Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/
Sinopsis:
Seorang ibu, bagi anak-anaknya adalah bumi. Wajahnya adalah dedauanan menyambut fajar, sejuk menyelimuti. Jiwanya adalah ladang berbenih, penuh dengan kicauan burung pagi.
Anak-anak kemudian bertanya tentang bapaknya. Ibu berkata bahwa bapaknya adalah matahari, pergi dalam gelap datang membawa cahaya. Anaka-anak terus menuntut jawaban yang lebih tentang ayah yang matahari itu. Ibu kemudian sulit bersikap, lalu dengan berat hati pergi meninggalkan anak-anaknya.
Lama ibu tak kembali. Anak-anak mencarinya. Kepergian ibu akan mencerabut akar-kar tumbuhan, padahal anak-anak masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran, kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan. Kepergian ibu membuat anak-anak lunglai, dedaunan layu, tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.
Anak-anak kemudian memutuskan untuk mencari ibu yang lama tak kembali. Mereka tak menemukannya. Yang mereka temukan hanyalah pertengkaran-pertengkaran tentang apa saja yang mereka temukan di pinggir jalan.
Setting:
Setting cerita ini adalah diawali di taman rumah yang penuh dengan bunga-bunga. Kemudian berlanjut di jalanan yang gersang.
Tokoh:
1. Ibu, mulai terlihat garis pada wajahnya, lantaran beban yang ditanggungnya.
2. Sia, anak perempuan yang paling kecil. Masih terlihat paling manja.
3. Bam, kakak laki-laki Sia yang gagap.
4. Mata, kakak Bam, anak perempuan yang paling cerewet dan kadang egois.
5. Manto, anak laki-laki yang agak jahil, juga tidak mau mengalah kalau berdebat.
6. Ifik, Anak laki-laki yang karakternya biasa-biasa saja
7. Ovan, saudara tertua. Anak laki-laki yang jiwanya sudah mulai dewasa.
Ibu Bumi
Karya: Rodli TL
Suara musik bertalu dalam gelap.
Nyanyian sluku bathok memanggil cahaya.
Cahaya temaram, cahaya terang menyisir gelap panggung,
menyirami kerumunan anak-anak berwajah putih.
Sumber dari musik, sumber dari nyanyian.
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elu
Si Romo menyang solo
Le-olee payung modo
Mak jentit loloba
Sing mati ora oba
Sing oba medeni bocah
Sing urip goleko duwit
Musik diam
Nyanyian diam
Tubuh-tubuh statis dengan tarian,
Wajah-wajah mengekpresikan nyanyian.
Hening
Seorang ibu muncul dengan nyanyiannya. Ia menari dengan menggendong bayi, Ia lambaikan selendang gendongan mengudang bayinya. Nyanyiannya sama seperti pembuka adegan.
1. Ibu : Anakku, kau adalah anak bumi dan matahari
Jiwamu akan tenang bersama ibu. Ibu adalah bumi yang mengandung sari patih, penuh dengan akar-akar tumbuhan
Sedangkan ayahmu
Ia adalah matahari,
Pergi dalam gelap datang membawa cahaya
(lalu Menyanyi)
Puk-upuk ubang
Gedindang nabo gendang
Percil nabo gender
Kodok mbegogok
Ceblong megal-megol
Tubuh-tubuh yang statis ikut bergoyang, ikut menyanyi dengan gemulai tubuh yang menggemaskan, seperti bayi yang sedang dikudang.
2. Anak-anak : (menyanyi mengikuti nyanyian Ibu)
Ibu diam pada satu tempat. Menyaksikan anak-anaknya yang sedang menyanyi dan menari dengan senyuman
3. Sia : Ibuku, kau adalah bumi
Wajahmu adalah dedauanan menyambut fajar,
Sejuk menyelimuti
Jiwamu adalah ladang berbenih,
Penuh dengan kicauan burung pagi
Aku menyusumu ibu, bagai samudra
Tidak pernah habis kasih sayangmu
Upuk-upuk ubang, engkau mengajakku bermain
Bagai anak-anak katak menyambut hujan
Anak-anak bermain dan menyanyi. ia bergerak berenang, melompat-lompat seperti anak katak dalam deras hujan.
4. Mata : Hujan telah reda, hujan telah reda…….!
Berhenti menyanyi!
5. Manto : Kenapa mesti berhenti?
6. Mata : Lihat langit, ia sedang meminta kita berhenti menyanyi
7. Bam : Apa bukti ia mengatakannya?
8. Mata : Lihat, langit tidak menurunkan hujan lagi, hujan telah reda
9. Manto : Justru katak-katak akan semakin nyaring bernyanyi kalau hujan mulai reda
10. Mata : Tapi kita bukan katak-katak, kita adalah anak-anak beribu bumi dan berayah matahari
Anak-anak kembali bernyanyi dan menari. tariannya mempertegas tentang keluasan kasih sayang ibu dan keperkasaan ayahnya.
Ibuku bumi
Ayahku matahari
Berhenti
11. Ifik : Ya, saya berpendapat, kita memang harus berhenti bernyanyi bila kita ingin bertemu dengan ayah kita
12. Ovan : Ya, bila jiwa-jiwa kita menjadi katak, ayah akan takut datang, bukan lantaran malu melihat kita yang kerdil, ayah yang matahari itu takut akan menyakiti kita. Katak adalah binatang yang takut akan sengatan matahari.
Tiba-tiba ibu muncul lagi dengan nyanyiannya. Lembut ia menyanyi. Ada rasa gundah menunggu sang ayah datang untuk menyinari jiwanya.
13. Bam : Lihat ibu, jiwanya berlinang ia harus dihibur dalam hujan jangan biarkan mendung terus menebal kita harus bernyanyi lagi seperti katak-katak dalam hujan
14. Mata : Tapi hujan telah berhenti
15. Manto : Apa, hujan telah berhenti?
Tidakkah engkau melihat bahwa ada gerimis pada mata ibu, ada mendung tebal dalam jiwanya
16. Bam : Dan kita akan menjadi katak-katak yang bernyayi.
Syairnya adalah dendang tawa riuh.
Rasa damai pada jiwa-jiwa yang mendengarkannya
17. Mata: Tidak, kita tidak boleh bernyanyi, kita tidak boleh tertawa bila ada satu bagian dari kita yang duka
18. Manto : Justru ibu akan bertambah sedih bila kita ikut bersedih.
19. Mata : Tapi, kita adalah satu tubuh dengan ibu, bila satu bagian ada yang sakit, maka bagian yang lain ikut merasakannya
20. Bam : Tapi, tidakkah kau tahu, bahwa kebahagiaan seorang ibu apabila melihat buah hatinya bahagia
21. Ifik : Akan tetapi, pantaskah kita bergembira ria sedangkan ibu menderita
22. Mata : Perlu saya tegaskan, kita adalah satu tubuh, dalam suka dan duka kita harus berbagi bersama
Ibu berjalan mendekati anak-anaknya. Ia membelainya satu bersatu dengan kasih sayang.
23. ibu : Menyanyilah anak-anaku!
Dirimu yang masih putih adalah deretan syair-syair keceriaan.
Kalian ciptakan menara-menara tawa. Kalian yang membuatku hidup penuh harap, berharap sang matahari datang, menyinari isi taman
rumah.
Daun-daun hijau menyambutnya dengan mekar bunganya.
Musik sedih
Ibu kemudian diam menerawang. Raut wajahnya mulai terlihat sedih. Lama-lama mengalir air matanya. Tiba-tiba ibu bergegas pergi meninggalkan anak-anaknya
24. Sia : (berteriak memanggil) Ibu……! Engkau kemana……!
Jangan tinggalkan kami ibu………..!
Sia berusaha mengejar ibu. suasana menjadi sepi, anak-anak saling berpandangan.
Tak lama kemudian, Sia kembali pada saudara-saudaranya.
25. Sia : Ibu, jangan kau tinggalkan kami!
Kepergianmu akan mencerabut akar-akar tumbuhan.
Aku masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran.
Kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan.
Kepergianmu ibu, membuat kami lunglai.
Dedaunan akan layu.
Tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.
Anak-anak menangis, mereka bergerak dengan tatapan mata yang sedih. tangisannya menjadi nyanyian duka.
Sia melantunkan nyanyian sedihdi iringi musik
26. Sia :
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
27. Manto : (berteriak marah) Ini semua gara-gara kamu!
28. Mata : Apa, gara-gara aku?
29. Manto : Ya, gara-gara kamu!
30. Mata : Justru kamu yang membuat gara-gara
31. Manto : Apa, justru aku yang membuat gara-gara?
Anak-anak mulai bertengkar lagi, mereka saling menyalakan. Mereka bergerak berkelompok menjadi dua. gerakanya menjadi tarian yang saling menyerang.
32. Mata : Gara-gara kamu!
33. Manto : Mukamu yang membuat gara-gara!
34. Mata : Gara-gara kamu
35. Manto : Mukamu!
36. Mata : Kamu!
37. Manto : Mukamu!
38. Mata : Kamu!
39. Mata : Mukamu!
Terus mereka bertengkar, semakin lama semakin bergejolak
Semakin lama kemudian mereka mengalami kelelahan
Anak-anak lalu memanggil ibu secara bergantian
40. Anak anak : Ibu, aku kehausan
Aku ingin menyusui kasih sayangmu. Berulangkali mereka memanggil-manggil ibunya, namun tak kunjung datang. Sia melantunkan nyanyian sedih
41. Sia :
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
42. Ovan : Saudaraku, kita sedang merasakan penderitaan yang sama.
Ibu yang merupakan ladang kasih sayang buat kita telah pergi. Kita menjadi itik yang kehilangan induknya. Kita harus mencari ibu sampai ketemu
Mereka bergerak bersama mencari ibunya. Lama kemudian mereka belum menemukan.
Malam hari terus mencarinya dengan membawa lenter. Mereka bergerak seperti perahu terombang-ambing ombak di malam hari
Pagi harinya mereka tertidur lelap.
Sia bangun lebih awal. lalu ia membangunkan saudaranya dengan nyanyian.
Nyanyiannya cukup ceria kali ini.
43. Sia :
Inilah pagi ayam jantan berkokok
Membangunkan matahari
Embun-embun bercengkrama
Pada rerumputan
Anak-anak tersentak bangun. Ia seakan mendengar nyanyian yang seringkali dilantunkan ibunya ketika pagi hari.
44. Mata : Ibu, kau datang ibu
45. Manto : Ya ibu, aku rindu
46. Bam : Ibu, kemana saja engaku pergi
47. Ifik : Aku ingin memelukmu ibu
48. Ovan : Ayo kita pulang ibu
Anak-anak seakan betul-betul menemukan ibunya
49. Sia : Ibu masih belum kita temukan
50. Mata : Tapi aku sudah menemukan, aku menemukan suarahnya
51. Manto : Ya, ia melantunkan tembang yang biasa ia nyanyikan ketika membangunkan kita
52. Mata : Dimana ibu, dimana ia sekarang?
53. Sia : Aku yang menyanyikan tembang itu untuk membangunkan kalian. Aku ingin kalian segera bangun dan cepat melanjutkan pencarian. Aku sungguh merindukan ibu. (melamun)
54. Ovan : Ayo kita kemasi barang-barang dan melanjutkan perjalanan
55. Mata : Sebelum berangkat, saya berpendapat sebaiknya kita berpencar
56. Bam : Ya, saya setuju. Kita harus berpencar, bergerak ke empat Penjuru, dan disini adalah titik poros dimana kita berpisah dan bertemu
57. Manto : ya, mulai hari ini kita bergerak mencari ibu ke beberapa penjuru yang berbeda.
Anak-anak bergerak dengan memanggil-manggil ibunya. Pencarian itu berlangsung beberapa waktu.
Tiba-tiba Mata dan Manto bertemu pada satu tempat.
58. Manto : Hai, kenapa kau berada di sini?
59. Mata : Ini wilayahku
60. Manto : Wilayah ini adalah mata angin yang kutujuh
61. Mata : Kamu salah arah. kamu mungkin menikung dalam perjalanan
62. Manto : Kamu yang mungkin tidak konsisten dalam pencarian, sehingga kau kini berada di wilayaku
63. Mata : Tidak, kau yang salah. Ini adalah arah yang aku tujuh
64. Manto : Tidak, kau yang salah. ini adalah arah mata anginku. ini daerah kekuasaanku
65. Mata : Arah mata anginku
Mereka berdua terus berdebat merebutkan kebenaran mata angin yang masing-masing mereka tujuh.
Tiba-tiba satu persatu muncul pada tempat yang sama, yaitu daerah yang kini sedang dipersengketakan.
66. Ifik : Hai, kenapa kalian bertengkar di sini?
Mata dan Manto berhenti berdebat, dan saling menatap dengan tatapan tanya.
67. Mata : Kenapa kalian semua kemari
68. Ifik : Kalian juga kenapa berada di sini?
69. Ovan : Pertanyaan itu sama seperti apa yang ada dalam benakku, kenapa kalian berada di wilayah di mana kita berada. Pasti diantara kita ada yang tidak konsisten dalam melakukan pencarian. Tidak setia pada tujuan masing-masing. Peristiwa semacam inilah yang merupakan awal dari pertengkaran, penyebab perang saudara. Ingat, pasti diantara kita semua mengalaminya. Kita pernah berbelok dalam meniti arah tujuan. kita pernah lengah.
70. Ifik : Ya, aku akui itu. semacam ada godaan yang membuatku lengah. Aku menemukan banyak wajah di jalan-jalan, di perempatan-perempatan.
71. Bang : Sama, aku juga menemukannya
72. Ifik : Itu persis terjadi pada diriku, kemudian aku berfikir, pasti diantara wajah-wajah yang dipamerkan itu ada wajah ayah kita
73. Manto : Pasti, pasti. ya aku bisa memastikan
74. Mata : Maksud kamu?
75. Manto : Pasti diantara wajah-wajah itu tidak ada wajah ibu, karena aku mengenal betul wajah ibu.
76. Mata : Pikiran yang tolol itu jangan diutarakan
77. Manto : Maksud kamu?
78. Mata : Siapa yang tidak mengenal ibu diantara kita. Ibu bukanlah
Politkus murahan yang dipamerkan di perempatan-perempatan.
Ibu tidak memiliki banyak wajah apalagi banyak rupa. Ibu kita adalah satu bumi yang memiliki akar-akar kasih sayang, yang jiwanya terus-menerus menjadi tempat tinggal anak-anaknya.
79. Manto : Dosa besar kamu, melakukan apa yang kamu larang
80. Mata : Maksud kamu?
81. Manto : Kamu mengatakan bahwa fikiran-fikiran itu adalah ketololan, sedangkan yang kamu ungkapkan tadi apa, apa bukan ketololan juga?
82. Mata : Ketololan itu adalah kita yang masih berusaha membandingkan ibu kita dengan para perempuan yang hanya ingin menjadi selebritis di jalan-jalan. Sekali lagi, ibu kita hanya ingin anak-anaknya punya cita-cita besar dan berakhlaqul karimah, berani menolak yang dholim karena akan mendapat lebih dari sepuluh kebaikan dari yang ia tolak.
83. Manto : Pandai juga kamu berdeplomasi. Apa yang kau sampaikan tidak sama dengan tabiat yang kamu perbuat. Jangan-jangan kau iri dengan para politikus-politikus itu yang berkesempatan memamerkan wajahnya di slokan-slokan tempat sampah. Terus terang aja, irilantaran tidak punya kendaraan, iri lantaran tidak punya uang.
84. Mata : Shut up! tutup mulutmu. Aku anak ibu bumi dan ayah matahari. Aku adalah saudaramu seibu dan seayah. kamu tahu sendiri. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya tentang kemunafikan. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya menggunakan segala cara untuk menggapai keinginannya.
85. Ovan : Hentikan!……… hentikan semua omong kosong itu!
Selama ini aku adalah orang yang paling kuat menahan amarah. Namun kali ini dadaku terasa membuncah, telingaku mau pencah mendengar ocehan-ocehan itu. Sungguh amarahku ingin meledak setiap kali mendengar kemunafikan yang terus-menerus diperdagangkan, terlebih lagi kemunafikan itu mulai menyusup dalam darah dan fikiran kita. Ini adalah penyakit yang paling akut. (berteriak-teriak dengan menangis) Aku benci! Aku muak! Aku marah! Aku tak mau lagi omong kosong itu!
Tiba-tiba semua anak ikut berteriak histeris
86. Anak-anak : Hentikan omong kosong kemunafikan. Aku, juga saudara-saudaraku tak mau menderita penyakit yang paling nista, menjadi pembohong, menjadi penipu. Aku masih ingin setia pada ibu yang mengajari kasih sayang. Aku masih ingin setia pada ayah yang matahari, yang mengajariku dengan tegas menolak segala cara dusta dan tipu daya. hentikan omong kosong kemunafikan itu!”
kalimat-kalimat itu bersahut-sahutan seperti halilintar, menyerbu pohon-pohon, menara-menara, gedung-gedung terbang menjadi mendung gelap.
87. Sia:
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
Suasana pelan mulai diam. diam-diam merenungi diri, diam-diam mengaliri isi hati.
TAMAT
Lamongan, Januari 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 08 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar