Jumat, 21 Mei 2010

Afrizal Malna dan Revolusi Kesenian

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.jawapos.co.id/

”Puisi tiba-tiba jadi
kayak penyakit
harus ditulis terus-menerus”
– Afrizal Malna –

SIAPA kini yang membutuhkan puisi dan kenapa penyair terus menuliskannya? Tentu pertanyaan itu tampak klise, tapi sejarah kesusastraan Indonesia adalah kenyataan. Ia tidak lahir dari omong kosong. Bagi Afrizal Malna, puisi mungkin sudah mati. Ia mati atau dapat lebih menguar ketika terus dibenturkan dalam konteks filsafat. Misalnya, ketika pertarungan estetis dan eksistentialis tak menemukan ujungnya. Ada perkara subversif lain menggerogoti, katakanlah teknologi dan dampak dehumanisasi, yang lebih ajaib dan menggila menerobos kehidupan sehari-hari. Tak ada lagi keindahan, yang ada hanyalah kekacauan.

Alasan itulah yang kiranya membuat Afrizal kerap diburu cemas pada apa yang selama ini dikenalinya: rumah, keluarga, tradisi, benda-benda, hegemoni politik, kemanusiaan yang labil, bahkan pada problem bahasa itu sendiri. Kecemasan-kecemasan tersebut, tanpa tahu alasan pasti kenapa dia masih saja menulis puisi, justru melahirkan puisi-puisi. Ada semacam upaya pencarian. Atau, tepatnya ”mengalirkan diri” dalam misteri peristiwa kesehariannya yang lebih meyakinkan jalan puisinya atau barangkali menghancurkannya ketika dia sepakat bahwa menyatakan sesuatu tak cukup lagi dengan puisi.

Dari situlah, bersama penerbit Omah Sore, di sepanjang Januari 2010, Afrizal menggotong lima antologi puisinya dan video art untuk didiskusikan dalam suatu road show mulai Jogja, Surabaya, Mojokerto, Malang, Sumenep, hingga Solo. Lima kumpulan itu adalah Abad yang Berlari, Yang Berdiam dalam Mikropon, Arsitektur Hujan, Kalung dari Teman, dan Pidato-Pidato dari Bantal Berasap.

Bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) dan Dewan Kesenian Mojokerto (DKM), diskusi buku-buku Afrizal tersebut diadakan di SMA PGRI I, Mojokerto, pada 24 Januari 2010. Dalam diskusi tersebut, setidaknya ada lima hal yang disodorkan Afrizal. Itu cukup menarik sebagai semacam ”retrospeksi kepenyairan Afrizal” oleh dirinya sendiri dalam mendialektikkan kembara puisi-puisinya. Saya hadirkan lima hal itu dalam bentuk transkrip rekaman:

The Other

”Saya selalu merasa takut kehilangan kebebasan saya, termasuk kebebasan untuk tidak menulis puisi. Dan, saya merasa tidak cocok dengan apa itu keluarga, jadi saya tinggalin keluarga. Saya tidak tahu kuburan ayah ibu saya di mana. Jadi, saya sendirian. Saya pernah berkeluarga sekali, setelah itu pisah. Pisah itu membuat saya trauma. Sampai sekarang saya tidak punya rumah karena di kepala saya masih aneh, kenapa orang harus punya rumah. Karena saya berpikir orang harus berjalan dan dia tidak bisa berjalan kalau punya rumah. Kecuali dia seperti keong, yang rumahnya adalah kendaraan untuk dia berjalan.

Saya pernah sangat absurd kalau masuk rumah. Maka, muncul banyak imaji ruang tamu dalam karir kepenyairan saya. Saya tidak tahu kenapa itu terjadi. Saya justru cemas kalau saya tetap menulis puisi, padahal saya nggak punya alasan untuk menulis. Sehingga, puisi tiba-tiba menjadi kayak penyakit, harus ditulis terus-menerus. Saya melihat, hidup itu sangat luas jika dibandingkan dengan puisi. Setelah itu saya meninggalkan Jakarta menjadi the other. Saya senang jadi the other, hanya jadi seseorang. Dekat dengan kegiatan sehari-hari, menyapu dan menyiram tanaman.”

Demokratisasi Sastra

”Sekarang ini ada gejala demokratisasi sastra. Gejalanya berbeda-beda. Misalnya, muncul generasi penyair yang antirezim sastra. Mereka menulis puisi tidak untuk diterbitkan. Mereka menulis untuk teman-teman dekat mereka. Tidak seperti generasi sastra kita sekarang ini.

Gejala lain adalah sastra koran. Gejala lain demokratisasi sastra. Di Eropa tidak ada sastra koran. Adanya sastra buku. Sebab, Eropa memiliki infrastruktur wacana yang sangat kuat. Yakni, dari lembaga akademik sampai pemberian hadiah Nobel. Itulah rezim wacana yang paling terang. Dan, di Indonesia infrastruktur itu ditiru. Seakan-akan dalam sastra ada rezim. Rezim yang menghasilkan generasi estetika ini itu atau rezim itu dikuasai para kritikus yang menilai puisi-puisi kita. Padahal, puisi-puisi tersebut masuk koran. Dan, koran itu media publik, bukan media sastra.

Sekarang demokratisasi sastra didesakkan munculnya internet. Segala kemungkinan terjadi di sana. Karena itu, pembaca harus punya strategi membaca sendiri untuk membaca. Tidak hanya strategi penulis untuk menulis.”

Estetika Bahasa

”Sampai pada Abad yang Berlari, saya masih menganggap puisi itu sebagai estetika bahasa. Penyair menggunakan bahasa untuk estetikanya. Tapi, setelah Abad yang Berlari, saya harus mencuci pikiran saya. Karena saya pikir, saya hidup di ”zaman sampah”. Semua sudah jadi sampah. Tidak ada lagi yang luhur. Apa yang lahir di zaman penyair-penyair romantik karena kita masih menemukan keindahan, sekarang tidak ada keindahan. Detail telah dibunuh oleh kecepatan dan penggandaan. Di kesenian prinsip-prinsip percepatan dan penggandaan itu menghasilkan strategi yang berbeda.

Saya kira setiap seniman memainkan banyak strategi untuk membuat waktu, untuk membuat ruang, dan itu yang membuat saya menulis puisi dengan cara berpikir benda-benda. Kalau saya berpikir dengan bahasa, tidak mungkin lapangan basket masuk ke dalam puisi. Pasti akan ada sensor. Tapi, di mata saya ada. Jadi, saya lebih membela mata saya daripada bahasa. Mata saya yang membawa semuanya, tinggal bagaimana kemudian seorang penyair bergelut dengan struktur. Yang membuat puisi saya sedikit berbeda, saya bekerja di tingkat karakter dan struktur. Empat tahun hanya lahir 23 puisi. Sebenarnya lebih dari 23 puisi, tapi saya buang. Karena memang untuk apa dipertahankan. Mereka sudah gagal.”

Video Art dan Puisi Gelap

”Saya termasuk orang yang tidak bisa mengambil keputusan saya harus berada di mana. Karena ketika saya menjadi penyair, itu satu pilihan yang telanjur salah. Saya menyadari setelah menjelang reformasi bahwa saya ada di tutup botol. Ketika saya menilis puisi, disebut penyair, saya terjebak di leher botol. Saya merasa tercekik di situ. Dan, yang saya lakukan adalah bergaul dengan banyak media. Setiap media punya karakter. Jadi, video saya tidak untuk mengatakan puisi saya. Dari sini persoalan bahasa terjadi. Saya baru membaca sebuah cerpen ilmiah karya Primolevi, keturunan Yahudi, berjudul Bintang Hening. ”Saya tidak bisa ke dunia bintang-bintang itu dengan kamus,” katanya dalam cerpennya.

Kamus tidak lahir dari dunia perbintangan. Ada kesulitan bagaimana bahasa bisa merumuskan besarnya bintang dengan besarnya matahari. Dengan video, bahasa bisa mendeskripsikan kecepatan tanpa menggunakan kata ”cepat”. Nah, itu yang membuat kegelapan-kegelapan di dalam puisi. Puisi menjadi terang ketika basis reproduksinya jelas. Misalnya, kalau basis reproduksinya agama, politik, hal-hal yang primordial, itu jelas bisa dibaca. Apakah kita begitu panik menghadapi sebuah dunia yang gelap? Atau apa artinya kepanikan kita kalau ternyata yang kita temukan adalah kehampaan atau kegelapan?”

Saatnya Revolusi Kesenian?

”Sebenarnya ada suatu gejala yang saya sebut sebagai guncangan media terhadap estetika Hegel. Hegel membuat anatomi estikanya itu dari arsitektur ke patung, dari patung ke seni rupa, dari seni rupa ke musik. Dan, paling akhir ke puisi. Jadi, Hegel menganggap puisi adalah pencapaian estetika yang paling tinggi. Tapi, waktu itu Hegel tidak tahu akan munculnya media digital. Media digital tersebut muncul dan memorak-porandakan anatomi itu.

Sebenarnya media digital mendaur ulang semua itu menjadi semacam instalasi. Beberapa seniman mengambil eksekusi sendiri atas guncangan media tersebut. Seperti penyair Hungaria yang melakukan performance art. Dia merasa puisi sudah mati. Di situ saya merasa ada struktur, ada sensitivitas, ada detail, yang langsung ke otak. Saya cenderung menyebut itu sebagai solusi dari guncangan tersebut. Jadi, 5 sampai 10 tahun ke depan kita tidak tahu nasib kesenian. Yang menjaganya mungkin semacam dewan kesenian, institut seni, para redaktur, atau yang lain, padahal mungkin realitasnya itu semua sudah mati. Nah, kita tidak tahu siapa yang harus meletuskan revolusi di dalam kesenian itu.”

Cinta, puisi, kecemasan, dan teka-teki hidup adalah seluruh keheranan juga kekacauan Afrizal dalam memasuki dunia manusia. Adakah yang tak selesai dari Afrizal? Dia hanya ingin jadi seseorang, tapi telanjur jadi manusia. (*)

*) Penggiat Komunitas Lembah Pring, Jombang

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir