Sudah dimuat di Majalah alKisah edisi No 25/III/2005
Ia adalah sosok multikreatif. Kreativitasnya telah mengantarkan langkah kakinya ke berbagai dimensi kehidupan: santri, gelandangan, dan seniman sastra.
Tanggal 17 malam, di Dusun Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Halaman pesantren yatim piatu itu sudah nyaris penuh oleh jemaah. Nuansa putih mewarnai ribuan orang yang duduk di atas puluhan tikar yang terhampar, sampai ke luar kompleks Pesantren Zaituna. Pukul sembilan tepat, acara pun dibuka dengan pembacaan surah Al-Fatihah oleh seorang pria gagah yang juga mengenakan baju dan kopiah putih.
Acara demi acara pun kemudian mengalir dengan lancar. Selawat pembuka, yang diambil dari beberapa syair Maulid Simthud Durar, mengawali prosesi spiritual malam itu. Lantunan syair selawat itu semakin indah saat diiringi irama rancak yang berasal dari perpaduan berbagai alat musik modern dan tradisional. Jemaah, yang sebagian besar pemuda dan mahasiswa, pun segera larut dalam kesyahduan.
Usai beberapa lagu pembuka, acara yang dinantikan jemaah pun tiba. Sang pemimpin kelompok musik asal Jawa Timur kembali tampil, meraih mikrofon dan menyapa hadirin. Dengan lugas ia lalu menyampaikan sebuah prolog diskusi yang cukup panjang. Dengan gaya bicaranya yang agak “nakal” dan penuh sentilan, tokoh yang belakangan tubuhnya “membesar” ini menyoroti berbagai permasalahan kemasyarakatan.
Forum malam itu semakin semarak setelah sang narasumber membuka kesempatan dialog. Bergantian, beberapa orang yang hadir menyampaikan unek-uneknya. Terkadang hadirin ger-geran ketika audiens berbicara dengan gaya yang lugu. Maklum, jemaah yang hadir di pengajian rutin bulanan itu memang berasal dari berbagai golongan dan strata sosial.
Sang narasumber, tokoh sentral kita kali ini, adalah sosok yang dikenal multikreatif. Ia melintasi berbagai dimensi kreativitas, diawalinya sejak usia muda, yang membuatnya bisa masuk ke hampir semua golongan. Dialah Muhammad Ainun Najib, yang lebih dikenal dengan Emha Ainun Najib atau Cak Nun.
Berbagai predikat, seperti budayawan, kolumnis, seniman, bahkan kiai, kini kerap dinisbatkan kepada pria yang mengaku mengawali segalanya dengan keterbatasan-keterbatasan yang melingkarinya. Sebuah proses panjang yang, menurutnya, berliku.
Dikenal memiliki stamina ketekunan dan keuletan yang menggebu-gebu dalam mengatur energi kebaikan, suami Novia Kolopaking ini mampu tetap eksis dalam berbagai geliat kehidupan. Ia bahkan mampu mewarnainya secara langsung dengan arif.
Santri Gelandangan
Lahir pada 27 Mei 1953 di Menturo, Jombang, Jawa Timur, Emha adalah anak keempat dari lima belas bersaudara. Ayahnya, Muhammad Abdul Lathif, seorang petani dan kiai surau, sering menjadi muara keluh kesah masyarakat di sekitarnya. Begitu pula dengan ibunya, Chalimah.
Emha menjalani hampir seluruh episode awal kehidupannya di dusun kecilnya, Menturo. Ia bersyukur menjadi anak desa, yang memberinya pengalaman dan pelajaran tentang kesederhanaan, kewajaran, dan kearifan hidup.
“Saya banyak belajar dari orang desa yang berhati petani. Mereka makan dari hasil yang ditanam. Semuanya berdasarkan kewajaran, kerja sebagai orientasi hidup, tak pernah mempunyai keinginan menguasai atau mengeksploitasi alam dan sesama manusia. Mereka tabah meskipun ditindih penderitaan,” kata Cak Nun.
Setamat SD, Emha melanjutkan ke Pondok Pesantren Gontor. Namun, di pesantren yang diasuh oleh K.H. Imam Zarkasyi itu ia hanya bertahan selama dua setengah tahun. Emha, yang sejak kecil dikenal kritis, melancarkan aksi protes terhadap ketidakadilan petugas keamanan pondok, sehingga “diusir” dari Pondok Pesantren Gontor.
Pengalaman dua setengah tahun di Gontor, tampaknya begitu berkesan bagi Emha, yang memang dibesarkan dengan kultur santri. Sekelumit pengalaman itu pula yang kelak kerap mewarnai berbagai karyanya yang sarat kritik sosial, lugas tapi sufistis.
Keluar dari Gontor, Emha lantas hijrah ke Yogyakarta, kota yang membuka peluang bagi pengembangan kreativitasnya. Usai menamatkan pendidikan menengah di SMA Muhammadiyah I pada 1969, ia juga sempat masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Namun setelah kuliah empat bulan, pada hari kedua ujian semester I, ia keluar.
Gejolak jiwa seniman Emha, membawa langkah kakinya ke “Universitas” Malioboro. Sepanjang kurun 1970-1975, ia menggelandang hidup di komunitas Maliboro. Ia bergabung dengan kelompok penulis muda Persada Studi Klub, yang kala itu diasuh oleh “mahaguru” Umbu Landu Paranggi. Saat itulah pengembaraan sosial, intelektual, kultural, maupun spiritual Cak Nun memasuki babak baru, berkarya.
Nama Emha mulai dikenal orang, saat tulisan-tulisannya yang berupa esai, puisi, dan cerpen, bertebaran di berbagai media massa. Waktu yang hampir bersamaan ketika ia mulai rajin mementaskan pembacaan-pembacaan puisinya bersama Teater Dinasti pada tahun 1980-an.
Selepas bergulat panjang di “Universitas” Malioboro, dekade ’80-an, sering dianggap sebagai periode produktif Cak Nun. Dalam rentang waktu tersebut, ia melahirkan beberapa antologi puisi, di antaranya Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1977), Cahaya Maha Cahaya (1988), Syair Lautan Jilbab (1989), dan Suluk Pesisiran (1990).
Kini, setelah 30 tahun berkarya, Emha Ainun Nadjib telah mela¬hirkan lebih kurang 25 antologi puisi yang berisi sekitar 800 judul puisi. Ciri khas puisi karyanya adalah kandungan protes sosial, sosio-religius, dan mistik Islam. Di luar puisi, Cak Nun, bersama Halim H.D., “pengasuh” jaringan kesenian Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa repertoar serta pementasan drama.
Di antara karya fenomenalnya adalah drama kolosal Santri-santri Khidhir, yang dipentaskannya bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor, dengan seluruh santri menjadi pemain, dan Lautan Jilbab, yang dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar, tahun 1990.
Rumah Hantu
Hal unik lain dari tokoh satu ini adalah kenekatannya yang sering overdosis. Setelah sebelumnya pernah menggelandang di sepanjang emperan toko Malioboro, Yogyakarta, Cak Nun juga pernah menjadi gelandangan di Amsterdam, Belanda. Ketika itu, usai mengikuti salah satu event kepenyairan ia kehabisan bekal. Bahkan untuk membeli tiket pesawat pulang pun Cak Nun tidak mampu.
Beruntung, jiwanya adalah petualang. Ketidakberdayaan ini dimanfaatkannya untuk menimba pengalaman hidup. Bersama temannya, seorang penyair asal Amerika Serikat yang menjadi imigran gelap di Belanda, selama dua bulan Cak Nun, yang tak memegang uang sepeser pun, menempati satu petak flat yang tak berpenghuni.
Di Negeri Kincir Angin itu ada kebiasaan, jika ada sebuah rumah yang ditelantarkan atau ruang kosong yang tak ditempati lebih dari dua bulan, setiap orang berhak menempatinya. “Tapi jangan dianggap itu rejeki nomplok dulu,” kelakarnya. “Tinggal di rumah tanpa pemanas saat musim salju sama saja dengan kos di dalam kulkas.”
Beruntung tubuhnya telah terbiasa dengan kemelaratan. Meski melawan suhu di bawah nol derajat, Cak Nun tak pernah merasakan sakit. “Untuk mengisi kamar itu, kami menunggu setiap Senin malam orang-orang Belanda buang barang. Kasur, selimut, mesin ketik, teve hitam putih, kompor fungsi separo, meja, kursi, dan sebagainya kami angkut dari tempat pembuangan,” katanya lagi.
Untuk makan, keduanya mengais sisa-sisa restoran dan rumah tangga kaya yang membuang makanan agak kadaluwarsa.
“Rupanya, makin miskin dan menderita, perut kita makin tahan racun,” ujarnya terkekeh.
Di tempat itulah Cak Nun mengenal dan berinteraksi dengan para pengungsi, yang kebanyakan adalah pelarian politik dari berbagai negara Afrika.
“Tiap hari kami bercengekrama sambil mencari secuil roti di sekitar Centraal Station Amsterdam.”
Dari para “panduduk haram” ini pula ia mengaku mengetahui cara membongkar kotak telepon agar ratusan koinnya ambrol keluar. Atau teknik benang koin yang digunakan untuk untuk menipu telepon umum, sehingga satu koin bisa dipakai berulang kali, bahkan bisa dipakai menelepon ke luar negeri.
Belakangan, ketika punya sedikit uang, ia menyewa kamar yang tarifnya murah, karena dipercayai penduduk sekitar ada hantunya. Di Denhaag, pertengahan 1980-an, misalnya, Cak Nun pernah menyewa kamar yang konon juga ada setannya. Tarif sewanya kurang dari separuh harga normal, karena pernah ada penghuni kamar itu yang gantung diri. Setiap penghuni berikutnya selalu merasa terganggu.
“Saya ikhlas menyediakan diri diganggu dan berjanji tidak akan mengikutinya gantung diri, he he,” candanya.
Sepulang dari luar negeri, Cak Nun makin produktif berkarya dan bahkan mulai merambah ke dunia musik. Ia melahirkan genre baru, musikalisasi puisi. Meski demikian, dalam berbagai kesempatan ia menolak disebut artis musik atau “penyanyi”.
Bersama Kyai Kanjeng, grup musik yang didirikannya, ia menelurkan album kaset bertajuk Kado Muhammad (1996), Wirid Padhang Mbulan (1997), Menyorong Rembulan (1999), Jaman Wis Akhir (1999), Perahu Nuh (1999), Kepada-Mu Kekasih-Ku (2000), Kenduri Cinta dan Maiyah Tanah Air (2002), dan Ummi Khultsum (2005).
Penulis Muda
Emha sebenarnya lahir bukan dari kultur “penyanyi”, ia lebih tepat sebagai pemikir dan penulis serba bisa. Sejak muda ia gandrung menulis puisi, cerpen, naskah drama, makalah, dan esei (kolom). Tahun 1977-1978, tulisan-tulisannya sudah sering dimuat di harian Kompas. Juga di rubrik kolom di majalah Tempo pada tahun 1981. Bisa dibilang, waktu itu ia termasuk salah satu penulis termuda yang mampu menembus ketatnya seleksi dua media terbesar di tanah air tersebut.
Di antara sekian banyak tulisannya, jenis esei merupakan salah satu yang menonjol dan banyak dibukukan. Hingga tahun ini, tulisan-tulisannya yang terserak di berbagai media itu telah dikumpulkan menjadi lebih dari 30 buku.
Tulisan Cak Nun yang ekspresif memang mempunyai kekuatan untuk disukai. Ada banyak cara yang digunakan buat mengekspresikan “dirinya” ke dalam jagat kata, yang membuat pembacanya kerap ikut terbawa mangkel, geli, tertawa, berduka, marah, atau terbakar.
Dalam hal ini Emha pernah berpendapat, jika seseorang ingin menghadirkan suatu karya, ia harus meyakin¬kan diri bahwa salah satu penikmatnya adalah dirinya sendiri. Dan jadilah orang banyak. Artinya, pada saat yang bersamaan, agar karya bisa dinikmati oleh orang banyak, ia juga harus rela untuk menjadi siapa saja.
Tentu saja ilustrasi tersebut tidak mengatakan bahwa Emha cukup sukses mengatasi persoalan tersebut. Tetapi paling tidak untuk perspektif linguistis, karyanya memang memiliki “kelebihan” tertentu; dengan bahasanya yang padat, lugas, rileks, nakal, imajinatif, dan cerdas.
Pada kurun waktu selepas Orde Baru jatuh, produktivitas Emha tampak mulai menurun. Keadaan itu berlangsung sekitar tiga tahun. Hal ini tentu saja menggelisahkan teman-temannya, jangan-jangan Emha akan mengalami masa aus. Seperti mesin, secanggih apa pun, lambat laun ia akan men¬ghadapi suatu masa yang tak bisa dipakai lagi. Dengan tersenyum Emha mengatakan, “Manusia kan sama sekali bukan mesin.”
Kegelisahan atau mungkin juga asumsi di atas sering tidak sesuai kenyataan. Bukankah, dalam dunia pemikiran, makin matang usia, makin kreatif dan produktif pula seseorang?
Ia merasa, apa yang selama ini dapat dilakukannya tidak lepas dari kealamiahan yang Allah anugerahkan. Otak, yang dibantu akalnya, secara alamiah mengolah gagasan yang muncul dengan sendirinya, yang kemudian menghasilkan sebuah karya.
Keliling Dunia
Saat ini Emha lebih banyak menekuni aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Mbulan di sejumlah kota. Hingga rata-rata 10-15 kali pertemuan digelarnya setiap bulan bersama musik Kyai Kanjeng. Sampai sekarang, Kyai Kanjeng telah menggelar pentas di lebih dari 8.500-an kota kecamatan se-Indonesia.
Sekali waktu, Kyai Kanjeng juga mengelana ke berbagai kota di luar negeri. Seperti, beberapa waktu lalu, Kyai Kanjeng mengadakan pentas muhibah ke Mesir, Hong Kong, Malaysia, Eropa dan Italia. Acara pentas tersebut, yang umumnya diselenggarakan di lapangan terbuka, diikuti berbagai golongan, aliran, dan agama. Ia dan kelompoknya menawarkan kegembiraan menikmati kebersamaan seraya menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Kyai Kanjeng juga merupakan satu-satunya grup musik muslim yang mengiringi prosesi pemakaman Paus Johannes Paulus II dengan iringin musik dan puisi-puisi khusus untuk suasana duka itu. Bahkan Comune di Roma, semacam wali kota, mengizinkan pentas Kyai Kanjeng di Teatro Dalmazia pada 5 April 2005 malam, yang membawakan lagu-lagu spiritual. Ini menunjukkan betapa Kyai Kanjeng diterima oleh semua kelompok dan kalangan masyarakat di mana pun.
Adapun jemaahnya di berbagai wilayah Nusantara yang rutin dikunjungi Kyai Kanjeng, antara lain, jemaah “Padang Bulan” tiap pertengahan bulan (15 malam 16, bulan Jawa) di Menturo, Jombang, Jawa Timur; jemaah “Mocopat Syafaat” tiap tanggal 17 malam di Ponpes Az-Zaituna, Tamantirto, Kasihan Bantul, Yogyakarta; jemaah Maiyah, tiap akhir pekan, sistem giliran (infak) di seluruh pelosok Yogyakarta; jemaah “Gambang Syafaat” di Semarang; “Pengajian Izroil” di Wonosobo, Jawa Tengah; “Papparandang Ate” di Sulawesi Selatan; “Haflah Shalawat” di Surabaya; “Tombo Ati” di Malang, Jawa Timur; jemaah “Kenduri Cinta”, tiap Jumat malam, minggu kedua, di halaman Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, atau plaza Universitas Paramadina di Pancoran, Jakarta Selatan, tiap Sabtu malam, minggu kedua. Perubahan jadwal biasanya diinformasikan melalui milis kenduricinta atau website resminya, www.padhangmbulan.com
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar