Binhad Nurrohmat
http://www.pikiran-rakyat.com/
Para pemburu pesan kadang pula cenderung alergi tema tertentu, seksualitas misalnya, lantaran tema ini dianggap kotor, tak senonoh, atau berselera rendah.
KARYA kesusastraan memang telah sejak lama dipandang sebagai tradisi kesenian luhur yang gigih menyuarakan ambruknya martabat kemanusiaan, memijarkan cahaya agung pencerahan di tengah kebangkrutan moral masyarakat, dan membela rakyat yang tertindas kezaliman, sehingga lantaran kuatnya pandangan ini, karya kesusastraan kerap terlupakan hakikatnya: nilai estetika, yaitu capaian pengucapan atau ekspresi bahasanya dan perspektifnya memandang kenyataan dunia.
Salah seorang tokoh awal kesusastraan modern Indonesia terkemuka Sutan Takdir Alisyahbana hingga akhir hayatnya teguh kukuh menggelorakan gerakan kesusastraan yang berjuang dan bertanggung jawab terhadap pembangunan masyarakat. Paham kesenian untuk kesenian dianggap apatisme artistik yang memunggungi keluhuran, pesimistis, dan dekaden. Bahkan, realisme sosial terang-terangan mempersembahkan karya kesusastraan demi mendukung agenda politik kekuasaan yang mengabdi kepada rakyat. Maka, muncullah slogan terkenal di masa Demokrasi Terpimpin Orde Lama, “politik adalah panglima”.
H.B. Jassin di pagina terawal buku yang disusunnya Angkatan 66 menulis semacam kredo pendek, “Sastra Demi Keadilan dan Kebenaran”. Di buku ini pula kritikus legendaris ini mendefinisikan sastrawan angkatan 66 sebagai pendobrak “kebobrokan yang disebabkan oleh penyelewengan negara besar-besaran, penyelewengan yang membawa negara ke jurang kehancuran total”. Karya-karya sastra yang dipilih dalam buku ini kerap keras menyuarakan patriotisme, bahkan ditulis oleh sastrawan yang kemudian hari “meredakan pena” dari gelora kesusastraan patriotis dan “kontekstual”.
Dalam buku itu termuat sajak Sapardi Djoko Damono “Doa di Tengah-tengah Massa”: “Wahai, lindungilah kami dari kemusnahan yang sia-sia./berjuta rakyat-MU yang sedang gemuruh bergerak,/dalam teriakan-teriakan, dengan tangan-tangan terkepal,/di bawah matahari yang leleh; ya, lindungilah kami,/dari dusta dan tipudaya,/dari hasutan-hasutan bergula (dan seterusnya), sajak Subagio Sastrowardoyo “Peluru Pertama”: …Tak ada lagi waktu buat cinta/dan bersenang. Kita simpan kesenian dan/budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata/selagi muda/dan mati atau menang, dan sajak Slamet Soekirnanto “Catatan Harian Seorang Demonstran”: “Jaket kuning berlumur darah/Dengan sedih kutatap kawan-kawan rebah/Di bumi, di terik matahari kota Jakarta/O kita tahu apa arti ini semua.
Para patriot sastra kadang terlampau besar luapan hasratnya membangun karya kesusastraannya yang didominasi gebalau kesadaran solidaritas tertentu dan kerap membuat estetika terbengkalai. Kondisi sosial atau pilihan ideologi politik tertentu kerap membuat sastrawan terlampau menggebu “membebani” karya kesusastraannya dengan misi yang kadang terlampau telanjang dan dipaksakan sembari melalaikan nilai estetika.
Sitor Situmorang di era Soekarno menulis kumpulan puisi Zaman Baru yang sarat dengan pandangan ideologisnya sepulang dari lawatannya ke negeri sosialis Republik Rakyat Tiongkok. Corak puisi Sitor dalam kumpulan ini sangat berbeda dengan puisinya yang sebelumnya dalam kumpulan Surat Kertas Hijau dan Dinding Waktu. Juga Acep Zamzam Noor dalam buku kumpulan Dongeng Negeri Sembako yang memotret karut-marut sosial-politik menjelang dan sesudah keruntuhan rezim Soeharto dengan gaya parodi-sloganistik. Dalam kumpulan ini, Acep menanggalkan estetika liriknya yang terkenal kental kesadaran imajis, metaforis, dan simbolisnya. Dan Rendra adalah sosok terdepan dalam kesusastraan Indonesia sebagai patriot sastra melalui pamflet-pamfletnya di masa rezim Orde Baru masih berkuasa.
Kaum estetikus banyak merasa terganggu dengan pamflet-pamflet Rendra dalam kumpulan Potret Pembangunan Dalam Puisi yang menerabas kaidah puitika secara blak-blakan dan meninggalkan estetika lirik puisinya dalam Sajak-sajak Sepatu Tua dan Empat Kumpulan Sajak. Dan, Sapardi Djoko Damono pun terasa menurun kekuatan puitikanya ketika menulis sajak bertendensi sosial misalnya kumpulan Ayat-ayat Api dan Arloji yang tak sekuat sajak-sajak personalnya misalnya dalam kumpulan Mata Pisau dan Perahu Kertas.
Kenapa karya kesusastraan patriotis cenderung abai estetika? Kenapa sastra patriotis cenderung hadir dalam corak sloganistik? Kenapa masalah sosial cenderung tak hadir sebagaimana masalah personal yang terungkapkan dengan kesadaran nilai estetika yang terjaga dan penuh kelembutan ekspresi, tanpa teriakan, tudingan, atau pekikan bergelora?
Tradisi lirik yang begitu kukuh dalam perpuisian Indonesia tampaknya kadung cenderung bersifat personal, serupa solilikui atau gumam seorang diri. Tradisi ini dikembangkan oleh semangat pencerahan yang ingin mengucapkan suara sang “aku” dan bukan suara “mereka”. Dalam perpuisian Indonesia, suara “mereka” kerap hadir dengan kadar estetika yang lebih mengesankan dalam corak balada atau epik misalnya puisi Chairil Anwar (”Diponegoro”), Rendra (”Gerilya”), Goenawan Mohamad (”Misalkan Kita di Sarajevo”), Taufiq Ismail (”Karangan Bunga”), Sutardji Calzoum Bachri (”Tanah Air Mata”), Afrizal Malna (”Asia Membaca”), dan Joko Pinurbo (”Pembredelan Senja”).
Atau jangan-jangan, suasana psikologi sosial-politik ketika perpuisian modern Indonesia bertumbuh yang tertekan oleh pembatasan dan pelarangan menyuarakan kenyataan sosial telah mengerdilkan dan membungkam pengucapan sosial perpuisian modern Indonesia. Kesusastraan modern Indonesia mulai berkembang di masa penjajahan Hindia Belanda di awal abad 20 dengan Balai Pustaka yang di bawah kontrol ketat pemerintah kolonial. Kemudian di masa kemerdekaan para penguasa di era Orde Lama dan Orde Baru cenderung membatasi dan bahkan memberangus kebebasan menyuarakan kenyataan sosial yang riil sehingga kondisi ini melahirkan kecenderungan kesusastraan yang membisu terhadap kenyataan sosial.
Bagi kaum cultural studies (kajian budaya), karya-karya kesusastraan patriotis menjadi menarik lantaran informasi sejarah atau kebudayaan yang tersemat di dalamnya. Muatan karya sastra bagi kaum cultural studies dilihat sebagai cermin suatu kenyataan masyarakat atau kondisi tertentu yang kadang lebih berbicara ketimbang risalah sosial atau lembaran catatan kaum sejarawan. Roman-roman Pramoedya Ananta Toer dan pamflet-pamflet Rendra misalnya. Karya-karya mereka ini dinilai memuat atau memotret kenyataan lahir dan batin kenyataan sosial di suatu masa ketika teks-teks yang lain tak cukup nyali mewartakannya.
Namun, bagi kaum estetikus, nilai karya kesusastraan tak semata dibangun oleh muatannya, tapi oleh nilai estetikanya. Kesusastraan merupakan seni berekspresi melalui bahasa. Sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah, “Derai-derai Cemara” Chairil Anwar, “Di Beranda Ini Angin tak Kedengaran Lagi” Goenawan Mohamad, kumpulan sajak “DukaMu Abadi” Sapardi Djoko Damono, sajak-sajak mantra Sutardji, maupun sajak-sajak hiperealis Afrizal Malna bernilai bukan lantaran unsur muatannya, melainkan capaian nilai estetika yang ditawarkannya. Visi kebahasaan merupakan pijakan penilaian kaum estetikus terhadap karya kesusastraan, meski demikian bukannya mereka tak peduli terhadap muatan, makna, dan perspektif yang ada di dalam karya.
Tampaknya mengada-ada berupaya menemukan muatan patriotis dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri “Belajar Membaca”: “Lukakakikulukakakikaukah” (dan seterusnya) maupun sajak “Sepi”: “sepisaupsepisaupisepisapakanyasepikulsepi”dan seterusnya itu. Demikian juga dalam sajak-sajak Afrizal Malna yang membincang dunia antarberantah dan dengan logika puisi yang tak konvensional itu misalnya sajak “Antropologi Kaleng Coca Cola” atau “100 Tahun dari Ibu Kathi”. Dan, mutu puisi bukan ditentukan oleh unsur kepatriotannya.
Bagi kaum estetikus, puisi memiliki hakikat yang tak sama dengan risalah sejarah atau sosiologi, meski tak jarang puisi bisa turut pula menyelenggarakan ini dalam laku estetikanya. Tapi jasa puisi yang paling mendasar dalam khazanah seni adalah kadar puitikanya, nilai estetika dalam ekspresi bahasanya. Namun demikian, makna atau perspektif dunia yang dikandung oleh puisi tak bisa dihindari begitu saja. Menulis puisi tentang tuhan tak bisa mengabaikan capaian sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah atau sajak “Doa” Chairil Anwar, bukan hanya perkara capaian pengucapan bahasanya, melainkan juga jangkauan imajinasi dan jamahan perspektifnya tentang Tuhan yang mencengangkan itu.
Kaum “pemburu pesan” kerap menuntut karya kesusastraan serupa risalah sejarah, traktat sosiologi, atau petuah religius dan mereka sering kehilangan apresiasi terhadap nilai estetika karya kesusastraan. Hakikat puisi bukan pengusung pesan seperti selembar dekrit presiden atau naskah khotbah keagamaaan. Marwah puisi ditegakkan oleh kemampuannya menawarkan atau mengembangkan pengucapan sehingga membuat bahasa dan cara memandang dunia menjadi lebih kaya atau setidaknya tak semakin termiskinkan. Melalui daya bahasa kemungkinan-kemungkinan meraih makna bisa dijangkau lebih jauh lagi.
Para pemburu pesan kadang pula cenderung alergi tema tertentu, seksualitas misalnya, lantaran tema ini dianggap kotor, tak senonoh, atau berselera rendah. Diskriminasi tematik ini sebenarnya merupakan ironi bagi penjelajah bahasa dan makna yang mestinya penuh keterbukaan dan kegairahan menggali kemungkinan-kemungkinan bahasa dan makna dari kenyataan-kenyataan dunia.
Sementara kaum estetikus, “pemburu puitika” itu, kerap fanatik terhadap faktor bahasa sehingga menjadikan puisi kadang terjatuh sebagai permainan bahasa yang artifisial belaka, misalnya permainan bunyi atau musikalitas yang berlebih-lebihan, dan tak mampu merambah kemungkinan-kemungkinan atau menggapai makna yang lebih jauh. Padahal bahasa di dalam puisi bukanlah semata bunyi (sound) melainkan juga suara (voice).
Lebih repotnya lagi, para penyair kerap tak mampu keluar dari kerangkeng pengucapan, diksi, idiom yang sudah usang sehingga mereka melulu berputar-putar atau mengulangi dengan kadar mutu yang lebih rendah ketimbang para pendahulunya. ***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar