Selasa, 17 Mei 2011

Albert Camus, Art Summit, dan Orang Hottentot

Sitok Srengenge
http://majalah.tempointeraktif.com/

Pesta kesenian ini ternyata tidak melahirkan pencerahan. Wajar jika biaya Rp 2 miliar itu dianggap royal.
“Hidup ini tidak mudah, tetapi untunglah ada penghiburnya, yaitu agama, seni, dan cinta yang kita tumbuhkan pada diri orang lain.”

Ungkapan Albert Camus itu tertera di sampul belakang katalog Art Summit II 1998. Siapa pun yang memakai kata-kata itu–demi mengabsahkan pesta seni pertunjukan sejagat, yang melibatkan sejumlah seniman dan birokrat, di tengah kondisi serba susah yang dihadapi masyarakat–agaknya lupa bahwa Camus mempunyai wejangan lain. “Seniman tidak diminta bekerja sama dengan tiran atau sebaliknya, meninabobokan penderitaan yang terkandung dalam dirinya dan dialami banyak orang.” Kutipan itu bukan sekadar larat-larat huruf yang dicetak. Di situ juga terbaca sebuah pendirian kerja kesenian mesti bertolak. Kesenian Camus bergerak dari keberpihakan terhadap kaum yang dianiaya, sia-sia, dan hina. Bagi Camus, seniman mesti berdiri sederajat dengan orang-orang yang bekerja dan berjuang.

Art Summit hanya mengutip kata-katanya, tapi mengabaikan sikap yang melandasinya. Kesenian yang digelar bukan dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap mereka yang tak berdaya. Kegiatan itu justru didasarkan atas program—semacam proyek etalase, di mana keindahan dipatut-patut demi menutupi keadaan yang carut-marut. Aksi demonstrasi, kekurangan pangan, dan media massa yang mewartakan, dipandang sebagai penyebab munculnya citra buruk yang merugikan. Karena itu, sasaran Art Summit kali ini antara lain menepis gambaran Indonesia yang tidak normal dan mendapatkan kembali kepercayaan internasional.

Gambaran tersebut menjadi normal jika rencana pesta besar itu dibayangi rambu-rambu moral. Misalkan negeri ini sedang dalam keadaan sejahtera, kesenian tetap akan berkisar di pinggiran. Apalagi saat krisis ekonomi kian membelit begini, seni menempati urutan pertama untuk dikorbankan. Maka sebenarnya Art Summit bisa dihargai sebagai “suaka” bagi keberlangsungan seni. Namun, lantaran ia merupakan program pemerintah—yang tak pernah punya kesungguhan dalam mengembangkan kesenian—ditambah tujuannya adalah menutupi borok yang digaruknya sendiri, Art Summit lahir sebagai sebuah ironi yang menumbuhkan sanksi. Wajarlah jika biaya Rp 2 miliar dianggap sebagai keroyalan di tengah kesusahan rakyat.

Selain itu, pemilihan peserta juga tak dapat dikatakan obyektif. Ada sejumlah anggota Dewan Artistik ikut jadi peserta. Betapapun, hal itu kurang sesuai dengan asas kepatutan. Pada zaman sulit seperti sekarang, orang tak layak meraup semua kesempatan. Mereka harus tegas memilih–berperan sebagai Dewan Artistik atau Peserta–demi memberi peluang kepada orang lain.

Pemberian prioritas senioritas dan nama besar juga bukan keputusan bijaksana. Meski senioritas bukan masalah yang relevan di dunia kesenian, penilaian yang didasarkan atas prestasi paling menonjol selama tiga tahun terakhir tetap mengundang pertanyaan. Di bidang tari dan teater semua peserta adalah tokoh yang telah lama mapan. Di luar mereka masih ada sederet seniman yang jauh lebih produktif dan kreatif.

Yang melegakan adalah munculnya kontradiksi bahwa seluruh tema garapan peserta Indonesia seakan beroposisi dengan tema yang dirancang penyelenggara. Jika panitia mengangankan forum ini menjadi pemoles wajah bopeng kemanusiaan di negeri ini, para seniman justru berupaya menguaknya.

Gusmiati Suid bersama dengan Gumarang Sakti, melalui Api dalam Sekam, menyodorkan renungan perihal tenung kekuasaan dan pengaruhnya pada perilaku manusia. Ia menyajikan tema nafsu dan ambisi yang berlaga menikam nurani demi memperebutkan remah kekuasaan. Gerak-gerak penuh rentak dari khazanah persilatan dan latar budaya Minang itu dirangkai secara naratif dengan tradisi permainan, menghasilkan komposisi yang tragis-liris. Meski demikian, dorongan bercerita dan bermain itu menyebabkan karya Gusmiati kali ini terasa lebih encer dibandingkan dengan koreografinya terdahulu, Kabar Burung (1997), tapi terkesan lebih dinamik lantaran variasi suasananya memberi kelonggaran celah bagi perenungan.

Otoritas kekuasaan juga tampil lewat uraian verbal Rendra. Dengan repertoar Suku Naga, Rendra mengemas perangai kekuasaan yang korup dalam benturan akulturasi antara modernitas dan kemurnian alam. Pertunjukan itu merupakan “cetak ulang” pementasan 23 tahun silam, dengan sedikit tambal sulam pada kulit persoalan. Pertunjukan ini tak memiliki hal yang baru pada inti tema yang dilontarkan kedaluwarsa dan tak menemukan substansi. Selama tiga jam pementasan, drama itu hanya meruahkan khotbah. Permainan para aktor kedodoran, kecuali Adi Kurdi dan Kurto, dan dialog terasa monoton dan terperosok pada pola lisan Rendra—paling mencolok pada Sawung Jabo—dan semua itu berlangsung di atas tata artistik yang kering. Sungguh, pertunjukan itu tak lagi membiaskan aura vitalitas Rendra dan Bengkel Teater.

Berbeda dengan Gusmiati yang idiomik, Miroto tampil lebih transparan dengan Kembang Sampah. Ambisi Miroto untuk kontekstual mengungkap kebobrokan tata sosial menyebabkan garapannya terjebak dalam verbalisme gerak klise dan simbolisasi yang majal. Tipologi koreografi maupun elemen artistik yang dihadirkannya—pasir, tonggak kayu, dan replika tengkorak—mengingatkan kita pada Soloensis (1997) karya Sardono W. Kusumo. Formulasi unsur-unsur dari tradisi tari Jawa dan tari modern masih kalis, berserpih dan belum mampu menghasilkan kekentalan adonan estetik yang padu dan gurih.

Aktualisasi tentang carut-marut tata sosial juga menjadi inspirasi pementasan visual Ngeh, arahan Putu Wijaya. Sembari menafikan kata dan cerita, Putu berhasil melakukan optimalisasi permainan layar dan bayang-bayang. Dibantu tata artistik Roedjito dan musik Harry Roesli, tontonan ini mampu menebar daya pukau melalui berondongan imaji kekerasan yang berkelebat. Jika ada yang patut disayangkan, hanya 15 menit di akhir pertunjukan. Bagian itu terasa indikatif dan menjadi antiklimaks bagi ketegangan teror mental sejam sebelumnya.

Secara keseluruhan, Art Summit II 1998 belum mampu meraih pencapaian artistik seperti halnya Art Summit 1995. Kita tak lagi bisa merasakan daya sihir sebagaimana divibrasikan Sankai Juku (Jepang), Chandralekha (India), atau Ghana Dance Ensemble (Ghana), umpamanya. Yokio Waguri (Jepang) yang didamba ternyata lebih mumpuni sebagai presentator sejarah butoh daripada memainkannya. Diez Diez Danza (Spanyol), yang menarikan nomor-nomor koreografi gubahan Pedro Berdayes dan Monica Runde, terkesan lebih kitsch ketimbang Richard Alston Dance Company (Inggris).

Barangkali Bremener Tanztheater (Jerman) adalah sebuah perkecualian. Dengan memainkan koreografi arahan Susanne Linke, grup ini mengeksplorasi lembar-lembar kain secara optimal. Permainannya merupakan paduan bentuk lingkar, garis, dan bunyi yang menghadirkan suasana puitis. Koreografinya bersumber pada pinggul yang menghasilkan gerak mengigal, kecuali gerakan berjalan, dan berkembang menjadi beragam komposisi yang mencuatkan imaji dan narasi. Kendati demikian, pesonanya masih berada satu strip di bawah grup tari senegaranya, Weimarer Tanztheater.

Kini pesta itu telah usai. Tak ada lagi antrean di depan loket, riuh tepuk tangan, atau pejabat yang menyerahkan karangan bunga yang tampak konyol. Dan yang menyedihkan, tak terjadi pencerahan. Krisis belum menipis. Kepercayaan internasional tak lantas menebal. Lapar terus menjalar.

Sejak dulu mestinya kita tahu, kelaparan tak bisa dilupakan dengan hiburan. Sebab, kita bukan sekumpulan orang Hottentot—seperti dikisahkan Orison Swett Marden—yakni orang-orang yang mampu bertahan hidup lama dalam kemelaratan, karena punya menu istimewa berupa bubur perekat, sejenis lem untuk ditelan seraya mengetatkan ikat pinggang. Kita, barangkali, adalah bangsa yang sabar. Tapi kita juga manusia biasa yang kerap takluk menghadapi lapar.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir