Misbahus Surur
http://www.jawapos.co.id/
Dewasa ini, begitu banyak novel bertemakan sejarah. Novel tersebut tidak sulit kita dapatkan di deretan rak toko buku. Antara lain, novel serial Gajah Mada oleh Langit Kresna Hariadi (LKH), lima jilid yang tebalnya lumayan menguras pikiran. Lalu sebuah novel tentang sejarah kehidupan kongsi dagang zaman Hindia Belanda, VOC, berjudul Rahasia Meede; Misteri Harta Karun VOC, yang ditulis E.S. Ito. Tak ketinggalan novel Diponegoro-nya Remy Sylado, salah satu pengarang yang dikenal setia menekuni genre sejarah, yang sebelumnya sukses dengan duo novel berlatar belakang sejarah, Ca Bau Kan dan Parisj van Java.
Ramainya pasar novel sejarah tersebut, kita harapkan juga meramaikan wacana perbukuan di dalam negeri, khususnya dunia kesusastraan yang masih mengalami kelesuan kritik. Meskipun kenyataannya, novel bergenre sejarah bukan lagi barang baru dalam sejarah novel Indonesia. Kembalinya novel berlatar belakang sejarah ini, tak ayal akan memancing persoalan lama, tentang keafdolan sejarah yang menempel pada sastra: mungkinkah sastra sejarah menjadi rujukan sejarah?
Pada mulanya sastra memang terkait erat dengan masalah kreativitas dan intens dengan wilayah imajiner. Akan tetapi, pada era belakangan, dengan hadirnya metode-metode baru dalam menelaah karya sastra, ternyata dokumen (karya) sastra dapat dijadikan sumber sejarah (buku teks sejarah). Sebagaimana kata Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, kurang tepat bila mengatakan sastra tidak dapat dijadikan sumber sejarah. Dengan alasan, zaman sekarang sebagian orang tidak lagi memandang sastra sebagai kajian estetika secara otonom. Novel genre ini telah menakdirkan sejarah sebagai objeknya, bahkan telah memasrahkan diri untuk berenang pada serakan-serakan sejarah yang sering disembunyikan oleh rentang waktu. Peran baru karya sastra ini masih dipertentangkan, karena walaupun bisa dijadikan sumber sejarah, pada sisi lain karya sastra tetap tidak lepas dari substansinya yang imajinatif sekaligus fiktif.
Menurut Kuntowijoyo, begawan ilmu sejarah yang juga seorang maestro kesusastraan (Pengantar Ilmu Sejarah, 1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subjektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya. Masih menyoal perbedaannya, menurut Kuntowijoyo, bahasa sejarah adalah bahasa yang sederhana dan langsung, persis seperti dalam bahasa sastra modern. Tidak ada bahasa yang berbunga-bunga. Tidak ada “rambutnya bak mayang mengurai”, juga tidak “hutan itu selebat jenggot orang Arab” dan seterusnya.
Bahasa sejarah adalah bahasa sehari-hari. Kalau sejarah melukiskan para gerilyawan minum air, sejarah tidak akan bilang bahwa mereka minum H2O. Dalam pengantar buku Telaah Sastra (2002), Zainuddin Fananie berpendapat dengan keluarnya sastra dari kreativitas imajiner ke wilayah sejarah, maka sastra secara tidak langsung bisa diletakkan sebagai dokumen sejarah atau dokumen sosial yang kaya dengan visi dan tata nilai suatu masyarakat. Dengan begitu, kajian sastra tidak hanya mengulas persoalan sastra saja, melainkan dapat dikembangkan pada telaah-telaah lain yang bersifat multi dan interdisipliner. Penelitian yang memasuki kawasan ini harus punya cukup bekal. Di samping menguasai teori dan metode, peneliti juga harus mumpuni pada bidang yang lain, semisal psikologi, politik, sosiologi, dan sejarah itu sendiri.
Bicara sastra di satu sisi dan sejarah pada sisi lain, mengingatkan kita pada kasus sastra realis, terutama realisme-sosial yang diusung Pramoedya Ananta Toer. Para kritikus sastra pada taraf mula Indonesia, seperti H.B. Jassin, Arief Budiman, Goenawan Mohamad dkk, menyuarakan genre realisme-sosial yang mewarnai karya-karya Pram sebagai karya yang tidak memenuhi ketentuan seni dan sastra. Ini, karena realisme sosial yang tanpa tedeng aling-aling memotret objek, seperti adanya. Kejujuran penulis realisme untuk menggambarkan setiap detail objek tanpa melibatkan perasaan, pikiran, atau keinginannya ke dalam objek yang digambarkan, membuat sastra realisme kena tuduh kehilangan watak khas sastra yang selalu dikelilingi oleh selubung keindahan. Pram bersikeras bahwa keindahan sastra itu bukan dalam mengutak-atik bahasa, tetapi terletak pada kemanusiaan. Artinya perjuangan untuk pengabdian pada kemanusiaan. Bahkan semakin dekatnya sastra realisme sosial dengan realitas, berbuntut polemik panjang di eranya.
Terlepas dari kasus realisme, harus diakui, sastra memang tak pernah jauh berkutat dengan fiksi. Tetapi kita juga tidak bisa menampik, apa yang diolah dan dihasilkan sastra merupakan bentuk peniruan terhadap realita (berangkat dari kenyataan sehari-hari). Dalam hal inilah sastra dikatakan sebagai memesis alam nyata. Seorang pengarang mengolah karya sastra dari apa yang dialami dan dilihatnya. Plato dalam bukunya Republik, yang membicarakan dunia ide, berpendapat, bahwa karya sastra tidak akan sama dengan dunia ide, karena sifatnya meniru. Tiruan sendiri sejatinya tidak akan pernah sama dengan apa yang ditiru (dunia realita). Dalam hal ini Plato membagi realita menjadi tiga tingkatan. Yakni dunia ide, lalu apa yang kita jalani ini (kehidupan sehari-hari), dan tingkatan tiruan (memesis), yang diolah apik oleh ranah kesusastraan. Tingkatan kedua dan ketiga tidak pernah ideal. Karena kebenaran tertinggi menurut Plato hanya ada pada yang ideal (dunia ide).
Karya sastra di satu sisi dibangun atas dasar fakta-fakta yang berkelebat dalam diri pengarang, dan menampilkannya ke permukaan sebagai sebuah fiksi. Pada sisi lain sejarah terkadang menyembunyikan kebenarannya. Dan anehnya banyak yang hanya berani menampilkannya lewat dunia fiksi. Hakikat sejarah pada umumnya adalah kenyataan, tetapi justru kenyataan itulah kadang yang sering dimanipulasi hingga menimbulkan berbagai versi dan terlihat kontroversi. Akhirnya, sejarah akan tergiring dalam ranah subjektif sebagai sebuah kenyataan objektif.
Dalam sastra, teks dan maknanya menjadi otoritas pengarang sepenuhnya. Berbeda dengan sejarah, data-data yang ditampilkan tidak dalam wilayah otoritas pengarang. Data-data sejarah bermula dari pertanyan-pertanyaan yang diajukan sejarawan. Walaupun sejarah berkutat dengan fakta, sejarah tak dapat mengelak dari tuntutan dan kebutuhannya akan corak/pencitraan sastra. Dalam hal ini Kuntowijoyo menyebut sejarah sebagai seni.
Sejarah pernah dianggap sebagai cabang sastra pada zaman romantik. Yakni pada akhir abad 18 dan permulaan abad 19. Penulisannya pun disesuaikan dengan menulis sastra, harus melibatkan emosi. Penulis sejarah dituntut pandai membuat pembaca sejarah seolah hadir dan merasakan sendiri berbagai peristiwa yang ia baca. Sejarah juga memerlukan imajinasi. Sejarawan yang meneliti sejarah harus dapat membayangkan apa sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi setelah itu. Ketika sejarawan ingin mempelajari sebuah perlawanan gerilya di hutan, misalnya, ia harus mampu mengimajinasikan tentang hutan, sungai, malam hari, dan seterusnya.
Dalam sejarah, tugas utama sejarawan bukanlah menghafal fakta-fakta di luar kepala saja, akan tetapi yang lebih utama adalah merekonstruksi fakta-fakta sejarah. Untuk itulah akurasi (ketepatan) dan objektivitas adalah dua hal yang harus dipenuhi dalam penulisan sejarah. Cara pengungkapan sejarah yang terbilang apresiatif melalui data-data empiris dan tulisan (narasi) tak berbeda jauh dari pengungkapan karya sastra. Cuma yang dikhawatirkan jika sejarah terlalu dekat dengan seni maka sejarah akan kehilangan keakuratan dan keobjektivitasannya. Menampilkan fakta sejarah dalam kemasan fiksi bukanlah untuk menunjukkan bahwa sejarah yang selama ini kita pahami adalah palsu. Hal tersebut dimunculkan dengan tujuan menawarkan berbagai kemungkinan. Yang dengan itu pula dapat mengganggu kemapanan fakta sejarah yang selama ini ada dan mapan dalam pikiran kita. Dunia yang tertutup oleh akurasi data diobrak-abrik oleh warta kemungkinan-kemungkinan. Layaknya kerja dekonstruksi yang mencurigai adanya berbagai kemungkinan di balik bercokolnya teks otoritatif, dengan menawarkan pembacan ganda terhadap kemapanan logosentrisme.
Terlepas dari polemik di atas, yang bisa menjadi catatan, kita tetap percaya ada kejernihan di balik terjadinya polemik. Ketika karya sastra dapat dijadikan sebagai rujukan sejarah, dengan begitu maka sastra telah membuktikan dirinya sebagai ilmu yang bukan hanya bicara persoalan kreativitas dan rentetan imajinasi, tetapi dapat pula berfungsi sebagai dokumen sejarah. Dari sini, ilmu sastra akhirnya dapat menembus kungkungan kodratnya sebagai ilmu yang mengikat. Di samping sastra sendiri memang tidak pernah lepas dari masalah kemanusiaan yang diolahnya (sastra menjadi satu-satunya kajian yang elegan dalam mengungkap sisi lain diri manusia). Begitu pula kita harus mengusahakan membaca buku sejarah layaknya membaca novel, mengalir dan mudah untuk mencerna. Hal tersebut bisa terwujud dengan menciptakan alur dalam sejarah layaknya yang ada dalam novel, yaitu dengan membaginya dalam tiga tahap: pengenalan, krisis dan solusi. Maka, tak pelak novel sejarah sangat mungkin menjadi salah satu jalan untuk mendalami sejarah. Karena penceritaan dengan latar belakang sejarah, sejauh ini dapat membuat pembaca seakan-akan hidup di zaman sejarah tersebut. Bahkan novel yang dibawakan akan lebih nyaring bila penulisnya adalah pelaku ataupun saksi sejarah itu sendiri.
Konon, novel-novel Pram sangat kental dengan nuansa perjuangan (sejarah), bahkan dengan sangat baik dan berhasil menghipnotis pembacanya, terutama dari kalangan kaum muda (baca: mahasiswa), dikarenakan ia sendiri adalah pelaku sekaligus saksi sejarah yang ia tulis. Mungkin seribu penulis novel sejarah sekarang tak ada yang bisa menandingi cara bertutur Pram.
Terakhir, saat ini ternyata banyak sekali sejarah yang belum ditulis. Salah satu penyebabnya mungkin kentalnya budaya lisan masyarakat. Jika sejarah adalah kenyataan itu sendiri, maka perjalanan hidup kita hari ini dan juga negeri ini harus bisa sampai pada anak cucu kita kelak, meskipun melalui novel. Sejarah seringkali diingkari bahkan dilupakan oleh bangsa ini. Sebab minimnya greget membaca atau dengan alasan yang lain. Sejarah juga amat sering direkayasa, dibelokkan dari relnya demi kepentingan politik semata. Dengan hadirnya novel-novel bermuatan sejarah, kita baru tersadar, betapa sejarah sangat penting untuk menakar arus balik atau maju mundur kehidupan ini. (*)
*) Penggiat dunia sastra, tinggal di Malang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar