Selasa, 08 Maret 2011

Ibu Bumi

Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Sinopsis:
Seorang ibu, bagi anak-anaknya adalah bumi. Wajahnya adalah dedauanan menyambut fajar, sejuk menyelimuti. Jiwanya adalah ladang berbenih, penuh dengan kicauan burung pagi.

Anak-anak kemudian bertanya tentang bapaknya. Ibu berkata bahwa bapaknya adalah matahari, pergi dalam gelap datang membawa cahaya. Anaka-anak terus menuntut jawaban yang lebih tentang ayah yang matahari itu. Ibu kemudian sulit bersikap, lalu dengan berat hati pergi meninggalkan anak-anaknya.

Lama ibu tak kembali. Anak-anak mencarinya. Kepergian ibu akan mencerabut akar-kar tumbuhan, padahal anak-anak masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran, kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan. Kepergian ibu membuat anak-anak lunglai, dedaunan layu, tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.

Anak-anak kemudian memutuskan untuk mencari ibu yang lama tak kembali. Mereka tak menemukannya. Yang mereka temukan hanyalah pertengkaran-pertengkaran tentang apa saja yang mereka temukan di pinggir jalan.

Setting:
Setting cerita ini adalah diawali di taman rumah yang penuh dengan bunga-bunga. Kemudian berlanjut di jalanan yang gersang.

Tokoh:
1. Ibu, mulai terlihat garis pada wajahnya, lantaran beban yang ditanggungnya.
2. Sia, anak perempuan yang paling kecil. Masih terlihat paling manja.
3. Bam, kakak laki-laki Sia yang gagap.
4. Mata, kakak Bam, anak perempuan yang paling cerewet dan kadang egois.
5. Manto, anak laki-laki yang agak jahil, juga tidak mau mengalah kalau berdebat.
6. Ifik, Anak laki-laki yang karakternya biasa-biasa saja
7. Ovan, saudara tertua. Anak laki-laki yang jiwanya sudah mulai dewasa.

Ibu Bumi
Karya: Rodli TL

Suara musik bertalu dalam gelap.
Nyanyian sluku bathok memanggil cahaya.
Cahaya temaram, cahaya terang menyisir gelap panggung,
menyirami kerumunan anak-anak berwajah putih.
Sumber dari musik, sumber dari nyanyian.

Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elu
Si Romo menyang solo
Le-olee payung modo
Mak jentit loloba
Sing mati ora oba
Sing oba medeni bocah
Sing urip goleko duwit

Musik diam
Nyanyian diam
Tubuh-tubuh statis dengan tarian,
Wajah-wajah mengekpresikan nyanyian.

Hening

Seorang ibu muncul dengan nyanyiannya. Ia menari dengan menggendong bayi, Ia lambaikan selendang gendongan mengudang bayinya. Nyanyiannya sama seperti pembuka adegan.

1. Ibu : Anakku, kau adalah anak bumi dan matahari

Jiwamu akan tenang bersama ibu. Ibu adalah bumi yang mengandung sari patih, penuh dengan akar-akar tumbuhan

Sedangkan ayahmu
Ia adalah matahari,
Pergi dalam gelap datang membawa cahaya
(lalu Menyanyi)
Puk-upuk ubang
Gedindang nabo gendang
Percil nabo gender
Kodok mbegogok
Ceblong megal-megol

Tubuh-tubuh yang statis ikut bergoyang, ikut menyanyi dengan gemulai tubuh yang menggemaskan, seperti bayi yang sedang dikudang.

2. Anak-anak : (menyanyi mengikuti nyanyian Ibu)

Ibu diam pada satu tempat. Menyaksikan anak-anaknya yang sedang menyanyi dan menari dengan senyuman

3. Sia : Ibuku, kau adalah bumi

Wajahmu adalah dedauanan menyambut fajar,
Sejuk menyelimuti
Jiwamu adalah ladang berbenih,
Penuh dengan kicauan burung pagi

Aku menyusumu ibu, bagai samudra
Tidak pernah habis kasih sayangmu

Upuk-upuk ubang, engkau mengajakku bermain
Bagai anak-anak katak menyambut hujan

Anak-anak bermain dan menyanyi. ia bergerak berenang, melompat-lompat seperti anak katak dalam deras hujan.

4. Mata : Hujan telah reda, hujan telah reda…….!
Berhenti menyanyi!

5. Manto : Kenapa mesti berhenti?
6. Mata : Lihat langit, ia sedang meminta kita berhenti menyanyi
7. Bam : Apa bukti ia mengatakannya?
8. Mata : Lihat, langit tidak menurunkan hujan lagi, hujan telah reda
9. Manto : Justru katak-katak akan semakin nyaring bernyanyi kalau hujan mulai reda

10. Mata : Tapi kita bukan katak-katak, kita adalah anak-anak beribu bumi dan berayah matahari

Anak-anak kembali bernyanyi dan menari. tariannya mempertegas tentang keluasan kasih sayang ibu dan keperkasaan ayahnya.

Ibuku bumi
Ayahku matahari
Berhenti

11. Ifik : Ya, saya berpendapat, kita memang harus berhenti bernyanyi bila kita ingin bertemu dengan ayah kita

12. Ovan : Ya, bila jiwa-jiwa kita menjadi katak, ayah akan takut datang, bukan lantaran malu melihat kita yang kerdil, ayah yang matahari itu takut akan menyakiti kita. Katak adalah binatang yang takut akan sengatan matahari.

Tiba-tiba ibu muncul lagi dengan nyanyiannya. Lembut ia menyanyi. Ada rasa gundah menunggu sang ayah datang untuk menyinari jiwanya.

13. Bam : Lihat ibu, jiwanya berlinang ia harus dihibur dalam hujan jangan biarkan mendung terus menebal kita harus bernyanyi lagi seperti katak-katak dalam hujan

14. Mata : Tapi hujan telah berhenti
15. Manto : Apa, hujan telah berhenti?

Tidakkah engkau melihat bahwa ada gerimis pada mata ibu, ada mendung tebal dalam jiwanya

16. Bam : Dan kita akan menjadi katak-katak yang bernyayi.

Syairnya adalah dendang tawa riuh.
Rasa damai pada jiwa-jiwa yang mendengarkannya

17. Mata: Tidak, kita tidak boleh bernyanyi, kita tidak boleh tertawa bila ada satu bagian dari kita yang duka

18. Manto : Justru ibu akan bertambah sedih bila kita ikut bersedih.
19. Mata : Tapi, kita adalah satu tubuh dengan ibu, bila satu bagian ada yang sakit, maka bagian yang lain ikut merasakannya

20. Bam : Tapi, tidakkah kau tahu, bahwa kebahagiaan seorang ibu apabila melihat buah hatinya bahagia

21. Ifik : Akan tetapi, pantaskah kita bergembira ria sedangkan ibu menderita

22. Mata : Perlu saya tegaskan, kita adalah satu tubuh, dalam suka dan duka kita harus berbagi bersama

Ibu berjalan mendekati anak-anaknya. Ia membelainya satu bersatu dengan kasih sayang.

23. ibu : Menyanyilah anak-anaku!

Dirimu yang masih putih adalah deretan syair-syair keceriaan.
Kalian ciptakan menara-menara tawa. Kalian yang membuatku hidup penuh harap, berharap sang matahari datang, menyinari isi taman
rumah.

Daun-daun hijau menyambutnya dengan mekar bunganya.
Musik sedih
Ibu kemudian diam menerawang. Raut wajahnya mulai terlihat sedih. Lama-lama mengalir air matanya. Tiba-tiba ibu bergegas pergi meninggalkan anak-anaknya

24. Sia : (berteriak memanggil) Ibu……! Engkau kemana……!

Jangan tinggalkan kami ibu………..!

Sia berusaha mengejar ibu. suasana menjadi sepi, anak-anak saling berpandangan.
Tak lama kemudian, Sia kembali pada saudara-saudaranya.

25. Sia : Ibu, jangan kau tinggalkan kami!

Kepergianmu akan mencerabut akar-akar tumbuhan.
Aku masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran.
Kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan.
Kepergianmu ibu, membuat kami lunglai.
Dedaunan akan layu.
Tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.

Anak-anak menangis, mereka bergerak dengan tatapan mata yang sedih. tangisannya menjadi nyanyian duka.

Sia melantunkan nyanyian sedihdi iringi musik

26. Sia :

Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu

27. Manto : (berteriak marah) Ini semua gara-gara kamu!
28. Mata : Apa, gara-gara aku?
29. Manto : Ya, gara-gara kamu!
30. Mata : Justru kamu yang membuat gara-gara
31. Manto : Apa, justru aku yang membuat gara-gara?

Anak-anak mulai bertengkar lagi, mereka saling menyalakan. Mereka bergerak berkelompok menjadi dua. gerakanya menjadi tarian yang saling menyerang.

32. Mata : Gara-gara kamu!
33. Manto : Mukamu yang membuat gara-gara!
34. Mata : Gara-gara kamu
35. Manto : Mukamu!
36. Mata : Kamu!
37. Manto : Mukamu!
38. Mata : Kamu!
39. Mata : Mukamu!

Terus mereka bertengkar, semakin lama semakin bergejolak
Semakin lama kemudian mereka mengalami kelelahan

Anak-anak lalu memanggil ibu secara bergantian

40. Anak anak : Ibu, aku kehausan
Aku ingin menyusui kasih sayangmu. Berulangkali mereka memanggil-manggil ibunya, namun tak kunjung datang. Sia melantunkan nyanyian sedih

41. Sia :

Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu

42. Ovan : Saudaraku, kita sedang merasakan penderitaan yang sama.

Ibu yang merupakan ladang kasih sayang buat kita telah pergi. Kita menjadi itik yang kehilangan induknya. Kita harus mencari ibu sampai ketemu
Mereka bergerak bersama mencari ibunya. Lama kemudian mereka belum menemukan.

Malam hari terus mencarinya dengan membawa lenter. Mereka bergerak seperti perahu terombang-ambing ombak di malam hari

Pagi harinya mereka tertidur lelap.

Sia bangun lebih awal. lalu ia membangunkan saudaranya dengan nyanyian.
Nyanyiannya cukup ceria kali ini.

43. Sia :

Inilah pagi ayam jantan berkokok
Membangunkan matahari
Embun-embun bercengkrama
Pada rerumputan

Anak-anak tersentak bangun. Ia seakan mendengar nyanyian yang seringkali dilantunkan ibunya ketika pagi hari.

44. Mata : Ibu, kau datang ibu
45. Manto : Ya ibu, aku rindu
46. Bam : Ibu, kemana saja engaku pergi
47. Ifik : Aku ingin memelukmu ibu
48. Ovan : Ayo kita pulang ibu

Anak-anak seakan betul-betul menemukan ibunya

49. Sia : Ibu masih belum kita temukan
50. Mata : Tapi aku sudah menemukan, aku menemukan suarahnya
51. Manto : Ya, ia melantunkan tembang yang biasa ia nyanyikan ketika membangunkan kita

52. Mata : Dimana ibu, dimana ia sekarang?
53. Sia : Aku yang menyanyikan tembang itu untuk membangunkan kalian. Aku ingin kalian segera bangun dan cepat melanjutkan pencarian. Aku sungguh merindukan ibu. (melamun)

54. Ovan : Ayo kita kemasi barang-barang dan melanjutkan perjalanan

55. Mata : Sebelum berangkat, saya berpendapat sebaiknya kita berpencar

56. Bam : Ya, saya setuju. Kita harus berpencar, bergerak ke empat Penjuru, dan disini adalah titik poros dimana kita berpisah dan bertemu

57. Manto : ya, mulai hari ini kita bergerak mencari ibu ke beberapa penjuru yang berbeda.

Anak-anak bergerak dengan memanggil-manggil ibunya. Pencarian itu berlangsung beberapa waktu.

Tiba-tiba Mata dan Manto bertemu pada satu tempat.

58. Manto : Hai, kenapa kau berada di sini?
59. Mata : Ini wilayahku
60. Manto : Wilayah ini adalah mata angin yang kutujuh
61. Mata : Kamu salah arah. kamu mungkin menikung dalam perjalanan

62. Manto : Kamu yang mungkin tidak konsisten dalam pencarian, sehingga kau kini berada di wilayaku

63. Mata : Tidak, kau yang salah. Ini adalah arah yang aku tujuh
64. Manto : Tidak, kau yang salah. ini adalah arah mata anginku. ini daerah kekuasaanku

65. Mata : Arah mata anginku

Mereka berdua terus berdebat merebutkan kebenaran mata angin yang masing-masing mereka tujuh.

Tiba-tiba satu persatu muncul pada tempat yang sama, yaitu daerah yang kini sedang dipersengketakan.

66. Ifik : Hai, kenapa kalian bertengkar di sini?

Mata dan Manto berhenti berdebat, dan saling menatap dengan tatapan tanya.

67. Mata : Kenapa kalian semua kemari
68. Ifik : Kalian juga kenapa berada di sini?
69. Ovan : Pertanyaan itu sama seperti apa yang ada dalam benakku, kenapa kalian berada di wilayah di mana kita berada. Pasti diantara kita ada yang tidak konsisten dalam melakukan pencarian. Tidak setia pada tujuan masing-masing. Peristiwa semacam inilah yang merupakan awal dari pertengkaran, penyebab perang saudara. Ingat, pasti diantara kita semua mengalaminya. Kita pernah berbelok dalam meniti arah tujuan. kita pernah lengah.

70. Ifik : Ya, aku akui itu. semacam ada godaan yang membuatku lengah. Aku menemukan banyak wajah di jalan-jalan, di perempatan-perempatan.

71. Bang : Sama, aku juga menemukannya
72. Ifik : Itu persis terjadi pada diriku, kemudian aku berfikir, pasti diantara wajah-wajah yang dipamerkan itu ada wajah ayah kita

73. Manto : Pasti, pasti. ya aku bisa memastikan
74. Mata : Maksud kamu?
75. Manto : Pasti diantara wajah-wajah itu tidak ada wajah ibu, karena aku mengenal betul wajah ibu.

76. Mata : Pikiran yang tolol itu jangan diutarakan
77. Manto : Maksud kamu?
78. Mata : Siapa yang tidak mengenal ibu diantara kita. Ibu bukanlah

Politkus murahan yang dipamerkan di perempatan-perempatan.
Ibu tidak memiliki banyak wajah apalagi banyak rupa. Ibu kita adalah satu bumi yang memiliki akar-akar kasih sayang, yang jiwanya terus-menerus menjadi tempat tinggal anak-anaknya.

79. Manto : Dosa besar kamu, melakukan apa yang kamu larang
80. Mata : Maksud kamu?
81. Manto : Kamu mengatakan bahwa fikiran-fikiran itu adalah ketololan, sedangkan yang kamu ungkapkan tadi apa, apa bukan ketololan juga?

82. Mata : Ketololan itu adalah kita yang masih berusaha membandingkan ibu kita dengan para perempuan yang hanya ingin menjadi selebritis di jalan-jalan. Sekali lagi, ibu kita hanya ingin anak-anaknya punya cita-cita besar dan berakhlaqul karimah, berani menolak yang dholim karena akan mendapat lebih dari sepuluh kebaikan dari yang ia tolak.

83. Manto : Pandai juga kamu berdeplomasi. Apa yang kau sampaikan tidak sama dengan tabiat yang kamu perbuat. Jangan-jangan kau iri dengan para politikus-politikus itu yang berkesempatan memamerkan wajahnya di slokan-slokan tempat sampah. Terus terang aja, irilantaran tidak punya kendaraan, iri lantaran tidak punya uang.

84. Mata : Shut up! tutup mulutmu. Aku anak ibu bumi dan ayah matahari. Aku adalah saudaramu seibu dan seayah. kamu tahu sendiri. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya tentang kemunafikan. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya menggunakan segala cara untuk menggapai keinginannya.

85. Ovan : Hentikan!……… hentikan semua omong kosong itu!

Selama ini aku adalah orang yang paling kuat menahan amarah. Namun kali ini dadaku terasa membuncah, telingaku mau pencah mendengar ocehan-ocehan itu. Sungguh amarahku ingin meledak setiap kali mendengar kemunafikan yang terus-menerus diperdagangkan, terlebih lagi kemunafikan itu mulai menyusup dalam darah dan fikiran kita. Ini adalah penyakit yang paling akut. (berteriak-teriak dengan menangis) Aku benci! Aku muak! Aku marah! Aku tak mau lagi omong kosong itu!

Tiba-tiba semua anak ikut berteriak histeris

86. Anak-anak : Hentikan omong kosong kemunafikan. Aku, juga saudara-saudaraku tak mau menderita penyakit yang paling nista, menjadi pembohong, menjadi penipu. Aku masih ingin setia pada ibu yang mengajari kasih sayang. Aku masih ingin setia pada ayah yang matahari, yang mengajariku dengan tegas menolak segala cara dusta dan tipu daya. hentikan omong kosong kemunafikan itu!”

kalimat-kalimat itu bersahut-sahutan seperti halilintar, menyerbu pohon-pohon, menara-menara, gedung-gedung terbang menjadi mendung gelap.

87. Sia:

Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu

Suasana pelan mulai diam. diam-diam merenungi diri, diam-diam mengaliri isi hati.

TAMAT
Lamongan, Januari 2009

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir