Heri Latief
http://politik.kompasiana.com/
Kanal-kanal di Amsterdam terkenal sebagai atraksi turis, kapal-kapal turis mundar mandir melayari kanal tua antik kebanggan kotanya VOC.
Di sepanjang kanal yang terawat bersih itu tak ada orang iseng yang nongkrong buang air besar, yang kita lihat adalah jejeran gedung-gedung bangunan kuno di pinggir jalan.
Di sepanjang kanal juga ada kapal-kapal tua yang dijadikan tempat tinggal, dan rumah-rumah permanen di atas air. Aura kota di atas air memang jadi ciri khas negeri Belanda.
Jika tembok batu disepanjang kanal-kanal itu bisa cerita tentu banyak sekali kisah tentang manusia yang melayari kanalnya, dari zaman ke zaman, kanal selalu setia dilayari kapal-kapal.
Seperti sejarah di zaman VOC, dulu para pelaut pergi jauh melayari samudra untuk mencari nasib baik, dalam petualangan hidup beraroma dagang dengan resiko dihadang angin topan.
Semangat melawan angin topan itu dibuktikan bangsa Belanda dengan kerja keras membangun tanggul-tanggul penahan ombak yang berlapis-lapis secara “polder sistem”, suatu cara menanggulangi banjir yang disebut juga “bendungan di dalam bendungan”, suatu sifat pertahanan yang saling melindungi.
Kincir angin sebagai simbol Belanda untuk menguras laut jadi daratan, kecerdikan ilmu manusia melawan alam, jadi ilmu keturunan.
Tapi ilmu turun temurun itu pada saat ini menghadapi suatu cobaan, yang bukan sembarang ujian, ini adalah sebuah test terhadap semangat demokrasi Barat, apakah di zaman globalisasi ekonomi ini peranan para pendatang dalam bidang politik dianggap sebagai ancaman?
Ancaman buat siapa? Karena saya lihat sendiri bahwa kaum pendatang ikut menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk kesejahteraan dan kemajuan lingkungan.
Tentu saja ada terjadi pula di sana- sini ekses negatif dari pergesekan antar kultur, itu konsekwensi logis dari politik Belanda zaman tahun 60an yang menciptakan ide “gast arbeider” (pekerja tamu).
Pekerja tamu sebagai alat produksi dari mesin kapitalisme itu rupanya bukan sekedar jadi buruh kasar saja, mereka berkembang.
Pada mulanya orang Marokko dan Turki datang ke Belanda untuk bekerja di sektor perburuhan.
Kedua bangsa ini membawa juga segala macam kebiasaan hidupnya, mulai dari bumbu masak sampai agamanya.
Setelah 40 tahun lebih bermukim dan bekerja di Belanda, kaum pendatang itu menjelma jadi suatu kelompok masyarakat yang kompak dan kuat dalam solidaritas sosial dan ekonomi.
Maka muncullah para aktifis dan intelektual muda dari generasi kedua kaum pendatang, yang sukses memobilisasi massa di lingkungan tempat tinggalnya.
Umumnya mereka aktif di “buurt huis” (sejenis karang taruna). Terutama sejak munculnya “getto” di daerah-daerah yang banyak ditempati oleh orang asing.
10 tahun yang lalu para aktifis muda dari kaum pendatangi itu membangun jaringan politiknya dengan ketekunan yang luar biasa, sekarang mereka memetik hasilnya, ada yang jadi sekertaris mentri justisi (keturunan Turki dan masih warga negara Turki).
“Als je voor een dubbeltje geboren bent, kan je wel degelijk een kwartje worden”, terjemahan bebasnya: “jika dilahirkan miskin, kerja keraslah untuk merubah keadaan”. Ini kata-kata dari Tofik Dibi, anggauta partai Groenlinks yang berhaluan kiri, ia termasuk anggauta parlemen termuda, lahir di Vlissingen (Belanda), 19 november 1980.
Tofik dari generasi kedua kaum pendatang, berasal dari Marokko. Aktifis muda yang penampilannya “cool”. Tercatat sebagai mahasiswa tingkat 3 jurusan media dan kultur di Universiteit van Amsterdam. Ia juga mempropagandakan gerakan anti rasisme dengan semboyan: “Allemaal Anders Allemaal Gelijk”, semuanya tak sama, tapi haknya sama.
Apakah perjuangan para aktifis persamaan hak-hak kemanusiaan itu bisa dipahami oleh semua lapisan masyarakat di negeri kincir angin sebagai alat untuk melawan gerakan Neo Nazi?
Apakah kincir angin itu masih berputar? Searah? Atau arahnya bisa diatur oleh “tangan-tangan yang tak kelihatan” yang punya senjata rahasia politik?
Seperti kita semua tahu, bahwa sekarang ada isu politik berbau konflik agama. Tuntutan dari kelompok kanan yang penganut garis keras, membuat semangat hidup jadi beku, pergaulan lingkungan jadi dingin, kaku. Apakah ini yang disebut jurus “menabur angin menuai badai?”.
Mungkinkah kegelisahannya konflik politik tersebut akibat kelakuan manusia yang serakah? Yang tak mau menghitung kerugian psikologis akibat pertentangan ide-ide yang ironis?
Di negeri keju pembuat kelom kayu ini orang sudah biasa menghadapi amuknya badai yang paling tragis, sejarah manusia tidak lepas dari riwayat perang, dan orang Belanda tahu juga apa itu yang namanya sakit hati akibat perang.
Pengalaman bangsa Belanda yang dijajah Jerman selama 5 tahun itu telah membekas sampai ke tulang sumsum bangsa Belanda. Kekejaman perang dunia kedua diputar di televisi berulang kali, di setiap tahun menu filmnya sama, dan harapannya perang dunia kedua sebagai perang terakhir di Eropa.
Selama puluhan tahun hidup di masa damai ini Eropa Barat berkembang secara pesat, yang pada akhirnya punya persatuan negara-negara Eropa, kita kenal merknya EU.
EU sebagai kumpulan nama negera di Eropa yang berbasis demokrasi, tapi sampai saat ini Turki tak bisa masuk jadi anggauta EU, dengan alasan hak-hak asasi manusia di Turki belum mencapai seperti standar di Eropa. Lalu yang namanya hak-hak asasi manusia cara Eropa itu apa? Jika masih banyak kasus rasisme yang membentang di seluruh negara EU.
Demokrasi yang dicita-citakan dengan perjuangan keras melawan ancaman fasisme rezim Hitler itu ternyata sekarang jadi mentah lagi persoalannya, lalu ada gerakan anti hak asasi manusia, disahkan oleh peraturan “kebebasan mengeluarkan pendapat tanpa sekat”.
Saya jadi saksi dari beberapa kejadian paraktik rasisme yang akut di dalam pergaulan masyarakat, yang rupanya sekarang lagi stress berat akibat resesi ekonomi dunia dan provokasi para polititikus pemuja kebebasan berbicara di media.
Saya mengalami sendiri jadi bulan-bulanan digertak oleh orang yang berfikiran model Skin Head, gerombolan geng kepala botak terkenal sadis (pengikut ajaran Neo Nazi).
Selama lebih dari seperempat abad tinggal di Barat, saya jadi makin tau apa arti sebenarnya kata diskriminasi.
Tapi saya tetap semangat membela hak-hak asasi manusia yang universil sifatnya. Karena kekerasan bukanlah jalan yang aman untuk menyelesaikan persoalan tentang pergesekan antar kultur di negeri Belanda.
Yang penting, percaya pada manusia sebagai makhluk yang berotak dan punya rasa kemanusiaan. Kita musti banyak berdialog dalam soal perbedaan kultur.
Sebagai contoh, patutlah dicatat tentang kasus orang yang lari dari daerah perang (pencari suaka), dan publikasi besar-besaran “generale pardon” untuk 26 ribu pencari suaka di Belanda.
Gerakan “generale pardon” berperan besar dalam membangun solidaritas kemanusiaan di Belanda, salah seorang aktifisnya bernama Marion Bloem, penulis terkenal, yang kebetulan berdarah Indo.
Satu dunia buat semua orang? Apakah ini masih boleh dianggap sebagai pemikiran bebas atau hanya hayalan belaka?
Amsterdam, 22 april 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar