S Yoga*
Jawa Pos, 5 Des 2010
Sebagian pengamat sastra menyatakan bahwa sastra Indonesia saat ini berada dalam status quo, jalan ditempat. Bahkan ada yang mengganggap mengalami kemunduran jika dibanding dengan sepuluh tahun yang lalu. Padahal, secara kuantitatif, banyak karya sastra yang diterbitkan, banyak pula sastra asing yang sudah diterjemahkan, banyak even sastra, lomba dan diskusi. Begitu pula sudah sangat terbuka penerbitan buku maupun media masa yang mengakomodasi karya sastra. Lalu bagaimana kondisi yang sebenarnya?
Bila kita cermati, perkembangan sastra sepuluh tahun terakhir, memang ada dinamika yang menarik. Pertumbuhan komunitas-komunitas cukup pesat, entah atas nama apa pun komunitas itu terbentuk. Juga, media masa memiliki peran yang cukup signifikan dengan pertumbuhan sastra di Indonesia. Penerbitan-penerbitan pun ada dimana-mana, baik yang berskala besar maupun kecil. Demokratisasi karya sastra menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Festival, even-even dan lomba karya sastra pun marak. Lalu, mengapa perkembangannya sastra Indonesia masih dianggap jalan ditempat? Tentu karena ukurannya masih kuantitas. Belum kualitas. Itu bisa kita telusuri dari beberapa penyebab sehingga sastra Indonesia berada di persimpangan jalan.
Hegemoni Komunitas
Pertama, banyak padangan yang menyatakan bahwa sastra Indonesia dihegemoni oleh estetika (komunitas) tertentu yang dominan dan memiliki jaringan atau kekuatan kapital yang cukup besar. Dengan demikian, banyak sastrawan yang mengikuti mazhabnya dan banyak pula yang melakukan resistensi. Entah apa pun alasannya. Upaya hegemonik dilakukan oleh banyak komunitas dengan saling mencari dan memperbanyak pengikut. Antara yang dilawan dan yang melawan memiliki ideologi yang saling menyerang dan tidak mau dikalahkan, (padahal demokrasi sedang didengung-dengungkan), yang bisa jadi bersangkut paut dengan estetika sastra atau justru diluar estetika sastra. Artinya, ini sebuah pertarungan ideologi yang bersumber pada perebutan kedudukan atau kekuasaan sastra Indonesia. Setiap mereka ingin dianggap sebagai pelaku utama sastra Indonesia.
Yang sering terjadi adalah perdebatan yang bukan bersumber dari karya sastra, tapi hal-hal diluar karya sastra. Kalaupun perihal karya sastra, perbedaan yang mencolok antara karya mereka -baik yang ditentang maupun yang menentang- pada umumnya memiliki kekaburan untuk bisa dibedakan dengan jelas. Artinya, karya-karya mereka masih memiliki cara pandang yang sama dalam memaknai kesusastraan Indonesia. Bahkan, kalau kita melihat secara seksama para pelaku ternyata menyandarkan diri pada estetika tertentu yang mereka anggap sebagai kanon. Para pelaku maupun pengikutnya memandang karya sastranya harus atau kurang lebih sama dengan karya-karya kanon tersebut. Jadi, tidak terjadi sebuah pemberontakan dari konvensi yang sudah ada.
Bukan sekadar masalah penyeragaman karya. Namun, hal ini menyangkut mentalitas sastrawannya yang cenderung mengalami ketergantungan estetika. Mereka merasa aman dalam jalur-jalur estetika yang dominan, terus menerus mengamankan status quo, sehingga karya-karya yang diasilkan pun jalan di tempat. Sastrawan yang demikian telah memiliki “helm” estetika komunitas tertentu sehingga mereka ogah keluar dari estetika yang mereka anut.
Sastra Koran
Kedua, kritik sastra Indonesia hari ini telah direbut oleh redaksi-redaksi media massa. Kita tidak menjumpai lagi apa yang dikenal dengan “Paus Sastra Indonesia” yang bisa menasbihkan atau melegitimasi seseorang untuk menjadi sastrawan. Yang ada, kritik sastra yang telah mengalami demokratisasi yang berwujud pada muncul redaksi-redaksi (halaman sastra dan budaya) media massa, pembaca-pembaca yang trampil (bisa jadi antarteman sastrawan) dan editor-editor penerbitan. Penentuan baik buruk karya sastra telah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan atau tugas, dan akhirnya melakukan pembesaran dalam sastra Indonesia. Bukan di tangan kritikus an sich. Sebab, kritik sastra juga telah bergeser ke dalam bidang seni kritik, memperkaya makna karya sastra dan tidak lagi menentukan baik buruk karya sastra. Bahkan, kritik sastra yang kerap muncul berbicara di luar teks sastra itu sendiri.
Dalam kondisi yang seperti itu, estetika karya sastra mengalami pemampatan, keterbatasan pada kemampuan redaksi-redaksi media massa dan editor buku. Pola ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak memiliki independesi mutlak atas kebebasan berkreativitas. Para redaksi dan editor telah membentuk sebuah pola esetika sastra yang harus dituruti oleh para sastrawan, baik yang menulis prosa maupun puisi. Akibatnya, banyak sastrawan yang mempelajari pola-pola yang ada untuk memasukkan karya sastranya ke dalam wilayah estetika sastra yang tidak steril tersebut. Menghamba dalam estetika tertentu demi bisa menyalurkan karya-karyanya. Sekali lagi, itu menunjukkan bahwa sikap ketergantungan pada konvensi estetika sastra yang dominan masih menggejala.
Jiwa-jiwa pemberontakan dalam hakikat sastra menjadi lenyap, berubah menjadi penurut dan tunduk pada estetika tertentu. Maka, dikenal pula apa yang kita sebut dengan estetika sastra koran yang kurang lebih memiliki kriteria-kriteria yang hampir sama di antara beraneka ragamnya media massa.
Bila kita bandingan karya sastra hari ini, kumpulan cerpen, misalnya, dengan yang dihasilkan sepuluh tahun yang lalu, terasa sekali adanya penurunan kualitas. Kalau ada yang kualitasnya tetap bertahan, itu pun masih dalam posisi jalan ditempat. Itu pun umumnya dilakukan oleh pengarang-pengarang lama yang tidak juga menunjukkan grafik peningkatan kualitas karyanya. Kalau dia menulis sepuluh tahun yang lalu, kita nilai 8, dia menulis sekarang pun nilainya masih sama, bahkan bisa turun. Buku-buku kumpulan cerpen di Indonesia umumnya merupakan cerpen-cerpen yang pernah dimuat di media massa. Dewasa ini kita tidak menemui kumpulan cerpen yang memang diniatkan untuk dibukukan dalam bentuk buku. Kalaupun ada yang menerbitkan buku cerpen yang semua karyanya belum dimuat di media massa, format dan estetika sastranya pun tidak jauh-jauh dari sastra koran.
Dalam perlombaan-perlombaan pun, sering kita jumpai karya sastra yang menstandarkan dirinya pada estetika sastra koran. Padahal, lomba tersebut sudah memberikan kebebasan jumlah halaman, bahkan kadang termasuk jadi temanya. Karena itu, estetika sastra koran yang digawangi redaksi media massa menjadi virus tersendiri dalam jagat sastra Indonesia. Para sastrawan akhirnya memiliki ketergantungan estetika koran dan tidak mau keluar dari konvensi yang bisa jadi telah membesarkan namanya.
Selera Pasar
Ketiga, dengan maraknya penerbitan-penerbitan di tanah air, sikap kritis terhadap hakikat karya sastra itu sendiri menjadi luntur. Bagi penerbit, kapital menjadi hal yang utama karena hal tersebut berkaitan dengan bisnis. Mereka tidak mau merugi karena menerbitan karya sastra sehingga mereka harus memilih atau memiliki estetika sastra yang berpedoman pada selera pasar. Bila pasar itu mampu menghimpun kapital yang paling besar, karya sastra yang sesuai dengan estetika tersebutlah yang akan diikuti. Seperti sudah kita ketahui bahwa kapitalis tidak memiliki ideologi yang pasti. Ideologinya cuma satu: keutungan atau uang. Karena itu, penerbitan di Indonesia memiliki peran yang cukup besar dalam menstandarkan estetika sastra yang ada ke wilayah-wilayah yang lebih profan. Estetika pasar pun berkembang. Banyak sastrawan yang menyandarkan dirinya pada estetika itu agar karya-karyanya dapat diterbitkan dan berharap menjadi bestseller. Padahal kita tahu logika kesusastraan berbeda dengan logika pasar.
Dalam perkembangannya, maka mentalitas-mentalitas sastrawan diuji oleh sebuah magnet estetika pasar. Itu pulalah yang akhirnya membuat ketergantungan sastrawan pada kemauan penerbit. Sekali lagi, jiwa independensi sastrawan menjadi terabaikan. Mereka menulis apa yang sedang digandrungi pasar. Bisa berbasis agama, sekualitas, etnis, multikultur, sains, sejarah maupun budaya pop. Tak pelak sastra dekade ini digempur habis-habisan oleh sastra pop yang sering menyaru dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Karena itu pula, logika pasar umumnya tidak jauh-jauh dari logika budaya pop, sebuah hiburan dan kesenangan sesaat, tidak ada kegelisahan dan kontemplasi.
Ulasan di atas tentu saja merupakan kecenderungan umum yang terjadi di khazanah sastra Indonesia sampai hari ini. Adapun pengarang-pengarang yang masih memiliki militansi yang kuat umumnya menyiasati ruang-ruang yang ada, namun juga tidak bisa lepas dari estetika yang sedang dominan. Belum berani keluar dari konvensi sastra yang sudah ada. Karena itu, terasa sekali karya-karyanya kurang berkembang atau itu-itu saja. Tidak ada dinamika dalam hal estetika dan kualitasnya.
Pergulatan estetika sastrawan semestinya bisa benar-benar lepas dan luas. Tidak terbayang-bayangi atau bergantung pada estetika-estetika yang selama ini mengelayuti sastra Indonesia. Sayang, saat ini sastwawan kita lebih memilih mentalitas atau spiritualitas sebagai selebritis sastra (ingin segera dikenal) daripada mengolah spiritualitas batin estetikanya. Mereka mengganggap sastra Indonesia seolah-olah telah menemukan masa puncaknya pada estetika sastra koran, komunitas dan selera pasar. Padahal, menurut William Faulkner, sastrawan yang mudah puas, sama saja dengan bunuh diri.
*) Penyair http://syoga.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar