Senin, 15 November 2010

Seribu Matahari Dibungkam Hujan

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Hari Sabtu, sebuah matahari memancar ramah di pagi hening, menerangi angin bertiup. Bola yang memancar di langit, menatap tanpa tirai pada lembaran-lembaran kain, biru dan hijau yang menjalar di jalan-jalan kota. Sinar berpendar di angkasa rasa seolah ingin menutup mata. Tak ingin memandang kota yang dipenuhi biru-hijau menjalar dalam kesombongan. Ia tidak ingin melihat sedangkan Rajanya menciptakan diri untuk melihat dunia saat siang agar manusia bisa saling memandang dalam gerak dan kerja.

Matahari di atas, jenggah melihat seribu matahari di tertancam di bumi. Ketika angin bertiup, seolah menantang langit yang telah terang benderang dan sang Penjaga Siang merangkak. Dadanya membucahkan kawah. Gejolaknya menjilat awan-awan putih berserakan untuk hangus.

Di tengah-tengahnya, Dhimas Gathuk berdiri di halaman rumah. Hari ini, dia tidak berangkat kerja. Setelah menghantarkan saudaranya dalam pengembaraan jauh, Dhimas Gathuk tidak beranjak. Dia memandangi langit biru yang luas. Menaungi kepala yang mulai terasa penuh dengan pertanyaan.

“Tidak ikut berpesta, Le?” tanya Gus Ahmad, yang terkenal di penjuru desa dengan panggilan Gus Ah, sewaktu mau berangkat ke sawah dan kebetulan jalan yang musti di lalui melewati rumah Dhimas Gathuk.

“Hahahaha… mboten, Gus. Orang murtad seperti saya ya tidak terpakai, Gus. Masih banyak orang yang loyal untuk Pendopo Matahari.”

“Lha, tapi kan kamu berada di salah satu atapnya, Le. Setidaknya ikut guyup-guyup, tidak ada salahnya.” Gus Ah berhenti sejenak untuk mengamati Dhimas Gathuk yang tersenyum kecil.

“Saya mau pergi ke Kota, Gus, tapi bukan untuk berpesta. Hanyut dalam kebisingan yang tidak saya mengerti untuk apa, tapi yah, sekedar menikmati pahit kopi. Siapa tahu bertemu seseorang yang memberikan manfaat.”

“Hati-hati di jalan, Le. Banyak kepentingan, banyak persoalan seperti yang dahulu pernah Mendiang Bapakmu lawan habis-habisan sampai Bapakmu yang habis sendiri.”

“Iya, Gus!” sahut Dhimas Gathuk yang setelah mencium punggung tangan Gus Ah, langsung melesat jauh.

Dhimas Gathuk melangkah ke utara menuju kota di mana riuhnya pesta ulang tahun yang akan dikenang sebagai umur keemasan. Seratus tahun yang gilang-gemilang dalam peringatan setelah dalam kurun waktu yang lama itu, sang matahari baru mampu bercokol dengan kuat di bumi pertiwi. Dari tanah Mataram Baru kembali ke Mataram Baru, begitu ungkap mereka yang bersenandung lagu ulang tahun yang kan segera dicatat sejarah. Pendopo Matahari menghamburkan uangnya di seratus tahun penisbatan pada Nabi.

Di sepanjang perjalanan ke Kota, setelah keluar dari wilayah desanya, Dhimas Gathuk menyaksikan lagi, tarian-tarian bendera matahari yang berdiri di atas bambu. Berkelebat dalam kepongahan. Dhimas Gathuk tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Ah, kepongahan yang berdiri di atas bambu. Sebentar lagi melapuk dan akhirnya roboh juga. Ada banyak kutu di dalamnya melapukkannya sendiri dari dalam!” dan sambil terus melaju menuju warung kopi yang sudah dia rindukan.

Di jalan, gerbang kota, Dhimas Gathuk menemukan kemacetan yang sangat. Sang Penjaga Siang dengan terang membakar langit. Panasnya bukan main saat dari barat-daya dan barat-laut berjubal awan hitam berarak. Jalan di setiap sudut kota dipenuhi para pelancong yang ingin ikut bergembira dalam pesta pora ulang tahun Pendopo Matahari. Dari lampu merah ke lampu merah dipenuhi mobil-mobil berplat luar kota, bus-bus pariwisata yang di badan mereka tertempel kepongahan logo Matahari. Dhimas Gathuk menggelengkan kepala saja.

Dengan berbekal tawa lucu dan kesabarannya, Dhimas Gathuk berhasil sampai di warung kopi. Walau di jalan sempat dimaki orang yang berjalan jauh dari luar kota untuk berpesta, Dhimas Gathuk tidak perduli. Dia melaju tenang di jalannya sendiri. Sampai di warung kopi, di sana dia bertemu dengan sepasang manusia. Dua-duanya lelaki. Mereka sepasang bukan dalam hubungan cinta kasih kemesraan yang melenceng. Tapi persahabatan yang tidak mampu dihargai dengan uang sebanyak apa pun. Mereka itu yang sering Dhimas Gathuk sebut dengan nama singkat Nur Gambleh.

Nur dan Gambleh. Seorang pengikut Pendopo Bintang dan seorang lagi pengikut Pendopo Matahari. Dua orang dengan pemikiran berbeda namun bisa bersatu di jalan kehidupan masing-masing. Seorang dari mereka adalah santri dan yang seorang lagi seorang seniman rupa yang masih teramat muda.

“Ah, ketemu Nur-Gambleh!” ucap Dhimas Gathuk dalam salam kelakar yang renyah.

“Ora melu ulang tahunan, Kang?” tanya Nur sambil menyibakkan rambutnya yang brekele.

“Ora lah. Nanti hanya jadi pengotor bagi pandangan para pemuka agama besar di kalangan orang-orang matahari.”

“Sampeyan kie, Kang!” sahut Gambleh sambil tersenyum kecil.

“Gambleh ini baru sedih, tidak bisa ikut ulang tahunan!” ungkap Nur dalam tawa menggelegak.

“Ngawur, Cak Nur kie.”

“Meriah, Kang?” Dhimas Gathuk mengarahkan pandangan pada Gambleh yang memandang ke jalan di mana iring-iringan rombongan pejalan yang berpesta pora baru lewat.

“Katanya sih, meriah, Kang. Lha, kenapa njenengan tidak ikut?” ucap Gambleh pelan.

“Mataram Baru, menurut kabarnya sudah di boking lho. Di pesan untuk berpesta. Semua orang yang memiliki tanda peserta dan penggembira bisa masuk ke tempat-tempat wisata dengan gratis.” Sahut Nur.

“Ah, masih tidak meriah. Kalau nanti Dalem Gothak-gathuk buat acara, Mataram Baru akan dikontrak seluruhnya, hahahahahahaha………..”

“Orang-orang yang di Mataram Baru diungsikan, Kang?” sahut Nur

“Lha, Iya! Dalem Gothak-Gathuk..!!”

Dan mereka bertiga tertawa bersamaan.

“Ini yang mungkin mereka bilang sebagai umur keemasan, dimana seseorang membuat sebuah perkumpulan untuk menegakkan kebaikan dan memerangi kemungkaran.” Ungkap Nur dalam senyuman kecil sementara Dhimas Gathuk masih tertawa terbahak-bahak.

“Apa ini namanya pergeseran, Kang? Ini kang Gambleh yang tahu dengan bagaimana sifat-sifat nabi yang kini tengah menjadi merek dagang.” Ucap Dhimas Gathuk sambil memegangi dada yang sakit karena tawa terbahak mendorong kelencar di paru-paru keluar.

“Ah, aku tidak tahu apa-apa!”

“Bukankah nabi itu menjalani hidup dalam kesederhanaan, Kang?” sahut Nur.

Dhimas Gathuk kemudian tersenyum kecil. Ia teringat pada perjalanan bersama saudara tuanya sehabis menjalankan sembahyang maghrib. Dari sana, dia memahami kembali. Ternyata, banyak orang yang mengatasnamakan nabi namun mereka melupakan nilai tersembunyi yang ada di dalam kehidupan para nabi. Kebaikan, kesederhanaan, ketulusan, dan keikhlasan yang terkadang terlupakan begitu saja. Dhimas Gathuk menggelengkan kepala. Dia meneguk sisa kopi pahit dan melangkah keluar untuk pulang. Belajar kembali pada tanah merah yang dititipkan Mendiang Bapaknya.

Di perjalanan, awan hitam menggantung di atas kepala. Orang-orang terburu agar tidak terguyur riuhnya hujan yang akan segera turun. Namun, dalam langkah tergesa itu, hujan jatuh dengan alangkah deranya. Gemuruh langit menggelegar. Menakutkan hati Dhimas Gathuk yang berkali-kali menundukkan kepala. Hujan telah menyelimuti tanah Mataram Baru sementara dimana-mana jalanan dipenuhi para peserta pesta.

Kain hijau-biru yang tadinya berkelebat telah meringkuh di dingin air hujan. Matahari yang disematkan di sana tidak lagi cemerlang putih. Telah jadi pucat ketika dentuman langit menggelegar di atas kepala. Udara dingin ditiup dengan keras namun tidak membuat seribu matahari berkelebat. Kesemuanya meringkuk pucat. Meringkuk tanpa daya, sedangkan Dhimas Gathuk meringkuh dalam sumpah serapah yang menggelora di dalam dada.

Dia melaju perlahan-lahan. Akhirnya sampai wilayah selatan. Di sana, di daerah yang tidak tertancap bendera matahari, tanah-tanahnya kering. Tidak ada setetes air yang membasahi. Dhimas Gathuk memandang ke langit. Matahari memancar ramah seolah menyuguhkan senyum kepadanya. Dhimas Gathuk menggelengkan kepala.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 13 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir