Indrian Koto
http://www.kendaripos.co.id/
Semakin jauh kau diseret perjalanan, semakin besar debar yang menimpamu. Matamu berpacu dengan laju. Di luar, dari kaca bis yang separuhnya dibiarkan terbuka --angin dan debu menerpa wajah dan kulitmu, menerbangkan anak-anak rambutmu-- kau melihat segalanya begitu baru. Pohon-pohon manis yang tampak rindang, kampung-kampung santun dengan penghuninya yang anggun, petak-petak sawah dan gunung, rumah-rumah yang dipisahkan badan jalan, jalanan mendaki dan tikungan tajam. Setiap melewatinya, setiap kali itu pula kau ingin mengulang dari awal. Lagi dan lagi.
Semakin jauh, semakin kau terseret warna baru. Segala yang tampak menjadi begitu akrab bagimu. Jalan kecil dan sempit, tikungan dan belokan, bukit dan jurang dalam, kampung, hamparan padang, sungai jernih dengan batu-batunya yang hitam-tajam, jembatan kayu, sawah dan taratak, pondok dan bukit yang terkungkung kabut putih. Kau merasa begitu mengakrabinya, begitu mengenalnya. Setiap tempat yang rasanya begitu manis kau rasa sebagai akhir perjalanan. Kau merasa semakin terikat di tempat ini.
Bis tetap melaju, matamu semakin kuat menyapu. Selalu ada yang indah, selalu ada yang mendebarkan.
Setiap itu pula, kau ingin seseorang yang ada di sampingmu terbangun dan berteriak pada sopir, ''Kiri, Pir. Kiri!'' sebagaimana teriakan penumpang yang hendak turun. Tapi tidak. Tempat-tempat yang kau rasa sebagai puncak perjalanan ini belum juga tiba. Kau berdebar, di tanah mana kiranya bis ini akan berhenti, pintu yang mana pula kiranya nanti akan kalian masuki? Setiap pintu, kau lihat, selalu terbuka. Seperti menampung siapa saja dan mempersilahkan dirimu masuk dan tenggelam di dalamnya.
Kau tak berani bertanya. Kau tak berani mengusik debar hatimu. Dia seolah ikut membiarkan dirimu larut dalam debar semacam itu.
Setiap simpang, setiap belokan kau harap sebagai pemberhentian terakhir. Bagian lain hatimu tetap penasaran, setelah ini, di balik jalan ini, tersimpan kejutan apalagi? Adakah yang baru setelah ini? Uuh, perjalanan yang baru, selalu menyisakan debar dan kau yakin, kau tak akan begitu saja bisa melupakannya. Di tanah ini, segalanya serupa pekasih, serupa mantra yang membuatmu selalu merindukan apa pun, mengenang apa pun, dan mengajakmu selalu ingin pulang.
Kau melirik ke bangku di sampingmu. Dia masih tetap terpejam. Kau berpikir, jangan-jangan perjalanan ini seharusnya sudah selesai dari tadi. Di sebuah tempat yang tadi kau rasa begitu akrab, seharusnya di sanalah kalian turun. Tapi, melihat ketenangan di wajahnya, kau meragukan itu semua. Sebagaimana dia bilang, ''Ingatan tak bisa ditipu. Aku akan tahu di mana kita nanti berhenti tanpa perlu diingatkan. Dari aromanya aku tahu, sedang berada di kampung mana.'' Dan kau yakin, dia tidak akan bisa ditipu rasa kantuk dan melewati halaman rumahnya begitu saja.
Tetapi bagaimana kalau seandainya benar-benar dia tertidur dan lupa akan tempat di mana seharusnya kalian berhenti? Dan itu bisa saja terjadi mengingat begitu lamanya ia tak lagi menjejak tanah ini.
Seperti membaca pikiranmu, ia menggeliat bangun. Membuka mata dan menatapmu. ''Sampai di mana ini?''
Kau mengangkat bahu. Bagaimana kau tahu ini di mana, karena segala tempat benar-benar asing bagimu. Kau tak tahu bis sedang menuju ke mana. Kau tak sepenuhnya mengerti arah, meskipun kau tahu bis ini pasti mengarah ke Selatan. Tapi kau tak tahu di mana Taratak, di nama Lansano, di mana Surantih. Dan, sekarang, di antara laju kendara, kau tak tahu tempat apa yang sedang kalian lewati ini. Tak ada petunjuk yang mampu membuatmu paham ujung perjalanan. Satu-dua tempat memang memiliki papan mana yang kecil dan kelabu. Kau tak bisa menjadikannya sebagai petunjuk. Kalaupun terbaca Tarusan, Pasar Baru, Salido atau Painan, kau tak tahu itu ada di mana. Dan Lansano entah berada di titik sebelah mana pula pada bagian jalan ini.
''Ngantuk? Tidurlah.'' Katanya setelah sesaat melirik ke luar jendela. Setelah itu ia meluruskan duduknya. Dari sikapnya, kau tahu, dalam sekejap dia sudah mengenali daerah yang sedang kalian lewati.
Kau mengurungkan pertanyaan, ''masih jauh?'' Kau tak ingin debarmu berhenti sampai di sini.
''Bagaimana perjalanannya? Cukup melelahkan bukan?''
Kau menanggapi dengan senyum. Kau melirik wajahnya yang seketika tampak cerah. Rasanya ia jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya.
Kau merasa cemburu padanya. Dirinya seperti dilemparkan jauh ke masa remaja. Kau merasakannya sejak kalian meninggalkan terminal bayangan siang tadi. ''Bagaimana mungkin sebuah kota tidak memiliki terminal?'' Kau meledeknya tadi ketika kalian diseret-seret calo angkutan. Tapi dia tak terusik sama sekali.
Di bis, dia melupakan panasnya kota. Kaca bis yang dibiarkan terbuka tak cukup membuat tubuh kalian berhenti dari keringat. Tetapi dia, di antara hujan keringat masih saja bisa bercerita dengan riang, tentang perjalanan yang nanti akan kalian lewati; laut, gunung, kampung, sawah, gunung, laut, kampung, sawah gunung... Dia sama sekali tidak terusik dengan penjual bengkoang, ia seperti melupakan pedangang keripik balado, pengamen dan peminta-minta.
Suaranya tenggelam bersama dentuman musik yang diputar dengan keras dan mesin bis yang digas dengan kencang. ''Beginilah cara mereka memaksa penumpang naik. Padahal mereka baru akan jalan kalau bis ini penuh.'' Katanya, ''Sejak terminal kami dipindah dan diganti plaza, sejak itu pula kami kehilangan sesuatu yang berharga.''
''Kota tanpa terminal,'' katamu, ''semakin memperlihatkan identitas kota ini; keras, kasar, dan kurang disiplin.''
Dia hanya tertawa. ''Sehabis ini, kau akan melihat laut dan semata-mata laut. Kemarahanmu akan digantikan rasa kagum.''
Kau tak bisa menebak apa yang ada di kepalanya saat ini. Sebuah pulang, tentu memiliki hasrat yang tersembunyi. Tapi setidaknya dia benar, sepanjang jalan kau diusik pemandangan di luar jendela yang tak pernah kau temukan sebelumnya; jalan membentang di pinggir laut, teluk yang serupa danau, di mana ombak hanya riak kecil di celah batu. Tikungan, jurang terjal yang membuatmu merinding. Di bawah semata laut, batang kelapa, perahu nelayan, dan bis yang berselisih di jalan sempit.
Kau merasa begitu cemburu padanya. Mencemburui kepulangannya. Meskipun kau beserta, tapi kau ragu, apakah kau akan tetap muncul di antara bayang-bayang kampung halamannya? Ia sering menceritakan kampungnya padamu, tempat ia dilahirkan tumbuh dan dibesarkan. Tempat ia mengenal banyak perempuan.
Sebuah pulang, kau merasa seperti mengumpulkan serpih kenangan.
''Kenapa? Berdebar ya?'' Dia bertanya sambil tertawa.
''Aku tidak bisa membayangkan suasananya.''
Dia tergelak. ''Tentu saja kau akan jadi pusat perhatian. Bukan hanya karena kamu perempuan yang cantik. Orang baru akan disambut berlebihan.''
Ah, dia tak pernah tahu apa yang ada di pikiranmu. Dia tidak akan pernah tahu. Kepulangan yang tanggung. Ini lebih dari kerinduanmu pada sebuah tempat asing dan jauh. Lebih dari sebuah keinginan untuk bertamu.
''Kenapa melamun?''
Kau tersenyum. ''Ya. Aku cemburu padamu. Pada kepulanganmu. Kerinduanmu pada masa lalu akan segera terobati.''
Dia menatapmu tak mengerti.
''Kau masih memiliki tempat untuk pulang. Tempat di mana kau tak hanya bertemu ayah-ibu dan menumpahkan rindu pada rumah. Kau masih memiliki tempat mengeja silsilah. Di tanahmu, bisa kau temukan jejak leluhur. Tempat yang masih bisa kau ziarahi berkali-kali.'' Ucapanmu terdengar begitu pilu.
Dia mengusap rambutmu. ''Tak mesti begitu. Banyak yang punya kampung halaman tapi tak berniat menengoknya. Dan aku juga tidak sedang pulang. Bukankah kita hanya sekadar singgah?''
Kau diam.
''Setidaknya kini kau punya alamat baru yang tak hanya sekadar kau hapal di kepala. Kau boleh merindukannya, mendatanginya dan menjadikannya rumah baru. Bayangkanlah kau menuju pulang, menuju rumahmu, menuju kampung leluhur.''
Dia mengambil tanganmu, meremasnya dengan lembut. ''Aku pernah bilang bukan, nanti setelah kita menikah, ketika hidup kita lebih baik, kita akan menyusuri kampung halamanmu. Mengenali seluruh riwayat yang barangkali masih sisa.''
''Sudah tak ada yang sisa.'' Ucapmu, nyaris tersedu. ''Aku ingin menyalahkan Bapak yang tak berniat mengenalkan aku pada kampung halaman. Setelah aku besar dan ingin menyusuri garis keturunan, segalanya sudah tak ada. Hanya puing dan bangunan asing tertanam di sana. Tak ada makam leluhur lagi.''
Dia mendesah. ''Kepulangan ini, semoga --dan itu harapanku-- bisa mengenalkanmu pada kampung baru. Setidaknya kelak bagi anak-anak kita. Mereka akan belajar mengarang dan menulis cerita ''Berlibur ke Desa'', atau ''Berlibur ke Rumah Nenek''.
Kau tersenyum lalu menyandarkan kepala di bahunya.
''Aku berdebar, sayang,'' bisikmu di antara berisik lagu-lagu Melayu dari tape bis yang menderu kencang.
''Aku juga. Aku berpikir tentang banyak hal. Rumah, keluarga, kawan-kawan...''
''Masa lalumu, juga?''
Dia tersenyum. ''Tentu saja. Aku merindukan semuanya.''
Kau mendesah pendek. Jujur, tiba-tiba kau merasa iri. Kepulangannya adalah semacam balas dendam untuk sekian tahunnya yang hilang. Tentu akan disusurinya banyak hal sekaligus. Peristiwa-peristiwa yang berserak di mana pun nanti dia menginjak tanah. Ia punya tanah kelahiran, kampung leluhur, tentu dia memiliki banyak peristiwa yang bersisa di sana.
Dan dia, aduh, tidakkah para gadis yang sering dibicarakan padamu dulu akan ia temui pula kini. Gadis kampungnya sendiri, tetangga rumah yang manis. Mengajarkannya rindu dan berharap. Kalaupun mereka sudah berkeluarga tentu saja kesempatan bertemu itu besar. Bukan tak mungkin peristiwa-peristiwa manis akan berjatuhan satu-satu, merangkai kisahnya sendiri.
Kau mengingat beberapa nama yang sering dibicarakannya. Maria, Yuni dn Inof. Bagaimanakah reaksi mereka atas kepulangan kalian ini? Ah, ah, kau tak bisa menebak apa pun kini. Segalanya begitu penuh. Segalanya terasa penuh. Membuat debar jantungmu semakin kencang. Pulang, setelah hampir dua tahun pernikahan kalian. Sebuah pulang yang entah bisa disebut apa.
Apa yang akan pertama kau lakukan? Kau kembali teringat roman-roman lama. Roman-roman yang sesekali kalian tertawakan. Entahlah, kali ini segalanya memenuhi perutmu, serupa bayi yang bersembunyi di baliknya.
Dulu, kalian pernah merencanakan sebuah pulang untuk bulan madu. Singgah di kampungnya selanjutnya menyusuri sisa riwayat keluargamu di ujung pulau. Tetapi kau sudah tak berniat melanjutkan rencana itu. ''Sudah tak ada yang sisa. Kampung-kampung baru bermunculan menghapus riwayat lama.''
Tetapi demikianlah. Kalian akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Sebuah pulang yang kalian rancang begitu lama. Kau mengenal keluarganya dari cerita yang mengalir dari mulutnya. Dan kini, pada kepulangan ini, dadamu berdegup kencang, bagaimana reaksi keluarganya? Dan kalian sepakat untuk tidak mempercakapkan hal ini. Kalian telah menghabiskan banyak waktu membahasnya.
Dia menyikut bahumu. ''Hampir sampai,'' bisiknya padamu. ''Pir, kiri. Pir! Kiri!!'' Dia berteriak lantang.
Bis menepi, bergerak pelan, kau berdebar lebih kencang. (*)
Yogya, Mei 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 21 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar