Darmanto Jatman
http://www.suaramerdeka.com/
LEBIH dari sepuluh tahun yang lalu, Rama Mangunwijaya mendirikan Sekolah Dasar Mangunan. Beliau sudah patah arang dengan generasi beliau, juga generasi berikutnya, karena sudah mengalami dekadensi moral yang luar biasa, bukan cuma mentalitasnya now, tetapi juga kependidikannya. Karena itu beliau bekerja keras untuk mewujudkan kependidikan “bebas sekolah” –maksudnya tentu saja sekolah seperti yang sampai sekarang kita kenal di bawah Departemen Pendidikan Nasional itu, yang bibit kawit-nya didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dalam rangka Politik Etis. Rama Mangun memimpikan awal satu generasi bebas korupsi, tidak berani menipu dengan statistik dan metodologi, sangat kenal presisi, dan sudah pasti kreatif, dan berani.
Mungkin generasi itu mulai nampak bibit kawitnya ketika di tengah kekosongan prestasi Indonesia di berbagai bidang, anak-anak Indonesia memenangui berbagai award dalam olimpiade ilmu pengetahuan dunia. Tidak cuma satu atau dua, tapi beberapa kali hampir melakukan “sapu bersih” hadiah. Prestasi yang membangkitkan PD (rasa Percaya Diri) bangsa.
Ternyata, awal milenium ketiga ini memang sedang terjadi kebangkitan nasional kedua. Tepatnya peremajaan. Ungkapan Inggrisnya rejuvenisation. Ingat to obat yang diperkenalkan sebagai “juvelon” untuk menjaga agar orang tetap bugar kayak remaja atau juvenile delinquency –kenakalan remaja– yang sering membuat kita putus asa karena “tradisi” tawurannya?! Ternyata bangsa kita sedang mlungsungi pada awal milenium ini. Tidak hanya di bidang sains, olahraga, juga kesenian macam-macam. Seni rupa, bukan saja sudah lahir remaja-remaja seni rupawan pria, tetapi juga gadis, eh, perempuan. Juga seni sastra, lahir novelis-novelis muda seperti Dee, Ayu Utami, Oka Rusmini. “Perempuan lagi, perempuan lagi,” bisik Bilung. Apalagi dalam berbagai “kuasi seni” yang disebut seni massa atau seri pop, alamak, bukan main buanyaknya. Ada Agnes Monica, ada Marshanda, “ada Ciprut” bisik Bilung lagi tanpa malu-malunya.
That’s it! Itu dia prospek kebudayaan masa depan kita. Peremajaan dalam arti sesungguhnya, bukan sekadar “yang tua pensiun diganti yang muda.”
Kuasa Budaya Media
Pelan tapi pasti, budaya media mendominasi kognisi bangsa. Munculnya kaum selebriti produksi televisi –yang oleh almarhum Harry Roesli– disebut sebagai “pembodohan bangsa” –menyisihkan berbagai isu kebangsaan (dan kerakyatan, gumam Bilung seperti pengentasan bangsa dari sindrom kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang sudah menjadi kewahiban moral negara. Hiburan, yang memang merupakan keunggulan siaran televisi, menghegemoni tugas-tugas kultural lain seperti pendidikan dan informasi– sehingga muncul kemasan-kemasan infotainment, edutainment dengan entertainment sebagai payung? “Negeri yang sengsara memang membutuhkan hiburan; tidak cuma dari showbiz, juga religlobiz,” kembali Bilung intervensi dari balik pesawat televisi. Pernyataan Bilung untuk sebagian benar. Lihatlah India dengan Bollywoodnya yang gumebyar, padahal disemua jalan di perkotaannya, dengan mudah kita ketemu pengemis yang sengsara. “Lha apa Amerika Serikat juga negeri yang kesrakat karena Hollywood yang gumebyar, sexy, sensasional, penuh glamor?!
Aniway. Tahun 2004 ini adalah tahun padat show media, eh, televisi, yang melibatkan seluruh jaringan kehidupan bangsa. Participatory Entertainment, yang digemari oleh anak-anak, dewasa sampai orang tua dengan AFI (Akademi Fantasi Indosiar), lalu Indonesian Idol, lantas KDI lengkap dengan AMI Award, FFI dan lain-lain dan sebagai –lengkaplah demam entertainment (bukan “consolation” lo) di negeri kita. Demam ini nampak kalau kita mau mendengar wacana bangsa di mana pun WNI berada. Bukan lagi ekonomi atau politik yang mereka perbincangkan, tapi paket-paket acara televisi termasuk tayangan misteri (maksudnya “memedi”), selebriti (maksudnya: perselingkuhan dan perceraian), serta sinetron remaja (maksudnya: cinta asmara di sekolah) serta berbagai acara lain yang dapat ranking.
Adanya lembaga sensor, KPI (Komite Penyiaran Indonesia), justru mengungkapkan apa pun yang dikemas di televisi dan disiarkan itu sudah absah (legitimate), tersosialisasikan, terpranatakan dan akhirnya terinternalisasikan. Nah. Ini yang bisa bikin repot, karena “lesson learned” dari berbagai acara hiburan ini memang bisa runyam karena menanamkan nilai-nilai instan seperti “rich & famous now!” –lihatlah betapa antusiasnya remaja-remaja di seluruh Indonesia praktis ikut seleksi AFI, II, KDI, Indonesian Model dan lain-lain dan sebagainya. Sekalipun memang seleksi-seleksi plus pelatihan yang dilaksanakan bisa mendidikkan pula disiplin kerja, keberanian tampil, serta berbagai kualitas kepribadian yang dipersyaratkan dalam dunia kerja secara global seperti kompetitif, percaya diri dan sebagainya.
Tahun 2004 bisalah dikatakan sebagai puncak perubahan alias transformasi legitimasi nilai-nilai rural-agraris menjadi urban-industrial. Dengarlah kritik dari alumnus Fakultas psikologi UGM yang bekerja di berbagai perusahaan gede, bahwa lulusan UGM –biar pun pintar-kurang PD, kurang kompetitif– sehingga dalam rekrutmen dikalahkan oleh lulusan fakultas psikologi universitas lain.
Mendengar kritikan itu saya teringat Trunajaya, pangeran Madura yang berontak melawan Sunan Amagkurat itu. Ketika dia berhasil menguasai singgasana Mataram Trunajaya sesumbar: “Sudahlah Bung, dasar kamu tedhak turunnya petani; kembalilah ke sawah macul sambil ngurusi sapi!” Inilah perubahan yang amat jelas dari etos “wani ngalah luhur wekasane” jadi “kamu pasti bisa” seperti yang diujarkan oleh Shiv Khern.
Sudah bukan zamannya untuk malu-malu lagi menonjolkan diri. Lihatlah SBY, satriya piningit dari Pacitan itu, dalam kampanye kepresidenannya ia teges berkata: “We are the best.” Dan budaya media memenangkan beliau sampai 60%, sampai-sampai orang ragu akan keefektifan partai dalam menuai suara pemilu.
Nggak Jawa Lagi
Jawa –paling tidak secara normatif– memang serbahalus. Bahkan dalam memerintahpun amat halus. Pakai “Tolong” atau “Maaf” –tapi pemerintahannya bisa amat otoriter, begitu tulis Hans Antlov. Berbagai ungkapan perkara seks yang blakblakan seperti “Vagina,” pasti dicap “tidak njawani”; tapi “tidak njawani” itu bisa “durung Jawa” seperti stigma yang diberikan “makhluk halus” dari Jawa itu terhadap perilaku “wong sabrang” yang “gonyak-ganyuk nglelingsemi” — bisa juga “sudah tidak Jawa lagi,” “post-Jawa.” Ungkapan “Jawa kliwat” itu sesungguhnya sudah bisa kita pergunakan untuk memberi label pada Jawa generasi sekarang, seperti tuduhan Bilung: “Jawa kok serbaterbuka. Tubuh terbuka. Perasaan terbuka. Priye?”; tapi mau dibilang “dulu Jawa” wong ya orang Jawa. Kalau ngomong pakai bahasa Jawa, cuma ngoko campur Indonesia, campur Inggris, campur macam-macam bahasa lokal. Sudah lebih sering nonton film Hollywood, Bollywood, Mandarin ketimbang wayang apa ketoprak apa gamelan. Dandannya juga jauh dari bebet kain, surjan dan semacamnya, malah-malah pakai jins, jas atau sama sekali nggak pakai apa-apa.
Bagi mereka, identitas Jawa sudah tidak jalan lagi kecuali ketika mereka melaksanakan upacara siklus hidup seperti mitoni, procotan, tedhak siten, atau tahlilan, ziarah kubur. Dalam hati manusia “post-Jawa” atau “transkultural Jawa” ini, Jawa muncul bagai “atavisme.” Di tengah berbagai pertimbangan kritis, Bilung ndhodhok memegang tanah dan sesambat: “Gusti. Gusti!”
Sementara tentang kesusasteraan Jawa sendiri, Arswendo Atmowiloto menyebutnya sebagai “Jawa Ngeyel” karena tidak mati-mati –padahal sastra Jawa itu cuma hidup bila ada seminar yang memang disengaja untuk nguri-uri sastra Jawa. Repotnya paling tidak dalam geguritan –putika sastra Jawa itu peniruan saja dari perpuisian Indonesia pasca-Chairil Anwar. Toh sastra Jawa (dan sastra-sastra lain, seperti Sunda dan Bali) memperoleh mesiu tambahan ketika “otonomi daerah” mulai diberlakukan. Muncullah euforia seni daerah (seni geografis, istilah yang dipakai Triyanto Triwikromo) dalam bentuk seni rakyat, seni massal, seni pop –cuma tahun 2004 ini kesadaran ini didukung oleh pengembangan wacana dengan penggalian “local wisdom” & “local genius.” Restorasi Jawa tidak hanya dilakukan oleh Yayasan Kanthil, Swagotra, Permadhani, Ki Enthus Susmono, Ki Slamet Gundana, tetapi juga oleh Tanto Mendut yang tidak bosan-bosannya bikin festival kesenian pegunungan — yang menolak hegemoni kesenian keraton dan “memaksa”-nya berdialog dengan kesenian pedesaan.
Artinya, mereka sedang memperkenalkan kembali Jawa Plural, Jawa multikultural sampai kelak-dalam waktu singkat –muncul Transkultural Jawa yang memenuhi ramalan: “Dibilang Jawa sudah bukan; dibilang bukan Jawa masih.”
Inilah masa depan yang dekat dari kesusasteraan, kesenian, kebudayaan kita di Jawa Tengah ini khususnya.
Skenario Kabudayan
Pertanyaan adalah: adakah peremajaan kembali kebudayaan kita tahun 2004 ini sudah maktub dalam “script of life” kita, atau hanya sebuah intermeso, improvisasi atau bahkan deviasi? Secara instink (baca: kesadaran kosmis), rasanya kok kita yakin adanya skenario ini, seperti kita yakin akan “sangkan-paraning dumadi” –juga dalam perjalanan kultural bangsa. Tapi kalau benar ada peremajaan kembali, bukankah bakal ada krisis identitas lagi? Bukankah sastrawan, seniman, ilmuwan, agamawan kita hanya akan ubek saja dengan cari pengakuan? “Lha ya ngono,” seru Bilung, “Lha wong kebanyakan elite budaya kita tu sibuk golek keplok gitu lho!” Biar begitu mbok ya kita dengan pendapat Triyanto Triwikromo: “Identitas tu tidak geografis lagi, tapi pada kualitas karya.” Lha mbok ya gitu. Biarpun kita mengalami peremajaan, “golek keplok,” tapi urusannya sudah kekesadaran yang lebih tinggi: Kreativitas otentisitas, orisinalitas. Gitu! Bacalah dengan mata batin Anda!
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar