Jumat, 21 Januari 2011

Peremajaan Kebudayaan Indonesia

Darmanto Jatman
http://www.suaramerdeka.com/

LEBIH dari sepuluh tahun yang lalu, Rama Mangunwijaya mendirikan Sekolah Dasar Mangunan. Beliau sudah patah arang dengan generasi beliau, juga generasi berikutnya, karena sudah mengalami dekadensi moral yang luar biasa, bukan cuma mentalitasnya now, tetapi juga kependidikannya. Karena itu beliau bekerja keras untuk mewujudkan kependidikan “bebas sekolah” –maksudnya tentu saja sekolah seperti yang sampai sekarang kita kenal di bawah Departemen Pendidikan Nasional itu, yang bibit kawit-nya didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dalam rangka Politik Etis. Rama Mangun memimpikan awal satu generasi bebas korupsi, tidak berani menipu dengan statistik dan metodologi, sangat kenal presisi, dan sudah pasti kreatif, dan berani.

Mungkin generasi itu mulai nampak bibit kawitnya ketika di tengah kekosongan prestasi Indonesia di berbagai bidang, anak-anak Indonesia memenangui berbagai award dalam olimpiade ilmu pengetahuan dunia. Tidak cuma satu atau dua, tapi beberapa kali hampir melakukan “sapu bersih” hadiah. Prestasi yang membangkitkan PD (rasa Percaya Diri) bangsa.

Ternyata, awal milenium ketiga ini memang sedang terjadi kebangkitan nasional kedua. Tepatnya peremajaan. Ungkapan Inggrisnya rejuvenisation. Ingat to obat yang diperkenalkan sebagai “juvelon” untuk menjaga agar orang tetap bugar kayak remaja atau juvenile delinquency –kenakalan remaja– yang sering membuat kita putus asa karena “tradisi” tawurannya?! Ternyata bangsa kita sedang mlungsungi pada awal milenium ini. Tidak hanya di bidang sains, olahraga, juga kesenian macam-macam. Seni rupa, bukan saja sudah lahir remaja-remaja seni rupawan pria, tetapi juga gadis, eh, perempuan. Juga seni sastra, lahir novelis-novelis muda seperti Dee, Ayu Utami, Oka Rusmini. “Perempuan lagi, perempuan lagi,” bisik Bilung. Apalagi dalam berbagai “kuasi seni” yang disebut seni massa atau seri pop, alamak, bukan main buanyaknya. Ada Agnes Monica, ada Marshanda, “ada Ciprut” bisik Bilung lagi tanpa malu-malunya.

That’s it! Itu dia prospek kebudayaan masa depan kita. Peremajaan dalam arti sesungguhnya, bukan sekadar “yang tua pensiun diganti yang muda.”

Kuasa Budaya Media

Pelan tapi pasti, budaya media mendominasi kognisi bangsa. Munculnya kaum selebriti produksi televisi –yang oleh almarhum Harry Roesli– disebut sebagai “pembodohan bangsa” –menyisihkan berbagai isu kebangsaan (dan kerakyatan, gumam Bilung seperti pengentasan bangsa dari sindrom kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang sudah menjadi kewahiban moral negara. Hiburan, yang memang merupakan keunggulan siaran televisi, menghegemoni tugas-tugas kultural lain seperti pendidikan dan informasi– sehingga muncul kemasan-kemasan infotainment, edutainment dengan entertainment sebagai payung? “Negeri yang sengsara memang membutuhkan hiburan; tidak cuma dari showbiz, juga religlobiz,” kembali Bilung intervensi dari balik pesawat televisi. Pernyataan Bilung untuk sebagian benar. Lihatlah India dengan Bollywoodnya yang gumebyar, padahal disemua jalan di perkotaannya, dengan mudah kita ketemu pengemis yang sengsara. “Lha apa Amerika Serikat juga negeri yang kesrakat karena Hollywood yang gumebyar, sexy, sensasional, penuh glamor?!

Aniway. Tahun 2004 ini adalah tahun padat show media, eh, televisi, yang melibatkan seluruh jaringan kehidupan bangsa. Participatory Entertainment, yang digemari oleh anak-anak, dewasa sampai orang tua dengan AFI (Akademi Fantasi Indosiar), lalu Indonesian Idol, lantas KDI lengkap dengan AMI Award, FFI dan lain-lain dan sebagai –lengkaplah demam entertainment (bukan “consolation” lo) di negeri kita. Demam ini nampak kalau kita mau mendengar wacana bangsa di mana pun WNI berada. Bukan lagi ekonomi atau politik yang mereka perbincangkan, tapi paket-paket acara televisi termasuk tayangan misteri (maksudnya “memedi”), selebriti (maksudnya: perselingkuhan dan perceraian), serta sinetron remaja (maksudnya: cinta asmara di sekolah) serta berbagai acara lain yang dapat ranking.

Adanya lembaga sensor, KPI (Komite Penyiaran Indonesia), justru mengungkapkan apa pun yang dikemas di televisi dan disiarkan itu sudah absah (legitimate), tersosialisasikan, terpranatakan dan akhirnya terinternalisasikan. Nah. Ini yang bisa bikin repot, karena “lesson learned” dari berbagai acara hiburan ini memang bisa runyam karena menanamkan nilai-nilai instan seperti “rich & famous now!” –lihatlah betapa antusiasnya remaja-remaja di seluruh Indonesia praktis ikut seleksi AFI, II, KDI, Indonesian Model dan lain-lain dan sebagainya. Sekalipun memang seleksi-seleksi plus pelatihan yang dilaksanakan bisa mendidikkan pula disiplin kerja, keberanian tampil, serta berbagai kualitas kepribadian yang dipersyaratkan dalam dunia kerja secara global seperti kompetitif, percaya diri dan sebagainya.

Tahun 2004 bisalah dikatakan sebagai puncak perubahan alias transformasi legitimasi nilai-nilai rural-agraris menjadi urban-industrial. Dengarlah kritik dari alumnus Fakultas psikologi UGM yang bekerja di berbagai perusahaan gede, bahwa lulusan UGM –biar pun pintar-kurang PD, kurang kompetitif– sehingga dalam rekrutmen dikalahkan oleh lulusan fakultas psikologi universitas lain.

Mendengar kritikan itu saya teringat Trunajaya, pangeran Madura yang berontak melawan Sunan Amagkurat itu. Ketika dia berhasil menguasai singgasana Mataram Trunajaya sesumbar: “Sudahlah Bung, dasar kamu tedhak turunnya petani; kembalilah ke sawah macul sambil ngurusi sapi!” Inilah perubahan yang amat jelas dari etos “wani ngalah luhur wekasane” jadi “kamu pasti bisa” seperti yang diujarkan oleh Shiv Khern.

Sudah bukan zamannya untuk malu-malu lagi menonjolkan diri. Lihatlah SBY, satriya piningit dari Pacitan itu, dalam kampanye kepresidenannya ia teges berkata: “We are the best.” Dan budaya media memenangkan beliau sampai 60%, sampai-sampai orang ragu akan keefektifan partai dalam menuai suara pemilu.

Nggak Jawa Lagi

Jawa –paling tidak secara normatif– memang serbahalus. Bahkan dalam memerintahpun amat halus. Pakai “Tolong” atau “Maaf” –tapi pemerintahannya bisa amat otoriter, begitu tulis Hans Antlov. Berbagai ungkapan perkara seks yang blakblakan seperti “Vagina,” pasti dicap “tidak njawani”; tapi “tidak njawani” itu bisa “durung Jawa” seperti stigma yang diberikan “makhluk halus” dari Jawa itu terhadap perilaku “wong sabrang” yang “gonyak-ganyuk nglelingsemi” — bisa juga “sudah tidak Jawa lagi,” “post-Jawa.” Ungkapan “Jawa kliwat” itu sesungguhnya sudah bisa kita pergunakan untuk memberi label pada Jawa generasi sekarang, seperti tuduhan Bilung: “Jawa kok serbaterbuka. Tubuh terbuka. Perasaan terbuka. Priye?”; tapi mau dibilang “dulu Jawa” wong ya orang Jawa. Kalau ngomong pakai bahasa Jawa, cuma ngoko campur Indonesia, campur Inggris, campur macam-macam bahasa lokal. Sudah lebih sering nonton film Hollywood, Bollywood, Mandarin ketimbang wayang apa ketoprak apa gamelan. Dandannya juga jauh dari bebet kain, surjan dan semacamnya, malah-malah pakai jins, jas atau sama sekali nggak pakai apa-apa.

Bagi mereka, identitas Jawa sudah tidak jalan lagi kecuali ketika mereka melaksanakan upacara siklus hidup seperti mitoni, procotan, tedhak siten, atau tahlilan, ziarah kubur. Dalam hati manusia “post-Jawa” atau “transkultural Jawa” ini, Jawa muncul bagai “atavisme.” Di tengah berbagai pertimbangan kritis, Bilung ndhodhok memegang tanah dan sesambat: “Gusti. Gusti!”

Sementara tentang kesusasteraan Jawa sendiri, Arswendo Atmowiloto menyebutnya sebagai “Jawa Ngeyel” karena tidak mati-mati –padahal sastra Jawa itu cuma hidup bila ada seminar yang memang disengaja untuk nguri-uri sastra Jawa. Repotnya paling tidak dalam geguritan –putika sastra Jawa itu peniruan saja dari perpuisian Indonesia pasca-Chairil Anwar. Toh sastra Jawa (dan sastra-sastra lain, seperti Sunda dan Bali) memperoleh mesiu tambahan ketika “otonomi daerah” mulai diberlakukan. Muncullah euforia seni daerah (seni geografis, istilah yang dipakai Triyanto Triwikromo) dalam bentuk seni rakyat, seni massal, seni pop –cuma tahun 2004 ini kesadaran ini didukung oleh pengembangan wacana dengan penggalian “local wisdom” & “local genius.” Restorasi Jawa tidak hanya dilakukan oleh Yayasan Kanthil, Swagotra, Permadhani, Ki Enthus Susmono, Ki Slamet Gundana, tetapi juga oleh Tanto Mendut yang tidak bosan-bosannya bikin festival kesenian pegunungan — yang menolak hegemoni kesenian keraton dan “memaksa”-nya berdialog dengan kesenian pedesaan.

Artinya, mereka sedang memperkenalkan kembali Jawa Plural, Jawa multikultural sampai kelak-dalam waktu singkat –muncul Transkultural Jawa yang memenuhi ramalan: “Dibilang Jawa sudah bukan; dibilang bukan Jawa masih.”

Inilah masa depan yang dekat dari kesusasteraan, kesenian, kebudayaan kita di Jawa Tengah ini khususnya.

Skenario Kabudayan

Pertanyaan adalah: adakah peremajaan kembali kebudayaan kita tahun 2004 ini sudah maktub dalam “script of life” kita, atau hanya sebuah intermeso, improvisasi atau bahkan deviasi? Secara instink (baca: kesadaran kosmis), rasanya kok kita yakin adanya skenario ini, seperti kita yakin akan “sangkan-paraning dumadi” –juga dalam perjalanan kultural bangsa. Tapi kalau benar ada peremajaan kembali, bukankah bakal ada krisis identitas lagi? Bukankah sastrawan, seniman, ilmuwan, agamawan kita hanya akan ubek saja dengan cari pengakuan? “Lha ya ngono,” seru Bilung, “Lha wong kebanyakan elite budaya kita tu sibuk golek keplok gitu lho!” Biar begitu mbok ya kita dengan pendapat Triyanto Triwikromo: “Identitas tu tidak geografis lagi, tapi pada kualitas karya.” Lha mbok ya gitu. Biarpun kita mengalami peremajaan, “golek keplok,” tapi urusannya sudah kekesadaran yang lebih tinggi: Kreativitas otentisitas, orisinalitas. Gitu! Bacalah dengan mata batin Anda!

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir