai di dalamnya, jika pada makanan bisa berupa nilai nutrisi, nilai protein dan sebagainya.
Kalau Anda menelan pil untuk mengobati sakit kepala misalnya maka dorongan perhatian dokter lewat kata-kata sugestifnya (meski tak terlalu nyastra) toch sedikit banyak membantu Anda semangat untuk sembuh. Kasih sayang suatu bahasa dapat meredakan emosi yang meluap, kekecewaan dan kepedihan selama menjalani kehidupan dapat sedikit kendur jika ketika si pesakitan mau membuka corong mata dan jiwanya demi mengenali ada ribuan dan bahkan jutaan peristiwa lebih mengerikan yang di alami banyak orang di luar sana.
Anda mungkin pernah membaca Sarajevo-nya Goenawan Mohammad, atau Anda lebih suka puisi yang ditulis penyair yang turut berperang, atau bahkan Anda tidak suka perang sehingga tidak mengenali perang sesungguhnya selalu dengan gencar terjadi di dalam diri Anda. Dalam kehidupan yang tanpa sadar kita jalani ini, kita bangga-banggakan ini, perang terus berlangsung. Perang melawan hawa nafsu, perang yang lebih besar dari perang Badar masa Rasullullah sebagaimana yang diriwayatkan kitab-kitab agama Islam, atau perang modern di film-film Star Trex misalnya, perang dunia robot.
Replika perang yang sesungguhnya sedang mengajak kita dalam memaknai kehidupan, melayat nilai-nilai kemanusiaan kita yang kerap terkubur oleh nafsu keduniaan.Penyair mengetuk lewat puisi-puisinya, kaum agamawan mengetuk dengan khutbah-khutbah dan ceramahnya, para pemimpin mengetuk dengan peraturan-peraturannya untuk seluruh rakyat yang jika ia mencintainya, para ibu mengetuk si anak yang sakit dengan dongengan tentang binatang yang kelewat licik agar si anak melupakan rasa sakit yang diderita. Seorang penyanyi justru bertanya pada rumput yang bergoyang, jika dirasa olehnya manusia sudah bukan tempatnya lagi untuk bertanya apa sesungguhnya nyanyian-nyanyian kehidupan. Sastra sangat luas, sampai begitu luasnya namun masih ada di antara jutaan ribu pembaca yang masih sesat, seperti membaca puisi yang tak bertenaga seperti berangkat naik bus di jalan mulus menembus waktu namun tak ada yang turun satupun tak ada yang sampai kemanapun, sebab puisi semacam ini nyaris lembek tanpa alamat.
Melayat kemanusiaan kita adalah ibadah hablum minnannash, banyak pahala di sana bahkan langsung terasa di dunia nyata. Orang-orang sesama pencinta sastra memiliki ketentraman yang sama sebab tak saling melanggar dan memperkosa keindahan masing-masing mereka. Keindahan yang sejatinya tidak bisa dimiliki sendiri-sendiri. Keindahan kesusastraan puisi itu. Maka menulislah agar semua selamat, tidak penyairnya saja, tidak para penerbit buku saja, pencetak majalah dan koran saja. Semua orang ingin selamat dari kematian kemanusiaan yang masih bisa ia hidupkan. Hidupkanlah kesusastraan di mana saja, kapan saja dan untuk siapa saja. Salam sastra.
*) Penulis adalah pencinta seni sastra puisi, pemerhati manusia dan pengajar kesusastraan pula di lembaga pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas, juga perguruan tinggi di daerah, Langsa dan sekitarnya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar