A. Rodhi Murtadho
http://media-jawatimur.blogspot.com/
Hedonisme makin menancap di setiap ruh. Menyanyikan gemerlap malam dalam kelakar tawa. Menarikan tubuh dengan liuk-liuk rancak. Mempuisikan segala umpatan. Bercerita dengan segala dengus birahi. Mengumpat dengan kata-kata bijak. Menasehat dengan kemabukan kata. Menggirangkan tawa dalam tangis. Tak peduli dengan apapun. Asalkan bisa mengundang kesenangan, tentu akan ditempuh. Melawan kodrat, melanggar norma, sudah menjadi kewajaran dan lumrah.
Jalanan kota pinggiran penuh ketidakdisiplinan. Seenaknya. Parkir mobil sembarangan di tepi jalan. Berkendara motor dengan penumpanmg lebih dari dua. Pejalan kaki yang seenaknya berjalan atau menyebrang. Namun semua itu memberi kenyamanan Joko Berek. Membimbing dan mengarahkan setiap langkah. Bahkan untuk sampai di rumah Perawan Kunti yang terselip di antara bangunan-bangunan yang hampir sama. Kompleks perumahan.
Sepi, rumah singgah Perawan Kunti. Bukannya tidak berpenghuni atau tak ada lalu lalang orang atau tak ada deru kendaraan mengaum. Hanya saja semua itu sepi dari kepedulian. Sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Hanya musik klasik mengalun pelan dari pemutar DVD.
Perkawanan, keakraban, kepercayaan, dan kebiasaan menjadikan Joko Berek langsung memasuki rumah Perawan Kunti tanpa permisi. Nylonong masuk dan langsung duduk di ruang tamu. “Kunti, aku datang,” teriak Joko Berek. Sekelebat dari ruang tengah, Perawan Kunti menongol menemui Joko Berek.
Tawa Joko Berek terus melantur memecah hingar bingar malam. Melumerkan sepi rumah Perawan Kunti. Segala tanya bersarang di benak Perawan Kunti. Tawa Joko Berek tak henti-henti. Kian ngakak.
“Apa yang kau tertawakan?” tanya Perawan Kunti.
“Aku hanya menertawakan musik yang bertambah nada dengan kehadiranmu.”
“Memangnya mengapa?”
“Ada tambahan diglak…digluk…”
“Memang itu suara langkah kakiku yang pincang,” sewot Perawan Kunti menyahuti.
“Bagaimanapun pembangunan di negeri ini. Jalan diratakan dan dihaluskan, langkahmu tetap saja. Menjadikan jalan tak rata.”
“Daripada kau, bagaimanapun majunya teknologi. Layar televisi yang sudah berwarna, masih tetap saja kau anggap sebagai radio.”
“Tetapi nikmat. Dengan begitu aku bisa membayangkan keindahan dengan kehalusan suara. Lain dalam penglihatan dan bayanganmu, dunia selalu berguncang.”
“Keindahan apa? Siang atau malam kau tak bisa membedakan. Apa yang dapat kau saksikan dari bayangan keindahanmu? Mentari pagi tak pernah kau saksikan. Mungkin hanya suara kokok ayam kaudengar, itupun jika masih ada ayam. Apalagi purnama yang penuh dengan keteduhan cahaya. Dengan kebutaanmu, mungkin hanya suara kentongan orang-orang desa kaudengar sebagai tanda purnama. Itupun jika kau tak lupa membedakan dengan suara kentongan untuk maling.”
“Tetapi aku bahagia.”
“Aku juga bahagia. Eit…sebentar, sebentar, apa yang membuatmu bahagia?”
“Bisa mengumpatmu.”
“Ternyata sama. Aku bisa bahagia karena bisa mengumpatmu.”
“Aku juga bahagia engkau umpat.”
“Sama juga. Aku bisa bahagia karena bisa kau umpat.”
“Selama ini engkau yang paling jujur.”
“Kau juga. Selama ini tak ada yang berani mengatakan langkahku mengubah nyanyian-nyanyian.”
“Apakah kita ini termasuk kaum hedonis, selalu mencari kebahagiaan dengan berbagai cara?”
“Mungkin juga. Setiap umpatanmu sungguh menyenangkan. Aku bisa mengumpat bebas dan bahagia.”
Sepi kembali menyelimuti ruang tamu. Musik klasik pemutar DVD seperti makin keras volumenya. Tak ada kait pandang tentunya. Deru nafas memburu mengotak-atik otak untuk berpikir. Joko Berek mendongakkan wajahnya ke atas. Perawan Kunti menatapnya.
Sebilik senyum Perawan Kunti. Biarpun tak pernah mendapat balasan dari Joko Berek, Perawan Kunti tetap bahagia. Diamati Joko Berek dengan detil. Setiap lekuk wajah digelayuti dengan pandangan. Senyum terpampang kagum di wajah Perawan Kunti.
“Andaikan aku tidak buta…,” menetes air mata Joko Berek dengan gerakan menundukkan wajah.
“Bahagialah kawan.”
“Andaikan aku tidak buta, tentu aku tidak sebahagia ini.”
Diam kembali merayap. Perawan Kunti serasa tak sanggup melanjutkan perbincangan. Leleran air mata di pipinya seakan mau menanggapi dengan bahasanya sendiri. Namun tak sanggup juga untuk berkata-kata. Bibir Perawan Kunti menutup dan kembali membuka. Namun dialihkan untuk menirukan lagu-lagu yang sedang bersenandung.
“Mengapa hawa yang engkau keluarkan terasa Panas, Kunti? Apakah engkau sedang menangis? Apakah engkau sedang gelisah? Atau ada ucapanku yang membuatmu sedih?”
“Tidak apa-apa? Aku hanya terpaksa berpikir tentang lagu Sepanjang Jalan Kenangan ini dengan ucapanmu tadi?”
“Ada apa dengan lagu itu? Dan apa hubungannya dengan perkataanku?”
“Jalan kenangan yang kulalui selalu bergelombang dan tidak rata meski jalan mulus dan rata. Tentu jika aku yang menyanyikannya, syairnya akan berubah: Sepanjang jalan kenangan mengapa selalu tidak rata; Sepanjang jalan kenangan kau selalu meraba; Sepanjang jalan kenangan kita selalu saling menuntun; Sepanjang jalan kenangan kita selau saling menghujat; Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu; Menambah nikmatnya malam umpatan.”
Joko Berek tertawa terbata-bata. Tertahan dan dilepaskan muncrat keluar. Air mata telah mengering. Seperti tak ada lagi sumber yang mengalirkannya. Tak ada lagi raut berpikir yang tampak. Terbenam dalam keriangan yang sengaja diciptakan Perawan Kunti. Joko Berek ikut bernyanyi. Selirik dan senada dengan Perawan Kunti. Mereka berdua secara otomatis bangkit dari tempat duduk. Joko Berek mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Perawan Kunti. Mereka menari mengikuti nada. Bergandengan bahkan tubuh mereka tak memiliki jarak.
Lagu telah usai. Mereka kembali kepada tempat duduk. Senyum di bibir rmasih tersisa. Kebahagiaan riang terpancar dari muka Joko Berek dan Perawan Kunti. Terengah-engah nafas tak dipedulikan. Kucuran keringat yang mengalir deras tak dihiraukan. Hanya tawa yang terus menerus. Dilanjutkan dengan umpatan dan guyonan segar.
“Kau tahu Joko Berek…”
“Tidak.”
“Aku belum selesai ngomong, Berek.”
“Aku tahu. Nafasmu yang memburu itu memberi jedah.”
“Begini Berek. Aku rasa kita ini benar-benar kaum hedonis yang tak lazim.”
“Tapi aku pikir kita masih lazim. Tak ada yang aneh.”
“Menurutmu begitu, Berek? Tetapi menurutku kita ini termasuk kaum hedonis kota pinggiran yang tak lazim karena tak terlalu mengumbar segalanya untuk mencari kebahagiaan.”
“Tidak juga. Aku selalu melepaskan segalanya yang ada dalam diriku untuik mencari kebahagiaan. Bahagia dari kata-katamu, langkahmu, bahkan suara merdumu bisa membuat aku terangsang. Aku mungkin saja sama dengan kaum hedonis tengah kota. Tak ada bedanya. Hanya saja mereka tahu jalan untuk menyalurkan hasrat mereka. Tetapi aku perlu untuk meraba jalan itu untuk sampai di titik itu. Dan tentunya, seandainya aku merabamu sampai kebahagiaanku menghasrat nafsu, engkau akan lari.”
“Kau belum mencoba Berek.”
“Aku tak begitu berani.”
“Mengapa kau tiba-tiba menjadi pengecut?”
“Aku bukan pengecut. Aku hanya takut kau akan lari dariku dan menjauh. Tak pernah lagi mau berkawan denganku. Tak mau lagi menyapaku dan menghiburku. Dan yang lebih sedih lagi, tak ada lagi yang akan mengumpatku semenarik dirimu. Aku takut jika aku melakukan nikmat sesat dan sesaat, semua itu akan jadi kenyataan. Aku akan kehilangan engkau. Aku tidak mau itu.”
“Ternyata kau ini terlalu banyak pikir dan terlalu tolol,” Perawan Kunti mendekat, menanggalkan baju dengan langkah pincangnya dan menengadahkan tubuhnya di depan Joko Berek, “sekarang cobalah mulai kau rasakan, carilah jalanmu, kalau tak sanggup akan kutuntun nanti.”
“Tapi…”
“Tak usah kau tersipu begitu Berek. Aku kenal kau sudah lama dan kau mengenal aku sudah lama juga. Semestinya tak ada yang perlu ditutupi lagi. Aku perempuan dan kau lelaki. Sering bersama. Mestinya kau lebih mengerti.”
Tangan Joko Berek mulai dibimbing Perawan Kunti untuk menjelajah tubuhnya. Segera tangan Joko Berek memiliki nyawa. Hilir mudik kesana kemari. Tak henti-henti menyusuri setiap lekukan. Mengulang kembali dan terus mengulang.
Kehausan kulit Perawan Kunti menjadikan rasa geli tak tertahan. Pada tangan Joko Berek maupun pada tubuh Perawan Kunti. Geliatan-geliatan liar sudah tak terbendung lagi. Nafas mereka sudah dipacu dari kelunglaian pasrah. “Ah. Sialan kau, Berek. Itu payudaraku. Mengapa tanganmu selalu berada di situ. Tak akan kau temukan jalanmu di sana.”
“Aku suka. Karena aku tidak memilikinya.”
“Baiklah. Sekarang gerakkan tanganmu untuk turun dari belahan itu dengan perlahan. Dan carilah jalanmu sendiri.”
“Apakah ini?”
“Benar. Kau akan menemukan kenikmatan yang luar biasa jika yang kau masukkan itu bukan jarimu melainkan senjatamu yang lain.”
“Tongkat ini?”
“Jangan! Itu terlalu panjang. Tongkat yang itu untuk berjalan. Tetapi tongkat yang lebih pendek dari itu. Yang bisa mengembang dan mengempis. Menegang dan melembek.”
“Oh. Jadi ini to!”
“Ayolah Joko Berek. Lepaskan semua bajumu dan menarilah bersamaku.”
“Tidak. Aku tidak mau.”
“Lagi-lagi kau seperti ini. Mengapa Joko Berek? Aku rela.”
“Aku ingin merasai pintu pernikahan sebelum aku menjamahmu secara utuh. Aku ingin tak ada beban rasa bersalah ataupun beban dosa yang menghantui pikiranku. Aku ingin menikahimu dan memiliki anak. Hidup normal seperti yang lainnya.”
“Ah, sialan kau Berek. Mengingatkanku. Aku juga ingin kehidupan seperti itu. Aku juga ingin memiliki anak. Mengisi lembar-lembar hari penuh dengan tawa dan tangis dari sang anak. Uh, sungguh bahagianya.”
“Nggak usah sok puitis dan romantis seperti itu.”
Perawan Kunti menggerakkan langkahnya ke belakang. Diambilnya kembali baju-baju yang tercecer tak karuan. Dipakai satu persatu. Tak ada rasa canggung. Pelan-pelan semua baju dipakai dengan duduk. Seperti kekuatan kakinya telah habis. Tak mampu lagi menopang tubuh.
“Berek…Berek. Aku heran dengan kau yang tak tertarik sama sekali ketika aku telanjang tadi. Sepertinya kau lebih menikmati meraba dadaku.”
“Aku ini buta. Engkau lupa?”
“Oh iya. Maafkan aku. Tapi aku jadi mengangankan sesuatu yang lain.”
“Apa itu?”
“Bagaimana anak kita kelak. Aku pincang dan kau buta.”
“Tuhan akan menciptakan hambanya sempurna. Seperti aku ini. Aku merasa sempurna. Entah engkau.”
“Aku juga merasa sudah sempurna meski pincang. Tapi bukan itu maksudku Berek. Jika nanti anak kita mirip aku atau mirip kau itu tak jadi soal. Bagaimana jika anak kita nanti mirip dengan kita?”
“Maksudmu buta seperti aku atau pincang seperti engkau?”
“Mirip kita.”
“Iya. Tapi yang bagaimana?”
“Ya itu. Mirip aku dan kau. Bukan mirip salah satu dari kita. Jadi nanti anak kita akan buta sekaligus pincang.”
“Oh, itu maksudmu.”
“O… O….! Maksudmu! Bagaimana jika itu terjadi?”
“Tak apa. Akan kita beri anak kita rasa yang lebih hebat dari kita. Rasa perpaduan antara aku dan engkau. Berarti anak kita nanti akan lebih sempurna dari kita. Bisa merasakan kebutaan dan kepincangan. Perpaduan yang asyik.”
“Gundulmu amoh. Kau tak pernah memikirkan anak kita nanti bakal hidup di masyarakat. Bagaimana nanti akan bergaul di masyarakat? Tantu akan dipinggirkan dan disingkirkan. Aku sudah merasakannya. Para pemuda lari tunggang langgang menjauhi aku…”
“Kecuali aku.”
“Iya. Karena kau tidak melihat keadaanku yang menyedihkan jika dipandang. Kau hanya mendengar. Dan dugaanku kau tidak pernah merasa dijauhi masyarakat. Karena itu kau menjadi tidak peduli dengan anak kita nanti.”
“Siapa bilang! Siapa yang mau mendekatiku untuk sekadar berbincang. Masyarakat mana yang mau peduli. Mereka memandang aku sebelah mata atau mungkin tidak melihat aku sama sekali.”
“Dari mana kau tahu mereka memandangmu sebelah mata atau tidak melihat kau? Kau buta. Kau sendiri tidak bisa melihat mereka menujukan pandangan mereka.”
“Katanya.”
“Kata siapa?”
“Orang-orang.”
“Orang-orang siapa?”
“Ah, sudahlah. Aku tak tahu mereka. Aku hanya mendengar perbincangan mereka.”
“Aha… akhirnya kena juga kau.”
Tawa kembali mengguncang malam. Terselip benih-benih kebahagiaan. Kepenatan berganti canda. Samar di pucuk-pucuk pandang tak terkatakan.
“Tunggu dulu. Kita belum menikah. Kita belum kawin. Kau belum mengandung. Kita belum memiliki anak. Tetapi mengapa perdebatan ini mesti terjadi?” Joko Berek terlihat serius berpikir.
“Meramaikan malam saja. Daripada sepi dan hanya diisi musik klasik yang mengantukkan dan menjemukan.”
“Jadi engkau tak sungguh-sungguh dengan semua ucapanmu itu?”
“Siapa bilang aku sungguh-sungguh.”
“Sialan. Sekarang aku mau pulang.”
“Tapi aku sangat sungguh-sungguh. Karena kulihat tak ada laki-laki yang mau denganku. Dan tak ada juga perempuan manapun yang mau denganmu.”
“Siapa bilang! Masih banyak perempuan yang mengharapkanku.”
“Mengharapkanmu menjadi jongos.”
“Jangan salah…”
“Berarti benar.”
“Begini lho kata mereka, para perempuan. Aku buta dan tak pernah tahu beda siang dan malam dari warna. Jika sudah begitu, diharapkan aku bisa terus berada di atas mereka dan menindih tanpa mengenal waktu.”
“Memangnya seberapa kuat kau bisa menindih?”
“Jangan salah lagi.”
“Berarti benar lagi.”
“Ini juga kata mereka. Karena seringnya aku menyusuri jalanan dengan berjalan kaki. Tentu badan yang kumiliki ini sehat dan bugar. Tentu kekuatanku bisa tahan sampai berjam-jam.”
“Apa mereka tak takut atau khawatir?”
“Apa yang perlu ditakutkan dan dikhawatirkan?”
“Jangan-jangan nanti lubang kasur yang kau masuki karena kau lupa untuk meraba lebih dulu. Sementara itu, mereka sudah tertidur pulas.”
“Itu dia masalahku. Aku belum bisa membedakan suara dengkuran perempuan yang sedang tidur dan suara erangan perempuan yang menyelami kenikmatan. Andai aku sudah tahu, tentu tak usah aku meraba-raba lagi. Langsung aku tusukkan dan tinggal menunggu suara yang keluar dari mulut mereka.”
Hening tiba-tiba menyergap.
Beku menyelimuti. Suara musik sudah tak mampu lagi mencairkan. Kebimbangan muncul atas rencana-rencana. Sekat-sekat batas dari malu masih hinggap di ujung bibir. Kelu. Perawan Kunti menajamkan pandangannya pada Joko Berek. Berharap bibir Joko Berek kembali terbuka. Namun Joko Berek hanya menundukkan wajah. Sesekali didongakkan mencari suara Perawan Kunti. Dan kembali tertunduk ketika hanya suara musik yang mengalun.
“Bagimana jika kita mengakhiri nama kita?” bergetar suara Perawan Kunti mengalun pelan. Samar
“Maksudmu?”
“Kau mengakhiri nama joko dan aku mengakhiri nama perawan.”
“Aku setuju saja asal…”
“Asal apa?”
“Asal setelah menikah nanti, izinkan aku merabamu untuk mengetahui lubang-lubang yang engkau miliki.”
Joko Berek tertawa. Perawan Kunti tersipu. Saling ingin mengaitkan hati. Tak ada yang bisa menjembatani kecuali sentuhan-sentuhan dan kata-kata. Suara langkah sebagai pertanda. Panas dan dinginnya tubuh menjadi ukuran perasaan. Umpatan-umpatan sebagai hiburan keceriaan. Tak ada duka mengalir, sikap menggambarkannya. Menerima diri dan saling menerima yang lain sebagai anugerah. Ceria malam bertabur lagu nostalgia. Berdendang harapan. Kutukan-kutukan menyingkir dari diri. Menabur suka dalam keterbatasan. Pada ruang-ruang hedonis kota pinggiran. Mempercayakan indahnya hidup dalam rajutan kearifan. Bukan hura-hura semata.
Lamongan, 7 Februari 2008
A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008). email: rodhi_murtadho@yahoo.co.id
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 15 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar