Sabtu, 25 September 2010

Kanal Demokrasi Politik Global

Heri Latief
http://politik.kompasiana.com/

Kanal-kanal di Amsterdam terkenal sebagai atraksi turis, kapal-kapal turis mundar mandir melayari kanal tua antik kebanggan kotanya VOC.

Di sepanjang kanal yang terawat bersih itu tak ada orang iseng yang nongkrong buang air besar, yang kita lihat adalah jejeran gedung-gedung bangunan kuno di pinggir jalan.

Di sepanjang kanal juga ada kapal-kapal tua yang dijadikan tempat tinggal, dan rumah-rumah permanen di atas air. Aura kota di atas air memang jadi ciri khas negeri Belanda.

Jika tembok batu disepanjang kanal-kanal itu bisa cerita tentu banyak sekali kisah tentang manusia yang melayari kanalnya, dari zaman ke zaman, kanal selalu setia dilayari kapal-kapal.

Seperti sejarah di zaman VOC, dulu para pelaut pergi jauh melayari samudra untuk mencari nasib baik, dalam petualangan hidup beraroma dagang dengan resiko dihadang angin topan.

Semangat melawan angin topan itu dibuktikan bangsa Belanda dengan kerja keras membangun tanggul-tanggul penahan ombak yang berlapis-lapis secara “polder sistem”, suatu cara menanggulangi banjir yang disebut juga “bendungan di dalam bendungan”, suatu sifat pertahanan yang saling melindungi.

Kincir angin sebagai simbol Belanda untuk menguras laut jadi daratan, kecerdikan ilmu manusia melawan alam, jadi ilmu keturunan.

Tapi ilmu turun temurun itu pada saat ini menghadapi suatu cobaan, yang bukan sembarang ujian, ini adalah sebuah test terhadap semangat demokrasi Barat, apakah di zaman globalisasi ekonomi ini peranan para pendatang dalam bidang politik dianggap sebagai ancaman?

Ancaman buat siapa? Karena saya lihat sendiri bahwa kaum pendatang ikut menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk kesejahteraan dan kemajuan lingkungan.

Tentu saja ada terjadi pula di sana- sini ekses negatif dari pergesekan antar kultur, itu konsekwensi logis dari politik Belanda zaman tahun 60an yang menciptakan ide “gast arbeider” (pekerja tamu).

Pekerja tamu sebagai alat produksi dari mesin kapitalisme itu rupanya bukan sekedar jadi buruh kasar saja, mereka berkembang.

Pada mulanya orang Marokko dan Turki datang ke Belanda untuk bekerja di sektor perburuhan.

Kedua bangsa ini membawa juga segala macam kebiasaan hidupnya, mulai dari bumbu masak sampai agamanya.

Setelah 40 tahun lebih bermukim dan bekerja di Belanda, kaum pendatang itu menjelma jadi suatu kelompok masyarakat yang kompak dan kuat dalam solidaritas sosial dan ekonomi.

Maka muncullah para aktifis dan intelektual muda dari generasi kedua kaum pendatang, yang sukses memobilisasi massa di lingkungan tempat tinggalnya.

Umumnya mereka aktif di “buurt huis” (sejenis karang taruna). Terutama sejak munculnya “getto” di daerah-daerah yang banyak ditempati oleh orang asing.

10 tahun yang lalu para aktifis muda dari kaum pendatangi itu membangun jaringan politiknya dengan ketekunan yang luar biasa, sekarang mereka memetik hasilnya, ada yang jadi sekertaris mentri justisi (keturunan Turki dan masih warga negara Turki).

“Als je voor een dubbeltje geboren bent, kan je wel degelijk een kwartje worden”, terjemahan bebasnya: “jika dilahirkan miskin, kerja keraslah untuk merubah keadaan”. Ini kata-kata dari Tofik Dibi, anggauta partai Groenlinks yang berhaluan kiri, ia termasuk anggauta parlemen termuda, lahir di Vlissingen (Belanda), 19 november 1980.

Tofik dari generasi kedua kaum pendatang, berasal dari Marokko. Aktifis muda yang penampilannya “cool”. Tercatat sebagai mahasiswa tingkat 3 jurusan media dan kultur di Universiteit van Amsterdam. Ia juga mempropagandakan gerakan anti rasisme dengan semboyan: “Allemaal Anders Allemaal Gelijk”, semuanya tak sama, tapi haknya sama.

Apakah perjuangan para aktifis persamaan hak-hak kemanusiaan itu bisa dipahami oleh semua lapisan masyarakat di negeri kincir angin sebagai alat untuk melawan gerakan Neo Nazi?

Apakah kincir angin itu masih berputar? Searah? Atau arahnya bisa diatur oleh “tangan-tangan yang tak kelihatan” yang punya senjata rahasia politik?

Seperti kita semua tahu, bahwa sekarang ada isu politik berbau konflik agama. Tuntutan dari kelompok kanan yang penganut garis keras, membuat semangat hidup jadi beku, pergaulan lingkungan jadi dingin, kaku. Apakah ini yang disebut jurus “menabur angin menuai badai?”.

Mungkinkah kegelisahannya konflik politik tersebut akibat kelakuan manusia yang serakah? Yang tak mau menghitung kerugian psikologis akibat pertentangan ide-ide yang ironis?

Di negeri keju pembuat kelom kayu ini orang sudah biasa menghadapi amuknya badai yang paling tragis, sejarah manusia tidak lepas dari riwayat perang, dan orang Belanda tahu juga apa itu yang namanya sakit hati akibat perang.

Pengalaman bangsa Belanda yang dijajah Jerman selama 5 tahun itu telah membekas sampai ke tulang sumsum bangsa Belanda. Kekejaman perang dunia kedua diputar di televisi berulang kali, di setiap tahun menu filmnya sama, dan harapannya perang dunia kedua sebagai perang terakhir di Eropa.

Selama puluhan tahun hidup di masa damai ini Eropa Barat berkembang secara pesat, yang pada akhirnya punya persatuan negara-negara Eropa, kita kenal merknya EU.

EU sebagai kumpulan nama negera di Eropa yang berbasis demokrasi, tapi sampai saat ini Turki tak bisa masuk jadi anggauta EU, dengan alasan hak-hak asasi manusia di Turki belum mencapai seperti standar di Eropa. Lalu yang namanya hak-hak asasi manusia cara Eropa itu apa? Jika masih banyak kasus rasisme yang membentang di seluruh negara EU.

Demokrasi yang dicita-citakan dengan perjuangan keras melawan ancaman fasisme rezim Hitler itu ternyata sekarang jadi mentah lagi persoalannya, lalu ada gerakan anti hak asasi manusia, disahkan oleh peraturan “kebebasan mengeluarkan pendapat tanpa sekat”.

Saya jadi saksi dari beberapa kejadian paraktik rasisme yang akut di dalam pergaulan masyarakat, yang rupanya sekarang lagi stress berat akibat resesi ekonomi dunia dan provokasi para polititikus pemuja kebebasan berbicara di media.

Saya mengalami sendiri jadi bulan-bulanan digertak oleh orang yang berfikiran model Skin Head, gerombolan geng kepala botak terkenal sadis (pengikut ajaran Neo Nazi).

Selama lebih dari seperempat abad tinggal di Barat, saya jadi makin tau apa arti sebenarnya kata diskriminasi.

Tapi saya tetap semangat membela hak-hak asasi manusia yang universil sifatnya. Karena kekerasan bukanlah jalan yang aman untuk menyelesaikan persoalan tentang pergesekan antar kultur di negeri Belanda.

Yang penting, percaya pada manusia sebagai makhluk yang berotak dan punya rasa kemanusiaan. Kita musti banyak berdialog dalam soal perbedaan kultur.

Sebagai contoh, patutlah dicatat tentang kasus orang yang lari dari daerah perang (pencari suaka), dan publikasi besar-besaran “generale pardon” untuk 26 ribu pencari suaka di Belanda.

Gerakan “generale pardon” berperan besar dalam membangun solidaritas kemanusiaan di Belanda, salah seorang aktifisnya bernama Marion Bloem, penulis terkenal, yang kebetulan berdarah Indo.

Satu dunia buat semua orang? Apakah ini masih boleh dianggap sebagai pemikiran bebas atau hanya hayalan belaka?

Amsterdam, 22 april 2008

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir