Ignatius Haryanto, Lenah Susianty
http://majalah.tempointeraktif.com/
NAMA Indonesianis seperti Ben Anderson, William Liddle, Harold Crouch, dan Harry Poeze sudah cukup familiar bagi pembaca di Indonesia. Tapi Vladimir Braginsky, Y.A. Cherepnyova, dan N.F. Alieva adalah nama yang mungkin terdengar asing. Sebagian orang mungkin mengira tiga nama tersebut adalah pecatur atau tentara asal Eropa Timur. Padahal mereka adalah tiga dari banyak sarjana Rusia yang memiliki bidang keahlian tentang Indonesia.
Braginsky adalah doktor sastra Indonesia dan Malaysia yang kini mengajar di School of Oriental and African Studies, University of London. Cherepnyova adalah ahli sejarah Indonesia yang kini mengajar di Institute of Oriental Studies di Moskwa dan menulis disertasi tentang konsep-konsep Barat dalam pembangunan sosial politik Indonesia. Sedangkan Alieva adalah linguis yang mengajar di Russian Academy of Sciences, Institute of Oriental Studies, Moscow State University.
Karya Alieva bahkan pernah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh asosiasi linguis di Indonesia pada 1991. Tanpa terasa, ternyata perhatian para sarjana Rusia terhadap Indonesia cukup berkembang. Dan salah satu karya Vladimir Braginsky (yang ia tulis bersama Elena M. Diakonova), Images of Nusantara in Russian Literature (Leiden: KITLV Press, 1999), menjadi bukti bahwa para sarjana di Eropa Timur tak mau ketinggalan dari para sarjana pemerhati Indonesia di Barat (Amerika, Eropa Barat, dan Australia).
Buku ini merupakan antologi karya sastra sejumlah sastrawan Rusia yang mengambil inspirasi dari Nusantara, atau Indonesia, dalam sejumlah puisinya. Menyertai antologi ini, pengantar dan apendiks buku ini menjadi sangat berharga bagi kita untuk memahami bagaimana dua kebudayaan ini bertemu dan bertaut di wilayah kesastraan.
Braginsky lahir di Moskwa pada 11 Januari 1945. Ia menempuh pendidikan awalnya di Institute of Oriental Languages, Moscow State University, dan lulus sebagai doktor pada 1972 dalam bidang sastra Asia-khususnya sastra Indonesia dan Malaysia-dan sufisme dalam Islam. Ia telah menulis lebih dari 150 artikel dalam bahasa Rusia, Malaysia, Indonesia, dan Prancis, juga menulis 11 buku, baik hasil penelitian maupun terjemahan sastra.
Kini Braginsky menunggu penerbitan bukunya yang terbaru di Malaysia, Satukan Hangat dan Dingin. Riwayat Hidup Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Melayu yang Agung (diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka).
Wartawan TEMPO di Jakarta, Ignatius Haryanto, menyusun daftar pertanyaan ini, lalu koresponden TEMPO di London, Lenah Susianty, mengajukannya kepada Braginsky dan mendapat jawaban tertulis.
Dalam buku ini, Anda menulis bahwa para sastrawan Rusia telah lama memendam keingintahuan dan kekaguman terhadap Nusantara (Indonesia). Apakah ada di antara mereka yang pernah datang langsung ke Nusantara?
Ada pihak yang mengatakan, kekaguman pada kawasan yang misterius ini timbul sejak abad ke-11. Bagaimanapun, kita harus mencatat, baru pada abad ke-18 Indonesia mulai dikenal lebih luas. Pengetahuan masyarakat Rusia terhadap Indonesia sejak zaman Bizantium, lalu negara-negara muslim dan Eropa Barat, kebanyakan berasal dari mitos-mitos.
Ada kepercayaan kala itu bahwa kepulauan Nusantara ini terletak dalam surga di bumi, yaitu Taman Eden, yang memiliki kekayaan berupa emas dan batu berharga lain. Tempat ini juga dikatakan penuh dengan binatang dan buah-buahan yang tumbuh sepanjang tahun. Di sana hanya ada kebaikan, dan ia dihindarkan dari segala yang jahat. Tentu saja semua ini fiksi dan tak seorang pun pernah menemukan tempat demikian. Tapi usaha pencarian tempat tersebut tak pernah berhenti.
Suatu perjalanan yang agak akhir dilakukan oleh kelompok Cossacks dari Siberia pada paruh kedua abad ke-19. Dalam catatan harian yang ditulis seorang awak kapal itu disebutkan bahwa mereka mengarungi pantai Sumatera, menyeberangi Selat Malaka, dan mengunjungi Singapura. Tapi kala itu tak seorang pun yang bisa menunjukkan jalan menuju kerajaan yang adil dan baik itu.
Perjumpaan sesungguhnya dengan Indonesia terjadi pada abad ke-19, walaupun lebih banyak dalam bentuk buku. Agak aneh, misalnya, ketika pada 1820-an koran-koran di Rusia menulis artikel tentang pemberontakan Pangeran Diponegoro. Bagaimanapun, minat sesungguhnya terhadap Indonesia dan Malaysia dimulai oleh para penulis dan sastrawan Rusia yang saat itu dalam proses pencarian kebijaksanaan dari Timur, bersama gambaran-gambaran yang tidak biasa sebagai alat ekspresi sastra mereka. Inilah yang dilakukan sejumlah sastrawan Rusia klasik pada abad ke-19 seperti Aleksandr Pushkin, Ivan S. Turgenev, Ivan A. Goncharov, atau puisi eksperimentalis pada pergantian abad ke-20 karya Valery Bryusov, Konstantin Balmont, Nikolai Gumilev, dan pemenang hadiah Nobel Sastra, Ivan Bunin.
Dalam buku yang kita bicarakan ini, ada 50 puisi yang dilampirkan, dan dari situ kelihatan sangat jelas bahwa para penulis Rusia ini tidak tahu di mana letak Indonesia atau Malaysia karena juga tak memiliki akses langsung terhadap bahan-bahan tentang kepulauan Nusantara tersebut. Mereka semua mendapatkan informasi tentang kawasan ini lewat bacaan yang ditulis para sarjana Eropa lain ataupun lewat karya puisi penulis Eropa lainnya.
Misalnya pantun lokal dalam bahasa Jerman dan Prancis, sebagaimana diterjemahkan oleh Schamisso dan Victor Hugo, atau terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Skeat. Satu contoh lain, setiap anak kecil di Rusia kenal dengan satu puisi Pushkin berjudul Antiar, nama sebuah pohon yang hidup di Nusantara. Tapi, yang lebih penting, rupanya para penulis puisi Rusia ini sangat terkesan akan cara bertutur dalam pantun dan mantra, yang mengingatkan mereka pada cara penulisan pantun berkait ala Rusia.
Penulis puisi yang betul-betul pernah berkunjung ke Malaysia dan Indonesia adalah Konstantin Balmont, yang terkagum-kagum pada bebunyian gamelan, kekayaan alam Indonesia, dan kemegahan Candi Borobudur.
Mengapa penerjemahan karya-karya sastra Indonesia baru dilakukan pada 1950-an, padahal sastrawan Rusia sudah mengenal Indonesia sejak berabad-abad lalu?
Seperti saya sebutkan di muka, para penulis Rusia tidak mengerti bahasa Indonesia dan karya sastra Indonesia setidaknya sampai 1950-an. Satu-satunya orang yang bisa berbicara bahasa Indonesia kala itu adalah Dr. L. Mervart, yang kemudian menjadi pendiri studi Indonesia di Rusia. Mervart belajar bahasa Indonesia di Leiden dan Paris setelah Perang Dunia II. Baru setelah ada hubungan diplomatik dan hubungan budaya antara Indonesia dan Rusia, bahasa Indonesia dikenal lebih jauh.
Faktor apa yang merintis penerjemahan karya sastra Indonesia?
Sejak berabad-abad lalu, Rusia dikenal sebagai jembatan yang menghubungkan Asia dan Eropa. Karena itu, Rusia ada dalam situasi yang menguntungkan karena bisa menyerap pengaruh budaya dan sastra dari dua kebudayaan ini. Inilah penjelasan mengapa minat terhadap kebudayaan Asia di Rusia sangat besar dan karya sastra Rusia juga banyak yang membahas imajinasi tentang Arab, Persia, Turki, Cina, dan India. Tentu saja minat besar ini hanya bisa diperkuat oleh adanya hubungan dekat dengan negara tersebut, dalam hal ini Indonesia.
Sastra, bagi orang Rusia, memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan, tempat pembaca tidak hanya bisa melihat sisi luar realitas Indonesia, yang biasa banyak dibaca dalam surat kabar, tapi juga melihat sisi dalamnya seperti perasaan, pemikiran, dan persepsi orang Indonesia. Dalam buku ini, ada daftar 50 buku sastra Indonesia dan Malaysia yang telah diterjemahkan ke bahasa Rusia. Termasuk dalam daftar buku itu cerita tradisional, peribahasa, karya klasik seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Sri Rama, Hikayat Panji Semirang, dan Hikayat Indraputra, novel Indonesia awal karya Marah Rusli dan Abdul Muis, juga karya penyair Pujangga Baru, Armijn Pane. Juga karya Chairil Anwar, sebagai penyair pada masa setelah perang, serta karya prosa Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani. Karya kontemporer pun banyak yang telah diterjemahkan.
Pada 1970-an, misalnya, diterbitkan sejumlah novel karya Mochtar Lubis, Umar Kayam, Putu Wijaya, dan Iwan Simatupang, juga cerita pendek dari Kuntowijoyo, Budi Darma, Gerson Poyk, Danarto, dan lain-lain. Kita bisa menambah panjang daftar ini dengan sejumlah karya antologi puisi dan cerita pendek Indonesia. Ini semua kalau kita bicara tentang buku. Saya kira ada puluhan, bahkan ratusan, karya terjemahan sastra Indonesia lainnya yang diterbitkan dalam jurnal ataupun majalah. Dalam hal jumlah terjemahan karya sastra Indonesia dan Malaysia, Rusia mungkin bisa berkompetisi dengan Amerika Serikat. Mungkin kedengarannya tak bisa dipercaya, tapi sebuah karya terjemahan di Rusia ini dicetak antara 30 ribu dan 300 ribu kopi, dan sebagian besar buku ini habis terjual atau telah menemukan para pembacanya yang tepat.
Berapa universitas di Rusia yang memiliki studi khusus tentang Indonesia?
Pada 1950-an, mahasiswa Rusia mulai belajar bahasa Indonesia di Universitas Moskwa dan Universitas St. Petersburg (Leningrad). Juga ada yang belajar bahasa di Institute of Oriental Studies dan Institute of World Literature di Russian Academy of Sciences. Kondisi ini mengubah total situasi studi tentang Indonesia di Rusia dan membuka sejumlah kemungkinan penelitian bagi para sarjana dan penerjemah dari Rusia, untuk selanjutnya membawa karya sastra Indonesia lebih dekat kepada pembaca Rusia.
Pada masa Orde Baru, apakah ada kemunduran dalam hal penerjemahan karya sastra Indonesia di Rusia?
Dengan sendirinya peristiwa pada 1965 membuat penerjemahan karya sastra Indonesia menurun. Sulit bagi kami melakukan studi, juga penerjemahan sejumlah karya penulis, setelah peristiwa itu. Saya ingat, misalnya, betapa sulitnya saya pada 1976 untuk menerbitkan survei detail atas “Kesusastraan Indonesia Setelah Tahun 1965″. Ini survei pertama yang hendak menggambarkan perubahan drastis dalam kesusastraan Indonesia. Bagaimanapun, karena telah dikerjakan pada masa sebelumnya, proyek ini harus diteruskan. Di antaranya adalah penerbitan koleksi lengkap puisi para penyair Pujangga Baru pada 1966, juga koleksi cerita pendek sebelum 1965 dari Ajip Rosidi, S.M. Ardan, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Nugroho Notosusanto, dan lain-lain.
Dua novel Pramoedya diterjemahkan pada 1975 (Di Tepi Kali Bekasi) dan 1980 (Keluarga Gerilya). Tapi situasi mulai berubah pada awal 1980-an dan kondisinya menjadi kembali normal. Pada 1981, terbit kumpulan puisi sejumlah penyair Asia kontemporer, yang di dalamnya terdapat karya penyair Indonesia seperti Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohamad. Pada 1984-1988, terbit kumpulan cerita pendek, juga novel Putu Wijaya (Bila Malam Bertambah Malam dan Telegram), dan karya Pram yang lain, Bumi Manusia.
Di Jakarta, pada 1980-an, seseorang yang belajar bahasa Rusia dicurigai sebagai simpatisan komunis dan mendapat pengawasan lembaga intelijen. Oleh Orde Baru, Rusia dianggap sebagai negara komunis yang kemudian menjadi halangan tersendiri bagi kerja sama di antara kedua negara. Apakah ada kegiatan tertentu yang terhambat pada masa pemerintahan Orde Baru?
Ya, tentu saja secara akademis dan budaya, hubungan Indonesia-Rusia mundur sangat drastis pada masa Orde Baru. Kunjungan para penulis sastra dan kritikus sastra Rusia ke Indonesia, atau sebaliknya, menjadi tak mungkin dilakukan, atau katakan saja sangat jarang. Kami mengalami kesulitan, misalnya, untuk mendapatkan buku ataupun terbitan berkala dari Indonesia. Telah saya katakan sebelumnya bahwa pada 1980-an sulit untuk bisa menerjemahkan karya penulis Indonesia terbaru. Tapi, di luar semua kesulitan itu, penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa Rusia terus berlangsung.
Bisakah digambarkan seberapa besar minat para sarjana Rusia mempelajari Indonesia?
Dapat dikatakan, saat ini baik Indonesia maupun Rusia memiliki kondisi yang lebih baik untuk pengembangan studi tentang Indonesia di Rusia, juga penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa Rusia. Tapi Rusia saat ini mengalami krisis finansial. Orientasi banyak mahasiswa di Rusia juga berubah dengan mengambil lebih banyak studi tentang bisnis daripada studi humaniora. Biarpun begitu, sejumlah institusi pendidikan yang telah saya sebut di atas tidak menunjukkan tanda bahwa minat mahasiswa Rusia untuk belajar bahasa Indonesia menurun. Tentu saja sebuah persoalan lain apakah mahasiswa yang saat ini sedang melakukan studi tentang Indonesia akan meneruskan minatnya menjadi peneliti atau penerjemah sastra Indonesia, atau memilih bidang bisnis ataupun diplomatik yang berkaitan dengan Indonesia.
Pada masa Sukarno, banyak mahasiswa Indonesia dikirim ke Rusia. Apakah pada saat yang sama juga banyak mahasiswa Rusia yang dikirim ke Indonesia? Bidang apa yang mereka pelajari?
Sangat sulit menjawab pertanyaan Anda, terutama jika menyangkut akurasinya. Seperti Anda ketahui, saya telah bekerja sebagai guru besar, mengajar, dan meneliti di London School of Oriental and African Studies (SOAS) selama sepuluh tahun terakhir ini.
Dalam direktori yang dibuat oleh Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV)-European Directory of South-East Asian Studies, dikompilasi dan diedit oleh Kees van Dijk dan Jolanda Leemburg-den Hollander, 1998-tercatat bahwa pada 1990-an tak kurang dari 17 orang sarjana Rusia menguasai masalah yang ada di Indonesia. Bagaimana arti strategis Indonesia buat Rusia saat ini?
Bagaimanapun, sarjana Rusia pemerhati Indonesia dalam direktori KITLV itu terlalu kecil jumlahnya. Daftar itu disusun dari mereka yang mengembalikan formulir biodata kepada KITLV. Saya yakin bahwa ahli Indonesia di Rusia, dalam bidang bahasa, sejarah, politik, ekonomi, kebudayaan, dan kesusastraan, setidaknya satu setengah kali hingga dua kali lipat jumlahnya. Kita pun bisa menambahkan, dengan menghadapi pelbagai kesulitan itu, para ahli dari Rusia ini terus berusaha mempublikasikan hasil karya mereka. Misalnya, satu kelompok yang tergolong aktif saat ini adalah kelompok Nusantara, yaitu para Indonesianis Rusia dari Universitas Moskwa dan Universitas St. Petersburg. Hampir setiap tahun mereka menerbitkan kumpulan artikel dalam berbagai aspek dari Indonesia, mulai kebudayaan, sejarah, dan sastra. Kelompok ini pun secara rutin menggelar konferensi ilmiah.
Beberapa tahun lalu, misalnya, mereka menyelenggarakan international colloquium ke-11 untuk studi Indonesia-Malaysia. Dalam kolokium itu juga diundang perwakilan sarjana Indonesia. Bisa dikatakan dengan tegas bahwa hubungan Indonesia-Rusia sangat penting dan, lepas dari pengalaman masa lalu, Indonesia dan Rusia saat ini memiliki berbagai pengalaman yang serupa: perjalanan sejarahnya, kesulitan pembangunan sosial ekonominya, juga problem pembentukan masyarakat demokratis menggantikan pemerintahan otoriter, serta pentingnya peran hubungan antar-agama dan antarkelompok.
Rusia, seperti Indonesia, adalah negara multi-agama (Kristen, Islam, dan Buddha). Dengan banyak kesamaan itu, dialog di antara kedua negara yang lebih serius, lebih komprehensif, menjadi suatu keharusan. Kedua bangsa ini memiliki banyak hal yang bisa dibicarakan, dan pertukaran ide di antara kedua bangsa ini akan sangat berharga dan bisa memberikan inspirasi bagi keduanya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar