Petruk pun Jadi Raja

Ibnu Rusydi, Aguslia Hidayah
http://www.korantempo.com/

Pesan penting dalam pentas Teater Koma: keberbagaian adalah kekayaan yang mesti dijaga.

Pusaka para Pandawa, Kalimasada, dititipkan ke tangan Petruk. Punakawan itu pun berlari, disemangati Batara Guru dan Batara Narada, hingga tiba di kerajaan Lojitengara. Berkat Kalimasada, Petruk pun menjadi raja, setelah menang bertarung dengan ratu jin bertahi lalat. Ia bergelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot.

Itulah cerita Republik Petruk yang dipentaskan Teater Koma di Taman Ismail Marzuki, 9-25 Januari. Ini adalah bagian ketiga dari Kisah-Kisah Republik. Republik Bagong dulu dipentaskan pada 2001 dan Republik Togog pada 2004. Republik Petruk adalah produksi ke-116 Teater Koma.

Pementasan ini didukung antara lain oleh Budi Ros, Rita Matumona, Ratna Riantiarno, Salim Bungsu, Tuti Hartati, Dudung Hadi, Alex Fatahillah, dan Cornelia Agatha. Sisi musikal dan tari digarap lebih baik dibanding pementasan Teater Koma sebelumnya, yakni oleh penata gerak Elly Luthan dan penata musik Idrus Madani.

Dikisahkan, Kerajaan Amarta yang dipimpin Prabu Yudhistira hendak membangun Candi Eka. Berkali-kali didirikan, ia selalu roboh. Berdasar nasihat Sri Kresna, Pandawa disarankan mengambil pusaka Kalimasada yang dititipkan ke Drupadi. Hilang dicuri Mustakaweni, akhirnya bisa diperoleh kembali oleh Priyambada, putra Arjuna yang jatuh cinta pada Mustakaweni. Priyambada pun menitipkan Kalimasada kepada Petruk.

Pada akhirnya, diketahui bahwa semua kisruh antara Amarta dan Lojitengara ini atas permainan para dewa. Batara Guru muncul ke hadapan Pandawa. Ia memberi pesan, jangan membangun Candi Eka. Sebab, kepercayaan tak perlu dikelompokkan. Keberbagaian adalah kekayaan yang mesti dijaga: pluralisme. Jika diseragamkan dengan cap resmi, pluralisme sebagai kekuatan justru memudar. "Jangan bikin Candi Eka," kata Batara Guru. "Buatlah Candi Bhinneka."

Nano Riantiarno, pemimpin Teater Koma dan penulis naskah Republik Petruk, memperbarui sejumlah elemen pementasan ini. Ia menggabungkan sosok wayang dengan seni penampilan ala harajuku di Jepang. Alhasil, kostum dan riasan para pemain pun berwarna-warni.

Teater Koma rupanya hendak menjaring penonton muda. Selain menyediakan tiket murah untuk pelajar dan mahasiswa seharga Rp 15 ribu, Koma berusaha menerangkan lakon dengan menampilkan narator. "Jangan overestimate, belum tentu semua orang tahu wayang," kata Petruk dalam monolog.

"Ada juga penonton yang bukan orang Jawa atau orang Jawa modern yang lupa pada akarnya."

Pada awal lakon, Petruk membanggakan dirinya sebagai pembawa "demokrasi reformasi". "Ini era SBY: serba boleh ye," ujar Petruk yang kemudian menjadi raja. Dari demonstrasi hingga korupsi boleh. "Tapi, kalau ketahuan, tanggung sendiri, lho," Petruk menambahkan disclaimer.

Ada pula saat Semar, yang terbijak dari Punakawan, mengomentari keadaan di Kerajaan Lojitengara. Negara itu, kata Semar, terlihat demokratis. Padahal, negara tak punya wibawa. Saat kekayaan negeri dirampok, pemimpinnya diam saja seperti patung. "Malah menyanyi," ujarnya.

Kritik dan sindiran memang kerap meluncur dari tokoh-tokoh di atas panggung. Tentu saja kritik itu membuat penonton gerrr karena disampaikan secara jenaka.